4 | Bukan Anak Intern Biasa
Esa mengerjap berkali-kali, hampir gagal mempercayai penglihatannya.
Tapi, ini semua nyata. Sosok yang dilihatnya memang benar-benar Nivy. Tidak mudah menemukan gadis bergaris wajah plek-ketiplek sepertinya di Jakarta. Dia punya kecantikan oriental yang tidak pasaran. Siapa saja yang mengenalnya pasti langsung tahu itu dia, meski gayanya berkebalikan amat drastis dari penampilannya sehari-hari.
Nivy melangkah cuek sambil sesekali mengisap pod vapor bertalikan manik-manik yang tergantung di lehernya. Dia menghampiri sebuah Chevrolet Camaro warna shocking pink yang parkir tidak jauh dari Honda Civic Esa.
Chevy Camaro nggak bisa dibilang mobil murah. Benak Esa bersuara. Dan orang biasa jelas nggak akan mampu ikut illegal street racing kayak gini.
Esa mengeratkan genggaman ke roda kemudi. Seingatnya, dia sudah melakukan background check pada anak-anak magang. Yah, memang sih, dia tidak melakukan background check secara mendalam. Salahnya karena kurang menyeluruh. Dia hanya meneliti sekilas apa yang terlihat di permukaan, sebab dia pikir mustahil anak-anak magang yang masih pada berstatus sebagai mahasiswa terlibat dalam... sesuatu yang seperti ini.
Mata Esa masih mengawasi bagai elang yang tengah mengintai mangsa saat Nivy masuk ke Chevrolet Camaro-nya. Dia duduk di belakang setir. Kaca jendela samping mobilnya dilapisi film berwarna gelap, membuat Esa tidak lagi bisa melihatnya.
Gue harus mastiin itu betulan Nivea atau bukan.
Tidak lama kemudian, sesosok gadis semampai maju mendekati garis start. Dia memberi aba-aba dalam gestur yang kelewat genit dan menggoda. Esa beralih memandang lurus ke depan. Dia fokus pada hitungan mundur yang disuarakan—dimulai dari tiga, kemudian dua, dan sewaktu pemberi aba-aba memberi mereka tanda untuk maju, Esa segera menginjak pedal gas mobilnya dalam-dalam.
Hanya butuh tiga menit bagi Chevrolet Camaro Nivy untuk memimpin jalannya balapan.
Gadis itu menyetir dengan sangat lihai, seakan-akan dia sudah mengenal setiap lekuk jalan sebaik dia mengenal pola garis tangannya sendiri. Esa menambah kecepatan agar bisa mengejarnya. Tapi ternyata, tidak segampang itu menyusul Nivy. Meski sudah mulai sepi, tetap masih ada cukup banyak mobil non peserta balapan di jalan raya. Esa mesti bermanuver lincah di antara mobil-mobil tersebut. Dia mendahului dengan gesit seraya berusaha tidak kehilangan kendali terhadap mobilnya yang melaju di atas kecepatan rata-rata.
Kecepatan mobil Nivy pun jauh dari kata stagnan. Chevrolet Camaro itu melesat kencang, membuat orang-orang yang kebetulan lagi ada di tepi jalan kompak menoleh wartu mobil itu lewat. Warna merah mudanya yang sangat terang membuatnya seolah-olah menyala dalam kegelapan malam. Mobil itu meliuk cantik menghindari beberapa kendaraan yang berada di depannya, lalu berbelok elegan di sebuah tikungan. Siapa pun pasti berpikir kalau yang berada di belakang setir mobil itu adalah pengemudi handal sarat pengalaman.
Esa sudah melupakan balapannya. Garis finish bukan lagi tujuannya. fokusnya sepenuhnya terpaku pada Chevrolet Camaro Nivy.
Jarak mobil Esa dan mobil Nivy hanya tinggal selemparan batu ketika sebuah Mitsubishi Lancer tahu-tahu menyalip Honda Civic Esa. Diikuti sebuah Nissan warna hijau gelap. Sadar kalau posisi nomor satunya terancam oleh kehadiran tiga mobil yang membuntutinya, Nivy menambah kecepatan. Esa merutuk dalam hati, mau tidak mau ikut memperdalam pijakannya ke pedal gas. Mobilnya meluncur makin kencang di atas aspal.
Mereka berbelok ke jalanan yang lebih kecil. Esa berhasil mendahului Mitsubishi Lancer yang semula berada di depannya. Kini, tinggal Nissan hijau gelap yang jadi satu-satunya pemisah antara mobilnya dan mobil Nivy. Kondisi jalan yang tidak selebar ruas jalan sebelumnya cukup mempersulit usaha Esa menyalip Nissan hijau gelap tersebut. Butuh konsentrasi dan presisi tinggi dalam mengemudi, yang tentu saja lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.
Esa membanting setir agak ke kanan. Dia nekat mengambil risiko. Akhirnya, meski sukses menyalip Nissan hijau gelap tersebut, setengah bagian belakang Honda Civic Esa sempat membentur body si Nissan hijau gelap. Esa yakin, separuh bagian mobilnya pasti penuh baret parah. Namun Esa rasa, kalau dia menjelaskan situasi rinci malam ini, Naje bakal mengerti.
Bukan waktunya mikirin reaksi Nacrut kalau dia tahu gue bikin mobilnya baret di mana-mana! Esa mendengus.
Mereka menikung meninggalkan jalan sempit itu, berpindah ke ruas jalan yang lebih luas. Esa melirik monitor GPS yang terpasang di mobilnya. Tersisa kurang dari dua kilometer sebelum garis finish.
Lebar jalan memungkinkan Esa memajukan mobilnya, melajukannya sejajar dengan mobil Nivy. Mobil Nivy berada di lajur kiri, sedangkan mobil Esa berada di lajur kanan.
Saat itulah, kaca jendela pengemudi Chevrolet Camaro Nivy tahu-tahu diturunkan. Refleks, Esa ikut menurunkan kaca mobilnya. Dari jarak yang lebih dekat dan tanpa kaca berlapis film gelap sebagai penghalang, Esa bisa melihat gadis berambut panjang itu lebih jelas.
Nggak salah lagi, dia memang benar-benar Nivea.
Nivy masih kelihatan santai. Parasnya dingin, tanpa ekspresi. Kaca jendela yang diturunkan membuat angin malam leluasa memainkan helai rambutnya yang tergerai. Selagi tangan kirinya memegang setir, tangan kanan Nivy mengangkat pod vapor, membawa benda itu lebih dekat ke bibirnya. Dia menghisap, lalu mengembuskan cincin asap ke udara.
Beragam prasangka menyesaki batok kepala Esa.
Dia teringat lagi pada kapalan tak biasa yang tak sengaja teraba olehnya tempo hari, ketika dia menarik Nivy ke wastafel kamar mandi untuk membasuh tangan Nivy yang baru terguyur kopi panas. Juga pada fakta bahwa Nivy tidak terlihat gentar sama sekali menghadapi deretan debt collector yang salah alamat ke kantor mereka. Atau bagaimana Nivy menghajar pacar crush-nya Alex yang sempat bikin huru-hara di lobi kantor.
Siapa lo sebenarnya, Nivea?
Sekonyong-konyong, Nivy menatap ke arah Esa. Pandangan mata mereka beradu. Dingin di wajah Nivy lenyap seketika, terganti oleh kepanikan yang sangat kentara. Gadis itu buru-buru menaikkan lagi kaca mobilnya. Dia meningkatkan kecepatan. Beberapa meter di depan mereka, Nivy mendadak berbelok ke kiri. Dia masuk ke jalan permukiman yang tidak termasuk ke dalam rute balapan. Dia meninggalkan kemenangannya yang sudah di depan mata begitu saja.
Kecurigaan Esa serasa baru dikonfirmasi secara mutlak.
Esa tidak tinggal diam. Dia ikut banting setir ke kiri. Bunyi raungan mesin mobil memecah keheningan jalan yang sepi. Mereka terlibat kejar-kejaran berisiko tinggi.
Di sebuah pertigaan jalan, Nivy memutuskan menikung tajam ke kanan. Saking tajamnya belokan itu, roda Chevrolet Nivy sampai meninggalkan jejak pola ban di aspal. Tidak mau kalah, Esa mengikuti. Dia berusaha mendahului supaya punya kesempatan memotong jalan di depan mobil Nivy, membuat gadis itu tidak bisa kabur ke mana-mana. Namun, rencana Esa gagal terealisasi karena mereka disambut oleh sebuah perlintasan kereta api yang mengantre berpuluh meter di depan mereka.
Palang perlintasan kereta sudah mulai bergerak turun, walau jumlah kendaraan yang mengantre untuk lewat sangat sedikit.
"That's it." Esa bergumam. "You're stuck, Missus."
Menangkap basah Nivy akan lebih mudah jika gadis itu terpaksa berhenti gara-gara mobilnya terhalangi palang perlintasan kereta. Esa yang sudah merasa di atas angin pun mengurangi kecepatan mobilnya. Sebuah keputusan yang salah, sebab alih-alih menginjak rem, Nivy justru memilih berjudi dengan maut. Dia malah memperdalam pijakan kakinya ke pedal gas, menambah kecepatan.
Chevrolet Camaro-nya menabrak separuh bagian palang perlintasan yang belum sepenuhnya diturunkan. Suara benturan keras merobek kesenyapan. Orang-orang terkesiap seketika. Esa ikut dibuat terperangah tak percaya. Supir-supir yang tadinya duduk terkantuk-kantuk kompak mengerjap. Kantuk mereka lenyap tanpa sisa, digantikan kekagetan yang nyata.
Chevrolet Camaro Nivy tidak berhenti. Terus melaju. Esa menggeram kesal, tapi sudah terlambat baginya meniru tindakan nekat Nivy karena seperempat menit kemudian, kereta akhirnya lewat.
Sewaktu palang perlintasan kereta api yang tinggal setengah akibat ditabrak mobil Nivy terangkat kembali, Esa benar-benar sudah kehilangan jejak gadis itu.
*
Naje tidak membuang kesempatan meledek Esa setelah Esa memberitahu kalau dia gagal memenangkan balapannya.
"Lo nggak lagi bercanda, kan?!"
"Nggak." Esa membalas malas. "Gue kalah."
"Astaga. Finish keberapa?"
"Dua belas."
Tawa Naje meledak bagai mercon di ujung lain telepon. "Anjirrrrrr..."
"Nggak usah ketawa lo!"
"Sepengalaman gue balapan di tiga negara sekaligus, gue nggak pernah finish di angka sebuncit itu."
"Bodo."
"As you deserved, though." Naje cekikikan puas. "You got humbled super quick."
Esa mendengus untuk yang kesekian kalinya. Bakal bohong kalau dia bilang ledekan Naje tidak membuatnya bete. Meski demikian, dia sengaja menahan diri agar tak menceritakan pertemuannya dengan Nivy.
Padahal seandainya dia tidak bertemu Nivy, sebenarnya mudah saja bagi Esa memenangkan balapan jalanan tersebut. Soalnya jika dibandingkan dengan kemampuan Esa, kemampuan peserta lainnya masih kelas amatir.
Bukannya Esa bermaksud menyimpan rahasia dari Naje. Toh mereka sudah setuju ber-partner. Kepentingan mereka memang berbeda, tapi mereka berada di pihak yang sama. Dan landasan terpenting dari sebuah kerjasama adalah saling percaya. Hanya saja, Esa merasa perlu memastikan dan mengumpulkan lebih banyak bukti sebelum memberitahu Naje soal Nivy. Atau memberitahu Argan.
Di antara mereka bertiga, Argan pastilah yang paling susah percaya kalau Nivy yang centil, yang suka mengoleksi barang-barang lucu dan hobi mengecat kukunya dengan kuteks warna merah darah ternyata adalah seorang pebalap jalanan handal yang menyimpan banyak rahasia.
"Udah puas ketawanya?"
"Belum sih."
Esa memutar bola matanya. "By the way, ini jadinya mobil lo gue balikkin ke tempat yang tadi lagi? Tempat gue ngambil, maksud gue."
"Mobilnya masih utuh?"
"Masih utuh, tapi baret-baret."
"Banyak apa dikit baretnya?"
"Banyak."
"Really, man?" Naje berdecak. "My bad, then. Salah gue karena udah over-estimate lo. Balikkin aja ke tempat lo ngambil. Urusan baret nanti di-handle sama orang-orang gue."
"Gue harus bayar ongkos bengkelnya nggak?"
Naje membalas pongah. "Emang punya duit?"
"Sialan lo!" Esa menyahut, agak kesal campur. Habisnya, kalau dipikir-pikir dunia ini memang lucu. Anak mafia seperti Naje, yang kerjanya kebanyakan ongkang-ongkang kaki doang duitnya jauh lebih banyak daripada Esa yang belingsatan ke sana-kemari sekaligus bertaruh nyawa dalam menghadapi setiap misi yang dibebankan negara padanya. Tampaknya, semesta memang hobi bercanda. "Tapi duit lo buat join balapan jadi kebuang."
"Nggak usah dipikirin. Santai aja. Anyway, lo nggak kenapa-napa, kan?"
"Nggak kenapa-napa gimana maksudnya?" Sejenak, Esa gagal paham makna pertanyaan Naje.
"Kali aja lo ada luka atau apa gitu."
"Oh?"
Hening sejenak.
Sebentar... kok jadi awkward gini sih?!
Kesenyapan yang berlangsung beberapa detik segera berbuah kepanikan. Bukan hanya Esa yang panik, melainkan juga Naje. Wajar sih, soalnya mereka sangat jarang terang-terangan menunjukkan kepedulian pada satu sama lain. Argan pernah bilang suatu kali, bahwa meski Naje dan Esa sama-sama ngotot mengatakan hubungan mereka hanya berdasar kerjasama yang saling menguntungkan, jauh di lubuk hati mereka, sesungguhnya mereka sudah menganggap satu sama lain teman.
"Nggak, maksud gue tuh—aduh, gimana ya ngomongnya—kayak, besok kan lo kudu menyusup ke tempat orang buat ngambil rekaman CCTV! Kalau lo cedera, misi kita bisa berisiko—" Naje cepat-cepat beralasan.
"Nggak, gue nggak cedera." Esa menyambar. "Nggak usah khawatir. Semuanya bakal tetap berjalan sesuai rencana."
"Oke. Kalau gitu, gue bakal stand-by as back up besok."
"Oke."
Lagi-lagi, mereka kompak diam.
Lalu, Naje jadi pihak yang lebih dulu mematikan telepon. Tindakan Naje membuat Esa mengembuskan napas lega. Baguslah Naje melakukannya sebelum kecanggungan di antara mereka makin mengental.
Sehabis mengembalikan mobil Naje, Esa bergegas pulang ke rumah kontrakannya.
Penunjuk waktu sudah menunjukkan lewat dinihari saat dia pulang. Kepalanya dipenuhi suara berisik. Dia tidak akan mampu terlelap tidak peduli sekeras apa pun dia mencoba. Makanya, Esa memutuskan untuk tidak tidur sekalian sampai pagi.
Berkali-kali, ruang ingatannya memutar ulang apa yang dia lihat sepanjang balapan baru dimulai hingga saat Chevrolet yang Nivy kendarai melaju pergi usai menabrak setengah palang perlintasan kereta api. Dalam situasi-situasi semacam ini, kemampuan photographic memory yang Esa punya selalu sangat membantu. Dia serasa memiliki rekaman CCTV tersendiri dalam kepalanya, yang bisa Esa teliti kembali berkali-kali dalam akurasi tingkat tinggi.
Cewek itu jelas-jelas Nivy. Setelah tepekur hampir dua jam lamanya, benak Esa menyimpulkan. Kalau dia bukan Nivy, dia nggak akan panik pas ngelihat gue. Dia nyaris menang, tapi dia malah banting setir keluar dari rute. Kalau dia bukan Nivy, dia juga nggak akan nekat nabrak palang perlintasan kereta api cuma buat menghindari gue.
Esa menghela napas dalam-dalam.
Tapi kenapa? Kenapa dia melakukan itu? Apa jangan-jangan, firasat gue selama ini benar? Kalau ternyata, Nivy bukan pegawai magang biasa. Dan dia sengaja masuk Moksha untuk tujuan tertentu.
Itu sisa tanya yang belum bisa Esa jawab.
Detik demi detik bergulir tanpa terasa. Akhirnya, pagi kembali menjelang. Gelap digusur cahaya dari matahari, yang mulanya menyembul malu-malu sebelum pelan-pelan makin meninggi. Esa beranjak dari duduknya. Dia bersiap-siap berangkat ke kantor. Tidak muncul ke kantor hari ini hanya akan membuat anak-anak magang termasuk Nivy bertanya-tanya. Lagipula, Esa ingin melihat reaksi Nivy.
Seperti biasa, Esa berangkat ke kantor Moksha mengendarai sepeda motor.
Sesampainya di kantor, dia langsung melangkah menuju lift yang akan membawanya ke lantai sembilan. Melihat pintu lift hampir menutup dari kejauhan, sontak saja, Esa buru-buru berlari. Ketika jaraknya sudah cukup dekat, Esa mengulurkan lengannya ke depan. Telapak tangannya terselip di antara dua pintu lift yang nyaris menyatu. Sensor otomatis mendeteksi keberadaannya. Pintu lift pun bergeser ke arah yang berlawanan, kembali membuka.
Di dalam lift, hanya ada satu orang.
Dan orang itu adalah Nivy.
Nivy tampil rapi pagi ini. Rambutnya yang lagi hitam dan panjang dikuncir satu, berbentuk ekor kuda. Dia memakai kemeja berlengan sebatas siku, dipadu celana kerja warna hitam. Tanda pengenal pegawai menggantung di lehernya.
Tidak ada celana jeans robek-robek. Atau tank top merah muda. Atau rantai manik-manik yang terhubung dengan por pavor menggelantungi lehernya.
"Lo mau masuk apa nggak, Kak?"
"Eh—" Esa tersentak sedikit karena kata-kata Nivy benar-benar tidak terduga olehnya.
"Malah mejeng di pinftu lift. Udah kayak aktor lagi syuting drama Korea aja."
"Siapa yang mejeng—" Esa mendengus.
Dia cepat-cepat masuk ke lift. Nivy menekan salah satu tombol di panel samping pintu, membuat pintu lift menutup lebih cepat.
"Lagian, udah lihat gue lari-lari ke sini! Bukannya tahan pintu lift-nya, lo malah diam aja!"
"Lo nggak minta gue nahan pintu lift-nya. Lagian, gue nggak lihat lo karena gue lagi sibuk main handphone." Nivy beralasan.
Lift bergerak naik.
"Tumben nggak bawel-bawel amat pagi ini. Nggak kayak biasanya." Esa berkata seraya melirik sekilas ke Nivy yang berdiri di sampingnya.
"Bukannya lo lebih senang kalau gue nggak banyak omong?" Nivy balik bertanya, agak sewot.
Esa bingung sejenak. Reaksi Nivy benar-benar berada di luar dugaannya. Tadinya, dia menyangka Nivy bakal panik. Akan lebih mudah bagi Esa seandainya Nivy panik. Dia tinggal memojokkan gadis itu, membuatnya tersudut dan memaksanya mengaku. Namun, Nivy malah bicara padanya seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Gadis itu bahkan masih bisa memandang Esa tepat di mata. Tanpa gentar, tanpa keraguan.
"Lo yang nggak kayak biasanya pagi ini. Malah diam melulu dari tadi. Aneh banget." Nivy mengernyit.
Esa tidak sempat menyahut sebab pintu lift sudah lebih dahulu terbuka di lantai sembilan. Nivy melangkah keluar. Esa mengekori di belakangnya.
Nggak salah lagi, yang semalam itu memang dia. Esa berpikir. Dari pembawaannya, gesturnya, cara jalannya. Dia bisa aja berusaha bikin cara jalannya kelihatan berbeda, tapi gue tahu pasti kalau cewek yang semalam dan cewek yang sekarang lagi jalan di depan gue adalah orang yang sama.
Esa membuang napas, memutuskan mengaku kalah... buat saat ini.
She's playing her cards well.
Sesungguhnya, Esa mau-mau saja meladeni permainan Nivy. Tapi tidak hari ini. Hari ini, dia tidak punya waktu. Sesuai rencananya, dia harus menyusup ke Elysium nanti malam.
Dan dibanding mengungkap jati diri Nivy, mendapatkan harddisk penyimpanan video CCTV di hari William Sungkono membunuh seseorang jelas lebih mendesak.
*
Malam harinya, Esa menyusup ke Hotel Elysium sesuai rencana.
Setelah terjadinya peristiwa penembakan yang melibatkan William Sungkono sekaligus menyebabkan pegawai bar mereka tewas terbunuh, pihak manajemen hotel memperketat penjagaan. Menyamar sebagai pekerja hotel terlalu berisiko. Karenanya, Esa memilih datang sebagai tamu yang hendak menginap.
Dia sengaja tampil nyeleneh layaknya anak orang kaya kelebihan uang yang punya selera norak setengah mampus. Diantar mobil Lamborghini Aventador kuning ngejreng milik Naje, Esa turun di lobi. Dimulai dari jejakan langkah pertamanya ke lantai lobi, kehadiran Esa segera menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
Tidak mengherankan.
Penampilan Esa memang kelewat nyentrik di mata kebanyakan orang. Dia mengenakan kaus Supreme warna merah terang. Luarannya jaket Gucci bergambar harimau dalam kombinasi warna hijau dan kuning mencolok. Pilihan atasan yang absurd tersebut membuat gayanya makin tragis karena dipadukan dengan celana kulit longgar warna biru elektrik merek Louis Vuitton.
Kakinya dibalut sepasang sepatu bot Gucci yang juga dihiasi gambar harimau jingga cerah. Sebagai pelengkap penampilannya, Esa memenuhi pergelangan tangan, jari, leher dan telinganya dengan perhiasan keluaran Cartier serta Van Cleef & Arpels. Jika hotel mendadak mati lampu, Esa tidak perlu khawatir. Warna pakaiannya bakal membuatnya menyala bak lampu petromaks dalam kegelapan.
Esa disambut ramah. Terlebih setelah dia mengoceh kalau dia masih berkerabat dengan salah satu dari sepuluh orang terkaya se-Indonesia. Sehubungan dengan rencananya, Esa sudah punya satu kamar spesifik yang ingin dia pesan. Tapi rupanya, kamar itu bukanlah kamar termewah yang dipunya Hotel Elysium.
"Kami ada kamar suite—"
"I lagi tired banget sama kemewahan, jadi I mau kamar yang ordinary-ordinary aja." Esa menampik halus. "So, please, just let me stay in this room. This room, or nothing."
Proses check-in berlanjut, berjalan sangat lancar. Esa bahkan tidak diminta meninggalkan kartu identitas sebagaimana lazimnya proses check-in standar di hotel. Hanya dengan menunjukkan kartu kredit American Express hitam yang dipinjamkan Naje, segala pertanyaan yang tak penting seketika terbungkam.
Esa diantar oleh tiga pegawai hotel berseragam menuju kamar yang dia pesan.
Sepeninggal ketiga pegawai itu, Esa menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan menguncinya. Lalu, dia menyapukan pandang ke seisi kamar. Usai memastikan kalau tidak ada yang aneh, Esa membuka kopernya. Dikeluarkan alat pendeteksi sinar infra merah dari dalam sana. Dia mematikan seluruh lampu, kemudian mengaktifkan alat pendeteksi sinar infra merah tersebut. Sebenarnya, Esa sudah menduga kalau hotel semewah Elysium tidak akan mempertaruhkan reputasi mereka dengan memasang kamera tersembunyi di dalam kamar. Tapi tidak ada salahnya berjaga-jaga.
Esa lanjut menutup seluruh tirai jendela kamar hotel. Sehabis itu, dia mengganti busana nyentriknya dengan kemeja hitam sederhana yang dipadu celana panjang berwarna senada. Tak lupa, Esa memasang alat dengar yang menghubungkannya dengan rekan sesama anggota badan intelijen yang berada di markas besar mereka. Rekan tersebut akan memantau pergerakannya, sekaligus memberinya aba-aba kapan dia mesti mulai bergerak.
"Selamat malam. Sudah terhubung?"
"Connected. Okay, I am in." Esa membalas singkat seraya meneruskan memasang masker hitam ke wajahnya. Dia mesti bergerak cepat.
Esa mempersiapkan senjatanya, berupa sepucuk pistol berperedam, tiga buah bom asap dan sebilah pisau lipat. Dia juga membawa sebuah tas pinggang berwarna hitam. Setelah selesai bersiap, Esa beranjak menuju kamar mandi.
Dia sudah mempelajari denah Hotel Elysium dengan baik, sekaligus mengatur setidaknya tiga rute untuk melarikan diri kalau-kalau terjadi esuatu yang tidak diinginkan. Berdasarkan informasi dari rekan sesama anggota badan intelijen berkode nama Murai yang sudah menyamar sebagai pegawai Hotel Elysium mulai dari tiga hari setelah peristiwa penembakan, denahnya akurat dan sesuai kondisi terbaru Hotel Elysium. Informasi dari Murai pula yang membuat Esa menginap di kamar yang dipilihnya.
"Masuk lewat lubang plafon. Sekrup penutupnya sudah dilepas. Penutupnya tinggal digeser." Esa mendengar rekannya bicara lewat alat yang terpasang di telinga kanannya.
Esa mengikuti instruksi tersebut.
Dia menggeser penutup lubang plafon lalu melompat. Sejenak, dia bergelantungan seraya berpegangan di tepi lubang plafon sebelum mengangkat tubuhnya dengan lihai. Seakan-akan bobot tubuhnya seringan bulu. Gemblengan fisik yang diterimanya selama masa pendidikan membuatnya mampu mengendalikan tubuhnya dengan baik. Dalam waktu singkat, Esa sudah berada di ruang plafon. Dari sana, dia akan merangkak melintasi lorong sempit penuh debu menuju ruangan di mana harddisk perangkat CCTV di hari terjadinya penembakan disimpan.
Murai sudah mengonfirmasi dugaan Esa. Pihak manajemen hotel telah menukar harddisk yang sebenarnya dengan harddisk pengganti—yang kini berada di kantor polisi sebagai bagian dari barang bukti. Sepertinya, pihak manajemen hotel tahu kalau menghapus file belum tentu berhasil memusnahkan file tersebut sampai ke akar. Mereka takut ada orang dalam pihak kepolisian yang sanggup memulihkan file yang sudah mereka hapus. Karenanya, mereka sengaja cari aman dengan menukar harddisk sebenarnya dengan harddisk pengganti yang sama persis.
Tugas Esa adalah mendapat harddisk tersebut, memulihkan file yang sudah dihapus lalu mengunggah file dalam bentuk video ke media sosial secara anonim.
Cukup lama Esa bergerak dalam plafon yang penuh debu tebal. Rekannya terus memberi instruksi lewat alat dengar di telinga kanannya—yang sesungguhnya tidak terlalu Esa butuhkan. Dia sudah mempelajari denah Hotel Elysium, mulai dari lorong, jalan-jalan tikus hingga jalur plafonnya. Dan kemampuan photographic memory yang dimilikinya memungkinkan Esa tidak melupakan segala yang telah dia lihat.
"Ruangan steril. Murai sudah menghalau petugas keamanannya menjauh."
Esa berhenti di dekat sebuah kotak penutup plafon. Dia menggesernya. Sama seperti penutup plafon di toilet kamar yang dia sewa, penutup plafon yang ini pun sudah dilonggarkan. Esa melompat turun, mendarat di lantai toilet komunal yang kering. Suara sepatu yang beradu dengan keramik lantai cukup kencang, namun tidak ada siapa-siapa di dalam toilet.
"Langsung ke ruangan. CCTV sudah dimatikan. Kamu punya waktu lima menit sebelum mereka mulai curiga."
Lima menit seharusnya lebih dari cukup.
Esa keluar dari toilet, mengendap-endap di koridor. Dia bergerak hati-hati, sarat kewaspadaan tingkat tinggi. Sikap tubuhnya siaga. Kalau dia sampai berpapasan dengan pegawai maupun petugas keamanan hotel, dia tidak punya pilihan selain membuat mereka pingsan.
Tak berapa lama, Esa tiba di ruang penyimpanan yang dimaksud. Pintu ruangan itu tertutup rapat, namun tidak dikunci. Esa meraih gagang pintunya. Seketika, dia disambut sebuah ruangan sempit yang minim penerangan.
Ruangan itu penuh rak bertingkat-tingkat di mana kotak-kotak berwarna seragam ditempatkan. Semuanya abu-abu. Di setiap kotak, terdapat label bulan yang ditempel manual. Esa mendekati rak di mana kotak berlabelkan bulan terjadinya peristiwa penembakan diletakkan. Terdapat keping-keping flashdisk di sana. Hanya ada satu harddisk berlabelkan tanggal terjadinya peristiwa penembakan.
"Bingo."
Esa meraih harddisk tersebut, lalu dimasukkannya benda itu ke dalam tas pinggangnya.
Waktu tinggal tersisa satu menit ketika Esa keluar dari ruang penyimpanan. Semestinya, dia masih sempat bergegas menuju toilet komunal tempatnya keluar. Jika segalanya berjalan sesuai rencana, Esa bakal merangkak di plafon dan kembali ke kamar sewaannya seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Namun mendadak, terdengar bunyi alarm meraung kencang.
Esa kontan dibuat terkesiap.
"Keberadaanmu sudah diketahui. Segera tinggalkan lokasi."
Esa mengetuk sekilas alat dengar di telinganya. "Murai?"
"Sudah mundur."
"Koper di kamar." Esa berbisik sambil lanjut bergerak. "Ada barang-barang Nayaka di dalamnya. Barang-barang bermerek. Dia bilang, barang itu limited dan harus dikembalikan."
"Dimengerti. Koper itu akan diamankan dengan segala cara. Murai akan diperintahkan singgah ke sana." rekan Esa menyahut. "Dari tempatmu sekarang, silakan lurus. Lalu ke kiri. Area kiri masih lebih steril dari para petugas keamanan dibanding area kanan."
Esa berpikir cepat. Tampilan denah Hotel Elysium terpampang jelas dalam kepalanya. Dia ada di lantai empat. Cara paling masuk akal untuk meninggalkan hotel adalah lewat tangga darurat. Dia tidak mungkin menggunakan lift, yang pasti dipasangi CCTV.
Waktunya olahraga.
Esa langsung menuju pintu tangga darurat. Akan tetapi, beberapa meter dari depan pintu, tiga tukung pukul bertubuh gempal tahu-tahu muncul. Esa tidak tertarik menghabiskan tenaganya meladeni mereka. Makanya, sewaktu mereka menerjang maju untuk menyerangnya, Esa tangkas berkelit. Gerakannya lincah, bagai seorang penari yang sangat ahli.
Selagi dia berlalu melewati mereka, tangannya bergerak cepat meraih jarum-jarum dari tas pinggangnya. Ditancapkannya jarum-jarum tersebut ke lengan tiga tukang pukul yang coba menghajarnya. Jarum tersebut adalah salah satu senjata yang dikembangkan institusi Esa. Bentuknya berupa jarum yang dilengkapi semacam wadah tabung tipis. Wadah tabung itu didesain supaya langsung pecah jika jarum yang terhubung padanya menancap pada sesuatu. Jika tabungnya pecah, maka cairan bius di dalam wadah tabung itu akan mengalir menuju ujung jarum.
Esa tidak tahu pasti dosis cairan bius yang ada di sana, tapi perkiraannya, dosisnya pasti sudah diperhitungkan agar sanggup membuat pingsan seorang laki-laki dewasa.
Esa berhasil melumpuhkan tiga laki-laki itu dengan mudah. Selekasnya, dia menuruni tangga darurat. Langkahnya makin cepat saat dia mendengar suara derap langkah orang-orang yang ikut turun mengejarnya.
Setibanya di lantai tiga, pintu area tangga darurat yang ada di sana sekonyong-konyong menjeblak terbuka. Beberapa laki-laki berpakaian serba hitam berhamburan dari sana. Esa berlari sekencangnya, cepat-cepat melewati mereka sebelum mereka sempat menghadangnya. Dia berhasil, meski sekarang pengajarnya bertambah dua kali lipat.
Di lantai dua, ada selusin orang tambahan yang bergabung. Mereka semua membawa senjata. Namun, Esa tidak risau. Orang-orang itu tak akan gegabah melepas tembakan di ruang sempit. Terlebih dengan banyaknya pengejar di belakang Esa. Kalau mereka salah strategi, peluru mereka bisa berakhir di tubuh kawan sendiri. Tambahan skandal penembakan baru akan jadi hal terakhir yang diinginkan pihak hotel.
"Jalak akan segera tiba di luar pagar belakang hotel dalam semenit. Segera ke sana. Kamu bisa lewat jalan tikus dekat kolam renang." Alat dengar di telinga Esa kembali bersuara.
Terima kasih banyak untuk informasinya. Esa membatin masam. Masalahnya, gue masih di lantai dua dan kalau gue mau ke sana, gue harus ngelewatin orang-orang ini dulu.
Terjepit di antara banyaknya orang, Esa tak punya pilihan. Disambutnya orang-orang berbaju serba hitam yang merangsek maju ke arahnya dengan kepalan tinju terangkat. Tonjokan dan tendangan melayang silih-berganti. Sebagian besar serangan Esa sukses mengenai lawannya, memaksa mereka terpukul mundur dengan wajah memerah kesakitan. Namun, ada pula beberapa serangan mereka yang berhasil mengenai Esa di banyak tempat sekaligus seperti di wajah, perut dan rahang.
Esa sudah separuh terhuyung dengan muka berdenyut sakit saat dia tiba di lantai satu.
Tapi dia tahu, dia tidak boleh berhenti.
Lusinan orang yang mengejarnya membuat Esa sulit pergi ke area belakang hotel. Esa tersudut. Dia terpaksa berlari menjauhi para pengejarnya ke arah yang berlawanan. Alih-alih menuju area belakang hotel, Esa justru bergerak ke area depan.
"Ubah rencana. Pergi ke area depan—brengsek!" Esa refleks memaki sewaktu dia sadar alat dengarnya tak lagi berada di telinga. Kemungkinan, alat dengar itu terlepas saat dia sibuk menghajar para penyerangnya.
Mau tidak mau, Esa mengeluarkan ponselnya sembari terus berlari. Dia menelepon nomor Naje. Teleponnya dijawab sebelum deringan pertama tundas. Tanpa menunggu Naje bersuara, Esa langsung berseru ke telepon. "GUE BUTUH BACK UP! DI DEPAN HOTEL!"
Tidak ada sahutan, dan telepon langsung dimatikan oleh Naje.
Esa hanya bisa berharap bahwa mematikan telepon bisa diartikan sebagai jawaban 'iya'.
Sudah ada lebih banyak orang menanti di area depan hotel. Mereka semua bertampang tidak ramah. Orang-orang itu mengelilinginya, menciptakan lingkaran yang mengepungnya, membuatnya tidak bisa kabur ke mana-mana.
Sialan.
Esa hampir putus harapan.
Gue nggak boleh sampai ketangkap! Kalau gue ketangkap, mereka bisa aja nyiksa gue untuk ngorek informasi! Dan kalau gue ketangkap, institusi gue jelas nggak akan mengakui gue.
Esa menelan saliva.
Dia seorang anggota badan intelijen. Kematiannya tidak akan diakui. Hilangnya dia tak akan dicari. Kalau dia sampai tertangkap, tak bakal ada operasi penyelamatan untuk mengeluarkannya dari sarang musuh.
Atau dia bisa menembak kepalanya sendiri dan mati di sana, andaikan memang harus.
Esa tengah mempertimbangkan opsi itu ketika tiba-tiba saja, muncul sebuah Chevrolet Corvette hitam mengilap dari balik kegelapan malam. Chevrolet itu nyelonong masuk begitu saja, dengan cueknya menabrak papan penghalang di tengah pintu masuk menuju halaman depan hotel. Raungan mesinnya menyela ketegangan. Seakan tengah disetir oleh orang mabuk, Chevrolet itu menyeruduk ke arah kerumunan yang mengepung Esa, membuat orang-orang dalam kerumunan refleks menyingkir karena tidak ingin tertabrak.
Chevrolet itu terus melaju menuju Esa, tak memperlihatkan tanda-tanda akan berhenti. Esa sempat berpikir kalau mobil tersebut bakal benar-benar menabraknya. Namun ternyata tidak. Hanya sesaat sebelum moncongnya menggigit lutut Esa, mobil itu membanting separuh bagian belakang body-nya ke arah yang berbeda secara dramatis. Pengemudinya melakukan drift dalam bentuk melingkar di sekitar Esa. Asap mulai keluar diikuti jejak hitam ban yang tertinggal di atas apal.
Setelah nge-drift dalam enam putaran, mobil itu berhenti. Kaca jendela pengemudi diturunkan. Kepala Naje melongok keluar.
"Kenapa malah bengong?! Buruan masuk!"
"Bajingan." Esa memaki, bersyukur sekaligus jengkel sebab bisa-bisanya Naje malah memamerkan kemampuan drift-nya dalam situasi genting semacam itu.
Cepat-cepat, Esa masuk ke jok penumpang bagian depan. Begitu pintu ditutup, Naje segera tancap gas dari sana. Agaknya, cara kemunculan Naje tidak diantisipasi sama sekali. Dia terlalu terang-terangan. Gayanya tidak sesuai dengan protokol orang-orang institusi Esa yang senantiasa menjaga kerahasiaan. Bagusnya, tak ada seorang pun yang mengejar mereka sampai ke jalan raya.
"Kenapa harus pakai drifting dulu sih?! Gue sampai nggak ngeh kalau yang datang tuh lo!"
"Mau pamer."
"Cuma orang gila yang masih kepikiran pamer di momen-momen urgent kayak tadi!" Esa bersungut-sungut.
"Pamer sedikit nggak ada salahnya. Sisi bagusnya, mereka terkesima lihat skill nge-drift gue. Mereka bahkan sampai nggak tahu harus ngapain. Buktinya, mereka nggak kepikiran ngejar kita, kan?" Naje sesumbar. "Oh ya, gimana barangnya? Dapat?"
"Dapat."
"Baju-baju branded gue gimana?"
"Harusnya udah diamanin. Nanti paling diantar ke rumah lo. Atau dikirim pakai kurir."
"Nggak usah diamanin nggak apa-apa sih sebenarnya." Naje mesem-mesem. "Soalnya semua barang branded yang gue pinjemin ke lo malam ini tuh KW. Nggak asli."
"KENAPA NGGAK NGOMONG?!"
"Lo-nya kenapa nggak nanya?"
"Dasar bajingan."
to be continued.
***
a/n:
long time no see, wattpad wkwkwk
sedang mempertimbangkan kembali menulis di wattpad, btw wkwkwk
ketik "1" di kolom komen kalau kamu masih aktif baca tulisan di sini
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top