Selamat Datang di Raffenwald

Hingga kemarin malam, Jane Rondinger benar-benar tidak menyangka akan dapat melihat pemukiman lagi. Di kaki bukit itu, ada rumah-rumah beratap jerami yang ditahan oleh bebatuan. Cerobong asap mengeluarkan uap, dengan malas melayang bergabung dengan awan.

“Harusnya aku heran kenapa di lingkungan angker begini masih ada saja orang yang tinggal. Harusnya aku tidak melihat sekumpulan tempat tinggal itu … tapi … ah masa bodoh. Ini … ini keajaiban!” Jane rasanya ingin menangis terharu melihat pemukiman penduduk itu. Kini dia tinggal berharap bahwa penghuninya manusia semua, bukan monster atau orang cebol.

Lain dengan Jane, Kia merasakan tengkuknya merinding. “Desa ini masih ada?”

“Kia, kita menemukan sekumpulan manusia! Kita selamat! Kita bisa makan, kita bisa tidur di kasur yang empuk! Aku mau mandi! Tapi … uangku kan hilang di rawa kemarin …”

“Aku tidak mau masuk ke sana.”

“Ke-kenapa? Ayolah …”

“Tidak tahu, firasatku tidak enak. Sepertinya bakal terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan bila kita masuk ke sana.”

“Tapi kalau tidak ke sana, kita mau tidur di mana?”

“Aku tidak keberatan tidur di atas rumput hijau.”

“Kia, ada ulat bulu!”

“Ya, itu risiko.”

“Oke, kita tidur di atas rumput, lalu kita mau makan apa?”

Kia melihat sekeliling lembah di bawah bukit tempat dia berpijak. Ia menemukan aliran sungai menuju danau kecil di dekat desa tersebut. “Aku yakin ada ikan di danau itu.”

“Katamu kau tidak sanggup membunuh hewan?”

“Ikan berbeda, mereka memang makanan.”

“Aku tidak bisa memahamimu,” Jane Rodinger sungguh pusing. Pada saat yang sama, Kia sudah bergerak duluan menuruni bukit menuju tepian danau tersebut. Dia ingin makan siang sekarang.

“Kia, tunggu, hei!” Sepanjang jalan menuju danau tersebut, Jane berbicara tanpa henti mencoba membujuk Kia, mengutarakan segala macam rasionalisasi bahwa tinggal di desa itu untuk sementara waktu adalah pilihan yang lebih baik daripada di tepi danau. Kulitnya sudah gatal-gatal sekarang dan dia ingin mandi! Lebih dari itu, Jane sangat khawatir air rawa yang kotor itu bisa membuatnya terkena penyakit kulit. Dan bila itu terjadi, tidak akan ada pangeran tampan yang mau menikahinya nanti saat mereka tiba di Detteroa. Dia harus mandi!

“Wow, kamu tidak bernafas yah?” Kia sungguh kagum karena dari atas bukit sampai sekarang mereka sudah di tepi danau, Jane tidak terlihat kehabisan nafas setelah semua rentetan kata yang terlontar dari mulutnya.

“Tidak perlu khawatir tidak punya uang. Pria itu punya kelemahan yang kita miliki. Asal kita menunjukkan kerapuhan sedikit, mereka pasti terenyuh.”

Kia sungguh tidak tahu harus menjawab apa. Sebelum dirinya memberikan pernyataan, Jane sudah meraih tangannya dan membawanya menuju desa.

Ada papan yang cukup besar berdiri di tepi jalan dengan tulisan “Selamat Datang di Raffenwald”. Bagi Kia, tulisan itu tampak seperti hiasan, sama sekali tidak menyadari bahwa itu adalah tulisan.

“Lihat, nama desa ini Raffenwald. Orang di sini bisa baca tulis, itu berarti mereka beradab.” Jane senang sekali.

“Dari mana kau tahu nama desa ini Raffenwald?”

Jane menunjuk papan itu, “itu tertulis jelas sekali. Jangan bilang kalau kamu tidak bisa membaca?”

“Aku tidak mengerti …” Kia mulai merasa lelah meladeni Jane yang ambisius. Gadis itu kalau sudah ingin sesuatu, sulit untuk dihalangi.

Mengetahui rekannya ini tidak bisa baca tulis, timbul akal bulus Jane untuk memanfaatkan kelemahan Kia yang satu ini untuk membuat gadis itu bergantung padanya. “Makanya kau harus dekat-dekat aku yah. Kalau kamu tidak bisa baca tulis, kamu bisa dibohongi orang-orang. Mereka itu licik dan culas, hanya aku yang bisa kau percaya!”

“… baiklah, Jane.”

“Ayo kita cari penginapan!”

Raffenwald adalah sebuah desa yang sangat sepi. Jarak antara rumah cukup renggang sehingga setiap rumah memiliki pekarangan yang cukup luas. Para penduduk di sini suka sekali membuat gazebo di pekarangan rumah mereka dengan balai-balai di dalamnya untuk duduk menikmati angin. Hampir setiap penduduk memelihara hewan ternak, dan rumah mereka rata-rata bertingkat satu namun luas.

Penduduk pertama yang ditemui oleh kedua gadis itu adalah seorang pria gemuk berhidung merah. Dia sedang berdiri begitu saja di pintu rumahnya, tatapan matanya mengikuti dua gadis asing yang baru masuk ke dalam kampung halamannya.

Jane memberikan senyum seramah mungkin pada orang itu, dan lelaki gemuk botak itu membalas. Tampak gigi-gigi kuning berkarang menyapa Jane dengan ramah. Bila tidak ingat bahwa dirinya butuh kharisma untuk memesona setiap orang di desa ini agar bisa makan tidur gratis, Jane sudah muntah-muntah di tempat.

“Sepertinya dia menyukaimu …” bisik Kia, merasa aneh.

“Apa?!” Jane tidak tahu benar atau tidak, atau darimana Kia merasa seperti itu, yang pasti Jane memutuskan untuk mengambil langkah seribu meninggalkan orang itu dan rumahnya.

“Dia mengikuti kita, Jane,” bisik Kia sekali lagi, berusaha menoleh ke belakang dengan cemas.

“Jangan menoleh!” desis Jane. “Kalau dia tahu kita menyadarinya, dia bisa menempel terus. Ayo cepat, Kia!”

Saat dua gadis itu masuk makin dalam ke desa Raffenwald, mereka bertemu semakin banyak penduduk. Para pria tua sedang mengolah sawah bersama anak mereka, menghentikan pekerjaan mereka dan memandangi dua gadis asing yang masuk ke desa. Ibu-ibu yang sedang berjalan maupun memberi makan ternak juga ikut berhenti untuk mengawasi dua tamu asing mereka dengan curiga.

Tapi yang paling mencemaskan tetaplah pemuda gemuk dengan gigi berkarang yang masih mengikuti mereka. Jane tidak berani menoleh ke belakang, takut dirinya disapa, tapi ia bisa merasakan langkah orang itu di belakangnya. Jane menghampiri ibu-ibu terdekat yang sedang menebar dedak ayam di pekarangan rumah. Wajahnya cemberut dengan kulit wajah terlipat-lipat, namun wajah tidak bersahabat itu lebih menyenangkan daripada si penguntit buruk rupa di belakang.

“Apakah di sini ada penginapan?” tanya Jane pada ibu itu.

Ibu tersebut menurunkan tatapannya untuk mengamati Jane dari bawah ke atas. Gadis ini tidak pakai sepatu atau alas kaki. Ia menggunakan celana ketat selutut yang biasanya hanya dipakai untuk pakaian dalam. Ada sisa-sisa rok yang telah robek berwarna merah keunguan dengan kemeja putih berkorset, semua sudah lusuh, kotor dan lapuk.

“Orang gila!” decak ibu itu sambil meneruskan kembali pekerjaannya memberi makan ayam-ayam di kandang.

Sabar, Jane. Sabar. Pikirnya dalam hati. Bila dia marah pada ibu itu, bisa-bisa satu desa malah mengeroyoknya. Ibu itu pasti tidak tahu bagaimana petualangan Jane bisa sampai kemari, karena mungkin dia tidak pernah bepergian jauh. Mungkin itu sebabnya dia mengira Jane orang gila dengan penampilannya yang berantakan.

“Anda mencari penginapan, nona-nona?” sapa lelaki gemuk botak dengan gigi kuning berkarang yang sejak tadi mengikuti mereka.

“Bucky, kemarin sudah datang dua orang mengerikan, jangan kau tambah lagi. Usir saja mereka!” hardik ibu itu.

Penguntit gemuk botak dengan gigi kuning berkarang yang sepertinya punya nama “Bucky” itu tampak tidak mendengarkan kata-kata ibu yang sedang menabur dedak tersebut. Ia melangkah semakin dekat pada Jane dengan seringainya yang liar.

“Kalau kalian menginap di penginapan, kalian harus bayar. Kalau kalian menginap di tempatku, kalian tidak perlu bayar dan bisa tinggal selamanya. Hehe …”

Mengerikan!  Pikir Jane. Ingin rasanya dia menendang wajah menggelikan itu, namun demi tempat tinggal dan makanan layak, dia tidak mungkin melakukannya.

“Anda baik sekali, Tuan Bucky … hihihi … tapi aku tidak mau merepotkan, aku mau menginap di penginapan saja.” jawab Jane.

“Di rumahku ada banyak makanan enak, ibuku baru membuatkan cream stroberi. Kalian pasti ketagihan dan minta makan itu terus setiap hari.”

Orang ini bodoh atau tolol, sih?! Jane kembali menahan hasrat untuk menyiksa orang ini. Demi makanan dan tempat tidur layak. Dalam hati dia terus berdoa kepada Tuhan agar diberikan jalan keluar dan dibebaskan dari orang mengerikan ini.

Dua orang pria..

Saling memapah, mendukung satu sama lain …

Celana mereka basah oleh air rawa, sepatu mereka becek tergenang. Lumpur di sekujur tubuh, bahkan sampai ke rambut mereka yang hitam.

“Bertahanlah, Gabe! Sedikit lagi!”

Mereka tiba di Raffenwald pada waktu bulan sedang tinggi di langit, saat kabut biru melintasi desa, dan bahkan burung hantu sudah senyap. Mengetuk pintu penginapan tanpa kenal menyerah, demi sahabat dengan bilur menghitam di dada.

Seketika Kia bergidik, dan dia berjalan ke sebuah arah, mengikuti sepanjang jalan ke sisi timur desa.

“Kia, Kia! Mau ke mana kau? Tunggu!” Jane tentu saja tidak mau ditinggal bersama orang aneh yang mengerikan itu, dia cepat-cepat mengejar Kia dan bergandulan di tangannya seakan Kia bisa melindunginya dari Bucky.

“Aku melihat dua orang …” gumam Kia sambil mempercepat langkahnya. “… mereka baru saja membunuh banshee demi membebaskan diri dari kutukan.”

“Banshee? Apa itu? Kutukan apa?”

“Kutukan banshee,” Kia berhenti sejenak untuk menatap Jane. Bola matanya terlihat serius. “Mereka bukan manusia biasa.”

“Apa yang kau bicarakan? Memangnya kau melihat apa? Hei, Kia?” Jane kembali mengejar rekan perjalanannya yang mempercepat langkah menuju sebuah bangunan tingkat dua di sisi timur desa. Ada tulisan “Penginapan Reinwulf” di atas pintu ganda yang berdiri kokoh.

“Wah, kau menemukan penginapan,” Jane benar-benar tidak tahu bagaimana Kia melakukannya, tapi yang jelas dia sudah selamat dari bujukan Bucky tanpa harus melukai pemuda itu.

Ketika pintu penginapan dibuka, pria pemilik penginapan itu muncul dengan wajah memerah, kesal karena tidurnya diusik. Tapi pemuda itu menodongkan golok raksasanya yang berat demi sahabatnya.

“Temanku sekarat, kami butuh tempat tidur.”

Seperti pemuda itu menaiki anak tangga menuju beranda penginapan, Kia melakukan hal yang sama. Pintu penginapan terbuka lebar, hanya dua daun pintu anginnya yang bisa didorong terbuka dengan mudah. Di dalam penginapan itu, adalah ruangan kosong, meja resepsionis yang sepi. Pintu belakangnya terlihat dari lobi, terbuka ramah menciptakan sirkulasi udara yang sehat, menyejukkan isi ruangan dengan angin dari ladang. Kia merasakan telapak kakinya menginjak serbuk putik tanaman liar di lantai penginapan, entah kapan terakhir kali lantainya dibersihkan.

“Kenapa tidak ada orang di sini?” tanya Jane, mencoba untuk tetap melekat di sisi Kia.

Kia mengangkat tangannya agar Jane diam sejenak. Telinganya menangkap suara lembut dari halaman belakang. Ada suara batu beradu berulang kali, seperti seseorang yang sedang mengolah bumbu makanan. Tak lama saat suara itu berhenti, muncul seorang lelaki tua dengan kumis putih yang lebat dari pintu belakang yang terbuka. Mata birunya yang kusam terbelalak melihat dua orang gadis asing di lobi penginapan miliknya.

“Dan anda siapa?” tanya pria tua itu.

“Kia,” jawab gadis itu sambil menyentuh dirinya sendiri di bawah leher.

“Anda?” pria tua itu berpaling pada Jane.

Jane menyebutkan namanya.

“Orang asing lagi, bukan? Orang asing. Sejak kemarin orang asing datang kemari. Sepertinya tempat ini mulai populer, yah.”

“Dua orang asing yang baru datang kemarin …,” ujar Kia dengan segera, mengejutkan lelaki tua itu. “… mereka baru saja membunuh banshee yang menjaga rawa di utara. Aku yakin akan lebih banyak orang asing lagi yang datang nantinya.”

“Oh begitu,” gumam si lelaki tua. “Pantas salah seorang dari mereka sekarat.”

“Bisa kulihat? Aku elementer es, aku bisa menyembuhkannya,” kata Kia.

“Temannya sedang ke desa lain untuk mencari dokter sejak pagi buta tadi. Dia merampas kudaku dan mengancam akan membunuhku bila temannya mati. Bila kau memang bisa menyembuhkan pemuda yang terluka itu, aku akan senang sekali.”

Pria tua itu mengantar Kia dan Jane naik ke lantai dua dimana dia membaringkan orang asing yang terluka itu dan menjaganya agar tetap bersih.

“Aku baru saja menumbuk obat untuk menurunkan demamnya. Resep keluarga. Tapi bila benar kau elementer es, aku yakin dia tidak butuh ini lagi. Nah, ini dia orangnya.”

Di atas tempat tidur kapuk, berbaring seorang pemuda dengan rambut keriting yang berwarna gelap. Ia sedang terlelap, dengan wajah pucat menahan rasa sakit. Mantel pengelananya sudah tergantung di sisi lain ruangan kamar bersama topi bulu berwarna biru, dan jaket kulitnya juga sudah dilepas. Lelaki tua itu berjalan sampai ke sebelahnya dan membuka kaus kemeja pemuda sakit itu, menunjukkan luka lebam di area jantung.

“Aku baru kali ini melihat luka seperti ini, tapi menurut legenda, ini adalah kutukan banshee,” kata pria tua itu.

Sekali lihat, Kia mampu merasakan emosi dendam dari lebam tersebut. “Ya, … ini kutukan banshee.”

“Ini bukan luka biasa, apa kau masih berani bilang sanggup menyembuhkannya?” tanya pria tua itu, menyembunyikan harapan dari ucapannya.

Tanpa banyak bicara, Kia meletakkan telapak tangannya di atas lebam tersebut. Ia memejamkan mata untuk merasakan dendam yang menggerogoti jantung pemuda malang ini.

Kesadaran Kia terpisahkan dari dunia realita, dan ruangan berubah gelap. Ada cahaya biru menyala dari luka tersebut dan naik seperti uap air yang mengepul dari panci mendidik, membentuk sesosok kepala dengan tubuh wanita. Rambutnya yang bergelombang tumbuh liar seperti semak berlukar.

“Kau … kau seer!” ujar sosok itu. “Apa maumu?”

“Jiwa banshee yang malang, boleh aku tahu namamu?”

“Aku Dulia, anak Undine. Kau juga dia yang diberkati oleh ibuku, bukan?”

“Aku hanya sekian dari yang beruntung.”

“Apa yang kau inginkan dariku?”

“Dulia, anak Undine, bisakah kau melepaskan pemuda ini?”

“Dia membunuhku!” Seketika sesuatu seperti meledak, ada udara kencang bertiup mengempas Kia berasal dari jiwa banshee tersebut. Gadis itu setangguh gunung batu yang diempas topan badai, tidak bergerak seperti perisai yang bagus. Rambutnya sudah berkibar tertiup ledakan kemarahan banshee, namun segurat emosi tak terlihat sedikitpun dari wajahnya.

“Anda harus tenang, ceritakan padaku apa yang terjadi.”

“Sejak Undine melahirkanku, ia menyuruhku untuk menjaga rawanya. Tidak pernah sedikitpun aku meninggalkan rawa itu, tidak pernah seorangpun kubiarkan lewat. Mendadak dua orang itu datang, melihatku dan membunuhku. Aku menuntut keadilan!”

“Dulia, izinkan aku untuk menyentuh memorimu.”

Ketika kilau aura yang mengelilingi jiwa banshee tersebut bergerak melambat, Kia menaikkan tangannya dari tubuh pemuda sakit itu untuk menyentuh dahi Dulia.

Ketika jari-jari Kia sampai di keningnya, Dulia menggeser kepalanya menghindar. “Aku sudah katakan padamu kisah sebenarnya, kenapa kau tidak percaya, ha?! Seer macam apa kamu?!”

“Aku diajarkan untuk percaya pada apa yang terlihat, bukan apa yang terkatakan. Dengan demikian, aku bisa mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Biarkan aku melihat memori terakhirmu, Dulia.”

Jiwa banshee itu kembali tenang dan membiarkan jari-jari tangan Kia yang kecil menyentuh keningnya. Ada sinar lembut muncul dari sana dan kenangan itu pun tertampak di dalam benak Kia seperti mimpi yang nyata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top