How was birthday in Clarkania

Clarkania, 30/12/3070

Sedari dulu, aku tak pernah mengerti apa gunanya merayakan hari kelahiran. Walaupun hanya lahir sekali, toh aku dan orang-orang di Clarkania takkan pernah mati. Meskipun menyanyikan ritual lagu semoga panjang umur, pun tak ada gunanya. Herannya, itulah yang terus dilakukan orang-orang---yah, bisa disebut tradisi.

Di sini, orang-orang akan berhenti menua pada waktu tertentu. Ada yang berhenti menua dan menjadi imortal di usia remaja, usia menengah, dan usia tua. Sebenarnya, tidak ada yang benar-benar tua sampai keseluruhan rambutnya memutih dan tulang yang keropos. Sebab konon katanya, sang Dewa akan dengan segera menghentikan usia orang-orang pada angka empat puluh. Ketika menjadi imortal, seseorang akan mendapatkan sebuah tato---yang orang-orang percayai sebagai tanda suci dari Dewa.

Clarkania adalah tawa, Clarkania adalah kebebasan, Clarkania adalah kebahagiaan. Kota tanpa cacat dengan semua penghuninya yang patuh. Kemajuan teknologi di sini sangat pesat, tetapi tak pernah ada persaingan dengan bumbu kecurangan dalam industri-industri yang berdiri kokoh. Sebab setiap penghuni Clarkania memiliki satu chip yang terpasang pada belakang kepalanya untuk mengontrol emosi.

Aku Kim Taehyung, pria yang mendapatkan imortalnya pada usia dua puluh lima di tahun kemarin. Anehnya, aku mendapatkan imortal diwaktu yang sama dengan keempat teman dekatku. Seperti takdir yang telah direncanakan Dewa.

Hari ini aku merayakan dua puluh lima yang ke dua---aku menyebutnya ke dua puluh enam. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli tentang perayaan ulang tahun, dan tentang aku yang ingin menghitung usia terus maju jelas-jelas ditentang oleh orang-orang disekitar. Katanya, kalau kau tetap begitu, artinya kau tak menghargai kekekalan, Taehyung. Itu yang aku dengar dari nenek sekitar satu minggu yang lalu---jangan bayangkan seorang nenek-nenek berambut putih dengan gigi ompong. Ingat, di Clarkania tidak ada yang benar-benar tua dan jompo!

Nenek mendapat imortal di usia 39, sedangkan ibuku di usia 35. Jadi, semuanya masih sama cantik.

Aku sudah meninggalkan rumah sejak pukul delapan pagi, bersantai di salah satu TronMart dengan sebuah roti dan kopi. Kali ini aku benar-benar menghindari perayaan ulang tahun.

Sialnya, saat itu aku lupa mematikan ponsel. Ketika membuka phonegram-ini adalah evolusi dari smartphone, ponsel dengan menggunakan teknologi hologram---beberapa pesan muncul dari Jimin dan Summer. Pemberitahuan paling atas adalah hal yang tak ingin aku lihat.

Jimin will be arrive on 1 minutes.

Saat itu juga aku langsung berlari, ketika melihat mobil Jimin melaju dan untungnya hologram rambu lalu lintas menyala merah; berhenti. Aku memanfaatkan waktu untuk cepat-cepat lari dan meninggalkan tempat, tak lupa juga mematikan phonegram milikku.

Sebenarnya hal seperti ini sudah aku prediksikan. Pasti mama yang menyuruh Jimin mencariku karena pria itu sangat handal dalam melacak seseorang menggunakan ponsel---sangat menyebalkan.

Aku menerobos kerumunan, mencoba mencari jalan-jalan sempit dan berharap Jimin tidak membawa skycopter miliknya. Itu adalah kendaraan terbaru di Clarkania, mirip skyboard terbang. Kalau Jimin membawanya, sudah pasti aku mati kutu tak bisa melarikan diri lagi.

Terus memasuki gang-gang sempit tanpa menoleh ke belakang sekalipun, tiba-tiba aku mendengar suara tembakan yang cukup halus dari belakang. Kemudian gelembung besar ada di hadapanku, "Ah, Park Jimin!" gerutuku kesal.

Suara tembakan itu adalah suara dari bubleshot, sebenarnya alat itu untuk orang-orang yang suka berburu hewan ketika mendaki gunung---mereka berburu untuk bertahan hidup. Ketika ditembakkan ke mangsa, gelembung besar itu akan membuat buruan terperangkap di dalamnya. Tenang saja, itu tidak berbahaya untuk manusia. Banyak juga anak-anak yang menggunakannya untuk bermain lempar tangkap dengan mengatur seberapa besar ukuran balonnya.

Lupakan tentang bubleshot! Aku tetap berlari, kini memasuki gang yang lebih sempit di sebelah kiri jalan. Kali ini seperti mendapat jackpot. Sebab gangnya semakin menyempit, masih muat untukku, tetapi tidak untuk skycopter.

"Yuhuuu!!!" teriakku ketika menembus keluar dari gang. Aku yakin pasti saat ini Jimin merasa kalah dan akan mengomel dengan manja kemudian---ugh, menggelikan.

Aku berjalan tergopoh-gopoh, mencoba mencari toko untuk sekadar membeli minum. Tetapi sepertinya tak diizinkan, sebab di tengah kerumunan pejalan kaki aku kembali melihat Park Jimin yang ternyata masih mencariku. Aku pun berlari lagi sebelum eksistensiku terlihat oleh Jimin. Sial! Menghindari perayaan saja seperti menghindari depkolektron---si robot penagih hutang yang sebenarnya tidak ada tampang seramnya.

Lagi-lagi pilihanku hanya memasuki sebuah gang kecil. Kali ini sepertinya ada diantara gedung rumah sakit dan sebuh kafe kecil. Aku terus berlari sampai rasanya peluhku mulai bercucuran, napasku sudah mulai terasa berat, sehingga chip pengendali emosi milikku berkedip merah. Itu adalah tanda peringatan, sebab berdasarkan program yang terpasang, rasa lelah dapat menimbulkan emosi seseorang tidak stabil.

Ketika keluar dari gang, aku melihat sebuah bilik usang di depan sana. Terlihat begitu usang dengan tulisan yang berpendar redup 'Retro Photosoot'. Tanpa pikir panjang lagi, aku memasuki bilik tersebut. Itu hanya seluas 3x4m, tidak ada penjaga, tidak ada pekerja, tidak ada pelanggan. Kalau tidak untuk menghindari Jimin, aku enggan masuk, serius!

Aku terus melihat sekeliling, ada beberapa foto yang tergantung pada tali jerami menggunakan sebuah klip kayu. Ada juga sebuah ruangan kecil di ujung ruangan, aku pikir mungkin akan ada orang atau setidaknya robot pelayan di sana. "Permisi?"

Pertama, tidak terdengar sahutan sama sekali, "Permisi? Apa kalian menjual sebotol air mineral?"

Kedua, masih tidak ada jawaban. Karena masih kalut akan Jimin yang mungkin masih berkeliaran di sekitar, maka aku memutuskan untuk melihat beberapa foto yang tergantung di sana. Juga ternyata terdapat daftar harga foto dan cuci cetak. "Aku kira semua teknologi yang kurang canggih sudah ditiadakan. Ternyata masih ada juga gerai yang menggunakan foto dan cuci cetak seperti ini."

Tidak lama kemudian aku mendengar suara decitan seperti suara robot. Ternyata sebuah robot berbentuk manusia tidak sempurna datang dari bilik kecil di sudut ruangan. "Selamat datang, Kim Taehyung. Silahkan duduk dan biarkan aku mengambil gambarmu," ucap robot itu sembari menunjukan tempat untuk berfoto tepat di depannya.

Hanya ada kain berwarna hijau untuk latar dan sebuah kamera yang sudah terlihat sangat tua. "Tidak perlu, Boy. Ngomong-ngomong, dari mana kau tau namaku?"

"Sesuatu yang kalian sebut Dewa."

"Apa?"

"Silahkan duduk, Tuan. Biarkan saya memotret anda," robot itu menuju kamera untuk mengatur beberapa program.

"Aku okay. Biar aku pergi saja. Tadi ... aku hanya mampir."

Aku memutuskan untuk mencoba keluar dari sana, tetapi ketika kuraih dan ku tarik gagang pintu itu ternyata telah terkunci, sebuah sirine berbunyi. Sesuatu yang tidak beres sepertinya terjadi. Tapi apa? Mengapa? Aku panik, mencoba mengaktifkan ponsel, tetapi ternyata dayanya habis.

"Maaf, Tuan. Kau salah membuka pintunya. Seharusnya itu digeser," ucap sang robot dengan ramah dan mematikan sirine yang ternyata mengantisipasi sebuah aksi perusakan fasilitas.

Oh, serius? Ya ampun, aku malu!

Aku malu sampai hanya bisa terdiam sejenak, menenangkan pikiran karena sedari tadi chip yang ada di belakang kepalaku terus berpendar merah. Menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. "Boy, mari berfoto. Tolong foto aku," pintaku.

Aku menuju tempat berfoto, duduk di kursi kayu yang terlihat antik. Beberapa kali aku membereskan baju yang sedikit berantakan, sedangkan sang robot sudah siap dengan sudut potret yang hanya lurus saja-mirip pemotretan untuk kartu identitas.

Ku arahkan tatapanku lurus ke depan, dengan seulas senyum yang coba kusematkan. Robot pemotret itu menghitung mundur dari angka tiga. Pada hitungan satu, lampu blitz dan beberapa lighting menyala. Sejujurnya, aku memang payah dalam perekaman gambar, aku pasti memejamkan mata ketika lampu menyala. Tetapi kali ini, ketika aku membuka matanya selepas lampu blitz pada kamera menyala, aku tak lagi pada tempat semula---tidak pada bilik potret usang.

Aku terduduk dengan posisi yang sama, tetapi ini bukan pemandangan Clarkania. Ini lebih mirip peradaban pada tahun dua ribuan yang sering aku pelajari ketika di sekolah. Dan di sini terlihat sangat kacau bagiku.

Aku bingung sekali, berpikir berkali-kali tentang, di mana ini?

Sampai sebuah hologram muncul tepat di depanku dan menyambut dengan sapaan yang cukup formal.

Hallo. Selamat datang di The Old Town. Ingin melanjutkan perjalanan?

Tertera dua pilihan untuk melanjutkan atau tidak. Aku benar-benar tidak tau apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Apa yang akan terjadi jika aku memilih salah satunya. Tetapi, kemudian aku ingat tentang sepenggal kalimat yang diucapkan nenek, tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa alasan, Taengi.

Dengan bermodalkan nekat, aku menekan satu dari dua pilihan.

Ya Tidak

Aku mendapat instruksi untuk memasukkan sebuah nama panggilan di sana, dengan asal-alasan saja aku menuliskan nama panggilan dengan kata Victory.

Cara Bermain The Old Town:

1. Kamu hanya memiliki satu kesempatan untuk memberikan pertolongan. Manfaatkan untuk kepentinganmu sendiri!

2. Hanya dapat satu kali bertanya dengan warga Old Town

3. Jangan pernah keluar dari permainan, semengerikan apapun itu

Hologram di depanku menghilang. Aku merasa seperti tengah menggunakan virtual reality. Aneh. Sangat aneh.

Sampai tiba-tiba aku melihat seorang pria dengan topi baret dan jaket musim gugur usang. Aku? Itu adalah aku! Aku melihat diriku versi Old Town yang tengah berjalan tergesa-gesa, seperti bersembunyi dari seseorang.

Karena merasa penasaran, aku mengejar pria bertopi baret yang diyakini sebagai diriku versi lama, kemudian memanggil, "Hey, Kim Taehyung!"

Pria itu itu berhenti. Menengok dan terlihat dari raut wajahnya seperti mendapat sebuah kejutan, ia terbelalak ,kemudian lari terbirit.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top