PROLOG

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi

Karena tatkala hal itu telah terjadi

Kau tak akan bisa kembali

Sebuah kemungkinan yang tak bisa kembali

Jikalau aku adalah Sir Isaac Newton yang akan menemukan hukum gravitasi, mungkin akan lain ceritanya, karena aku duduk di bawah pohon mangga. Ada kemungkinan aku akan kejatuhan buah mangga, yang sayangnya ini belum musim. Aku duduk di bawah pohon yang mungkin kupilih karena ini yang cukup rindang untuk bersantai. Satu-satunya tempat yang paling rindang, mungkin. Sesekali aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul tiga kurang seperempat. 15 menit lagi sebelum aku memutuskan akan pulang.

Tidak, aku tidak akan langsung pulang hari ini. Entahlah, rasanya aku malas untuk segera pulang, mengingat perjalanan dari rumahku yang cukup jauh dan aku harus mengayuh sepeda sepanjang 8 kilometer. Mataku tak lepas menatap deretan kalimat yang ada dalam salah satu lembar buku yang kubawa sebagai pelepas rasa bosan. Ada suatu perasaan tersendiri ketika membacanya. Juga, mungkin adalah suatu hal yang tidak masuk akal bagi anak kelas 3 SMA, membaca buku penuh dengan intrik dan benci ini. Lebih tepatnya, kebencian terhadap negara sendiri. Judul yang cukup jelas di sampul buku mungil itu tercetak—Capitalizing Education. Penulisnya adalah seorang wartawan yang kini tidak tahu wujudnya ada di mana, tetapi bukunya laku keras di pasaran.

Di buku itu dikatakan, bahwa sistem yang mengontrol negara bak boneka kayu yang dapat disetir ke mana pun sang penyetir kehendaki, telah membawa satu ironi nyata yang tersembunyi di balik carut-marutnya sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan agaknya telah menjadi 'komoditas utama' dalam hal 'bisnis' yang cukup menguntungkan. Sedikit anda bisa pintar dan punya keterampilan licik, maka anda bisa 'menjual' ilmu kepada orang-orang yang membutuhkan. Tak bisa kubayangkan, bila nilai ujian semester matematikaku atau geografiku akan laku senilai lima ratus ribu rupiah. Mungkin ... aku akan mencobanya.

Semakin lama, kesepian yang ada di sekitarku, angin yang cukup masuk akal untuk membuatku tertidur di bawah pohon, telah hampir mengantar ruhku untuk berjalan-jalan ke salah satu dunia paralel dalam mimpi. Tiba-tiba tubuhku merasakan adanya suatu ancaman sebagai reaksi naluriah diriku. Mungkin terlalu berlebihan, tetapi rasanya dari tadi ada yang mengawasiku. Bukan, bukan sesuatu yang teologis, itu hal yang pasti, tetapi ini lebih ke arah 'makhluk lain', mengawasiku sejak dua puluh menit aku berada di bawah pohon mangga ini.

Ah, tidak. Semenjak aku berjalan menuju taman ini.

Aku berusaha untuk tidak mencurigai seseorang, sesuatu, entah apa pun itu yang kini sedang mengintaiku. Rasanya bulu kuduk mulai berdiri, mengingat hanya aku sendiri di sini, setidaknya di taman belakang ini. Detik demi detik menuju pukul tiga sore dan aku masih menimang buku yang kubaca. Sekian lama berlalu, aku mulai bertindak waspada. Akhir-akhir ini sering terjadi kasus penculikan dan penyerangan yang melibatkan anak sekolah. Belum lagi kini makin banyak hipster—orang-orang menemukan istilah keren untuk gelandangan yang banyak pekerjaan, lebih kepada para kaum urban pinggiran yang tinggal di daerah kumuh—migrasi ke kota ini.

Pukul tiga sore lebih lima menit. Rasanya aku memang harus segera pulang untuk jauh-jauh dari orang yang mengikutiku, tetapi tak bisa begitu saja aku pergi ke tempat parkir, memacu sepedaku, lalu pulang ke rumah, tanpa memikirkan kemungkinan yang terjadi sepanjang delapan kilometer perjalanan. Bagaimana pun aku masih muda, kawan! Bagaimana bila ada hipster yang tiba-tiba sudah ada di belakangku waktu aku menaiki sepeda, kemudian mencoba untuk memangsaku. Sekalipun itu probabilitas yang nyata, hal itu tetap terlalu hiperbola.

Aku menutup bukuku, memasukkannya ke dalam tas. Kusandang tasku, berdiri, bersiap meninggalkan tempat itu hingga aku menyadari bahwa aku masih diawasi sedari tadi. Benar! Aku memang sedang diawasi dari tadi, lebih tepatnya dikuntit. Ya ampun! Apa aku terlihat seperti orang yang penting, sehingga aku diawasi? Sial, aku bertanya-tanya apakah selama sepekan terakhir, aku melakukan sesuatu hal yang membuat heboh suatu organisasi misterius, sehingga aku menjadi daftar hitam dari mereka?

Aku baru berjalan barang tiga-empat langkah, ketika dengan sekali kesempatan, aku membuat gerakan tiba-tiba, dengan menoleh ke belakang dan melihat dengan sosok yang jelas, orang yang sedari tadi mengintipku. Seorang gadis, berambut coklat sebahu, dari tadi bersembunyi di balik gedung kelas yang tak jauh dari tempatku bersantai. Dia begitu terkejut ketika aku menoleh dengan cepat dan memergoki dia. Aku bersiap berjalan ke arahnya ketika gadis itu tiba-tiba mengambil ancang-ancang, lalu kabur dengan seenaknya.

Aku tak akan melepaskanmu begitu saja.

"Tunggu!" Aku mulai mengejarnya. Sepertinya ini akan menjadi sore yang panjang. Aku telah siap untuk kembali diinterogasi oleh ibuku, karena aku pulang cukup sore dari biasanya. Namun satu hal, aku tak akan melepaskan keisengan ini begitu saja.

"Berhenti!" Aku mempercepat langkahku, sementara dia masih saja berlari. Aku mengejarnya sepanjang selasar kelas hingga detik di mana aku hampir saja menangkapnya. Aku terlalu fokus untuk mengejarnya, hingga aku tak menyadari kalau ada pot bunga di depanku. Ketika aku hampir menangkapnya, kakiku tersandung pot bunga itu. Merutuki segala hal di luar dugaan, walhasil, kepalaku sempat terbentur sesuatu, sebelum aku tidak sadarkan diri.

*****

"Kau tidak pantas untukku, Rimba ...," ujar seseorang sembari menatapku seolah-olah aku adalah makhluk hina di depannya.

"Kenapa?" Aku memberontak, menahan segala harkat dan martabat yang telah hancur, oleh segala obsesiku mengenai orang yang kini berada di depanku.

"Mungkin ... kau bukan tipeku. Kau memang pribadi yang menyenangkan. Sayang sekali, kau memang selalu kalah dulu, Rimba," ucapnya seakan ia ingin menghinaku.

"Semua hal ini, begitu memalukan kalau aku boleh katakan ...,"

Hal itu membuatku sadar, kalau aku terlalu mengacu pada prediksi dan tidak mengacu pada realita. Betapa bodohnya aku, sehingga aku terhanyut dalam permainanku sendiri. Sontak seluruh orang yang ada di sekitarku mengejekku karena apa yang telah kulakukan, sungguh benar-benar seperti orang bodoh yang mengejar cinta seorang wanita berintelektual. Aku kalah oleh jebakan sekakmatku sendiri.

Satu hal yang dapat kupelajari dari orang yang ada kini di depanku, pengkhianat selalu menepati janjinya untuk mengatakan perilaku pengkhianatannya. Entah apakah ini cocok disebut sebagai bentuk pengkhianatan? Apa ini hanyalah pengingkaran? Yang pasti, selama ini aku menyadari, bahwa aku hanya dimanfaatkan. Setiap domba yang gemuk dan sehat, toh nantinya akan berakhir di rumah jagal juga. Penjagal tidak pernah memikirkan nasib dari domba itu karena ... yah, mereka domba, tidak ada urusannya dengan penjagal. Mereka hanya menginginkan daging mereka.

Aku meninggalkan tempat itu dengan bergelimang malu yang telah dibebankan kepadaku, sejak aku melangkahkan kakiku di malam itu. Entah mengapa semua itu terasa damai, walaupun masih tersisa kebencian, entah mengapa semua itu terasa damai setelah aku melupakan segalanya. Hingga hal itu teringat kembali, aku masih terasa damai. Hingga hal itu kembali terekam, aku masih merasa senyum ini masih ringan terulas di setiap kesempatanku.

Wajah itu membuatku sedikit benci, namun apa daya aku yang hanya bisa terus membungkus kebencian itu hingga tak terlihat lagi. Sosok wajah itu terasa menyeretku kembali ke masa-masa, di mana kesakitanku menjadi masa kesakitan yang amat menyiksaku. Perlahan semua tiba-tiba menghilang dan cahaya putih sontak menyerang kedua mataku.

*****

Hal yang pertama aku lihat adalah wajah. Hal yang sekarang aku juga melihat sesosok wajah. Satu hal dari detik itu, aku bisa merasakan rindangnya pohon yang beberapa menit lalu kutempati sebagai tempat berteduh.

"Hai ...," sapa sosok itu sembari mengulas senyum—yang entah mengapa—langsung memberikan 'energi' untukku. Aku bangun dengan cukup tergesa, hingga bisa kurasakan pening mulai menyerangku. Diriku berusaha untuk mengatur napas, agar aku dapat menstabilkan kepalaku.

"Eh, hai juga ...," balasku sembari mengusap-usap kepalaku yang sepertinya terantuk pilar selasar kelas.

"Aku Rusya, salam kenal ...,"

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top