LIMA: Syarat Pembatalan Perjanjian

"PAPA! Tolongin aku, Pa. Ini punya aku gerak-gerak!"

Clara memekik nyaring ketika pancingan di tangannya bergerak-gerak dan ia seolah terdorong ke depan akibat hasil tangkapannya yang berusaha meloloskan diri. Pak Soedibjo buru-buru membanting pancingnya sendiri untuk membantu Clara menangkap buruannya. Bersama-sama, mereka menarik dengan sekuat tenaga hingga akhirnya seekor ikan gemuk terangkat ke udara. Dengan sigap, Bu Soedibjo menangkap ikan tersebut menggunakan jaring. Kerja sama yang kompak antara mereka bertiga membuahkan hasil yang lumayan. Tiga ekor ikan gurami dengan ukuran hampir dua kali panjang telapak tangan manusia dewasa, satu ekor ikan bandeng, serta dua ekor ikan mujair ukuran kecil, di mana hampir semuanya ditangkap oleh Pak Soedibjo seorang diri. Meski begitu, Clara tampak begitu bahagia karena berhasil menangkap ikannya sendiri, setelah hampir dua jam berjibaku di bawah terik matahari menunggu umpan ditangkap.

"Hebat anak Papa," puji Pak Soedibjo. "Masih mau lanjut?"

Clara menggeleng. Ia menyeka anak-anak rambut di keningnya dengan punggung tangan, lalu cuping hidungnya yang mungil mengerut ketika menyadari jika tangannya berbau amis akibat terpercik air kolam beberapa saat lalu.

"Ewh," gerutunya. Bapak dan Ibu Soedibjo tertawa melihat kelakuan putri mereka. Bu Soedibjo dengan sigap mengambil handuk untuk diusapkan pada wajah dan kedua tangan Clara.

"Ayo, Mama antar ke kamar mandi," ajak beliau. Namun, Clara justru sibuk merogoh-rogoh kantong celana denimnya demi mengeluarkan ponsel Android lipat warna ungu favoritnya.

"Bentar, Ma, aku mau foto dulu sama ikan yang tadi," sergah Clara. Ia menyerahkan ponsel tersebut ke tangan Pak Soedibjo, lalu mengambil ikan yang tadi ditangkapnya di ember dengan kedua tangan sambil diangkat tinggi-tinggi. "Fotoin aku dong, Pa. Yang cantik, ya."

Pak Soedibjo mengarahkan Clara agar menjauh dari tepi kolam lalu dengan senang hati menjepret beberapa foto dalam berbagai gaya. Clara suka sekali difoto. Dalam galeri ponselnya, banyak sekali foto-foto yang ia ambil sendiri atau difotokan oleh orang lain, selayaknya anak gadis remaja lain. Pada saat ini, Pak Soedibjo berusaha keras untuk tidak berpikir terlalu jauh tentang apa yang akan terjadi nanti jika Clara tidak ada lagi di sini.

"Udah yuk, Clara, cuci tangan dulu," ajak Bu Soedibjo. "Bapak mau bawa ikannya ke tempat pembakaran?"

Pak Soedibjo mengangguk. Beliau mengembalikan ponsel Clara pada pemiliknya, namun gadis tersebut menolak dengan alasan ia tidak ingin ponselnya kotor ketika ia berada di kamar mandi nanti. Mereka berpisah di taman tengah, di mana Ibu Soedibjo membawa Clara ke kamar mandi di sisi kiri arena kolam pemancingan ini, sedangkan Bapak yang menenteng ember berisi ikan, berbelok ke kanan, menuju area pembakaran ikan. Mereka tidak akan makan semua ikan hari ini, tentu saja. Clara yang baik hati, tentu akan selalu ingat untuk berbagi pada asisten-asisten yang ada di rumah. Bapak dan Ibu Soedibjo membesarkan Clara dengan baik. Sayang sekali, anak semanis itu ditakdirkan untuk tidak berumur panjang.

Ketika sedang menunggu proses memasak ikan dan anak istrinya kembali dari kamar mandi, Pak Cahyo, rekan Pak Soedibjo, sesama anggota Ombaalden menghampirinya. Komunitas tersebut—mereka tidak suka menyebutnya dengan sekte, karena memiliki konotasi negatif—yang tadinya memiliki ribuan anggota ketika pertama kali didirikan pada tahun 1800-an, kini hanya tersisa beberapa ratus orang saja. Pengurangan jumlah tersebut terjadi karena faktor regenerasi yang rendah, serta angka kematian yang melanda para anggotanya. Beberapa orang anggota baru yang mereka rekrut, tak pernah bertahan lama. Secara statistik, sebagian besar meregang nyawa ketika mereka tidak bisa memenuhi syarat-syarat yang diminta. Sebagian lagi berakhir di rumah sakit jiwa, sebab obsesi yang berlebihan bisa mengikis kejiwaan mereka. Bapak dan Ibu Soedibjo khawatir jika nasib mereka kelak akan berakhir seperti kelompok yang kedua, jika masa pinjam Clara telah usai.

"Selamat siang, Pak," sapa Pak Cahyo. Beliau duduk di samping pak Soedibjo sambil mengulurkan tangan. Pak Soedibjo menjabat tangan tersebut dengan ramah. "Mana anaknya?"

"Eh, Pak. Clara di toilet, tadi badan sama bajunya kena percikan air kolam," jawab Pak Soedibjo. "Terima kasih lho, Pak Cahyo, sudah mengizinkan saya dan anak istri untuk berlibur ke sini."

"Ndak apa-apa, Pak," ucap Pak Cahyo sambil mengibaskan tangan. "Saya ngerti, kalau buat anak, pasti kita orang tua maunya ngasih yang terbaik, ya tho?"

"Betul, Pak."

"Bukannya kapan hari Bapak lagi di Jerman? Kok sudah balik ke sini?" tanya Pak Cahyo. "Hebat lho, bisnis mebelnya bisa sampai impor ke Jerman segala."

"Ah, nggak juga, Pak," jawab Pak Soedibjo sambil menundukkan kepala. "Clara sakit, makanya saya buru-buru pulang."

"Sakit apa tho—" seperti tersadar akan sesuatu, Pak Cahyo tiba-tiba terdiam. Beliau tampak menelan ludah beberapa kali, sebelum kembali buka suara. "Apa sudah waktunya, Pak?"

Pak Soedibjo menggeleng dengan muram. "Harusnya belum, Pak. Clara baru enam belas tahun."

Di komunitas yang tidak seberapa besar ini, hampir semua orang mengetahui masing-masing rahasia besar yang dimiliki tiap-tiap anggota. Jadi, akan lebih mudah bagi Pak Soedibjo untuk membuka obrolan tentang kondisi Clara pada orang yang dikenalnya saja, ketimbang orang lain. Setiap anggota seolah mampu berempati pada keadaan yang dialami orang lain, karena mereka semua pada dasarnya berada di kondisi yang sama.

"Kok bisa, ya," gumam Pak Cahyo lirih. Rokok di tangannya telah habis terbakar. Beliau menekan ujung rokoknya di bangku panjang yang mereka duduki, lalu melempar puntungnya sembarangan ke bawah. Pak Cahyo mengeluarkan satu kotak baru dari kantong depan kemejanya, lalu menarik sebatang. Beliau menyodorkan kotak di tangan pada Pak Soedibjo, namun ditolak halus.

"Enggak, Pak, saya sudah berhenti sejak punya darah tinggi," ucap Pak Soedibjo. Pak Cahyo yang tadinya sibuk menyulut korek, kini jadi mengurungkan niatnya setelah mendengarkan ucapan tersebut.

"Padahal Bapak berusaha keras untuk menjaga kesehatan demi bisa menemani Clara sampai dia besar ya, Pak," ucapnya getir. Pak Soedibjo pun tahu tentang hal tersebut. Untuk mengalihkan topik pembicaraan, Pak Cahyo menunjuk beberapa area baru di tempat wisat kolam pancingnya yang baru saja di renovasi. "Bapak ingat nggak, dulu area pancing ini tidak seluas sekarang, lho." Mencoba mengikuti arah yang ditunjuk Pak Cahyo dengan ujung jarinya, Pak Soedibjo menyimak ucapan rekannya ini dengan saksama. "Dulu area bermain anak itu belum ada. Terus, kolam ikan koi di depan pintu masuk itu juga baru. Tadinya, koleksi ikan koi saya cuma tiga ekor, sekarang ada lima belas.

"Banyak juga ya," gumam Pak Soedibjo dengan takjub. "Hebat lho, Pak Cahyo bisa mengembangkan area ini dalam waktu beberapa tahun saja."

"Yah... Semua yang saya miliki ini juga tidak terlepas dari komunitas kita, Pak," sahut beliau dengan santai, seolah sedang membicarakan sesuatu yang remeh. "Jadi, saya mengerti mengapa Bapak begitu sayang dengan Clara. Saya pun telah mencurahkan banyak sekali ide dan waktu untuk mengembangkan usaha ini, tetapi anak-anak saya tidak ada yang mau menetap di sini dan meneruskan bisnis keluarga. Mereka lebih suka ... apa namanya, jadi budak korporat? Heheheh."

Pak Cahyo hanya tinggal seorang diri, setelah kematian istrinya beberapa tahun silam. Di keluarga beliau, anak-anaknya tidak ada yang mau diajak ke Bedehuis setelah mereka beranjak remaja, dan mereka memilih keluar dari rumah. Praktis, tinggal Pak Cahyo seorang diri yang masih rutin ikut acara keagamaan dan menjalankan ritual setiap bulan purnama merah yang terjadi setiap dua tahun sekali. Meski begitu, mereka telah disumpah darah untuk tetap menjaga kerahasiaan Ombaalden dari orang luar, sebagai syarat pembebasan mereka dari komunitas. Atas keputusan yang diambil tersebut, mereka juga kehilangan sang Ibu yang rela berkorban jiwa demi kebebasan anak-anaknya.

Mereka berdua terdiam cukup lama dalam pikiran masing-masing. Ketika dari kejauhan terlihat Clara dan Bu Soedibjo telah selesai membersihkan diri di toilet perempuan dan sedang berjalan ke arah sini, seolah teringat sesuatu, Pak Soedibjo buru-buru membuka ponsel Clara, lalu menyalin semua foto yang ada di sana ke dalam ponselnya sendiri. Melihat yang dilakukan Pak Soedibjo, Pak Cahyo mendecakkan lidahnya.

"Pak, saya mungkin tahu apa yang bisa Bapak lakukan agar Bapak tidak perlu kehilangan Clara," bisik Pak Cahyo lirih. "Saya tahu betul betapa Bapak sangat sayang pada anak itu, dan saya rasa semua orang tua pun tentu tidak ingin kehilangan buah cinta mereka di usia muda."

Pak Soedibjo mematung di tempat ketika mendengar pernyataan tersebut. Dengan tangan gemetar, beliau mencengkeram lengan Pak Cahyo erat.

"Apa syaratnya, Pak? Tolong beritahu saya."

"PAPA!" seru Clara. Dengan setengah berlari, ia menghampiri meja piknik tempat Pak Soedibjo dan Pak Cahyo duduk, lalu ia buru-buru menyambar ponselnya yang tergeletak di hadapan Pak Soedibjo. Keningnya mengerut ketika menyadari sesuatu di sana. "Apa nih? Papa ngapain kirim foto-foto aku ke hape Papa? Iih, kan aku jadi malu."

Layar ponsel Pak Soedibjo yang tadinya mati, kini menyala. Pertanda proses transfer data yang belum selesai diputus paksa dari pihak Clara. Mengamati interaksi antara Bapak dan anak ini, Pak Cahyo beranjak dari sana seraya membebaskan diri dari cekalan Pak Soedibjo.

"Saya akan kasih tahu, tapi nggak sekarang." ucap beliau. "Makan yang banyak, Clara, biar sehat. Lihat, badan kamu kurus banget gitu, kayak tinggal tulang." Kepada Bu Soedibjo yang baru datang, Pak Cahyo menundukkan kepala untuk berpamitan. Melihat ekspresi di wajah Pak Soedibjo, memantik rasa ingin tahu istrinya. Namun, beliau cukup tahu diri jika apapun yang mereka akan bicarakan, sebaiknya tidak dilakukan di depan Clara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top