Lima Ratus Tahun Lalu di Hoffenburg...
Angelo di Benedito sudah menanti Ignus kembali di tepi sebuah kawah yang dibentengi oleh dinding angin badai. Sebuah tenda sudah berdiri di sana, dan pria berambut pirang yang panjangnya sampai ke pantat itu sedang duduk menikmati teh hangat yang dia seduh dari panas yang keluar dari telapak tangannya sendiri. Di Benedito telah mencoba untuk menyalakan api unggun, namun pilar badai di dekat mereka selalu berhasil memadamkannya.
"Ah, Ignus. Kau kembali bersama kunciku." Sambut di Benedito.
"Salah satu kunci, Tuanku," jawab Ignus.
"Jadi aku masih belum bisa masuk ke dalam?" tanya di Benedito dengan tidak sabar.
Disertai gelengan kepala, Ignus menjawab, "belum. Anda butuh dua kunci, kunci pertama akan tiba saat matahari terbit."
"Kenapa tidak bilang daritadi? Aku bisa tidur sebentar kalau tahu ada dua kunci."
"Maafkan aku, aku tidak menyangka kalau ternyata keempat orang itu memilih untuk berpisah di tengah jalan sehingga mereka akan datang ke sini dalam waktu yang terpisah." Kata Ignus penuh penyesalan.
"Ya sudahlah, aku tidur dulu," di Benedito menegak habis teh hangatnya. Sambil menepuk lengan Ignus yang tingginya sekepala dirinya, di Benedito berkata, "bangunkan aku bila mereka sudah lengkap semua."
Ignus menunduk hormat dan di Benedito pun masuk ke dalam tendanya untuk menginstirahatkan matanya yang sudah terasa berat.
"Turunkan gadis itu dan masukkan mereka ke tenda yang terpisah. Jaga dengan ketat!" perintah Ignus pada para tentara bayaran, dan mereka melakukannya.
Gelapnya malam tampak cukup benderang akibat permukaan salju yang menumpuk di sekitar mulut kawah. Suara keras bergemuruh yang ditimbulkan oleh pilar badai itu membuat mereka harus saling berteriak untuk berkomunikasi sekalipun jarak hanya berkisar satu meter saja. Beberapa dari mereka memasang penyumbat telinga, khawatir bahwa suara dari pilar badai itu akan membuat pendengaran mereka rusak.
Sementara para tentara bayaran mengobrol santai sampai mereka terlelap, Ignus masih terjaga. Berdiri di tepi perkemahan yang baru, menatap ke selatan bagaikan patung batu.
Dia menunggu dan menunggu. Orang yang melihatnya mengira Ignus tidur sambil berdiri karena dia tidak bergerak sedikitpun.
Beberapa menit sebelum matahari terbit di timur, sebelum langit terang mengusir kilauan bintang-bintang di langit, dua orang muncul dari balik pepohonan hutan yang lebat. Mereka terus berjalan mendekat sampai tiba di hadapan Ignus.
"Selamat datang kembali," sambut Ignus, dia memincingkan matanya melihat ada sesuatu yang terjadi pada Jake, "kenapa matamu?"
"Bukankah kamu seer? Kenapa kamu bertanya?" tanya Jake dengan ketus.
Ignus menggelengkan kepala. "Kukira untuk seorang ahli pedang hebat sepertimu, gladius saja sudah cukup untuk menghadapi lizzardman itu."
"Hahaha! Tentu saja. Bila yang kau letakkan di sana adalah semacam Zweihander atau pedang lain yang lebih kuat lagi, pasti lizzardman itu sudah kalah sebelum Jane memutuskan untuk mengambil pedang itu. Jenius!" puji Jake.
"Padahal menurut perhitunganku, kau hanya kehilangan darah."
"Oh ya, mungkin perhitunganmu kurang bagus."
"Yah, pokoknya, kita semua sudah berkumpul di sini sekarang," kemudian Ignus menatap Jane, "terima kasih sudah membawa kuncinya."
"Bisakah aku tidur sekarang?" bila Jane tidak mengantuk saat ini, dia akan ribut mempertanyakan apa yang dia maksud dengan kunci.
Ignus menyentuhkan telapak tangannya ke kepala Jane. Namun terlebih dahulu gagang gladius yang telah patah di tangan Jake menahan tangannya.
"Mau apa kau?" tanya Jake dengan tatapan tajam pada Ignus.
Ignus menjelaskan, "otaknya butuh penyegaran setelah perjalanan jauh berjalan kaki selama dua puluh jam lebih, belum lagi tekanan psikologis karena sekarang ada empat jiwa bersarang dalam tubuhnya, ..."
Jake menarik kembali tangannya, mempersilakan Ignus untuk menyentuh tangannya ke dahi Jane. Ada cahaya kebiruan di antara telapak tangan dan dahi gadis itu, berpendar sesaat. Pada ujung sinar, tampak sedikit garis-garis pelangi. Cahaya itu seakan berputar dan mengelilingi kepala Jane, lalu masuk ke dalam.
Jane merasakan seperti ada air terjun yang menyegarkan jatuh menimpa seluruh tubuhnya dari kepala sampai ujung kaki, dan hilanglah semua perasaan lelah yang dia rasakan sejak tadi. Kakinya yang kesemutan dan pegal-pegal, sekarang seperti baru saja diangkat dari air hangat.
"Aku merasa seperti ... segar. Apa yang terjadi?"
"Dia memandikanmu," jawaban Jake itu tentu saja membuat Jane terperanjat.
"Sebenarnya bisa dibilang begitu sih. Tapi tolong jangan terlalu dipikirkan, nona, dia akan semakin sering meledekmu nanti." Kata Ignus, memperingatkan.
"Kamu memang ...," kata Jane, kesal dan gemas. "Awas kalau kamu datang bulan nanti, aku hajar kamu!"
Ignus tertawa, mengakibatkan lipatan di pipinya terlihat dalam "perumpamaan bagus untuk menyebut hari bulan Indigo, aku suka itu."
"Apa yang kita lakukan di sini sekarang?" sergah Jake dengan sangat serius. "Bersiap untuk acara pemakaman?"
"Bisa dibilang begitu. Apa kau sudah siap?" tanya Ignus dengan wajah yang setengahnya tersembunyi dibalik bayang-bayang kerudung pakaiannya.
"Apa maksud ini semua?" tanya Jake sekali lagi.
"Maksudku hanya mengantarkan tuanku Angelo di Benedito untuk mendapatkan Dragon pasangannya yang selama ini tersimpan di Hoffenburg. Kastil yang sudah seribu tahun lamanya terpenjara dalam dinding badai es yang abadi ini. Besok adalah hari terakhir bagi kita untuk dapat membuka dinding salju ini, sebelum semua arwah di Hoffenburg tertidur selamanya, dan kutukan menjadi keabadian," kata Ignus.
"Apa harus ada aku yang memancingnya ke sini?" nafas Jake mulai terdengar berat. Bibirnya sedikit terbuka menampakkan salah satu gigi taringnya.
"Banyak cara, sebenarnya. Tapi, kalau kamu keberatan dilibatkan dalam masalah ini, kenapa kamu masih membawanya kemari? Bukankan dulu kamu sudah diperingatkan?" tanya Ignus.
Jake berhenti bertanya-tanya, walau masih merasa kesal. Mau bagaimanapun juga semua ini kesalahannya, semua rencana yang dia pikir brilian itu jadi hancur lebur gara-gara dia lupa akan sesuatu yang sangat penting.
"Tapi kalaupun kamu tidak pernah ke Hoffenburg, nona ini tetap akan datang ke Hoffenburg, dan di Benedito tetap akan mendapatkan Warognya." Ignus berpaling pada Jane. "Jadi marilah kita simpan dulu sikap permusuhan di antara kita, pada saat ini ada sesuatu yang lebih penting yang harus kita selesaikan."
Mengikuti tatapan Ignus yang terpaku pada Jane, Jake mendapati kilau sinar keemasan itu kembali tampak di matanya. Seketika gadis itu kembali menjadi orang lain. Wajahnya berubah menjadi tegar dan posturnya menjadi tegap seakan dia memiliki bahu yang bidang. Berjalan seakan menggunakan pakaian besi yang berat, dia melangkah mendekati pilar badai.
Ignus mengikutinya, karena Ignus mengikutinya, Jake pun mengikutinya. Melihat tiga orang itu bergerak menuju pilar badai, beberapa anak buah klan Brotherhood yang melihat mereka juga ikut dengan penasaran.
Udara bergerak dengan cepat, menderu dengan galaknya. Jubah petualang Jake yang sudah robek di beberapa bagian itu berkelebatan dengan liar karena pergerakan angin yang sangat kuat. Dan kerudung di kepala Ignus tersingkap, menampakkan wajah seorang pria berambut hitam kecoklatan yang bermata dalam. Kini setelah melihat dari jarak dekat, Jake tidak merasa ragu lagi bahwa orang itu memang adalah ayah angkatnya, Caesar Dupont.
"Jadi memang kau, Caesar," ujarnya setengah berteriak karena bisingnya deruan angin di sekitar mereka.
"Namaku Ignus, Jake," jawabnya.
"Itukah nama aslimu?"
"Bukan sih," katanya lagi. "Tapi aku akan sangat menghargai bila kau sebut aku Ignus."
"Aku tidak punya waktu untuk bermain-main! Apa maksud ini semua? Sebentar kau dipihakku, sebentar di pihak Benedito. Sebenarnya apa yang kau inginkan?!" mereka berhenti berjalan mengikuti Jane.
"Tidak bisakah kita tunda dulu sesi tanya jawabnya? Lihat, pacar barumu sedang kesurupan di sana," kata Ignus.
"Dia bukan pacarku!"
Ada perubahan haluan angin yang terasa dengan jelas, perlahan-lahan angin itu menyatu dan berpusar di suatu titik dimana cahaya dibalik dinding badai itu berada. Semua embusan udara dingin itu berkumpul membentuk bola raksasa mengelilingi cahaya merah yang menyala dan meredup di tengah pilar badai tersebut. Perlahan-lahan bola udara dingin itu masuk seperti terhisap masuk ke dalam cahaya itu hingga bersih.
Tampaklah sebongkah bola merah dengan kilau cahaya merah yang meredup dan meredam seperti sedang bernafas, melayang di tengah kawah besar. Badai sudah tersibak, Jake dan para anggota klan Brotherhood lainnya bisa melihat apa yang selama ini disembunyikan oleh dinding badai itu; sebuah kota besar dengan kastil megah, semua tertutup oleh lapisan es. Jake mendengar anggota klan Brotherhood meributkan apa yang kini terlihat itu dari tepian kawah.
"Selamat pulang kembali, Faolan," tegur Ignus pada jiwa yang sedang merasuki tubuh Jane.
"Jadi ... selama ini kau yang menjaga kastil, Harmin?" bisik Faolan sambil menatap bola berwarna merah itu.
Sesuatu terjadi, angin dingin kembali berembus. Kali ini keluar dari bola berwarna merah yang melayang di atas kawah itu. Orang-orang kembali panik, menunjuk-nunjuk bola merah yang melayang di udara itu. Merasakan sesuatu yang gawat, mereka menghunus pedang, walau mereka tidak yakin, pedang saja cukup untuk melawan sesuatu yang akan muncul ini.
"Bisakah kau pinjamkan sebilah pedang atau apa untuk kugunakan? Sepertinya aku harus setuju dengan mereka, sesuatu yang berbahaya akan muncul," sambil berbicara pada Ignus, Jake menunjukkan pedang gladius yang telah patah di tangannya.
"Oh, Jake, gunakan saja apimu. Kalau itu semua masih kurang, mungkin lebih baik kau mundur dan menonton saja," kata Ignus.
Diejek seperti itu membuat Jake merasa tertantang. "Argh! Siapa yang butuh pedang bodoh buatan manusia?!" dia melempar gladius patah di tangannya hingga terbenam di atas permukaan tanah bersalju.
Angin beku yang keluar dari bola merah tadi kini membentuk sesosok makhluk raksasa setinggi empat meter. Kepalanya bulat, badannya bulat, dengan sepasang tangan menyerupai pilar penyangga istana di Detteroa, dan sepasang kaki yang kokoh. Sosok itu punya rahang yang sangat besar dan bola itu terpendam di dalam dadanya, tempat dimana jantung berada di dalam anatomi tubuh manusia. Makhluk itu mendarat di tepian kawah, menghalangi rombongan manusia di dekat perkemahan untuk masuk ke dalam kastil Hoffenburg.
Terdengar suara menggelegar dari langit, "Faolan? Itukah kau?"
"Hampir seribu tahun kita tertidur, sudah hampir saatnya kita kembali, Harmin," kata Faolan pada sosok itu.
"Hampir seribu tahun?" tanya suara menggelegar itu. "Tidak, aku masih terbangun saat itu terjadi, dan saat itu baru lima ratus tujuh tahun."
Mata Ignus tidak berkedip, seakan dia melihat sesuatu yang lain selain dari apa yang terlihat seharusnya. Memori Harmin muncul dan semua terlihat jelas oleh Ignus, dia menyampaikannya pada Jake...
Calaborne Mecius adalah seorang pengelana yang bersemangat. Sejak muda dia sering bermimpi tentang Dragon dan sebuah kerajaan bernama Conisia. Begitu menarik mimpinya itu sehingga dia menuliskannya semua ke dalam naskah dan hendak menerbitkannya dalam bentuk cerita. Namun para penerbit menolaknya karena dinilai terlalu berat sebagai cerita anak-anak, dan tidak menarik untuk pembaca dewasa. Akhirnya ceritanya itu tidak pernah terbit dan berdebu di dalam kontainer kayu di sudut kamarnya.
Tapi Mecius tidak pernah berhenti menikmati mimpinya. Bahkan setelah dia menjadi ahli dalam membuat roti, dia masih terus bermimpi. Dia bermimpi tentang sebuah tempat yang terkutuk es dan salju, sebuah tempat dimana ada kastil ambruk ke dalam kawah dan para pahlawannya dipenggal.
Suatu hari, Mecius melewati tempat orang menjual lotere, dan untuk sebab yang tidak dia ketahui, dia tahu bahwa angka yang akan muncul sebagai hadiah utama itu ada di balik jubah si penjual lotere.
"Aku mau beli tiket di balik jubahmu," kata Mecius.
"Ini?" penjual lotere itu mengeluarkan tiket yang telah basah karena jatuh ke comberan saat hujan turun. "Ini tiket rusak, pertanda sial. Kamu masih mau beli?"
"Aku beli, berapa harganya?" desak Mecius.
"Ambil saja. Tidak akan ada yang mau benda ini dan setelah aku pulang nanti juga akan kubakar dalam perapian." Kata si penjual lotere. Mecius mengambilnya dan datang kembali pada saat hari penarikan lotere itu tiba. Tiket Mecius memenangkan hadiah pertama dan dia mendapatkan cukup banyak gold untuk menunjang hidupnya sampai 7 turunan.
Mecius berhenti dari pekerjaannya sebagai penanak roti dan menjual rumahnya. "Mulai hari ini, rumahku adalah Adamos dan atapku adalah awan!"
Mecius mulai berkelana mengikuti kemana nalurinya membimbing, dan sepanjang jalan, dia masih terus bermimpi. Setiap ada persimpangan mencurigakan, dia menghindarinya tanpa mengetahui bahwa di sana ada rombongan beast menunggu untuk menjerat manusia untuk diambil darahnya atau ada rampok yang menginginkan uangnya.
Lambat laun dia menemukan suatu tempat di pantai utara. Pada saat itu malam bulan Indigo, Aether menyurut sehingga ilusi yang menyelubungi tempat itu memudar, menampakkan padanya jalur garam menuju sebuah tempat di dasar laut. Mecius menuruni tangga garam itu dan sampai pada sebuah tempat yang mirip seperti taman surgawi. Di desa Pamuyan Utara itulah, dia mengetahui bahwa dirinya adalah seorang seer.
Warga Pamuyan Utara itu mengajarinya cara bernafas Aether. Namun karena bukan jiwa purba, Aether yang bisa dihirupnya tidak seberapa banyak. Mecius sangat tertarik dengan ilmu tentang core, kristal sihir yang berwarna coklat keemasan pada kondisi mentahnya. Berbeda dengan kristal sihir biasa yang mampu menyimpan Aether dan warna Aether, core biasa digunakan oleh seorang nekromancer untuk menyimpan jiwa. Setelah bersumpah untuk melakukan hal yang baik dengan segenap pengetahuan yang dimilikinya, suku Pamuyan Utara itu melepaskan dia untuk kembali ke Barbandia.
Kembali ke Barbandia, Mecius tidak berubah. Dia masih seorang petualang bersemangat, namun dia lebih mengenal siapa dirinya dan lebih berpengetahuan di dalam bidangnya. Mecius menemukan bahwa mimpinya mengenai tempat terkutuk itu adalah Hoffenburg dan pergi ke sana. Dia berdiam di sana selama beberapa tahun dan menuliskan pengalamannya dalam buku catatan. Dalam suatu halaman, dia menulis, "di tempat terkutuk ini, aku menemukan kedamaian dan ketenangan. Andai bisa hidup di sini selamanya, aku akan menjadi sangat senang sekali."
Namun saat berjalan-jalan di kawah untuk mempelajari lebih dalam tentang Hoffenburg, dia menemukan relik Warog dan melihat di masa depan, orang-orang akan berdatangan untuk mencoba bersatu dengan Dragon itu. Satu demi satu, orang datang dan tubuhnya meleleh karena bukan pasangan Warog. Namun seseorang akan muncul tepat sebelum semua arwah di Hoffenburg tertidur selama seribu tahun, dan dia adalah pasangan sejati Flame Dragon Warog.
Mecius segera melakukan sesuatu, dia harus membentengi tempat ini, tidak ada yang boleh masuk. Maka dia menciptakan Banshee di rawa utara Hoffenburg dan menutup jalan masuk ke wilayah tersebut.
Dia mengambil jiwa Harmin dan memasukkannya ke dalam core, dan kepada golem itu dia memerintahkan, "bunuh semua yang ingin masuk!"
Harmin kembali tertidur, dan sejak itu pilar badai bertiup mengelilingi kastil Hoffenburg.
Seakan menangguhkan penglihatan Ignus barusan, Harmin berhenti bercakap-cakap dengan Faolan. Dia terlihat terguncang seakan sesuatu menghanguskan kesadarannya. Raungan keras dilepaskan oleh Harmin dan tangannya yang besar itu menghajar permukaan tanah dimana Faolan dalam tubuh Jane berdiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top