The Knight in Shining Armor
Penderitaan sejak pagi terlupakan begitu saja, keinginan untuk bertahan hidup memberinya kejutan kuat menghindari setiap tebasan pedang berat yang ingin memisahkan kepala dari tubuh Jane.
Tebasan-tebasan pedang itu sedikit terhuyung, tampak terlalu berat bagi penggunanya. Namun begitu terayun, ia tak terhentikan.
Awalnya Jane mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya hantu. Tidak pernah ada hantu yang membunuh makhluk hidup. Tapi setelah sebatang pohon tertebang, teriris seperti ilalang dihajar sabit, Jane tidak lagi menganggap sosok tak berkepala itu sebagai hantu.
Entah makhluk apa ini, dia sedang mengincar leher Jane. Gadis itu mengupayakan segala cara untuk menyelamatkan diri. Dia belum bertemu pangerannya, dia belum jatuh cinta dan belum patah hati, dia harus hidup!
Jane melempar tasnya kepada sosok itu, namun tas tersebut menembus badannya seperti menembus kabut. Itu jelas hantu, nyata tapi tidak ada!
Jane terseok-seok, meraih batu sekepalan tangan dan melempar ke sosok itu. Lagi-lagi lemparan itu tidak mengenai apapun.
“Se-setan. Setaaann!!” Jane tidak punya banyak pilihan selain lari. Dia lari sekencangnya, tidak peduli lagi kakinya masuk perairan gambut, atau menginjak apa, dia harus lari. Lari demi nyawa, lari agar terus hidup!
Apakah nyawanya sepenting itu sehingga dia tidak merelakannya saja kemudian terbebas dari penderitaan lapar, haus dan sebagainya?
Bodo amat, yang penting lari!
Saat Jane sudah berlari semakin jauh meninggalkannya, sosok itu mulai melompat. Satu kali lompatan, si tanpa kepala itu bisa mendarat di atas pohon. Pedang seukuran tubuh Jane diangkat tinggi-tinggi, siap terayun. Sosok itu melompat dari dahan ke dahan, mendarat persis di punggung Jane. Ia hanya perlu mengayunkan pedangnya, sekali tebas bertambahlah koleksi satu mayat tanpa kepala lagi di kandangnya.
Sebilah tombak es mencuat begitu saja dari air rawa menghantam keras pedang berkepala Dragon itu. Suara besi berkelontang kemudian berdenging terdengar naik ke udara saat pedang tersebut terlepas dari genggaman sosok tembus pandang tak berkepala itu. Pedang berukiran kepala Dragon itu berputar di udara dan menghilang di sisi lain dari rawa.
Sosok itu menghilang. Yang tertinggal hanyalah Jane dan bilah tombak es berwarna hitam yang berdiri menantang langit.
Selama beberapa saat hanya terdengar deru nafas Jane yang keluar masuk kerongkongannya dengan deras.
Ada apa lagi sekarang? Bagaimana bisa air rawa mencuat untuk menyelamatkan nyawanya dari sosok itu?
Gadis itu mengusap daerah mulutnya dengan punggung tangan. Tertelan olehnya pahitnya air rawa hitam yang berbau anyir itu. Ia merasa seperti menelan darah basi, namun tak ada yang lebih melegakan lagi selain masih memiliki kepala di atas leher dan masih berfungsi dengan baik.
Selama di Kolonial Gazawa, dia pernah melihat manusia-manusia berkepala kerbau memecuti buruh tambang. Asap keluar dari kedua lubang hidung mereka. Monster bukan hal baru bagi Jane.
Ia juga pernah melihat monster-monster minotaur itu menggerakkan batu untuk memperluas ruang pertambangan. Ia bahkan pernah melihat kepala koloni, Rowan Guthree mengangkat tangannya dan seketika seorang pemberontak berubah menjadi arang terbakar api biru.
Sihir bukanlah sesuatu yang baru, namun Jane tidak pernah berhenti terkesima saat ia menyaksikannya, apalagi secara langsung. Sihir hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu, bukan olehnya atau Allan.
Gadis itu berdiri dan memeriksa bilah padat yang menyelamatkannya barusan. Ada uap udara yang memuai dari permukaannya. Saat disentuh, rasanya dingin seperti salju, dan warnanya hitam seperti air rawa di sini. Ada seekor kodok yang terjebak di dalam pilar tersebut. Melalui cahaya misterius yang dipancarkan kabut di sekitarnya, Jane bisa melihat permukaan bilah padat itu mulai mencair.
Jane mengetuknya dua kali, ruas jarinya merasakan dinginnya permukaan bilahan itu, “ini pilar es. Siapa yang mengangkatnya?”
“Anda tidak apa-apa?”
Jane berpaling ke asal suara tersebut, pada permukaan tanah yang kering di luar daerah rawa. Di sana ada seorang gadis belia, lebih muda dari Jane dengan tubuh terbalut mantel kulit beruang. Kulitnya hitam kemerahan, bola matanya gelap, dan rambutnya bergelombang seperti permukaan samudera. Air mukanya tangguh bagai gunung salju yang takkan runtuh sekalipun ditantang badai.
“Andakah yang melakukan ini? Siapa anda?” tanya Jane, sesopan mungkin.
Gadis itu setenang pilar es yang diciptakannya, demikian pula dengan suaranya, “Kia. Kenapa kamu masuk ke rawa ini setelah gelap? Kamu hampir mati dibunuh arwah penasaran.”
“A-aku melihat ada bayangan orang dari dalam rawa. Karena tersesat jadi aku ingin menyusulnya untuk bertanya jalan.”
“Bayangan orang? Kau sudah pastikan bayangan itu orang sungguhan?”
“M-mana kutahu?! Aku tidak pernah melihat hantu seumur hidupku!” Jane menjadi gugup, terutama ketika menyadari bahwa yang dilihatnya tadi mungkin bukan manusia.
“Harusnya kamu tahu tempat ini memiliki medan astral yang kuat. Terlebih bau anyir dari kolam rawa ini …” Kia menahan nafasnya, dadanya terasa sedikit sesak. “… sudah ratusan tahun, tapi emosinya masih sangat kuat. Tempat ini mulai terbiasa dengannya.”
“Lalu kau sendiri bagaimana? Kenapa bisa ada di sini?” Jane bertanya balik, kakinya melangkah satu persatu menyeberangi air rawa yang hitam di bawah lutut. Sandalnya sudah hilang satu entah kapan, entah di mana.
“Aku sudah di sini sebelum gelap, tempat ini tidak mengancamku lagi.”
Setelah sampai di ujung rawa, Jane duduk memeluk lututnya dan menangis sepuasnya. Tasnya sudah hilang, ia melempar salah satu sepatunya yang sudah tak terpakai lagi sekarang. Sepatu itu mengapung-apung di atas perairan rawa dan perlahan tenggelam seperti ditelan makhluk yang bersembunyi di bawah kolam hitam itu.
Dirasakan tangan seseorang dengan lembut menyentuh salah satu bahunya. Dan seembus nafas membawa suara halus sampai ke telinga Jane, “kamu tidak apa-apa?”
Jane masih menangis, namun semua beban yang dirasakannya sejak tadi kini sudah menguap. Ia sudah berada di tempat yang aman.
“Ayo,” Kia mengayunkan lengannya agar Jane mengikutinya. Tidak melihat ada pilihan lain yang lebih baik, Jane pun mengikuti Kia.
Melewati semak dan pepohonan, Jane melihat ada cahaya kekuningan di antara pohon-pohon. Ada api unggun sedang memanggang dua umbi liar di bawah timbunan dedaunan kering. Aroma harumnya tercium saat Jane duduk di sana.
Diperhatikannya gadis penolongnya itu sekali lagi, dan Jane tersadar bahwa gadis ini mungkin seorang anggota suku Pamuyan yang katanya kanibal itu. Keluar dari kandang singa, masuk ke lubang buaya. Tapi Jane kini sudah pasrah, apapun yang akan terjadi padanya, dia sudah tidak peduli lagi.
Kia menyodok-nyodok masakannya, ketika dirasanya umbi liar yang dia temukan di hutan sudah masak, ia membongkar dedaunan kering itu dan menyerahkan satu untuk Jane, “mau?”
Jane sangat lapar sampai rasanya sakit. Sepertinya usus di dalam perutnya sudah saling melilit untuk mendukung rasa lapar yang dideritanya. Tapi dia menggelengkan kepala dengan lesu. Semua kejadian hari ini benar-benar menguras energinya, Jane hanya ingin tidur sekarang.
Kia meletakkannya kembali ke bawah tumpukan daun. “Aku simpankan satu untukmu, ambil saja kalau kau sudah lapar.”
Diliriknya Kia, dia mengambil umbi tersebut dengan belatinya, diletakkan di atas selembar daun lebar kemudian dibelah. Uapnya mengepul lepas ke udara dan Kia mulai menusuk potongan kecil, disebul tiga kali sebelum masuk ke dalam mulutnya.
Allan sering bercerita mengenai suku Pamuyan Selatan yang telah mereka usir dari Gazawa sebelum mendirikan kolonial. Katanya mereka akan membelah dada manusia hidup-hidup dan memakan jantungnya selagi masih berdetak. Katanya mereka menjadikan tulang tengkorak musuh-musuh mereka perhiasan. Banyak legenda mengerikan mengenai suku Pamuyan yang membuat mereka yang tinggal di koloni itu tidak merasa menyesal telah merebut kampung halaman mereka dan membongkar tanah kuburan leluhur mereka demi menggali kristal sihir.
“Apakah kau haus? Kau boleh habiskan sepuasnya,” Kia menyerahkan kantung airnya untuk Jane. Lagi-lagi Jane menggeleng. Ia pun sadar bahwa dia tidak ingin bicara atau berkomunikasi dengan siapapun. Begitu mengantuknya sehingga dia berbaring di atas tumpukan daun kering, meringkuk memunggungi Kia dan mencoba untuk tertidur.
Pakaiannya basah, rambutnya gatal. Sekujur tubuh rasanya tidak karuan dan mungkin telapak kakinya lecelt. Namun lelah menimpa kepalanya, begitu berat hingga kelopak matanya dengan cepat terpejam. Dua tarikan nafas yang dalam dan tenang membawa Jane ke dalam alam tidur.
Mungkin gadis dari suku kanibal itu akan memotongnya saat dia tidur, mungkin Jane akan bangun tanpa mata. Tapi saat ini dia benar-benar butuh tidur, dan dia akan tidur.
Malam itu, Jane bermimpi tenang seorang pria tampan. Pria tampan yang datang dari tempat jauh, kemudian menetap. Ada satu nama bergema dalam tidurnya sebelum Jane terbangun dari mimpi; “Faolan”.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top