ENAM: Mempelai Remaja

"Mama? Papa?"

Clara mencoba memanggil-manggil mama dan papanya, tetapi tidak ada suara yang terdengar.

Clara memandangi sekelilingnya dengan panik. Semuanya terlihat gelap. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, namun tetap saja tidak ada cahaya yang tertangkap masuk pada penglihatannya. Ia mengucek matanya hingga terasa perih, namun tetap saja ia tak bisa melihat dengan jelas.

Clara menjulurkan tangan ke depan, lalu ia berjingkat ketika ujung jarinya menyentuh sarang laba-laba. Ia ada di mana? Clara menggerakkan tangannya ke samping kanan dan kiri. Ia tetap saja bertemu dinding. Seolah ia sedang disekap di sebuah ruangan sempit yang kotor. Clara memberanikan diri untuk melangkah maju, tetapi kakinya terantuk sesuatu, hingga ia tersungkur ke tanah yang keras. Clara duduk meringkuk di bawah. Sebelah tangannya yang sehat, sibuk meraba sikunya yang terasa nyeri akibat terantuk dinding tadi, sedangkan tangan yang lain terjulur ke bawah.

Jantung Clara mencelus ketika ia meraba sesuatu yang terasa seperti helaian rambut. Clara menggunakan kedua tangannya untuk merasakaan benda tersebut. Bulu kuduknya meremang. Ia begidik ngeri ketika menyadari jika yang disentuhnya adalah kepala manusia. Atau sesuatu yang berbentuk hampir seperti bola voli dengan rambut di sebagian sisinya. Clara memekik, refleks membanting benda tersebut, ketika ia meraba mata dan hidung di bagian yang tidak tertutup rambut. Terdengar suara benturan di dinding, lalu benda tersebut kembali menggelinding ke dekat kakinya. Sambil menangis terisak dan dengan kedua tangan bergetar hebat, Clara kembali menyentuh benda tersebut. Ia hampir memekik ketika ujung ibu jarinya menyentuh sesuatu yang terasa seperti bibir. Namun, jemari Clara tampaknya tidak bisa berhenti. Rasa keterkejutan Clara mencapai puncaknya, ketika ia menyadari ada sesuatu yang terasa seperti bekas jahitan di bagian tubuh yang diduga dagu.

Ia pernah jatuh dari sepeda ketika ia masih balita hingga dagunya harus dijahit. Berarti ini...

Clara berteriak histeris tanpa suara. Seketika, ia merasakan seperti ada dorongan dari dalam dirinya, lalu terbangun dari tidur. Clara membuka matanya dan menatap wajah Mama yang tampak pias. Di dekat beliau ada Mbok Soendari dan Bu Siti. Papa tidak terlihat di sana, tetapi Clara hampir yakin jika beliau mungkin juga turut terbangun. Clara memandang berkeliling. Ia menyadari ada berkas-berkas tanah basah di lantai kamarnya dari arah luar balkon hingga ke dalam kamar, lalu sampai ke atas tempat tidur. Seprainya terburai, ada beberapa helai kelopak bunga mawar di sana.

"Clara?" panggil Bu Soedibjo. "Nak? Kamu gimana perasaannya?"

Pada saat ini, Clara merasakan gatal yang luar biasa pada bagian kerongkongannya, lalu ia mulai terbatuk. Sekali, dua kali, kemudian suara batuknya semakin kencang dan beberapa helai kelopak bunga mawar keluar dari dalam mulutnya. Clara memuntahkan semua yang ia makan hingga tidak ada lagi yang tersisa dan tubuhnya terasa begitu lemas. Clara terkulai, namun dengan sigap Mama menangkap tubuhnya. Bu Siti tampak tercengang menatap kejadian di hadapannya ini. Mungkin ini pertama kali bagi beliau melihat seorang perempuan memuntahkan bunga mawar.

"Mama," panggil Clara lirih.

"Clara sayang," jawab Bu Soedibjo seraya terisak. Beliau mendekap Clara erat sambil mendaratkan kecupan singkat di keningnya berkali-kali. "Jangan tinggalin Mama, Nak. Kamu harus bertahan demi kami, Nak. Mama mohon."

"Mama."

"Iya, Sayang. Tunggu, ya. Papa dan Mama lagi berusaha biar Clara masih bisa ikut Mama lebih lama lagi."

Mengapa Mama terdengar begitu sedih? Apakah ini yang akan terjadi pada orang-orang yang mau mati? Pada saat ini, Clara memejamkan matanya karena rasa lelah yang melanda. Namun, ia masih bisa mendengar apa saja yang terjadi di sekitarnya. Ada suara langkah kaki tergopoh-gopoh masuk kamarnya, tetapi itu bukan Papa.

"Bu, Non Clara nggak apa-apa? Tadi, kata Pak Tanto, dia lihat ada hantu perempuan terbang dari taman belakang ke arah kamar sini. Non Clara nggak kesambet kan, Bu?"

Ah, itu suara Bu Murni. Clara mungkin hampir jarang berinteraksi dengan asisten-asisten di rumah ini, tetapi ia cukup kenal dengan mereka, sampai bisa membedakan suara masing-masing. Mungkin karena ia suka mencuri dengar ketika para asisten sedang bergosip di belakang saat membicarakan tentangnya, atau memang ia memiliki kedekatan secara khusus dengan mereka di alam bawah sadarnya.

"Ibu perlu dibantu panggilkan Bu Ayu?" tanya sebentuk suara lain dengan nada penuh kehati-hatian. Ah, Clara paling suka dengan Bu Siti dibandingkan yang lain. Bu Siti tak pernah ikut-ikutan setiap kali mereka bergosip. Bu Siti juga tak pernah terlalu ikut campur dalam urusan keluarga yang berkaitan dengannya.

"Enggak, Bu Siti," gumam Bu Soedibjo di sela-sela isakan tangisnya. "Saya nggak yakin Bu Rahayu bisa nolongin saya dalam kondisi seperti ini."

"Non Clara harus dibawa ke Bedehuis," ucap Mbok Soendari. "Ibu mungkin bisa memohon pada Bokkenrijders untuk mengembalikan Non Clara lagi."

Clara mengenali satu nama yang disebut di sana. Bokkenrijders. Sebuah entitas yang disembah oleh kedua orang tuanya. Kaum Ombaalden menganggapnya sebagai Tuhan. Namun, Clara berani sumpah jika dalam alkitab agama lain yang dianut teman sekelasnya ketika mereka sedang ada pelajaran di sekolah, menyebutkan jika Bokkenrijders adalah iblis yang terbuang dari surga karena melawan perintah Tuhan. Ia digambarkan sebagai sosok makhluk yang membawa pedang panjang dan memiliki kendaraan berbentuk domba, seperti ilustrasi dalam buku kitab yang pernah Clara baca.

Sejak kecil hingga sekarang, Clara selalu dilibatkan dalam ritual dwi tahunan yang rutin diselenggarakan tanpa terkecuali. Ia cukup mengetahui seluk-beluk mengenai komunitas kecil yang telah menjadi bagian besar dari rahasia Papa dan Mama dari kitab yang ia baca dan mantra-mantra yang Mama ajarkan selayaknya doa sehari-hari. Clara juga tak cukup bodoh untuk menyadari jika yang mereka lakukan ini sangat berbeda dengan tata cara keagamaan yang biasa dilakukan teman-teman sebayanya di sekolah. Meski begitu, Clara masih mencoba memahami jika keluarga mereka memang berbeda dan spesial dari yang lain. Namun, ia tak mengira jika dirinya punya keterikatan pada Ombaalden lebih dalam dari yang diketahuinya selama ini.

"Mama!" Ah, itu dia Papa Clara. Clara berani bersumpah jika dia bisa tahu kalau Papa sedang menangis hanya dari suaranya saja. "Pak Cahyo dan orang-orang bilang mereka bisa bantu kita."

"Benar, Pa?" tanya Bu Soebagjo. "Apa syaratnya? Kalau memang kita harus berkorban—"

"Ma, tenang dulu. Nggak ada yang perlu dikorbankan," potong Papa Clara cepat. "Kenalan Pak Cahyo cerita kalau dia melihat sosok Bokkenrijders pada salah satu murid SMA swasta."

"Maksud Papa apa?"

"Bokkenrijders turun ke dunia setiap beberapa ratus tahun sekali untuk mencari titisan Nachtelijkondier, pengantinnya. Kali ini dia memilih tubuh remaja pria untuk dijadikan inang. Kalau kita bisa membujuknya untuk mengambil alih tubuh Clara sebagai mempelai wanitanya—"

"Siapa anak itu, Pa?" tanya Bu Soedibjo. "Kita harus menemukannya saat ini juga. Mama rela melepaskan apa saja asalkan Clara masih ada di sini dengan kita, Pa."

"Namanya ... Matthias."

Pada saat ini, kesadaran Clara telah sepenuhnya hilang dan ia tidak bisa lagi mendengarkan apa yang terjadi di luar sana, selama ia pingsan.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top