Sang Penjaga Rawa
Sembilan ratus tahun lalu—mungkin lebih—Hoffenburg runtuh. Kia melihatnya runtuh. Es menyelimuti ibukota, dan Hoffenburg terbungkam dalam senyap.
Sejak itu jiwa-jiwa mereka yang membeku dalam waktu bergentayangan dalam kebingungan, tidak mengetahui musibah apa yang baru saja terjadi pada mereka.
Seorang seer dari Pamuyan Utara datang ke Hoffenburg untuk bicara dengan Undine. Saat Persona air itu menjentikkan jarinya, air rawa bergejolak, awan di langit jatuh dan menyatu dengan rawa. Lingkaran angin berpusar membawa daun dan debu yang menghuni rawa, dari pergumulan itu sesosok banshee lahir.
Sejak saat itu, siapapun yang masuk dan keluar Hoffenburg berubah menjadi mayat.
Gabe berlutut, tatapannya dalam mencoba memahami rupa ongokan mayat yang menghitam itu. Bagaimana dia mati, sudah berapa lama dia berbaring di sana.
“Mungkin dulu dia wanita cantik, Gabe?” sindir Jake, membabat semak rawa yang tinggi untuk membuka jalan.
“Dia menggunakan pakaian sederhana, seperti kain yang baru selesai ditenun. Aku rasa sudah enam ratus tahun lebih dia berbaring di sini.”
“Berbaring?” Jake setengah tertawa, tertawa mengejek. “Ia terlihat sedang tidur di mataku.”
“Jake, ini mayat. Kecuali ada nekromancer yang tinggal di sini selama ratusan tahun, maka ini memang zombi yang sedang tidur. Sebagian besar kulitnya memang terlihat masih utuh tak membusuk, kurasa karena gambut di rawa-rawa ini.”
Suara Jake terdengar dari balik semak-semak rawa yang liar, sosoknya sudah tak terlihat. “Yah, sebaiknya jangan ganggu orang tidur. Ayo cepat kemari atau kutinggal kau bersama nona cantik itu.”
Gabe memandangi mumi di hadapannya itu untuk terakhir kalinya. Ia masih penasaran, tapi Jake tidak akan mau menunggunya memeriksa mayat seharian. Pemuda itu mengulurkan tangannya, terpikir untuk menyentuh wajah mumi. Dia ingin tahu apakah benar kulit itu telah berubah menjadi kulit pohon, daging berubah menjadi sekeras batu? Namun sebelum ujung jarinya menyentuh mumi itu, rasa takut berteriak dalam hati membuatnya membatalkan niat itu dan bergegas menyusul temannya.
Gabe sedikit menyayangkan sepatu boots kulit rusanya yang masih bagus harus kotor oleh lumpur rawa dan gambut. Ia selalu merawat barang-barangnya seperti topi bulu biru yang sedang digunakan kepalanya sekarang ini, usianya sudah tujuh tahun.
Terasa langkah Jake semakin cepat walau dia sudah semakin jarang berbicara—menandakan bahwa dia merasa lelah. Pada saat dia berhenti, ia menancapkan golok berat di tangan dan mengusap keningnya dengan tangannya yang kotor. Dahinya kini ternoda lumpur hitam.
Jake menghisap udara dalam-dalam lalu memengembuskannya dengan sabar selama empat detik. Pada saat itu ada banyak udara keluar dari paru-parunya, Gabe menyaksikan kerlap-kerlip pelangi dengan dominan warna merah, seperti kunang-kunang kecil yang terpantul di kabut kebiruan disekitar Jake.
Diam-diam Gabe mengembuskan udara dari tubuhnya juga, persis seperti yang dilakukan Jake. Namun kabut kebiruan itu tidak memantulkan kerlap-kerlip pelangi.
Kau mengetahuinya, kan, Jake? Pertanyaan itu tidak pernah terlontar dari mulut Gabe. Jangan tanya, jangan bahas. Anggap saja tidak melihat apapun, karena keberadaan mereka ini diam-diam sedang diburu.
“Ayo jalan,” ujar Jake dengan suara rendah. Terburu-buru seperti orang yang membuat kesalahan kecil tanpa sengaja dan berniat untuk menutupinya dengan cepat.
Mereka kembali melangkah dalam senyap, hanya ada suara langkah kaki mereka menapak genangan air gambut yang becek. Semakin masuk ke dalam, kabut biru itu semakin pekat dan kejauhan sepuluh meter lebih pun menghilang. Kaki Gabe terantuk sesuatu yang geras seperti akar pohon. Saat dia melihat ke bawah dan melihat lapisan garmen kumal yang membungkusnya, sadarlah Gabe bahwa itu adalah kaki mumi lain.
Kali ini salah satu rongga matanya sudah kosong, hampa seperti sumur yang dalam. Bagian dada mayat itu berlubang, seakan sesuatu mencabik dadanya dan mencabut jantungnya begitu saja sampai dia mati kehabisan darah.
Semakin ke dalam, Gabe menemukan lebih banyak lagi mumi yang bergelimpangan. Ada beberapa yang berbaring terlungkup, beberapa duduk bersandar di pohon dengan mulut terbuka seakan ingin menadah air hujan yang turun dengan mulutnya.
Jelas ada sesuatu yang salah di sini. Orang-orang ini mungkin mati oleh pembunuh yang sama. Gabe menyadari ada perbedaan proses pembusukan dari satu mayat ke mayat lain, menandakan mereka tewas di waktu dan zaman yang berbeda. Namun cara mereka semua mati dengan jantung tercabik lepas dari rongga dada.
Mereka dibunuh oleh satu orang. Atau makhluk.
Bola mata Gabe bergemetar saat dia menyadari apa yang mungkin membunuh mereka. Sesuatu yang mana usia hanyalah formalitas. Saat menebaknya dengan yakin, Gabe berhenti berjalan.
Kakinya gemetaran tidak mampu lanjut berjalan. Bukan karena lelah atau lapar, dia sudah pandai menahan keinginan primer tersebut. Ia hanya memandangi Jake melangkah hati-hati menebas semak-semak yang menghalangi sambil menghindari genangan air untuk terus melangkah di permukaan yang lebih kering.
Ketika sosoknya hampir menghilang ditelan kabut biru, Jake menyadari langkah temannya hilang. Ia berputar ke belakang dan menemukan Gabe sedang diam mematung tak berkedip. Membaca ketakutan dari mata hitam Gabe, Jake berkata, “jangan cemas. Kau belum dengar suara jeritan wanita, kan?”
Mengetahui Jake sudah menebak apa yang dipikirkannya, Gabe malah merinding. Sejenak dia merasa bahwa ini kesalahan. Ya, memang dia ingin menulis buku yang lebih bagus dan lebih berani dari ayahnya. Memang dia ingin mengalahkan ayahnya di bidang yang mereka berdua bagi bersama. Tapi saat ini, untuk detik ini, yang dilihat Gabe hanya kematian.
“Aku tidak mau mati,” suaranya parau, nyaris tidak keluar.
“Tidak akan mati kalau kita terus berjalan.”
“Jake, … ini mulai gelap. Kita tidak akan sampai di seberang sana sebelum matahari terbenam.”
“Lalu apa? Kembali lagi? Kita sudah setengah jalan. Kalau mati ya mati.”
“Kamu bisa tidak peduli dengan hidupmu sendiri. Mungkin bagimu hidup ini adalah kesalahan dan peristiwa tidak penting. Tapi aku … aku menghargai hidupku. Aku punya tujuan dalam hidupku. Aku ingin menulis buku, aku ingin mengalahkan ayahku, aku ingin terkenal, aku ingin jadi legenda! Aku tidak boleh mati sekarang, belum ada satupun yang kutulis, dan belum ada orang yang membaca tulisanku!”
Jake sudah kembali untuk menarik kerah mantel Gabe dan menyeretnya pergi. “Makanya ayo cepat!”
“Hei, lepaskan aku, aku bisa jalan sendiri!”
Mendadak Jake terdiam. Ia mematung seakan ada petir menyambarnya. Tangannya yang kuat berubah lunglai, terlepas dari mantel Gabe seperti tak bernyawa.
“Jake?”
“Tidak, tidak ada apa-apa,” pemuda itu menyembunyikan sesuatu yang menakutkan. Sebuah teror yang tampaknya hanya dia sendiri yang mengalami.
“Jake, apa yang terjadi?” Gabe bergegas menyusul temannya yang melangkah semakin cepat. Butir-butir keringat di dahinya telah mengucur jatuh menelusuri hidung dan pipinya, Jake tidak lagi mengayunkan golok, ia menerobos semak begitu saja.
“Jake, kau mendengarnya?” kejar Gabe. “Kau mendengar suara jeritan banshee itu?”
“Sudah diam dan terus berjalan! Cepat!” bentak pemuda itu dengan mata melotot. Ia marah pada sesuatu yang lain, namun hanya ada Gabe yang bisa dijadikan sasaran.
“Kau benar. Ayo cepat!” Gabe menahan rasa lelahnya dan melupakan sepatu boots kulit rusanya sebentar. Mereka harus cepat sampai sebelum malam semakin larut. Menurut legenda, banshee adalah semacam minion dari Undine yang biasanya ditempatkan di tempat-tempat kesayangan Undine untuk menjaga tempat itu dari jamahan karat dunia, manusia. Karena itulah banshee akan membunuh siapapun yang memasuki wilayahnya. Dan dia yang mendengar jeritan banshee, adalah dia yang diberi peringatan untuk segera meninggalkan rawa, atau mati.
Karena melangkah tergesa-gesa, Gabe tergelincir dan jatuh ke genangan gambut. Percikan air berlumpur memandikan mantel pengelananya, dan wajahnya yang tampan ikut ternoda lumpur.
“Ayo, teman!” Jake tergesa, menarik lengan Gabe untuk mendukungnya berdiri sehingga bisa kembali bergerak.
Jake tidak lagi gengsi menyembunyikan nafas Aethernya sehingga kabut-kabut biru di sekitarnya kini dipenuhi pantulan warna pelangi dengan dominan merah.
Sedikit lagi. Sedikit lagi.
Gabe tidak berani membayangkan apa yang harus dia lakukan saat banshee itu muncul di hadapan mereka secara tiba-tiba. Terus terang, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apapun yang ia tahu mengenai menghadapi banshee hanyalah berdoa, karena menurut legenda, banshee tidak bisa dibunuh. Mereka sudah mati.
Bila Jake harus mati di sini, Gabe akan menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Ya, sebaiknya itu yang dilakukan. Jake tidak pernah peduli pada hidupnya. Dia selalu mengatakan bahwa mati itu bukan masalah besar, dia selalu bisa lahir kembali dan hidup mulai dari nol. Mungkin dengan sosok lain, orangtua lain, kehidupan yang lain. Tapi Gabe tidak tahu bila manusia biasa mati apakah tetap bisa bereinkarnasi seperti Ancient Soul. Ia tidak bisa mengambil risiko ikut mati bersama Jake. Ia dan Jake itu berbeda.
Keluar dari kepungan semak berlukar dan pepohonan rawa yang kering, mereka sampai di penghujung rawa. Tidak ada lagi semak lebat, dan populasi pohon sudah mulai jarang. Mereka sudah berhasil melintasi rawa.
Dan di sana, berdirilah sesosok wanita cantik dengan kulit sebiru kabut, rambut putih tergerai seperti semak liar. Matanya merah membara menatap mereka dengan dingin.
“Sial!” Gabe meludahkan kata-kata itu, jantungnya berguncang dengan debaran hebat. Ia masih cukup rasional untuk mengetahui bahwa crossbow tidak bisa melukai banshee sampai membunuhnya. Tapi dia tidak punya senjata lain di tangan kecuali belati kecil yang lebih menyerupai hiasan, simbol anggota keluarga Feux.
Jake mengangkat tangannya untuk Gabe agar temannya itu tetap tenang. “Santai, aku bisa mengatasi ini.”
“Jake, kau tahu apa kata mereka tentang banshee, kan?”
“Mereka tidak bisa dibunuh.”
Jake meniupkan nafasnya ke sepanjang golok besar di tangannya, kemudian dengan percaya diri maju menerjang sosok wanita itu. “… oleh mortal!”
Banshee itu menghilang secepat ilusi di padang pasir saat golok Jake mengayun melintang di tubuhnya. Ia muncul kembali di punggung Jake, punya kesempatan untuk menghujamkan jari-jarinya ke jantung Jake, mencabiknya dari belakang. Namun Gabe bisa melihat senyum getir di wajah banshee. Dia ingin bermain dulu sebelum makan.
“Eyaahh!!” Jake meraung sambil mengayunkan goloknya. Sepanjang dia mengenal Jake, orang itu tidak pernah berteriak sambil menyerang. Kali ini dia melakukannya.
“Apa kau punya waktu untuk melumuri ujung bolt-ku ini dengan nafasmu?” tanya Gabe, berusaha untuk tidak terdengar. Ia ingin memanah banshee itu seperti yang dilakukannya saat Jake menghadapi lizzardman kemarin. Tapi dia tahu itu akan sia-sia dan hanya akan membuang-buang bolt.
Suara tawa banshee itu terdengar nyaring menikmati ketidak-mampuan Jake untuk melukainya. Tapi Gabe tidak bisa melakukan apapun dan itu membuatnya frustrasi. Ia mengambil buku catatan dari ranselnya dan mulai menulis.
“Bila anda menemukan mayat kami berdua di sini, kami adalah Gabriel Feux dan Jake Lancer. Mohon kembalikan mayat kami ke alamat di bawah ini …”
Tebasan Jake akhirnya menyayat sebagian kecil dari rambutnya, rambut yang menyerupai ranting semak itu jatuh dan menguap seperti biang es. Banshee tidak lagi bermain-main, ia mulai serius sekarang. Tetap dengan strateginya, muncul-menghilang-muncul di punggung.
Tapi Jake mulai terbiasa dengan gerakan yang tertebak itu, dia mengayunkan lengannya dengan lebar, menebas dada banshee, namun tidak fatal.
Sesuatu tampak berlubang di dada banshee, ada lubang menganga yang memberi ruang bagi asap putih untuk mengalir keluar. Seperti lubang bocor yang dilalui asap deras.
“Kau Ancient Soul, ya?”
Jake menyeringai, menahan nyeri di tangannya. Sedikit lagi dia akan mengalahkan banshee ini dan semua teror ini akan berakhir! “Ya, kita berbagi nafas yang sama.”
“Dan nafasmu merah … kamu adalah dia yang diberkati Ifrit.”
Jake tidak menjawab, tetap waspada mengawasi gerakan banshee. Dia bisa melakukan apa saja secepat angin berembus.
“Kamu tidak boleh menyeberang.” Kata banshee itu.
“Kenapa? Karena ini wilayahmu?”
“Hah, kau sudah tahu alasannya tapi masih nekad. Kamu mau melawanku?”
“Hal itu tidak pernah terlintas dalam benakku. Tapi aku hanya ingin ke Hoffenburg. Ancaman yang sesungguhnya akan datang setelah aku.” Kata Jake.
“Siapapun adalah ancaman.” Banshee itu menganggap dirinya sudah selesai memperingatkan, dia mengangkat tangannya, memerintahkan semak berlukar tumbuh di sekitar Jake.
Ayunan-ayunan kuat dilepaskan Jake agar sulur-sulur tanaman rawa yang akan melilitnya ini tertebas. Tapi ditebang satu, bercabang dua hingga empat. Jake berguling pergi untuk menghindari area itu, namun segulung air dari genangan naik untuk menyelimutinya, mencoba menenggelamkannya di dalam bongkahan bola air.
Bola air lumpur itu meledak jadi serpihan dan seberkas uap air naik ke langit. Sekali lagi Jake berseru saat melepaskan tebasan udara terbakar dari golok raksasanya. Ia terus bergerak, menebas dengan goloknya. Sadar penuh situasinya saat ini adalah agar terus dapat hidup, ia harus membunuh si banshee. Pada akhirnya, dia juga sama seperti Gabe.
Banshee itu nyaris terpenggal sebelum dia menghilang dan muncul kembali di atas pohon.
“Hmm … ya. Membunuhmu merupakan pekerjaan berat. Andai aku tahu siapa kau di zaman era para Dragon.”
Ujung golok Jake kini beristirahat menyentuh tanah becek, gagangnya sudah dicengkram erat oleh kedua tangan Jake. Ujung mantel pengelana yang dikenakan pemuda itu sudah basah oleh air lumpur, tetes-tetes air turun dengan sabar di ujungnya. Mantel itu tersingkap ke belakang punggung untuk mempermudah pergerakan Jake, menampakkan pelindung dari kulit yang terpasang di badannya.
Banshee itu melesat ke arahnya, Jake melihat jari-jari tangannya bergerak, kuku-kuku setajam silet itu bersiap untuk mencabik jantungnya lepas dari tubuh. Walau tertutup pakaian pelindung, namun Jake yakin itu bukan masalah besar bagi banshee. Pada jarak yang pas, Jake mengayunkan goloknya hanya untuk menembus hidung banshee. Ia hanya memukul kabut. Terasa di dadanya, sesuatu menghantam keras, Jake mampu mendengar suara armornya berkerat robek oleh sesuatu yang tajam.
Banshee itu kembali menghilang, meninggalkan lubang di baju pelindung Jake. Kemeja hijau muda yang dikenakan Jake dibalik pakaian pelindung itu ikut robek, dan ada garis merah pada permukaan kulit dadanya, jejak cakaran banshee.
Sadar nafasnya yang menempel di golok sudah habis, Jake cepat-cepat memperbaruinya. Namun selagi dia meniupkan nafas pada ujung goloknya, sesuatu masuk ke dalam tubuhnya. Sesuatu yang dingin, masuk dan menyelimuti jantungnya yang berdetak gugup.
Jake menjerit, merasakan sensasi dingin hingga golok terlepas dari genggaman tangannya. Selimut dingin itu mendapatkan jantungnya, mencengkramnya erat seperti tali yang membungkus batu. Tangan dingin itu bisa meledakkan jantungnya sekarang bila dia mau, tapi tangan itu mencoba menarik jantung itu lepas dari pembuluh darah yang menyangganya. Jake menjerit semakin keras, raungannya naik ke langit, seperti mengadukan rasa sakitnya ke seseorang di angkasa.
Seseorang mengambil golok itu dan mengayunkannya tanpa basa-basi. Seiring meredanya rasa sakit yang diderita Jake, jatuhlah sebuah kepala ke atas lumpur. Mulutnya masih menyeringai seakan tidak sadar dirinya sudah mati.
Perlahan selimut dingin di jantung Jake menghilang, kemudian lenyap. Rawa kembali sunyi, dan perlahan kabut biru yang menyelimutinya menipis. Seperti asap dari api unggun yang dihisap masuk kembali ke dalam arang kayu yang terbakar.
Kedua pemuda itu membiarkan tubuh mereka kembali merasakan lelah. Situasi sudah aman sekarang.
Jake menaikkan ibu jarinya, salut pada teman yang telah menyelamatkan nyawanya. Tapi setelah kabut biru itu kembali pada kadar normalnya, seluruh hutan bisa mendengar jeritan kemarahan wanita yang melengking nyaring.
Selintas cahaya merah masuk ke tubuh Gabe, seperti hendak menyerangnya dan meledakkannya dari dalam. Gabe berteriak kesakitan sampai melepaskan golok yang sedang dipegangnya.
“Gabe!” Jake cepat-cepat menolong temannya.
Gabe masih sadar, dia membuka benik-benik emas kemejanya yang mahal, lalu membuka kemeja putih di dalamnya. Ada bilur ungu di area jantungnya.
“Ap-apa yang terjadi, Jake?”
Jake menggeleng. Ia bisa merasakan energi dendam dari sana, “bukan sesuatu yang baik.”
“Aku merasa … dingin.”
“Ayo cepat, Gabe. Hoffenburg di depan mata. Bertahanlah!” Jake melingkarkan lengan Gabe pada bahunya lalu membantu temannya berdiri. Golok bagus yang tergeletak di rawa itu tidak dilupakannya. Bahaya sudah lewat, namun malam ini belum aman.
Dan Kia membuka matanya.
Disclaimer : artwork "Banshee" by ChrisCold (DeviantArt)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top