Jane Rodinger

Seorang gadis tertunduk di atas pelana kuda yang diberinya nama Saga, mengusap keningnya dengan punggung tangan. Kemeja putih berenda yang dikenakannya basah oleh keringat. Rok panjang warna hijau yang dikenakannya sudah kotor pada bagian ujung bawah, dengan butiran pasir dan debu menempel pada kainnya. Rambutnya panjang sampai ke pinggang berwarna pirang perak, seperti kain mahal yang telah luntur warnanya. 

Dengan busana seperti itu, harusnya dia berada di suatu tempat dimana terdapat banyak pemukiman. Dimana ada orang lalu lalang dengan kesibukan kota atau minimal desa kecil di perbatasan daerah, bukan di tengah padang rumput liar di tempat yang jauh dari pemukiman manusia seperti sekarang ini.

“Maaf, Saga, sabar yah. Mudah-mudahan sebentar lagi kita menemukan sungai,” sambil berbicara, gadis itu menepuk-nepuk leher kudanya yang menggerutu pelan.

“Kenapa aku harus melakukan ini? Kenapa sih aku harus dijodohkan? Ini mengesalkan! Aku hanya seorang gadis, baru 17 tahun. Kenapa aku harus dipaksa untuk menikahi seseorang mengerikan yang tidak kucintai, tidak tampan, tidak menarik, hanya agar posisi Allan brengsek itu aman di Kolonial? Jadi perempuan itu tidak enak!”

Saga, si kuda Tarasvi menggunggam sedikit, sama kesalnya seakan dia hendak menanggapi omelan gadis itu.

“Itulah, Saga. Selain tidak mau menikahi si siluman babi itu, aku tidak mau hidup di antara kaum beast yang bisa membunuh kita kapan saja. Mereka mengerikan! Tapi … kenapa sih Detteroa itu letaknya jauh? Kenapa Detteroa tidak sedekat menyeberang sungai saja? Haruskah kita jalan sejauh itu? Uh aku kesal, kesal, kesal, pokoknya kesal!”

Kuda yang sedang ditunggangi si gadis tersebut mengomel menggelengkan kepalanya sambil mendengus. Kedua telinganya bergerak-gerak seperti tersentil sesuatu berulang kali.

“Aku tahu kau haus, tapi bersabarlah, sebentar lagi kita akan menemukan sungai …” gadis itu membuka gulungan kertas yang rupanya adalah peta daerah. Namun dia tidak tahu bagaimana harus melihatnya. Mana bagian atas, mana bagian bawah, dan apa arti simbol-simbol yang tertera pada peta ini. Karena tidak mengerti juga, dia memeras kertas itu dan menguceknya. “Ahhh!! Allan bodoh! Harusnya dia ikut, aku kan tidak bisa baca peta … kenapa sih orang menciptakan peta? Kenapa kita butuh peta? Kenapa peta sulit dibaca? Dan kenapa mereka bisa membaca peta?!”

Kali ini kuda itu berhenti berjalan. Ia berhenti begitu saja seperti mesin mogok.

“Saga? Kenapa kau?”

Si kuda tetap berdiri mematung.

“Aneh,” gadis itu menepuk-nepuk bahu kudanya, menendang perut kudanya, menarik tali kemudi, bahkan mengeluarkan rangkaian suara-suara agar kuda itu mau berjalan kembali. Tapi Saga yang berbulu coklat kemerahan yang berkilau itu tetap mematung.

“Saga, ayolah jalan, teman, jangan mengambek gitu dong. Kita harus sampai di utara. Tidak ada lagi kawanan minotaur yang meneror kita, tidak ada lagi ancaman kalau telat bayar pajak. Aku mungkin belum pernah ke Detteroa, tapi aku yakin tempat itu jauh lebih indah daripada Gazawa.”

Kuda itu mendengus kesal sekali lagi.

Gadis bernama Jane Rodinger itu turun dari kudanya untuk memeriksa keadaan temannya dari bawah. Namun begitu kedua kakinya mendarat di atas rerumputan liar, Saga, kuda tarasvi yang gagah asal Gazawa itu langsung melonjak dan berputar, kemudian dia berlari sekencangnya kembali ke selatan, persis seperti anak panah yang melesat.

Hanya debu-debu yang naik dari jejak yang ditinggalkan Saga saja yang masih tertinggal baginya.

Sadar dari keterkejutannya Jane mendapati dirinya berada sendirian di sebuah tempat, entah di mana.

Jane mulai menangis tersedu-sedu. Setelah ayah meninggal dunia, dia hanya mewariskan rumah dan ladangnya bagi Allan sang kakak. Dirinya tidak dapat apapun kecuali kandang kuda dan Saga. Kini bahkan Saga pun meninggalkan dia, gadis itu berada di tengah-tengah tanah tak terjamah. Tidak ada jalanan atau jejak, tidak ada post-post peristirahatan sepanjang jalan. Dirinya sengaja menghindari rute umum karena takut berpapasan dengan prajurit kolonial yang akan membawanya kembali ke Gazawa bila sampai ketahuan.

“Siapa sih yang lebih malang daripada aku?! Siapa makhluk di dunia ini yang lebih tegar daripada aku?!! Tuhaan! Bila Kamu ada di atas sana, tolong kirimkan aku ksatria dengan zirah berkilau untuk menyelamatkan gadis cantik malang ini dari penderitaan!!”

Selesai bersungut-sungut dan menggerutu, Jane membersihkan debu dan dedaunan rumput yang menempel pada celananya. Sekalipun sedih, tapi dia tidak punya tujuan lain selain Detteroa di utara. Dia tidak mau mati di tanah asing, tapi mati di tanah asing jauh lebih baik daripada hidup di Kolonial Gazawa. Meninggalkan daerah pertambangan kristal sihir Gazawa sudah menjadi impiannya sejak lama.

Di punggung Jane tergantung tas berbentuk kantung dari bahan kulit kambing gunung, di dalamnya ada beberapa setel pakaian. Ada kain tipis yang membungkus kepalanya untuk menjaga rambut dari debu dan angin. Jane menarik helaian rambut pirang keperakannya itu dan mencoba menyisirnya dengan jari tangan. Kemudian dia mengeluh karena sudah mulai kusut. Ia bersumpah begitu tiba di Detteroa nanti, dia akan keramas tiga hari tiga malam.

Tak lama menjelajahi padang rumput, tampaklah kilauan matahari yang terpantul di atas permukaan aliran sungai. Baru melihatnya saja Jane sudah merasa segar. Gadis itu berlari mendekati sungai, nyaris terharu karena dahaganya bisa terobati.

“Nah kan, ketemu juga sungainya. Saga bodoh, tidak sabaran, tidak tahan banting! Coba dia mau sabar sedikit, dia sudah minum air segar sekarang,” Jane berjongkok di tepi sungai Regan dan menciduk sedikit air ke dalam gelas kayu yang dia ambil diam-diam dari dapur Allan. Gelas kayu itu memang khusus dibawa kemana-mana, karena pada sisi dimana pegangannya berada, terdapat kait dimana tali bisa diikat, agar bisa diselempangkan di tubuh. Biasanya Allan menyelempangkan gelas tersebut di tubuhnya agar saat teman-temannya membagi segentong anggur, dia sudah siap dengan gelas.

Jane minum sepuasnya, menyesali dirinya memutuskan untuk tidak membawa kantung air. Namun kemudian dia ingat bahwa dia tidak membawanya karena kantung itu sudah bocor.

“Wuahhh segar sekali!! Aku jadi bersemangat lagi kalau begini ceritanya!” Jane berseru riang. “Tapi … di depan sana ada sungai lagi atau tidak ya? Ah, kenapa sih sungai tidak bisa dibawa?! Alam ini kejam sekali … tidak praktis!”

Sekali lagi Jane bersungut-sungut panjang mengenai persediaan air, mulai dari sungai sampai kantung air yang bocor, lalu menyesal kenapa terlalu malas untuk menjahitnya. Kemudian dia ingat bahwa saat itu, benang dan jarumnya hilang sehingga kemalasannya pun terdukung. Malas berujung penderitaan, tampaknya siapapun yang menciptakan filosofi itu berhasil membuktikannya sekarang.

“Pokoknya nanti begitu sampai di Detteroa, aku harus bisa jadi orang kaya! 17 tahun hidup dalam penderitaan dan kemiskinan sebagai buruh tani di ladang ayah sendiri itu tidak menyenangkan! Semua harus terbayar dengan menjadi orang kaya! Aku harus bisa jadi orang kaya yang membeli semua rumah di dunia! Tapi bagaimana caranya ya …? Aku kan bukan laki-laki … laki-laki sangat pandai mencari uang … ah, kenapa sih bukan wanita saja yang pandai mencari uang?! Kenapa sih aku lahir sebagai wanita?! Oh ya!! Kalau aku menikah dengan orang kaya, aku bisa tidur dan bersenang-senang, minum teh setiap hari biar suamiku saja yang bekerja keras sepanjang hari. Paling-paling dia hanya minta waktu di malam hari saja. Ya, langkah pertama saat mencapai Detteroa nanti adalah berdandan cantik agar salah satu bangsawan Detteroa tertarik padaku dan menikahiku. Hahaha!”

Berkat impian tersebut, Jane jadi termotivasi. Gadis itu lalu bangkit, menyeberangi sungai Regan, dan melanjutkan ke utara dimana Detteroa berada. Setiap langkah yang ia pijakkan menekankan kesungguhannya terhadap impian besarnya itu. Terbayang sosok pangeran tampan dengan senyum menawan yang akan mengecup punggung tangannya. Dia akan membuat pangeran itu jatuh cinta padanya dan menyerahkan semua harta bendanya. Jane bisa pesta setiap hari, mandi parfum, belanja gaun-gaun cantik, seperti yang selalu dikisahkan dalam surat-surat pamannya di Detteroa.

Ia sengaja menghindari perkemahan suku Pamuyan Selatan di suatu tempat di sekitar sungai Regan, khawatir bila suku biadab kanibal itu melihatnya, mereka akan membunuhnya segera. Betapa beruntung dirinya saat ia tidak melihat sedikitpun tanda-tanda keberadaan suku itu saat melewati sungai Regan siang tadi.

Hari mulai gelap dan perut Jane mulai terasa sakit. Kerongkongannya terasa kering dan keringat membanjiri kening hingga lehernya, mengalir hingga ke perut. Ia kembali merasa haus. Andai dia bisa meminum semua air keringatnya—tunggu dulu, itu menjijikkan. Tidak mungkin ada bangsawan Detteroa yang mau menikahi gadis yang punya kebiasaan seaneh itu.

“Tahu begini aku tetap di Gazawa dan tinggal bersama Saga di kandangnya. Tapi kalaupun aku tinggal di sana, aku tidak punya apapun untuk makan dan minum, semua ladang dan kekayaan ayah jatuh ke tangan Allan!” sekali lagi, gadis itu itu mengomel.

“Oh ya, jangan lupakan kolonel mesum itu! Ugh setiap kali mengingatnya aku jadi merinding geli! Allan bodoh sekali; dia malah menjodohkanku dengan si Berwick beruang gundul itu! Ya, Jane! Langkah yang kau ambil ini sudah tepat! Mati kelaparan dalam perjalanan menuju Pangeran Detteroaku sebagai bukan siapa-siapa di tanah antah berantah itu jauh lebih baik daripada menikah dengan makhluk menjijikkan seperti Berwick!”

Seketika, semangat dan kekuatan yang entah darimana datangnya itu membuat Jane mampu berdiri dengan cepat, menyambar tasnya, menutup mulut dan melanjutkan ke utara.

Angin berderu kencang, mungkin karena areal yang lapang dan landai sehingga udara bebas mengalir dari utara ke selatan. Jane berulang kali menyingkirkan helaian rambut pirangnya yang tersangkut di bibir. Perlahan matahari mulai turun ke peraduannya, saat itu Jane sudah duduk di atas sebuah bukit sambil memijit pergelangan kakinya.

Sepatunya sudah kotor oleh tanah, kini dia tahu kenapa pengelana menggunakan sepatu boots. Dalam hati Jane menyesali kenapa dia tidak mencuri sepatu Allan sebelum meninggalkan Gazawa.

Sejak tadi berjalan, pikirannya dipenuhi oleh imajinasi mengenai Detteroa, dan fantasinya mengenai pangeran tampan. Kini setelah dia duduk diam dan memandangi sekitarnya, Jane merasakan dirinya begitu kecil. Kecil dan bodoh. Apa yang telah dia lakukan? Kenapa dia harus meninggalkan rumah dan pergi sendirian? Bagaimana bila ada maling atau bandit gunung? Bagaimana dia bisa melindungi diri dari hewan buas? Jane bahkan tidak tahu cara membuat api unggun, ia hanya tahu cara membuat lampu minyak menyala.

Air matanya jatuh, melampiaskan rasa gundah dan panik yang disembunyikan. Jane begitu takutnya hingga dia tidak berani berpikir. Ia hanya seekor semut yang melintasi rahang buaya; alam ini bisa mengatupkan mulutnya kapan saja dan lumatlah Jane sebagai makhluk kecil tak berarti.

Dalam keadaan seperti ini, Jane menutup mata dan melipat tangan lalu berdoa kepada Tuhan. Tuhan yang dipercaya oleh kedua orangtuanya, dan oleh Allan juga. Tuhan yang katanya menciptakan langit dan bumi, yang akan menjaga umatNya setiap saat.

“Engkaulah hidup, ke dalam tanganMu, kupercayakan nasibku …” dan seterusnya, doa yang dipanjatkan Jane ke langit; percaya Tuhan sedang mengawasinya dari sana sambil tertawa.

Selesai berdoa membuat hatinya sedikit lebih tenang. Berdoa bisa membuatnya percaya bahwa Tuhan ada, Dia tidak meninggalkannya sendirian. Jane percaya Tuhan tidak akan membiarkannya kelaparan, tidak hari ini. Tak lama lagi dia akan duduk di depan hidangan lezat untuk makan malam. Entah bagaimana caranya.

Gadis itu menelusuri pemandangan sisi utara dengan matanya yang gelap. Padang rumput liar berakhir di sini, setelahnya ada jejeran pepohonan tinggi yang diselimuti kabut. Jane bisa melihat ada kabut setebal awan yang bergerak damai di bawah pucuk-pucuk pepohonan misterius.

Jane pun tersadar, bila ada pohon, kemungkinan besar ada sumber air. Apalagi pohonnya besar seperti itu. Mungkin di sana ada danau kecil, atau kolam. Mungkin malah air sungai lain. Tergerak oleh keyakinannya, gadis itu beranjak dari puncak bukit untuk turun menghampiri hutan berkabut tersebut.

Ketika melihatnya, Jane berlutut, merasa luar biasa lega. Ia ingin tertawa karena rupanya dibalik pepohonan yang dikelilingi kabut ungu kebiruan itu, memang benar ada sumber air. Tapi dia juga ingin menangis karena itu adalah rawa. Air rawa itu menjijikkan, seperti keringat Berwick!

Dia lebih ingin menangis lagi setelah menciduk air rawa itu dan mendapati bahwa airnya berwarna hitam. Hitam! Dimana-mana air warnanya bening di telapak tangan. Minimal hijau atau cokelat karena lumpur dan ganggang. Tapi kali ini warnanya hitam seakan ada berton-ton lumut mati yang mengambang sejak zaman baheula.

“Lucu sekali, Tuhan. Aku ingin tertawa. Jangan-jangan Tuhan itu tidak ada!”

Sambil duduk meletakkan kedua siku tangan pada kedua lututnya, Jane berdiam saja memandangi pemandangan suram di hadapannya. Mungkin karena lelah, mungkin karena haus, atau bosan bersungut-sungut.

Seumur hidup Jane tinggal di dataran tinggi yang tandus tanpa hutan maupun rawa. Ia tahu dimana harus menggali untuk menemukan sumur, dia tahu cara menanam dan memanen jagung. Menunggang kuda itu mudah, tapi rawa … ia hanya pernah membacanya dari buku.

Rawa adalah kolam alami yang sangat luas, dimana udara terasa lembap karena pepohonan menghalangi penguapan air. Ada rawa yang airnya cukup jernih sehingga bisa minum dari sana, tapi rawa yang dia temukan sekarang ini benar-benar tidak punya arus. Kedalamannya mungkin tidak sampai selutut, tapi Jane tidak tertarik untuk menyeberanginya. Dan di pojokan sana, tampak ada tubuh tak berkepala tergeletak.

Tunggu. Apa?

Jane mengucek matanya lalu melihat baik-baik, memastikan dia tidak salah lihat. Di dalam kolam rawa yang berwarna hitam itu, ada sesuatu seperti benda yang terbalut kain kumal. Benda itu sudah mengering seperti kayu lapuk, dan menyembul dari dalamnya, sesuatu berwarna putih.

“Apa itu? Tulang leher?”

Apapun itu, pori-pori di lengan Jane sudah bertimbulan sekarang. Kakinya gemetar mendesak untuk lari dari tempat ini.

Sebelum melakukannya, dia mendengar suara lolongan angin menjelajah pepohonan rawa. Dan dari kabut di hadapannya, ia melihat sekelebat bayangan bersama suara gerutu kuda. Terdengar jauh.

“Saga?”

Hening.

Benar-benar hening. Suara serangga dan katak tidak lagi terdengar.

“Saga?!” panggil Jane sekali lagi, sejenak lupa bahwa kudanya lari ke selatan dan suara itu berasal dari utara. Mungkin dia sengaja lupa, sekedar untuk membuat hatinya sedikit lebih tentram.

Jane sudah lupa dengan penderitaan haus, lelah dan laparnya, ia berdiri untuk melihat sesuatu di balik kabut. Malam ini bulan tidak bersinar di langit, namun kabut itu tampak terang. Seakan awan rendah itu memuat cahaya yang menerangi rawa pada malam hari.

Sesosok melintasi kabut secepat bandul berayun, Jane bisa melihat bayangannya lewat.

Sosok yang tidak jelas, namun jelas dia punya tubuh, dan Jane yakin bahwa sosok itu merupakan seorang pria. Bila ada orang di sini, mungkin Jane bisa mengikutinya. Bila orang itu tinggal di sini, dia punya rumah, makanan dan minuman. Tapi bila orang itu pengelana, dia bisa membawa Jane ke daerah baru.

“Halo?” serunya ke dalam rawa, “siapa di sana?”

Sekali lagi, dia melihat ada yang bergerak di antara kabut, agak jauh, namun masih bisa dicapai bila Jane bergegas. Gadis itu memanggul tas jeraminya dan masuk ke dalam rawa. Pengelana itu mungkin buru-buruk melintas agar sampai di seberang rawa sebelum gelap datang sebentar lagi.

Sampai di seberang, ia kini bisa melihat jelas sosok yang dilihatnya berkubang di dalam air rawa tadi tidak lain memang seongok tubuh tanpa kepala. Tubuh itu sudah lama sekali terendam di dalam rawa sehingga daging dan kulitnya telah mengeras. Seperti kayu yang digerogoti rayap.

Siapa yang mati di sini? Dibunuh siapa? Setelah beberapa saat, Jane menyadari lututnya gemetaran. Semakin dalam masuk ke dalam rawa, semakin tercium bau anyir dari darah yang basi bercampur dengan udara pengap, terpenjara oleh dedaunan lebat di atas rawa.

Ditahannya keinginan untuk muntah, dan kembali mengejar sosok yang bergerak di kejauhan. Dia yakin betul bahwa ada orang di rawa ini, dan sekalipun pembunuh berdarah dingin, kehadiran seorang manusia lebih melegakan daripada semua kesunyian ini.

Tapi rok panjang yang dikenakan Jane mulai mengganggu, hampir tergelincir mencebur air rawa yang hitam, gadis itu merobek roknya sehingga hanya tersisa rok dalam saja. Tapi itu jauh lebih baik karena kini langkahnya jadi lebih ringan. Sepatunya yang kecil dan tipis biasa digunakan untuk menjelajahi ladang, namun dalam suasana becek di rawa ini sepatu itu jadi terasa lengket. Rasanya seperti ada siput berlendir yang terjebak di sela-sela jari kakinya namun Jane tidak berani melepas sepatunya. Takut menginjak sesuatu yang menggelikan.

“Halo? Ada orang di sana?” seru Jane dengan suara parau, harap cemas menanti jawaban balik dari bayangan yang dilihatnya.

Jane sudah masuk dalam ke tengah rawa, dia tidak tahu lagi dirinya berada di mana, sejauh apa, dan seberapa luas rawa ini. Namun yang membuatnya berdebar adalah dia tidak bisa melihat jalan keluar sedikitpun dari kesuraman rawa ini. Tak ada jalan keluar kemanapun kepalanya menoleh.

Ini mengerikan.

Jane tidak berani membayangkan kamarnya yang nyaman di kolonial, dia sudah memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Mengingatnya hanya akan membuatnya menyesal. Gadis itu hanya ingin bertemu seseorang, yang mungkin mengenal wilayah ini dengan baik. Seseorang yang mungkin tinggal di rawa ini, punya tempat tidur, makanan dan minuman. Tidak masalah bila dia harus tidur di lantai kayu, yang penting dia bersama seseorang!

Semakin ke dalam, kabut semakin pekat. Namun suasana tidak segelap langit malam yang tertutup pepohonan tinggi. Daun bergesek di atas saat angin dingin berembus lembut. Berulang kali Jane harus menepuk lengannya yang digigiti nyamuk. Salah satu sikunya terlihat ada tiga garis hasil cakaran tangannya sendiri karena gatal.

Langkahnya sudah tidak terkendali, kakinya tercebur masuk ke dalam perairan gambut. Sesuatu yang diinjak alas sepatunya yang tipis itu terasa pada telapak kaki kirinya, dan jantung Jane serasa disiram seember air es. Perlahan gadis itu memandang ke bawah, melihat apa yang diinjaknya.

Sepotong tulang, terbalut oleh lembaran kulit yang telah menggombal. Potongan tulang tangan yang masih tersambung dengan tubuh yang terbalut pakaian dari linen yang sudah lapuk oleh udara rawa. Lagi, mayat itu tidak punya kepala. Tapi kali ini terlihat jelas sayatan di lehernya membentuk garis lurus seperti batang pohon yang ditebang dengan kampak.

“Apa yang terjadi di sini? Kenapa banyak orang dipenggal?”

Gelap pun turun. Jane sudah terlambat.

Pada sebatang pohon yang tumbang dan digerogoti jamur, Jane Rodinger duduk sambil menangis, tidak lagi bersungut-sungut. Udara lembab membuatnya kehabisan nafas, dan dinginnya malam membuat perutnya kembali berkeruk. Ia sangat menderita dan bersumpah untuk mengingat semua ini pada hari dimana dia sudah duduk di atas kursi mewah dalam istananya kelak. Saat dia memandangi gorden jendelanya yang berbeludru emas nanti, dia akan ingat kembali pada penderitaan di rawa ini. Ia bersumpah, dia akan menceritakan pengalaman masa mudanya ini saat cucu-cucunya duduk di pangkuan di depan perapian yang hangat dan nyaman. Ia akan merangkai kata-kata inspirasi bagi cucu-cucunya bahwa penderitaan adalah awal kebahagiaan. Dan cucu-cucunya akan kagum, mengingat nasihat dan kata-kata bijaknya.

… bila dia masih hidup untuk menceritakan itu semua.

Bila dia berhasil mengalahkan rawa, padang rumput, haus, kelaparan—perjalanan ini.

“Tuhan, bila kau melihatku dari atas sana, kirimkanlah malaikatmu untuk menyelamatkan nyawaku!” rintihnya tersedu-sedu. Ia merasa begitu berantakan dan lelah. Lelah, sangat lelah. Begitu lelahnya sehingga dia tidak peduli lagi untuk menilai betapa berantakan dirinya sekarang.

Doanya terusik suara aneh di sekelilingnya. Mendadak dia sadar bahwa angin tidak lagi bertiup. Dedaunan tidak lagi bergemerisik. Tidak hanya orkestra serangga yang meninggalkannya, namun juga angin.

Jane menoleh ke segala arah, mencoba memahami kenapa kini suara pergi meninggalkan dia.

Saat dia menemukannya, Jane terpaku.

Sesuatu sedang berdiri lima langkah dari hidungnya. Ia bisa melihat jelas sosok itu dari jarak sedekat ini.

Zirah besi yang berkilauan terpasang melindungi tubuhnya, sepatu dan sarung tangannya terbuat dari lempengan tembaga. Ada figur kepala serigala terpahat pada baju besi di dadanya. Dia menggunakan mantel merah marun yang sudah robek dan lusuh, di tangannya tergenggam sebilah pedang dengan ukiran seperti kepala Dragon yang sedang mengaum. Pedang yang besar dan tebal mencuat dari mulut kepala Dragon tersebut.

Ia sedang menatap lurus-lurus pada Jane, gadis itu bisa merasakan tajamnya tatapan itu. Sekalipun sosok yang sedang berdiri itu tak berkepala.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top