Bencana
Jane tidak sanggup menyerap apa yang diceritakan Jake barusan. Malam semakin gelap dan dirinya semakin mengantuk. Sejak tadi berjalan kaki ke sana ke mari dan sekarang dia harus bergerak menuju kastil yang selama ini hanya muncul dalam kepalanya.
"Seseorang yang pernah kukenal mengatakan, bila hantu sudah tertidur selama seribu tahun, dia tidak akan pernah bangun lagi dan tidak akan bisa kembali ke arus jiwa-jiwa. Dengan kata lain, musnah selamanya," kata Jake.
"Aku ingin tidur ...," jawab Jane.
"Apakah masih jauh?" tanya Jake.
"Apanya?"
"Kastilnya."
Jane hanya memberi jawaban dengan anggukan kepala, disertai sepasang mata yang sudah mengantuk bercampur lelah. Jadi ada hantu yang merasuki tubuhnya sekarang. Hantu berbentuk pedang, pedang asli yang bisa menjadi cahaya dan masuk ke dalam badan manusia hidup. Mudah-mudahan setelah mereka dibawa ke kastil Hoffenburg itu, mereka segera keluar dari dalam tubuhnya dan kembali pada urusan masing-masing. Jane tidak berani membayangkan bagaimana sulitnya mencari pangeran tampan yang baik hati bila sampai mengetahui bahwa dirinya menyimpan pedang di dalam tubuh. Pangeran tampan dan baik hati itu pasti nantinya akan ketakutan padanya dan mundur teratur—bila bukan mundur berangsur-angsur—dan musnahlah segenap impiannya untuk menjadi orang kaya secara instan.
Sementara Jake dan Jane berjalan kaki menuju kastil Hoffenburg, dua orang pemuda sedang berbagi buah beri yang mereka temukan di hutan. Mereka tidak berani menyalakan api unggun, karena perkemahan klan Brotherhood masih terlihat di kejauhan. Di tanah yang hidup namun mati ini, kemunculan api unggun akan menjadi sangat mencurigakan.
"Terima kasih," kata Gabe sambil menerima buah berri dari Kia dan gadis primitif itu melompat turun dari batang pohon beri yang tinggi.
Masih ada banyak buah beri, dikumpulkan di dalam cekungan topi bulu Gabe. Panah dan anak-anaknya digeletakkan di sekitar tempat mereka duduk, beristirahat di atas rerumputan. Di atas sana, bulan mulai memudar hari demi hari. Anehnya, di Hoffenburg, hanya pada malam bulan Indigo saja bulan tampak besar seakan sedang runtuh ke atas tanah. Kalau saja bulan Indigo akan terjadi beberapa hari ke depan, mungkin akan menjadi lebih mudah bagi mereka karena pada saat itu, Angelo di Benedito pun tidak bisa menghirup Aether.
"Ambillah lagi, kau belum makan apapun sejak pagi." Kia menyodorkan berri-berri hitam dalam topi bulu Gabe. Namun pemuda itu memalingkan wajah dengan sedih. Kepalanya pusing memikirkan apa yang harus dilakukan untuk mencegah di Benedito memperoleh Warog.
"Dan kamu tidak akan bisa berpikir jernih dalam keadaan lapar, kan?" Kia masih membujuk.
Menyembunyikan keterpaksaannya dengan rasa terima kasih, Gabe kembali mengambil sebutir buah berri hitam dan mengunyahnya.
"Dulu jumlah beast di Barbandia terlalu banyak. Maka manusia berkumpul dalam suatu tempat untuk berlindung di dalamnya. Para beast bergerak ke tempat itu untuk memangsa manusia...." Gabe menghela nafas. "Seorang pembasmi Dragon bernama Beowulf, membunuh Dragon itu dan reliknya disimpan di Hoffenburg. Dan dengan relik itu dia mempersatukan manusia untuk melawan para beast."
"Jadi itu sebabnya kalian tahu bahwa relik Warog ada di Hoffenburg?" tanya Kia.
"Ya, tapi kita benar-benar tidak tahu dimana disimpan. Dan mereka yang tahu tidak akan mau memberi tahu."
"Aku mengerti kenapa mereka bungkam ..." tentunya Kia pernah mengalami mimpi tentang masa lalu. Pada zaman sebelum Ragnarok terjadi. Pada masa itu, semua manusia masih dapat menghirup Aether sama banyaknya, dan beberapa dari mereka dapat bersatu dengan para Dragon, menjadi Dragonoid. Para Dragonoid dianugerahi keabadian yang dimiliki para dewa. Kini setelah Ragnarok selesai, manusia tidak lagi dapat menghirup Aether untuk suatu sebab yang tidak diketahui. Mereka jadi lebih lemah daripada beast, dan benar-benar harus bersatu padu dan menggunakan kreativitas mereka untuk dapat bertahan hidup.
"Mungkin Jake mengira orang yang terlahir dengan bakat bernafas Aether saja yang bisa bersatu dengan Dragonoid. Angelo di Benedito seperti itu, hanya saja, beberapa waktu lalu mendadak dia mendapatkan anugerah empat pilar dunia, membuatnya mampu bernafas Aether dan menguasai empat elemen sekaligus. Itu membuatnya bisa bersatu dengan Dragon seperti jiwa-jiwa purba."
"Apa kau tahu syarat untuk memperoleh berkah empat pilar dunia?" tanya Kia.
Gabe menggelengkan kepala, mengambil sebutir black berry lagi.
"Syaratnya, jiwa seseorang itu merupakan jiwa purba."
Dengan segera, alis Gabe turun dan bertautan erat. "Jadi maksudmu, Angelo di Benedito memang seorang jiwa purba?"
"Dulu ada bencana yang telah diramalkan oleh langit, bencana yang pernah memusnahkan seluruh Dragon sebelum manusia pertama lahir di dunia. Ketika para Dragon muncul lagi dan menyatu dengan manusia, bencana yang sama muncul kembali. Sejak itu para Dragon dibekukan dalam bentuk relik setelah dibunuh, dan manusia tidak lagi bisa menghirup Aether. Tapi kemampuan yang dimiliki oleh para jiwa purba itu sesungguhnya tidak pernah hilang, Gabe. Apa yang menjadi milikmu, bila dirampas, kelak akan kembali lagi padamu. Karena itu merupakan milikmu." Jelas Kia dengan panjang lebar.
"Wow," Gabe tertawa kecil. "Dalam bukunya, ayahku menulis tentang manusia zaman dulu yang sesungguhnya adalah para dewa yang dibuang dari langit. Itu sebabnya mereka bisa menyatu dengan Dragon. Tapi kau memberi wawasan baru soal ini. Tidak keberatan bila kucatat semua, kan?"
"Silakan," kata Kia.
Untuk beberapa saat, hanya ada suara gesekan batangan grafit yang dijepit oleh sepasang kayu di atas kertas. Sesekali Gabe meniup sisa-sisa grafit yang berhamburan di atas kertas itu agar tidak mengotori apa yang dia tulis.
Namun perlahan-lahan, memori mengenai hubungan antara ayah dan anak keluarga Feux itu muncul dan tertangkap oleh Kia. Seperti asap rokok yang terembus, oleh orang yang duduk di sebelah perokok itu pasti menciumnya juga, setiap kali Gabe menulis sesuatu, dia selalu membayangkan ayahnya.
Kenangan itu sering kali berulang. Tentang ayah yang mengkritik karya anaknya dengan hinaan.
"Hahaha ... aku jadi ingat tulisanku sendiri waktu masih belajar menulis. Aku menulis hal ngawur tak berdasar seperti ini," ejek sang ayah saat sedang mengkritik hipotesa intuitif night science anaknya mengenai Aether.
"Ini salah semua! Harusnya gunung itu berwarna biru, bukan hitam! Harusnya tulisan ilmiah itu seperti apa yang kutulis ini. Kamu terlalu banyak menggunakan kata-kata rumit, memangnya kamu ini sepintar apa sih?!" terasa benar hantaran kemarahan Gabe saat itu, karena dia pun melihat ada banyak istilah yang tidak penting untuk diungkapkan dalam buku ayahnya, istilah-istilah berat yang rumit yang seakan menunjukkan bahwa penulisnya sangat cerdas, tapi setelah membaca sampai selesai, tidak ada apapun yang bisa didapatkan oleh orang yang membaca.
Bagi Gabe, kritikan yang seringkali dilontarkan ayah untuknya, merupakan kekurangan yang juga bisa ditemukan dari tulisan-tulisan si ayah itu sendiri. Sejak itu Gabe bersumpah untuk tidak pernah mengkritik, karena mengkritik hanya akan menunjukkan kesalahan yang dibuat oleh diri sendiri.
Tapi ayah selalu berkata, "kamu sebagai manusia harus bisa berkaca! Sadar diri dong tulisanmu seperti apa?! Masa kualitas begini mau jadi penulis?!"
Grafit hitam itu patah sendiri dan tangan Gabe gemetaran. Ingin rasanya Kia bertanya apakah dia baik-baik saja atau tidak. Tapi dia sudah mendengar sendiri suara hati Gabe yang bergema keluar dengan keras.
"Akan kutunjukkan padamu, ayah! Kau harus terus hidup untuk bisa melihatku melesat melampauimu. Karena aku berbeda denganmu, aku bisa berkaca!"
Mungkin sebaiknya saat ini tidak usah mengajak bicara Gabriel Feux.
Mendadak angin dingin berembus, memberitahu Kia bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Dirinya masih terlalu muda sebagai seorang seer, dan mungkin intuisinya tidak setajam seer-seer lainnya. Tapi yang pasti dia mendengar suara alam sedang memperingatkannya akan sesuatu yang bergegas datang ke arah mereka.
Begitu sadar, puluhan tentara bayaran tengah mengepung mereka. Mengarahkan ujung mata panah ke leher mereka. Mereka muncul dari balik pepohonan, tanpa suara yang dapat terdengar. Kia segera mengambil busur dan panahnya untuk pertahanan diri, namun dia tahu itu takkan membantu banyak. Andai mereka memutuskan untuk menarik pelatuk, matilah dia dan Gabe.
Seorang pria tinggi jangkung muncul dari antara kerumunan. Dia berhasil membuat para tentara bayaran itu jadi tampak seperti anak-anak saja. Tanpa menyibak kerudung yang menutupi kepalanya sampai pipi bagian atas, dia menyapa Kia dan Gabe.
"Baiklah, kita telah menemukan kunci masuk ke kastil Hoffenburg." Katanya sambil mengusap kedua telapak tangannya dengan senang.
"Kalian tidak akan mendapatkanku begitu saja!" Gabe memasang crossbownya. Namun Ignus, si jangkung berkerudung itu melihat dengan jelas bagaimana ujung panahnya bergemetar dengan hebat. Orang ini tidak akan berbahaya.
"Melawan tidak ada gunanya, calon penulis hebat, Gabriel Feux," ujar Ignus dengan sopan, namun apa yang dia katakanlah yang membuat Gabe lengah dan memadamkan sikap agresifnya. Bahkan terpikir oleh Gabe untuk memastikan kembali benarkah yang dia katakan tadi? "calon penulis hebat" ?
"Dan kau, nona Pamuyan Selatan. Kami memerlukan anda untuk ikut ke kastil Hoffenburg. Aku sangat berharap anda mau bekerja sama agar tidak ada yang terluka di antara pihak kita bersama."
Tidak ada yang terluka, orang ini benar-benar tahu cara untuk bicara padanya. Kia pun terpikir untuk menurunkan busur dan panahnya. Namun kemudian dia berpikir kembali soal Dragonoid dan membatalkan niatnya untuk menyerah.
"Apa kau sadar? Bila tuanmu menjadi Dragonoid, akan ada lebih banyak lagi yang terluka?" tanya Kia.
Mendadak sesuatu masuk ke dalam pikiran Kia. Sebuah ide, sebuah akal, visi dan rangkaian kenangan akan sesuatu. Bila diuraikan dan dibukukan, akan membutuhkan berlembar-lembar kertas untuk menuliskan semua informasi yang mendadak masuk ke dalam kepala Kia. Tapi gadis itu mampu melihat itu semua hanya dalam tiga detik.
Dan akhirnya, dia mengerti.
"Takkan ada yang terluka. Percayalah padaku," kata Ignus.
Kia menurunkan busur dan panahnya, membiarkan para tentara bayaran itu mengikat tangan mereka berdua dan membawa mereka ke kastil Hoffenburg.
Maka dari itu, dua rombongan terpisah bergerak menuju suatu tempat di dalam Hoffenburg. Tempat itu ada di bagian timur dari desa Raffenwald. Mereka segaja mengambil jalan memutar menghindari desa Raffenwald, dan bergerak terus ke timur. Menyeberangi padang rumput yang lapang dimana angin dingin berembus keras. Malam itu juga mereka bergerak tanpa henti, seakan hari esok tidak akan pernah ada bila mereka tidak sampai malam ini juga.
Kia masih mengulangi informasi yang tadi masuk ke dalam kepalanya. Mungkin seer bernama Ignus itu yang melemparkan sebongkah informasi penuh ini langsung ke dalam kepalanya. Ya, pasti dia yang melakukannya. Diulangnya informasi itu lagi dan lagi. Setiap ulangan memberinya semakin banyak detail mengenai informasi tersebut. Masalahnya, informasi itu dilemparkan langsung ke alam bawah sadar Kia sehingga gadis itu semakin lama berjalan semakin lambat hingga jatuhlah dia ke atas tanah.
"Hei, ayo jalan!" saat seorang tentara bayaran hendak memukulnya dengan gagang tombak, Gabe menyela di antara mereka. Kepalanya terhantam kayu.
"Beraninya memukul perempuan, ha?! Cari yang sepantaran denganmu!" bentak Gabe.
Tentara bayaran itu menarik kerah baju Gabe sampai dia berdiri. "Masalahnya tidak ada yang sepantaran, pria lemah!"
"Ada apa ini? Hector?" suara Ignus mencegah tentara bayaran itu untuk memukuli Gabe.
"Gadis ini berhenti berjalan, waktu kutegur, jagoan kesiangan ini muncul dengan berlagak kuat minta dipukul!" ujar tentara bayaran bernama Hector itu.
"Kita tidak punya waktu untuk ini. Gadis itu masih muda, baru 16 tahun. Wajar saja kalau dia cepat lelah. Naikkan dia ke atas kuda agar perjalanan tidak terhambat." Perintah Ignus.
Para tentara bayaran itu tahu betapa percaya Angelo di Benedito terhadap Ignus, maka mereka tidak berani membantah orang yang secara sendirinya telah menjadi tangan kanan pemimpin mereka itu. Mereka menaikkan Kia ke atas kuda dan menuntun kuda itu. Perjalanan di lanjutkan.
Di atas kuda, dengan sepasang mata besar yang sejak tadi tak berkedip itu, Kia akhirnya berhasil mengangkat segenap informasi yang tadi dilemparkan ke alam bawah sadarnya ke alam sadar. Seluruhnya.
Segumpal rasa takut mengelilinginya, ini adalah bencana yang dulu memusnahkan para Dragon, bencana yang membuat para jiwa purba kehilangan nafas Aether.
Dengan gemetar, dia berbisik, "F-Fomalhaut ...?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top