Kia and Jane
Jane sangat bersyukur ketika membuka mata, dia masih bisa melihat perhutanan yang disusupi sinar matahari yang baru terbit beberapa jam lalu. Burung-burung kecil berkicauan di atas, dan ia masih bisa mendengar suara seseorang mengasah besi. Suara gemerincingnya terdengar nyaring.
Teringat kembali pada seorang suku kanibal yang bersamanya semalaman, Jane segera terjaga dan memastikan jarak antara dia dengan gadis suku tradisional itu cukup jauh.
"Pagi ..." sapa gadis berkulit kemerahan itu, ia sedang membersihkan belatinya.
"Euhh ... pagi. Apa yang kau lakukan?"
"Ini kebiasaan suku Pamuyan. Setiap pagi belati harus selalu diasah sebelum mulai berburu."
Untung aku bangun pada saat yang tepat, sebelum dia menyembelihku, pikir Jane. "Oke, jadi, rencananya mau berburu apa?"
"Kurang tahu. Aku berencana untuk ke utara, bila dalam perjalanan aku menemukan sungai, aku akan mencoba menangkap ikan," jawab Kia.
"Kau akan bepergian ke utara?" sebenarnya Jane mulai tergoda untuk mengajak Kia untuk pergi bersama dengannya ke Detteroa, karena mereka sama-sama sedang pergi ke utara. Tapi setiap kali dia teringat bahwa suku Pamuyan Selatan adalah suku kanibal, niat tersebut diurungkannya rapat-rapat.
"Sebenarnya tidak ada tujuan pasti juga, tapi aku tidak ingin berada di sini dulu. Aku baru melarikan diri dari perkampungan kemarin, teman-teman dan keluargaku pasti sedang mencariku sekarang," gerakan mengasahnya menjadi semakin pelan, Kia lalu meletakkan belatinya. "... aku tidak ingin ditemukan."
"Kenapa kau melarikan diri dari perkampunganmu?"
"Karena, ..." Kia berhenti berbicara, ia tidak ingin membicarakan masalah Suku Pamuyan selatan, apalagi dengan orang yang berasal dari Koloni Gazawa.
"Oke, itu urusan pribadimu. Aku paham. Aku tidak akan bertanya lagi."
Mungkin gadis itu membaca sesuatu dari Jane Rodinger, mungkin karena Jane sejak kemarin menghindari kontak mata, atau mungkin dari suaranya sudah tergambarkan perasaan takutnya terhadap atribut pakaian yang dikenakan Kia. Yang pasti Jane merasa takut terhadap Kia, dan anak suku Pamuyan itu bisa membacanya dengan jelas.
"Ada sedikit perselisihan antara aku dan ayahku. Dan kurasa aku tidak seharusnya berada di sana ... setidaknya untuk saat ini," kata Kia, Jane hanya meliriknya sesaat sebelum kemudian mengalihkan tatapannya sekali lagi dengan rasa takut.
Kia melanjutkan, "aku tidak bisa membunuh."
Ucapan itu bagai air es yang mengguyur Jane. Seakan ada sebuah tamparan yang menghantam wajahnya, memberitahu gadis itu bahwa apa yang dia pikir sejak semalam itu salah sama sekali.
"Kau tahu, sebagai suku pedalaman, kita hidup menyatu dengan alam. Pada hari ini alam memberi kita makan, dan suatu hari kita akan mengembalikan semuanya kepada alam. Tapi aku tidak tega menghujamkan anak panahku ke jantung rusa. Aku tidak bisa."
"Jadi ... hanya gara-gara itu kau meninggalkan kampung halamanmu?" tanya Jane dengan hati-hati, masih belum percaya sepenuhnya.
"Yah," jawab Kia singkat. Dia khawatir bila mengucapkan sejujurnya tentang peperangan yang direncanakan sukunya terhadap bangsanya Jane, hal itu tidak akan berujung baik demi mereka berdua. Jane bisa saja pulang dan melaporkan apa yang akan terjadi dan sukunya akan terancam bahaya. Kadang bohong itu perlu.
Kia merogoh dibalik tumpukan daun di sekitar api unggun yang sudah padam, dan dia menemukan sepotong ubi liar yang telah mendingin. "Ubimu masih utuh, kau tidak lapar?"
Manusia dan binatang itu sama, manusia hanya memiliki lebih banyak akal daripada binatang. Dulu pernah, anak panah Kia hanya melukai kaki belakang seekor babi hutan. Babi itu tidak mati, hanya lumpuh. Ayah menyuruh Kia untuk menyembelihnya sebelum dibawa pulang. Melihat air mata si babi hutan, Kia ingin menolak perintah ayahnya.
"Sembelih, Kia. Babi itu sudah diberikan alam untuk kita. Kelak kita juga, akan mengembalikan semuanya kepada alam." Tegur ayahnya.
Ini bukan kejadian yang pertama, dulu pun pernah seperti ini, anak panah tidak membunuh, dan Kia harus menyembelih buruannya. Pertama kali melakukannya, Kia tidak bisa tidur dan tidak bisa makan. Ia mampu mendengar kakaknya berbicara di luar tenda, "apa kubilang, anak perempuan tidak seharusnya jadi pemburu."
"Tapi adikmu adalah Mesiah. Dia harus punya kemampuan perang karena kelak dialah yang akan memimpin kita semua merebut kembali tanah leluhur dari bangsa biadab itu!" sanggah ayahnya.
Untuk pertama kalinya, Kia menolak untuk menghabisi nyawa buruannya. "Tidak, aku tidak mau membunuhnya. Aku menganggap alam tidak mengizinkanku untuk memakannya. Bila panahku meleset, itu berarti pengampunan bagi babi ini."
"Tapi dia akan cacat."
"Aku elementer es, itu berarti aku juga elementer air. Aku akan menyembuhkannya dan memberinya kesempatan hidup sekali lagi."
Kia membawa babi itu pulang dan mengobatinya. Dalam sekejap, air telah menyembuhkan luka di kaki babi tersebut, namun sebelum melepasnya kembali ke hutan, Kia hendak memberinya makan agar babi itu punya kekuatan.
Hanya tumbukan ubi yang dicampur dengan bumbu-bumbu yang ditanam oleh para ibu di perkampungan Pamuyan Selatan. Babi harusnya suka dengan makanan seperti itu, namun kehadiran Kia membuat si babi takut. Babi itu mundur sampai ke pojok ruangan dan mengeluarkan suara rintihan seakan memohon nyawanya diampuni.
Kia berjongkok untuk membuat dirinya tidak terlihat mengintimidasi, "kemarilah, aku tidak akan menyakitimu, kemarilah..."
Awalnya babi itu menjerit semakin kuat, maka Kia mundur sejenak hingga si babi tenang. Namun tidak meninggalkannya agar si babi terbiasa dengan kehadirannya. Setelah menanti dengan sabar, Kia menghampiri babi itu dengan hati-hati, mencoba untuk menawari makanan sekali lagi.
Babi itu sudah lebih tenang dibandingkan tadi, namun matanya masih terus mengawasi Kia. Ia mampu menangkap rasa takut yang bergulat dengan rasa percaya dari mata babi itu. Mungkin dia begitu lapar sekaligus takut pada manusia ini.
Jane seperti babi itu, persis. Seakan Kia adalah sosok menyeramkan yang mengancam keselamatan jiwanya sehingga diberi makan pun membuat Kia jadi begitu mencurigakan. Seperti babi itu, Jane dengan ragu mengulurkan tangannya untuk mengambil ubi di tangan Kia.
Pada saat Jane mendapatkan ubi itu di tangannya, ia mulai bisa tersenyum sekalipun canggung. Tanpa peduli malu, Jane melahap ubi itu hingga belepotan di bibirnya yang merah dan kedua pipinya menggembung penuh seperti tupai yang bersiap untuk hibernasi. Kia tersenyum menahan tawa, melihat betapa rakus Jane melahap makan paginya. Terlebih karena kedua matanya bergerak dari Kia ke ubi, dan kembali lagi ke Kia. Dia memang sangat lapar rupanya. Setelah menghabiskan ubi itu dengan sangat cepat, Jane tersedak dan panik mencari-cari air. Kia menyerahkan kantung air yang telah diisinya tadi pagi saat Jane masih pulas, dan Jane meneguk seluruh air di dalam kantung air itu dengan bernafsu.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari?" tanya Kia, mencoba bersahabat.
Jane mengeluarkan suara lega karena perutnya sudah terisi dan kerongkongannya sudah basah. "Menghindari pernikahan," jawabnya. "Ayahku baru saja meninggal, setelah merebut semua harta warisan dari ayah, kakakku ingin menjodohkanku dengan orang berpengaruh di kolonial. Agar posisinya aman di neraka tersebut, dan agar dia tidak berubah menjadi penambang."
"Oh begitu ..."
"Kau pasti berpikir bahwa aku ini bodoh, bukan? Tidak masalah. Terserah kamu mau berpikir apa tentangku, tapi aku tahu apa yang kulakukan. Aku tidak mau menikah dengan orang itu, apalagi hanya untuk kesejahteraan Allan yang merampas semua harta ayah tanpa membagi sepeserpun untukku!"
Kia tersenyum mendapati sifat asli Jane yang banyak bicara dan omongannya ke mana-mana. "Menuruku kamu tidak bodoh," kata Kia. "Menurutku kau sangat berani dan tangguh."
"Benarkah?"
Kia menganggukkan kepala, "aku tahu Kolonial letaknya jauh di selatan, dan untuk menyeberang sampai ke sungai Rajan pun sangat sulit karena angin kencang yang bercampur debu, tidak banyak air sepanjang jalan, dan cuacanya juga tidak sesejuk daerah Rajan. Bila kamu tidak seberani itu untuk membela dirimu sendiri, kurasa kamu sudah menyerah dan pulang untuk menikah dan hidup enak. Apalagi melihat betapa menderitanya engkau, kelaparan dan kehausan seperti ini, tapi kau masih tetap berjalan ke tempat yang kau inginkan. Aku tidak bisa menentukan hal lain selain "berani" dari apa yang telah kau lakukan."
Jane Rodinger benar-benar terharu mendengar ucapan Kia barusan. Setelah sekian lama hidup bersama ayah yang cuek dan kakak yang menyebalkan, gadis-gadis bodoh tukang gosip, pria-pria mata keranjang dan monster-monster psikopat, akhirnya seseorang mengatakan sesuatu yang baik tentang dirinya.
"Aku jadi terharu ... sungguh," Jane mengusap matanya sambil tertawa.
"Tidak apa-apa. Kau mau ke utara, kan? Bila kau mau, mari kita pergi bersama saja."
"Apa kau serius? Aku tidak bisa berburu dan tidak membawa uang. Barang-barangku hilang di rawa, aku tidak tahu apakah aku bisa berguna atau tidak dalam perjalanan nanti ..."
"Justru karena itu, sebaiknya kita pergi bersama saja. Aku sendiri tidak mengenal budaya orang utara. Dan kau paham budaya bangsamu, kan? Kita bisa saling menjaga kalau bersama," kata Kia.
"Ya, benar. Baiklah kalau begitu, kita pergi bersama saja." Baru setelah mereka meninggalkan perkemahan kecil mereka untuk lanjut berjalan ke arah utara, Jane memikirkan kejanggalan dari percakapannya bersama Kia tadi.
Gadis itu tampaknya sangat mengenal dirinya dan kehidupannya. Jane tidak tahu apa itu, dan kenapa, tapi gadis ini jelas tahu banyak soal dirinya. Mungkin hanya perasaannya saja. Yah, mungkin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top