Blood of Forge
Hampir setiap malam tiba, Faolan berdiri di tepi telaga yang dulu letaknya persis di dekat kastil Hoffenburg. Telaga itu menjadi hitam di malam hari, hijau di pagi hari, biru di siang hari, dan merah di petang hari. Faolan menyebutnya "telaga pelangi". Para gadis menyukainya karena terdengar manis. Banyak pasangan muda-mudi di kalangan dayang kerajaan yang diam-diam menyelinap ke sana untuk menemukan waktu manis bersama kekasih di tepi Telaga Pelangi. Tapi begitu Caleb menyebutnya "telaga bunglon", entah kenapa tempat itu menjadi sepi seketika. Mungkin karena para prajurit jadi mulai beramai-ramai menyebutnya "telaga bunglon", dan jumlah prajurit lebih banyak daripada gadis dayang.
Namun sekalipun Telaga Pelangi berubah menjadi Telaga Bunglon, Faolan tetap mengunjungi tempat itu di malam hari, berjalan-jalan bersama kudanya menyisir tepian telaga, dan sesekali dia mengintip ke jendela kamar Yseult yang tertutup gorden merah persik. Ksatria itu jadi sedih bila bayangan gadis pujaannya tidak nampak di jendela kamar di lantai dua sana, sebaliknya apabila malam itu dia melihat bayangan gadis pujaannya di tepi jendela, dia akan memulai pagi hari dengan penuh semangat.
Mungkin karena itu, mereka tidak perlu terlalu lama berputar-putar mencari dimana kamar Yseult berada dalam kastil ini.
"Jadi, siapa gadis ini?" tanya Gabe, masih mengikuti Jane yang kesadarannya sedang diambil alih Faolan.
"Raja pernah punya seorang putri dari dayangnya, Yseult namanya," Faolan menjelaskan. "Pada saat Raja sedang pergi berburu, ibu Yseult dibunuh oleh permaisurinya. Wanita itu tewas di ruang penyiksaan ..."
"Oh, sungguh malang. Aku tahu bagaimana mengerikannya seorang wanita yang sedang cemburu itu," Gabe segaja menyela ucapan Jane—Faolan—tersebut, berharap cerita berhenti sampai di sana.
"Caleb cerita padaku, katanya dia melihat perut dayang itu ..."
"Uhm, inikah kamarnya? Berarti Yseult itu termasuk keluarga kerajaan juga?" Gabe kembali menyela dengan cepat, memanfaatkan dua bilah daun pintu raksasa yang berukiran emas di dekat mereka. Pintu itu dicat dengan menggunakan warna biru, Gabe mengetahui betapa sulitnya mendapatkan warna itu bahkan sampai sekarang, sehingga warna tersebut akhirnya menjadi simbol keningratan.
"Bukan. Itu kamar Yang Mulia, Raja Wolfgang yang kemudian digunakan oleh Ratu Freyda setelah dia naik takhta," Jane—Faolan—berjalan melewati ruangan itu begitu saja. Kamar keluarga kerajaan tidak terpencar-pencar di istana ini, semua berada di jantung bangunan lantai dua.
Kamar Yseult terletak agak ke tepi, paling ujung dekat dengan menara tangga berada, dekat dengan ruangan minum teh yang biasa digunakan oleh permaisuri dan putri-putrinya setiap sore. Pintu kamar itu berwarna merah, berbeda dari warna pintu lainnya di koridor ini, dan tertutup oleh lapisan es.
Sesuatu pecah di bawah sepatu boots Gabe pada saat dia mendaratkan kakinya mendekati pintu. Pada permukaan lantai, Gabe melihat ada sesuatu yang melingkar. Ada sesuatu seperti arus empasan angin yang membekukan udara di atas lantai, membentuk garis-garis riak air pada permukaan air kolam.
Kini Gabe menyadari sepanjang jalan dari bawah kawah ini, dia melihat ada garis lingkaran serupa, namun begitu lebarnya diameter tersebut sehingga tampak seperti garis biasa. Melihat garis itu semakin menyerupai lengkungan, penulis itu bisa menyimpulkan apapun yang mengakibatkan corak riak beku di permukaan tanah dan lantai itu, berasal dari ruangan ini.
Ketika Jane—Faolan—menyentuh pintu tersebut dan memejamkan matanya sambil tertunduk, "Yseult, ... aku pulang ..."
Perlahan lapisan es yang menutupi pintu itu menghilang dengan cara yang sama dengan cara Ignus menghilangkan lapisan es pada pintu gerbang kastil tadi. Emosi yang terwujud dalam kristal-kristal beku, berubah menjadi uap udara. Segera setelah uap yang memenuhi koridor itu lenyap ke dalam udara dingin, pintu merah itu terbuka dengan sendirinya.
Ruangan itu memiliki jendela yang menghadap ke utara, namun di luar jendela sana hanya ada dinding kawah yang diselimuti salju. Diantara semua manusia yang membeku, dia yang paling beku. Seperti patung es yang hampa, gadis muda itu berdiri menghadap ke jendela selama ratusan tahun, dimana kekasihnya yang terhormat dilucuti dan dipenggal.
Di bawah kakinya, riak air beku itu mengecil.
"Apa kau pernah merindukan rumah?" tanya Jane—Faolan—pada Gabe.
Berhubung Gabe belum pernah berjalan jauh meninggalkan Detteroa sebelumnya, dia belum pernah merasakan bagaimana perasaan merindukan kampung halaman itu. Dan ketika dia meninggalkan Detteroa cukup jauh seperti yang sedang dia lakukan saat ini, segala peristiwa yang dia alami membuatnya tidak sempat berpikir sama sekali tentang rumah.
"Sepertinya tidak. Kalaupun pernah, mungkin aku tidak menyadarinya."
"Biar kuceritakan padamu bagaimana rasanya; setiap jalanan yang kau lihat, mengingatkanmu pada jalanan tempat kau berlarian di masa kecil. Setiap rumah yang kau tatap, mengingatkanmu pada rumahmu. Ada rasa dimana kau begitu merasa dikenal di daerah asing itu, karena kau teringat kembali pada tempat kau dilahirkan. Itulah yang kurasakan sejak hari dimana aku meninggalkan Otoballe," kata Jane—Faolan. "Banyak tempat kudatangi setelahnya, namun Otoballe tetap ada dalam benakku."
"Apakah Hoffenburg mengingatkanmu pada Otoballe?" tanya Gabe, mencoba mencari benang merah antara perasaan merindukan rumah dengan tempat mereka berada saat ini.
"Keduanya tempat yang berbeda. Otoballe desa kecil dikelilingi bukit, sedangkan Hoffenburg adalah padang rumput yang dikelilingi hutan dan rawa," Jane—Faolan—berpaling pada Gabe. "Aku menetap di Hoffenburg karena mereka sedang bersatu melawan beast."
Sebelum kemampuannya terlihat, Faolan sudah menunjukkan gejala-gejala betapa spesial dirinya. Mungkin dia mewarisi tulang kecil ibunya dan jantung lemah dari ayahnya. Tapi dia sanggup menarik kereta yang biasa ditarik dua sapi dewasa sekaligus, dia sanggup menyelam lebih lama dibanding siapapun yang ada di Otoballe. Kakinya kecil dan riang, kalau berlari tidak ada yang sanggup mengejarnya. Semakin besar, Faolan semakin aneh, saat dia melompat, dia sampai di atap rumah atau di pucuk pohon.
Pada saat dia bersin, atap jerami milik tetangga terurai ke angkasa, dan kabar mengenai si aneh Faolan pun naik sampai ke atas bukit dan berhasil membujuk seorang pertapa turun ke desa. Dia menyentuh dahi Faolan dan melihat warna bocah itu yang kelabu.
"Dua tahun lagi, kamu bisa terbang ke awan dan tidak tahu cara kembali ke atas tanah," katanya.
Ucapan itu menakutkan Faolan. Terlebih saat dia berbaring di bawah langit malam dan melihat ke angkasa, menyadari bahwa kegelapan di atas sana bukanlah atap, melainkan ruang. Ruang yang bisa dijelajahi, tempat yang sangat cocok untuk menghilang selamanya. Karena itulah Faolan berlari menaiki bukit, mencari tempat dimana pertapa itu tinggal dan memohon agar dirinya diajari cara untuk mengendalikan kekuatan yang dia miliki sejak lahir itu.
Faolan membawa barang-barang pentingnya ke atas gunung dan menjadi anak angkat pertapa itu. Belajar darinya siang malam, tidur bersama, makan bersama, dan mendengarkan setiap ajarannya.
Suatu malam, Otoballe menyala. Faolan mendengar suara neraka yang dibawa angin sampai ke atas bukit tempat dia belajar. Dia segera membuka mata, berlari ke tepi jurang dimana Otoballe bisa terlihat seluruhnya, namun yang dia lihat hanyalah asap hitam.
Ketika dia akan menuruni bukit, sebongkah batu merayap naik dengan cepat, menghalangi jalannya.
"Kamu mau ke mana?" tanya pertapa itu sedingin angin malam.
"Kampung halamanku terbakar! Aku harus pulang!"
"Lihatlah baik-baik, anakku," pertapa itu menunjuk ke bawah, ke arah desa dimana api berkobar. Faolan melihat baik-baik dan mendengar lebih baik lagi. Sekelompok beast, hoggards, menyerbu Otoballe. Mereka tidak berjumlah puluhan, lebih dari itu. Dari atas sini, Faolan bisa melihat ayahnya tanpa daya melawan balik untuk menyelamatkan istrinya yang diculik seorang hoggards, hanya ada garpu jerami di tangannya. Hoggard itu mengayunkan kapak di tangannya dan terbelahlah tubuh ayahnya, jatuh bersimbah darah ke atas tanah.
Mereka menghampiri mayatnya sambil membawa ember dari kaleng, merobek tubuhnya dan memeras potongan-potongan tubuhnya untuk mengambil darah yang ada di sana. Kemudian tertawa, tawa yang sama dengan tawa ayah saat mengetahui hasil panennya melimpah.
"Aku harus pulang!" jerit Faolan, setidaknya dia masih bisa menyelamatkan adik-adiknya, atau seseorang di bawah sana.
"Kamu akan mati," jawab si pertapa.
"Aku tidak peduli! Saat Otoballe terbakar, hatikupun ikut terbakar!" jerit bocah itu berlinang air mata, namun begitu berani.
Si Pertapa sudah bisa menduganya, maka dia tidak lupa membawa sesuatu yang rencananya akan dia hadiahkan beberapa tahun lagi ketika Faolan sudah benar-benar kuat. Sebilah pedang katana bernama Kazekage.
"Pada saat engkau menjadi anak angkatku, aku meminta seorang teman menempakan ini bagimu. Tapi bila kau sudah siap mati sekarang, ambil pedang ini dan berlarilah turun ke bawah sana dan berjuang sebaik-baiknya." Kata pertapa itu.
Faolan mengambil katana itu dan berlutut di hadapan gurunya, kemudian berlari menuruni bukit dengan kaki telanjang yang menapak seperti angin. Malam itu api dipadamkan oleh empasan angin yang kuat, dan tarian pedang berkelebatan dari seorang bocah berani mati. Faolan penuh luka, salah satu matanya telah lebam terkena hantaman senjata tumpul para hoggards, namun dia membantai beast babi itu tanpa memedulikan keselamatannya sendiri. Api yang melalap rumah merobohkan tiang penyangga. Faolan tidak melihatnya tumbang sehingga dirinya terkubur bangunan runtuh.
Ketika sadar dari tidurnya, situasi sudah sepi. Faolan merasakan tubuhnya sesak dan dia berjuang untuk merayap keluar dari apapun yang sedang menindihnya. Reruntuhan bangunan dari tanah liat itu terkuak, dan pemuda itu melihat pekarangan neraka yang dulu disebut Otoballe. Mayat manusia saling tumpang tindih dengan mayat-mayat babi berpakaian zirah kulit berjelaga hitam. Darah menghitam di mana-mana.
Faolan tidak pulang ke tempat gurunya menunggu, dia tidak pernah menyelesaikan pelatihannya. Otoballe tidak tersisa, hari baru memberikan tujuan hidup baru baginya. Sejak itu, setiap kali melihat beast, Faolan akan menghunus katananya, dan katana itu tidak pernah masuk lagi ke dalam selongsongnya sebelum setidaknya seekor beast tumbang.
Namun menemukan beast tidak mudah. Mereka benar-benar tahu bagaimana harus menyembunyikan tempat tinggal mereka dari manusia. Katanya ada di balik hutan, ternyata tidak ada apa-apa. Katanya di perut goa, ternyata tidak ada. Faolan bahkan pernah menghabiskan dua tahun dalam hidupnya, tanpa membunuh seorang beast pun. Ahli pedang itu mulai frustrasi, dia ingin menemukan beast dan membunuh mereka semua, sekarang juga.
Faolan terus berjalan tanpa arah, Otoballe tidak pernah hilang dari benaknya, menghantui setiap malam-malam gelap dan membuatnya terbangun dengan rasa bersalah. Bayangan tubuh ayahnya diperas dan darahnya dikumpulkan oleh para beast itu selalu membuatnya merasa tidak berdaya. Apa gunanya memiliki kekuatan besar namun tidak bisa menyelamatkan orang-orang yang harusnya dia lindungi? Dirinya dan segenap kekuatan elementer angin yang dibawa sejak lahir ini tidak lebih dari omong kosong.
Selepas keluar dari rawa-rawa dan perhutanan, Faolan tiba di daerah padang rumput luas dimana bukit-bukitnya tidak terlalu curam. Seorang gadis bertubuh besar dengan wajah buruk rupa adalah orang pertama yang dilihatnya di daerah itu. Gadis itu sedang mencari beberapa daun-daunan sebagai obat untuk penyakit ibunya.
"Kenapa tidak mampir ke tempat kami saja, daripada mencari penginapan? Di rumahku ada banyak makanan, cukup untuk satu mulut lagi," sapanya dengan ramah.
Faolan mengikutinya pulang ke sebuah desa yang bersembunyi dibalik pilar-pilar kayu raksasa. Pilar-pilar kayu itu belum selesai dibangun—atau mungkin sedang dalam perbaikan?—beberapa pekerja masih sibuk mengikat tambang dan memasak paku besar untuk menyatukan mereka. Tiga orang sedang menarik tiga pilar kayu besar yang telah digabungkan, mencoba mengangkatnya agar berdiri mantap di atas tanah becek yang harusnya adalah persawahan. Namun saat ditanamkan, tiga pilar kayu itu roboh.
Para pekerja itu saling memaki dengan muka berlumpur yang lelah, akhirnya seseorang lagi datang dan melihat masalahnya lalu menyarankan agar membangun lebih menjorok masuk ke dalam desa, dimana tanah tidak terlalu licin. Sekalipun lelah, para pekerja itu kembali membangun parit di tempat yang lebih kering.
"Apa yang mereka lakukan? Kelihatannya mereka sudah sangat lelah, tapi masih terus bekerja," tanya Faolan.
"Beast," satu kata dari bibir Rosa itu segera menarik perhatian Faolan. "Mereka baru datang semalam dan mengakibatkan pagar-pagar kayu kami rusak. Berita baiknya, tidak ada dari kita yang mati atau diculik. Berita buruknya, kita harus cepat-cepat mengganti pagar yang rusak atau bila mereka datang lagi malam ini, semua akan habis."
"Bagaimana mereka bisa membangun pagar yang lama di atas tanah becek?" tanya Faolan.
"Karena Caleb membantu kita," wajah Rosa langsung bersemangat saat membicarakan orang itu. "Caleb sangat kuat. Dia membangun pagar-pagar kayu ini dari matahari terbit sampai matahari meninggi, dan dia tidak terlihat lelah sedikitpun."
"Di mana dia sekarang?" pertanyaan yang segera bisa dijawab sendiri oleh Faolan dalam hati, orang itu mungkin hanya pengelana lewat yang berbuat baik untuk desa yang dia lewati, mungkin sebagai ganti uang makan dan menginap lengkap dengan anggur manis selama beberapa malam.
"Dia sedang berperang, daerah timur sedang diserbu sekelompok beast. Mereka menyerang kami dari segala penjuru, para beast itu. Tidak tahu berasal dari mana, tapi mereka akan muncul dalam jumlah banyak dan berusaha menculik kami. Di barat ada sekelompok hoggards, dan di timur ada sekelompok lizzardman. Kadang dari selatan dan utara muncul para goblin yang ikut menjarah kami. Situasi sedang tidak aman sejak lima tahun lalu," kata Rosa.
"Apakah mereka sering menyerang tempat ini?"
"Hampir setiap malam," jawab Rosa.
Faolan menemukan tempat dimana dia harusnya berada. Dia ingin tinggal di sini, dimana hoggards-hoggards itu datang setiap malam. Dirinya sudah berbeda dari lima tahun lalu. Dulu, dia tertimbun reruntuhan bangunan dan diselamatkan kereta jerami kayu yang terjatuh miring sehingga para hoggards itu tidak bisa mencapai tubuhnya yang telah hilang kesadaran. Tapi sekarang, dia akan membuat perhitungan terhadap mereka. Dia sudah lebih matang, lebih dewasa dan lebih berpengalaman. Dia akan memastikan setiap dari mereka akan mati.
Faolan tidak mau merepotkan siapapun, dia tidur di menara pemanah. Tidur sambil duduk memeluk katana, sehingga dia siap setiap saat para beast itu datang menyerbu Raffenwald. Setiap manusia babi yang datang untuk menghancurkan pagar kayu itu, mati karena embusan anginnya yang lebih tajam daripada ujung katananya. Bila jumlah mereka tak terbendung, Faolan melompat keluar menara pengawas dan mendarat di luar pagar untuk menghajar setiap dari mereka tanpa ampun. Tidak jarang dirinya berakhir dengan tubuh penuh luka, namun semua itu tidak ada apa-apanya dibanding kepuasan membunuh satu saja dari mereka.
Saat ibunya sembuh, Rosa kembali ke kastil Hoffenburg dan sejak itu legenda mengenai Faolan merebak di istana seperti jamur di musim hujan.
"Bila ada pendekar hebat di wilayahku, biarlah sekalian aku memberinya penghargaan," kata Raja Wolfgang, namun Faolan menolak undangan tersebut. Tapi dia menuliskan surat bagi Raja dengan bahasa sesopan yang dia tahu.
"Hidupku sudah berakhir saat kampung halamanku habis diganyang babi. Bila yang mulia sungguh peduli padaku, biarkan aku hidup di sini dan menghabisi mereka sampai tak bersisa. Aku tidak meminta banyak, aku tidak butuh kehormatan atau harta, hanya dengan cara ini aku bisa menebus dosaku terhadap keluarga dan kampung halamanku," tulis Faolan dalam suratnya untuk Raja Wolfgang.
Raja itu menyukainya dan berpikir untuk datang ke Raffenwald. Namun Koltz, penasihatnya berpendapat lain, "anda seorang raja, tidak sepantasnya mendatangi seorang pengelana, sekalipun dia telah berjasa besar."
"Tapi ..."
"Tapi aku juga kagum mendengar kisahnya, maka aku akan memikirkan cara untuk mengundangnya ke mari. Yang Mulia tenang saja," kata Koltz.
Dua hari kemudian, seorang pemuda dengan mata biru gelap dan rambut hitam sudah berdiri di hadapan Raja Wolfgang. Sosok itu tegap, tubuhnya termasuk ringan namun memiliki sepasang tangan yang kuat. Kulitnya mencoklat karena terbakar oleh matahari dan debu telah mendarat di sana sejak lama. Sekalipun telah membunuh ratusan beast seorang diri, namun tatapannya masih menyorotkan wujud hatinya yang tulus.
"Aku senang kamu mau mendengarkan nasihatku, anak muda." Kata Koltz dengan bangga karena siasatnya berjalan sukses. Dia mengulurkan tangannya, meminta sesuatu dari Faolan, "kemarikan katanamu, biar aku menyerahkannya pada pandai besi kerajaan. Agar kau bisa terus hidup dan membantai mereka sampai habis."
Faolan menarik katana yang tergantung di pinggangnya, "maaf, tapi aku hanyalah gelandangan. Rumahpun aku tidak punya, katakanlah padaku dimana penempa itu dan biar aku sendiri yang mengantar katanaku padanya."
Mendengar kesopanan itu, Raja Wolfgang semakin menyukainya. "Penempa itu bernama Forgo. Dia tinggal di dapur tempa di kastil ini. Koltz, antarkan dia."
"Mari, anak muda," Koltz berjalan duluan mengantar Faolan keluar dari aula.
Mereka berjalan ke tepian kastil dimana para pelayan istana mencuci baju di sungai, dan para peternak melakukan tugasnya.
"Raja sangat menaruh hormat pada anda, ahli pedang muda."
Jawab Faolan dengan kalem, "aku hanya ingin membalaskan dendam. Kebetulan saja mereka mendatangi wilayah raja."
Koltz segera tertawa keras, "baiklah pria tangguh, kita sudah sampai di dapur tempa. Seperti yang kau lihat, semua orang sibuk di sini. Dan penempa kerajaan tidak hanya satu, puluhan dari mereka sedang bekerja keras membuat senjata dan pedang untuk peperangan sengit di daerah timur. Kami semua sibuk, anak muda."
Di inti dapur tempa istana itu, ada ruangan yang cukup besar, terlalu besar untuk dihuni manusia. Dari tanah sampai atap tingginya mencapai empat meter, dan sosok setinggi nyaris tiga meter sedang melipat-lipat besi yang baru selesai dibentuk. Setiap lipatan, dia embuskan nafasnya ke dalam lipatan besi yang panas menyala itu. Saat nafasnya mendarat di sana, ada kilauan pelangi yang terlihat dan terserap ke dalam besi tersebut.
Baru kali ini Faolan melihat sosok tinggi besar seperti itu. Kulitnya merah dan menghitam karena terlalu sering berdekatan dengan tungku. Rambutnya putih perak dan pada bagian yang terkena bayangan, warnanya berubah jadi biru muda. Sepanjang rahangnya tumbuh janggut yang satu warna dengan rambutnya.
"Demi para dewa dan arus jiwa-jiwa... makhluk apa itu?" desis Faolan, terbelalak dan melangkah mundur.
Penempa itu mendengarnya, kepalanya berpaling kepada pemuda asing yang mengunjungi dapur tempanya. Dia menggunakan pelindung mata dari kaca yang diikat dengan kulit lentur. Pelindung mata itu dinaikkan ke dahinya dan tampaklah sepasang mata berwarna hijau muda seindah batu kumala.
"Aku merasakan aliran Aether yang kuat dari nafas pemuda ini, apakah dia rekrutan baru?" tanyanya dengan suara yang bijak, mengingatkan Faolan akan guru yang ditinggalkannya di Otoballe.
Koltz menceritakan segala yang dia ketahui mengenai Faolan.
"Begitu rupanya, kemarikan katanamu dan coba lihat apa yang bisa kulakukan untuknya," kata raksasa itu dengan ramah, mengulurkan tangannya.
Faolan banyak melihat beast tinggi besar, di antara mereka ada yang setinggi makhluk ini. Tapi uluran tangan mereka jelas berbeda. Raksasa ini lembut hati, bahkan pada saat mereka sedang berbicara, seekor burung gereja hinggap di bahunya dan menatap penasaran pada Faolan.
"Bukankah kamu sedang sibuk menempakan pedang bagi anakmu, Forgo?" tanya Koltz.
"Caleb bisa menunggu satu hari, sementara itu anak muda ini bisa melanjutkan perjuangannya," jawab raksasa itu.
Faolan mungkin muda dan jarang bersosialisasi, namun dia cukup peka untuk menangkap maksud yang tersampaikan dengan halus dari ucapan pejabat negeri ini. Secara halus Koltz membuatnya merasakan bahwa Raja sangat baik hati meluangkan waktunya yang sempit untuk memperbaiki katana gelandangan rendah sepertinya, dia akan menjadi sangat kurang ajar bila tidak membalas kebaikan raja.
Sebelum sepakat untuk menyerahkan katananya pada raksasa itu, Faolan bertanya, "apa yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikan yang mulia?"
Dengan senyum penuh kemenangan, Koltz menjawab, "jadilah ksatrianya, bergabunglah bersama kami. Kita semua punya keinginan dan perjuangan yang sama, kenapa berjuang sendiri?"
Faolan menyerahkan katananya dan pada siang itu juga, dia menggunakan zirah baru yang lebih bagus dan tebal, berlutut di hadapan Raja Wolfgang dan dianugerahi sebagai ksatria Hoffenburg.
Faolan menunggu semalaman di sisi Forgo yang sedang menambal katananya. Dia memperhatikan penempa itu kembali mengembuskan nafasnya ke besi yang baru dan ada butiran pelangi yang hinggap di sana kemudian terserap ke dalam serat besi.
"Kenapa kau melakukan itu?"
"Aku mengembuskan Aether ke dalam pedangmu. Apakah kau tahu bahwa katana ditempa dengan cara mengembuskan Aether ke sela-sela besinya?"
Hal itu sama sekali baru bagi Faolan.
"Aku tebak kau sudah sering beradu senjata dengan para beast itu, ratusan kali. Benar?"
"Entahlah, aku tidak pernah berhitung."
"Kau pasti pernah menyadari betapa kuat senjata mereka."
Faolan membenarkannya. Dia pernah melihat seorang hoggards menghancurkan batu besar dengan kampaknya, menumbangkan pohon besar sekali tebas, namun senjata-senjata itu tidak pernah retak ataupun rusak.
"Rahasia dari kekuatan pedang mereka adalah pada teknik penempaan mereka. Mereka menggunakan bahan khusus yang tidak digunakan oleh manusia, bahan yang membuat besi dari senjata mereka seakan hidup memiliki kekuatannya sendiri."
"Aether?" tebak Faolan.
"Perlu kau ketahui, hanya nafas murni yang bisa menguatkan besi. Nafas murni dihasilkan dari hati yang murni, apakah menurutmu para beast itu memiliki nafas yang baik?" tanya raksasa itu, dan Faolan menggeleng sebagai jawabannya.
"Jadi, apa bahan rahasia itu?" tanya Faolan, sekadar untuk melanjutkan pembicaraan.
"Sesuatu yang mengakibatkan tercetusnya perang ini ... dan yang mungkin mengakibatkan kampung halamanmu hancur," Forgo memberi petunjuk.
Mendadak Faolan jadi teringat pada malam itu, dimana ayahnya dimutilasi dan potongan tubuhnya diperas agar darah yang terkandung di sana bisa disimpan dalam sebuah wadah kaleng. Sesuatu menyambar Faolan saat dia menyadarinya, "... darah manusia ..."
"Darah manusia itu menguatkan, namun darah manusia yang beraether adalah yang terbaik. Mungkin mereka sedang berperang satu sama lain, mungkin antara hoggards melawan lizzardman, bila melihat bahwa mereka tidak pernah menyerang secara bersamaan. Dan untuk memenangkan pertempuran itu, mereka butuh senjata yang bagus, maka dari itu mereka menyerang manusia," kata Forgo.
Misteri terkuak seperti kabut yang tersibak sinar matahari. Perut Faolan melilit, muak dan mual. Rahangnya mengencang dan tangannya terkepal. Matanya merah dan berkaca-kaca, gemas. "Jadi ... mereka pikir kita semacam barang tambang yang bisa diperah dan dipanen?"
"Maka dari itulah, aku senang kau bergabung bersama kami, Faolan. Jangan sendirian, kita akan berjuang bersama. Nah, katanamu sudah jadi, besok kamu bisa mengambilnya di sini dan segera kembali ke Raffenwald."
Forgo berlalu, meninggalkan seorang pemuda sendirian dimana akhirnya pemuda itu bisa menumpahkan segenap kemarahannya yang tidak bisa dilampiaskan—untuk saat ini. Kemarahan itu membara seperti panasnya air mata yang keluar dari sela-sela kelopak mata Faolan. Urat-urat di dahi bertonjolan, dia bersumpah akan menghabisi setiap beast itu, sampai mereka tak bersisa lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top