TUJUH: Ritual Gerhana Bulan Merah
Bu Sri Astuti Soedibjo menarik-narik ujung lengan jubah ritualnya dengan gelisah. Beliau berada di barisan jemaah perempuan paling depan bersama dua orang anggota perempuan Ombaalden yang lain. Di hadapannya, terlihat Clara berbaring di dalam sebuah peti berwarna putih, sangat kontras dengan warna jubah yang dikenakan oleh seluruh orang di ruangan ini. Namun, tentu saja ia mendapat perlakuan spesial, karena sebentar lagi ia akan menjadi mempelai Bokkenrijders. Beliau telah menyiapkan pakaian paling cantik yang bisa ditemuinya untuk Clara, bahkan turun tangan langsung untuk meriasnya sendiri. Tubuh Clara terasa sedingin es ketika disentuh. Namun, Bu Sri Astuti yakin jika Clara masih ada di sana. Ia belum mati, hanya tertidur.
Tujuan utama dari ritual ini adalah menjadikan tubuh Clara sebagai medium ruh untuk Nachtelijkondier. Namun, para tetua di Ombaalden berjanji untuk menyegelnya, sehingga dia hanya akan muncul pada saat-saat tertentu saja. Mereka akan masih bisa memiliki Clara sebagai anak perempuan yang manis pada hari-hari biasa. Kesempatan ini begitu bagus untuk dilewatkan. Bapak dan Ibu Soedibjo tidak perlu mengorbankan nyawa satu sama lain demi mempertahankan Clara yang hanya diberi waktu hingga 17 tahun saja untuk bisa hidup sebagai manusia.
Rasa putus asa yang saat ini Bu Sri Astuti alami, mungkin kurang lebih sama besar dengan yang terjadi pada beliau tujuh belas tahun silam, ketika mendapati jika hasil USG kandungannya menunjukkan jika janin yang terkandung di sana telah mati. Bapak dan Ibu Soedibjo melakukan perjanjian dengan Bokkenrijders agar Clara bisa tetap hidup dan lahir dengan semestinya. Namun, mereka hanya diberi waktu selama tujuh belas tahun saja. Pada saat itu, Bapak dan Ibu Soedibjo pikir rentang waktu tujuh belas tahun sudah lebih dari cukup untuk memuaskan dahaga mereka akan hadirnya buah hati. Namun, mereka salah besar karena seiring pertumbuhan Clara yang semakin dewasa, rasa cinta dalam hati keduanya kian membuncah, hingga tidak lagi bisa terbendung. Mereka tidak sanggup kehilangan Clara, dan kini mereka sedang dalam upaya terakhir untuk menyelamatkannya.
Ritual ini akan dipimpin langsung oleh Peeter, seorang pemimpin Ombaalden yang mereka datangkan langsung dari Belanda. Mereka langsung tertarik untuk berkunjung ke Bedehuis yang ada di sini setelah mendengar tentang Matthias. Jumlah para pengikut Ombaalden memang semakin sedikit, tetapi bukan berarti sudah benar-benar punah.
Ketika pemain musik melantunkan kidung yang biasa digunakan untuk membuka ritual ini, Peeter berjalan masuk sambil mengenakan jubah merah. Pada saat ini, Bu Sri Astuti turut menundukkan kepala, bersama dengan seluruh orang lain di ruangan ini untuk merapal mantra bersama-sama. Kemudian, Matthias dibawa masuk ke dalam, lalu mereka akan dipertemukan untuk pertama kali.
Kedua tangan Bu Sri Astuti saling meremas satu sama lain. Ia berharap tubuh Clara yang mungil dan ringkih cukup membuat—baik Bokkenrijders maupun Matthias—tertarik untuk melanjutkan prosesi ini. Udara di dalam Bedehuis ini seketika menjadi dingin hingga membuat beberapa orang di sebelah maupun di belakang barisan Bu Sri Astuti menggigil, ketika Matthias dibawa masuk. Dari balik tudung jubahnya, Bu Sri Astuti diam-diam mencuri pandang pada sosok Matthias. Pemuda tersebut sepintas lalu tampak seperti anak SMA pada umumnya. Parasnya juga cukup tampan. Bu Sri Astuti tampaknya mengerti mengapa Bokkenrijders memilih tubuh Matthias menjadi inangnya. Jika saja dia tidak bersekolah di SMA khusus pria, mungkin dia dan Clara bisa menjadi teman akrab. Namun, Bu Sri Astuti merinding saat pandangannya berserobok dengan Matthias. Ada yang ganjil dari sorot matanya, dan ia sama sekali tidak terlihat seperti manusia biasa pada umumnya.
"Saya bersedia menjadikan Clara sebagai pengantin saya," ucap Matthias dalam bahasa Belanda yang fasih, ketika Peeter memanggil namanya dan bertanya apakah dia berkenan melanjutkan prosesi ini hingga selesai. Seketika Bu Sri Astuti menghela napas lega. Mungkin tadi ketika mereka saling berpandangan, Bokkenrijders melalui Matthias bisa melihat seberapa besar keputusasaan yang terpancar pada diri Bu Sri Astuti.
Peeter menyerahkan sebuah pisau bergagang pendek ke tangan Matthias, di mana dia menyayat bagian dalam pergelangan tangannya, kemudian darah yang mengucur di sana akan ditampung dalam sebuah cawan. Kemudian, pisau yang sama digunakan untuk menyayat tangan Clara persis seperti yang Matthias lakukan. Cawan yang berisi darah dari kedua mempelai akan diminum oleh mereka berdua, lalu sisanya akan dioleskan pada kening seluruh jemaah Ombaalden sebagai pertanda jika ikatan ini mendapat persetujuan dari semua orang, termasuk Peeter.
Bu Sri Astuti menahan napas ketika cawan dari tangan Matthias kini didekatkan pada bibir Clara. Segera setelah tegukan pertama mengaliri kerongkongan Clara, kedua kelopak mata Clara yang tadinya terkatup, perlahan-lahan terbuka. Ia mengerjap beberapa kali, kemudian memandang berkeliling, mengamati sekitarnya, sebelum pandangannya tertuju pada Matthias.
"Mijn echtgenoot," ucapnya pada Matthias. Bu Sri Astuti sekali lagi memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan menatap putrinya. Beliau berani sumpah, jika sorot mata itu tidak lagi milik Clara yang manis dan selalu ceria. Bagian putih dari mata Clara berubah kemerahan, dan ekspresi di sana terlihat mengerikan. Seperti seorang iblis wanita.
Matthias menjulurkan tangan untuk membantu Clara keluar dari peti yang membungkusnya, lalu mereka bergandengan tangan. Pandangan Clara mengedar, seolah mencoba melakukan kontak mata dengan seluruh jemaah, lalu terkunci cukup lama pada Bu Sri Astuti. Bibirnya terbuka, sepatah kata meluncur dari sana.
Bukan Mama, melainkan, "Klein kleindochter."
Cucu buyut.
Seolah-olah gadis belia yang berdiri di sana bukan lagi Clara putrinya, melainkan Helena, nenek buyutnya.
Tubuh Bu Sri Astuti seketika terasa lemas. Kedua kakinya seolah tak sanggup lagi menopang berat tubuhnya, hingga ia oleng. Beruntung beliau tak sampai membentur lantai karena orang-orang yang berada di kanan dan kirinya dengan sigap menahan tubuh bu Sri Astuti sebelum beliau tidak sadarkan diri.
Ketika Bu Sri Astuti membuka mata, wajah Clara yang pertama kali tertangkap pandangannya. Ia duduk tepat di sebelah matras kecil di dalam Bedehuis ini, sambil menggenggam tangannya. Dengan suara parau, Bu Sri Astuti mencoba memanggil putrinya.
"Clara."
"Mama! Mama sudah sadar?" Clara buru-buru mendekap Bu Sri Astuti dengan erat. Tangisan Bu Sri Astuti pecah. Beliau meraung-raung sambil memeluk putri tunggalnya yang kini kembali bernyawa.
"Clara anakku, Mama—"
Bu Sri Astuti tertegun ketika beliau menyadari ada sesuatu yang ganjil dari tubuh Clara. Sejak kecil, dia memang anak yang kurus dan sakit-sakitan. Namun, mau sekurus apapun tubuh Clara, setiap kali Bu Sri Astuti memeluknya, beliau tidak bisa meraba tulang-tulang belakang di punggung Clara dengan jelas. Namun kali ini, Bu Sri Astuti bisa merasakan tonjolan-tonjolan persendian dan tulang dari punggung Clara. Bu Sri Astuti melepaskan pelukannya lalu menatap Clara lekat.
"Kenapa, Ma?" tanya Clara. "Ada yang aneh sama aku?"
Bu Sri Astuti kembali menarik Clara dalam dekapannya. "Enggak, Sayang. Enggak ada. Kamu tetap anak Mama yang paling Mama cintai, bagaimanapun keadaannya."
"Aku juga cinta sama Mama," jawab Clara sambil balas mendekap Bu Sri Astuti. "Sekarang, Mama nggak perlu takut lagi kehilangan aku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top