EPILOG
Kini, kami akan menimbang apa yang telah terjadi.
Terkadang masih terasa sakit. Luka tusuk yang ada di dadaku begitu menyiksaku dalam beberapa hari kedepan. Tentu saja ini tidak lain tidak bukan adalah karena Pak Thomas. Pak Thomas, beliaulah yang menusukku. Dua kali. Satu waktu insiden teror ketika aku menjadi korban penusukkan di tengah kota dan satu lagi waktu aku mengonfrontasi beliau. Luka yang sama, di tempat yang sama.
Pak Lian? Setelah bukti-bukti itu diperiksa, ternyata memang benar, Pak Julian Damoko, kepala sekolah kami terbukti melakukan tindakan markup dana asuransi sekolah. Hal itu pun juga membuat kasus-kasus lainnya mulai terkuak. Beberapa suap yang dilakukan oleh beberapa orang tua wali, yang salah satunya suap kandidat kontingen Indonesia di ajang olimpiade sains internasional, mengakibatkan Reamur Germain bunuh diri karena tidak diikutkan dalam kontingen Indonesia di Antalya. Beliau juga terbukti mengancam siapa pun orang yang berusaha untuk melaporkan dia. Mulai dari ancaman akademik bagi siswa, atau ancaman administratif bagi guru atau karyawan. Yang lebih parah, ancaman teror yang memang beliau lakukan kepada Pak Thomas.
Runda? Jasadnya ditemukan. Setidaknya tidak begitu hangus dan terbakar. Beberapa hari setelah itu, kami menghadiri pemakaman bagi seluruh siswa yang tewas dalam insiden 'pesta' malam festival itu. Pada hari itu, seakan mendung menggelayut di langit kota, menaungi kami yang sedang berduka atas kematian teman-teman dan guru kami. Empat ratusan lebih orang yang tewas pada malam itu. Isak tangis dan sesekali ratapan lirih masih terdengar di antara kami dan para orang tua korban. Mereka adalah anak-anak bangsa yang menjadi korban, korban dari permainan para orang-orang tertentu yang kini tengah menikmati hasilnya. Entah siapa, tetapi pasti ada.
Pak Thomas? Jasadnya ditemukan di lorong gedung induk lantai tiga. Tepat di mana terakhir kali beliau berdiri. Jasad beliau sudah hampir tidak dapat dikenali karena terbakar. Tentu saja setelah aku dimintai keterangan oleh Komisaris Timur dan aku bercerita tentang kejadian malam di mana aku mengonfrontasi Pak Thomas dan menyelamatkan kami. Aku menceritakan semuanya dan Komisaris Timur tampak puas dengan hasil yang tidak terduga tersebut. Adapun alat ponsel itu? Kini entah di mana. Aku pun khawatir kalau seandainya perangkat tersebut digunakan yang tidak-tidak. Aku hanya berharap hal itu tidak akan terjadi. Komisaris Timur sendiri kini tengah membentuk badan khusus dan rahasia untuk mengawasi beberapa anak buahnya yang juga terlibat kasus yang sama, salah satunya kecolongan beliau mengenai salah satu anak buahnya yang ternyata turut ikut andil bagian dalam peristiwa pembantaian dan pengurungan siswa SMA Harman Sastranagara, seperti Bripda Drajat.
Kejahatan terjadi karena kesempatan. Bahkan orang-orang kami pun juga terjebak dalam drama sirkus menyebalkan macam ini. Begitulah kata-kata Komisaris Timur yang ternyata juga menyesalkan ada beberapa celah di dalam instansi kepolisian.
Sekolah kami? Well, bisa dibilang hancur-hancuran. Bom yang tidak sempat dijinakkan menghancurkan beberapa bangunan. Gedung induk SMA Harman Sastranagara pun kini telah teronggok menjadi puing dan reruntuhan yang gosong. Butuh waktu yang lama memperbaikinya. Harman Foundation yang mengurus hal ini segera mengambil kebijakan dengan mentransfer kami ke sekolah-sekolah di bawah naungan Harman Foundation. Miris sekali dan sungguh berat, terutama bagi kami yang telah kelas dua belas alias kelas tiga, yang beberapa bulan kedepan akan menjalani serangkaian ujian dan tes. Beberapa dari kami juga ada yang memutuskan untuk mencari sekolah lain dan mengulang kelas. Perjuangan kami cukup berat untuk memulai lagi dari awal, tetapi mau bagaimana lagi?
Kami meninggalkan banyak sekali kenangan. Baik yang selamat maupun yang telah tiada. Kami masih terngiang hari-hari bersama teman-teman kami sebelum kejadian ini. Netta, Royce, dan Rayan salah satunya. Kami mengenang banyak sekali hal yang tidak dapat dilupakan dan sering kali hal itu menimbulkan efek yang cukup membuat kami menderita. Beberapa dari kami membutuhkan bimbingan psikis. Harman Foundation yang bekerja bersama salah satu biro Psikolog ternama di Indonesia memberikan layanan bimbingan psikis, trauma healing dan terapi. Termasuk aku dan Rusya yang akhir-akhir ini, menderita night terror yang sering dan ada indikasi gejala Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD.
Pak Thomas. Ah ..., banyak kejutan memang yang dibuat oleh salah satu guru teraneh yang pernah kami kenal. Anggota Order of Quartz yang tersisa hanya tercengang, memaki-maki tidak percaya dan speechless ketika aku membeberkan rahasia mengenai malam itu. Guntur dan Septian pun tidak menyangka kalau Runda juga 'ikut' andil dalam membuat skenario penjebakan, pembantaian dan pengurungan kami. Walau memang Runda hanya diancam dan menjadi korban juga. Sayang sekali ia harus menanggung beban berat seperti itu. Rusya, pun dia juga menunjukkan reaksi tidak percaya ketika mengetahui, bahwa Pak Thomas adalah dalang di balik semua ini.
"Jadi!? Semua itu adalah rencana Pak Thomas!?"
Aku mengangguk. Septian, Guntur dan Rusya masih tertegun tidak percaya. Terdiam dalam keheranan mereka masing-masing.
"Tidak kusangka Pak Thomas bisa melakukan hal seperti itu. Apa yang dia pikirkan ...," geram Septian.
"Mungkin ia ingin melihat bagaimana generasi penerus masa depan bangsa ini dijalankan dengan anak-anak yang benar-benar berkompeten. Bagaimanapun ini adalah sistem yang berbahaya dan tidak dapat diterapkan serta merta ...," ujar Guntur. Kami tidak banyak bicara lagi. Kenyataan telah berbicara banyak, Pak Thomas pun mengakuinya.
"Kenapa harus ada orang-orang seperti itu?" geram Guntur.
"Yah, mereka terbutakan oleh ambisi mereka sendiri, sehingga mengambil alih terlalu jauh diri mereka ...," Septian mencoba menanggapi.
Namun, satu hal yang menggelitikku. Rusya. Tentu saja setelah Septian dan Guntur yang 'memvonis' Rusya secara 'brutal', memaksa Rusya mengakui kalau dia, ternyata diam-diam menyukaiku. Betapa bingung, malu, dan kelabakannya Ruysa ketika ia tidak bisa berkelit dari pertanyaan Septian yang sudah mirip wartawan majalah gosip stensilan.
Kenapa kamu suka sama Rimba? Udah berapa lama ngecengin Rimba? Gimana rasanya ketika kamu terkadang enggak ditanggapi sama bocah kurang peka satu ini?
Dan bahkan dari Septian :
Gantengan mana Rimba sama aku? Oh, iya Rimba, diterima enggak nih!?. Sepanjang interogasi, wajah Rusya yang terus menerus memerah. Tertangkap basah dan benar-benar memalukan. Aku yang kasihan akhirnya menggaet tangan Rusya dan mengajaknya menjauh sebentar dari Septian dan Guntur, yang langsung bersiul-siul dan heboh sendiri. Aku menginginkan interogasi tersendiri untuk gadis kecil satu ini.
"Jadi ... itu sebabnya ... kau mengawasiku waktu aku di bawah pohon dulu?" tanyaku sembari menautkan alis dan melipat kedua tanganku.
Ia hanya mengangguk.
"Gelang ini ...," lanjutku seraya menunjukkan gelang buatan Rusya yang kini masih kukenakan. Ia kembali mengangguk pelan. Aku kemudian tersenyum.
"Terima kasih ...," ujarku.
"Untuk?" tanya Rusya sembari menaikkan sebelah alisnya.
"Untuk ... entahlah, terlalu banyak dan aku tidak akan mungkin bisa membalasnya dengan mudah begitu saja ...."
"Maafkan Rusya... jika selama ini, mungkin Rusya sudah merepotkan Kak Rimba ...."
"Rusya ... ingat dua hal yang pernah kubicarakan. Satu, aku bukan tipe orang yang mudah membuat suasana romantis. Dua, jangan panggil aku dengan Kakak. Geli mendengarnya!?" ujarku. Rusya pun tertawa pelan.
"Duh ... maafkeun Rusya...,"
"Ah sudahlah .... Sekarang, apa yang kauharapkan?" tanyaku.
"Hmm ... mungkin Ka—eh, kamu mau ... menerimaku?" akhirnya Rusya memutuskan untuk ber-aku-kamu setelah sekian lama kami dekat. Aku hanya tersenyum, dan kemudian senyumku menghilang.
"Tidak ...," jawabku singkat
"Eh?" Rusya terperanjat. Ia menatapku, menunggu jawaban selanjutnya.
"Maaf ... tidak. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku bersedia menerimaku ...," jawabku.
Rusya tidak berkata apa-apa. Ia terdiam dan masih berekspresi tidak percaya.
"Bukan apa-apa ... Namun ... maaf, tidak ...," ujarku.
"Ke-na-pa?" kata-kata Rusya hampir terpatah-patah. Berusaha untuk menahan emosinya agar tidak terpengaruh. Ada sedikit berkas rasa kekecewaan dari perkataannya. Bagaimapun kata-kataku tadi terdengar cukup kejam untuk seorang anak perempuan yang 'cukup' polos dan ia telah mengejarku semenjak pertama kali dia bertemu denganku. Bisa dibilang, mungkin aku laki-laki pertama yang ada di hatinya. Entahlah.
"Kau hanya menanyakan apakah aku mau menerimamu? Menerima apa? Seseorang harus memeiliki pertanyaan yang jelas dong!"
"Jangan berlagak bodoh! Kautahu sendiri bagaimana selama ini aku selalu dekat denganmu! Kau pasti sudah tahu kalau aku menyukaimu, meskipun kauberlagak tidak tahu! Benar kan!?" Oke, Rusya hampir menangis.
"Well, kau sudah tahu itu kan ...."
"Tetapi kenapa?"
"Karena status pacar cuma bisa jadi pacar, belum tentu jadi ... ehm ... pendamping ... hidup," aku pun menyeringai. Rusya melongo. Lama dan tidak ada respon dari gadis di depanku ini. Air matanya keburu mengalir membasahi pipinya.
"Enggak seru kalau orang-orang nyebut Rimba Eka Putra berpacaran dengan Annastasya Rusya. Klise banget dan menumpulkan kreativitas. Aku mau buat statusku sendiri biar lebih greget. Rimba Eka Putra berduet maut dengan Annastasya Rusya. Oh ... lebih keren lagi kalau buat sistem status sendiri. Semacam Rimba-Rusya True Pairing atau seperti Mr. And Mrs. Smith ...,"
Rusya pun menghambur seraya memelukku erat. Betapa eratnya pelukannya a la Girl-bear-hug, sehingga aku sulit bernapas. Ia pun tertawa dengan air mata yang masih mengalir. Yah, setidaknya aku membuatnya menangis bahagia. Bahagia dan menanggapi perkataanku tadi, yang sungguh, aku sendiri hampir muntah saat memikirkannya kembali.
"Terserah! Terserah kamu mau menyebut apa!? Terserah!?" ujarnya yang masih tertawa dan memelukku. Aku hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Memang mungkin seharusnya kami harus lebih rutin dalam menjalani konsultasi psikologis.
"Oke ... lepaskan.. kaubuat aku kena asma buatan ...," ujarku. Rusya pun melepaskan pelukannya. Wajahnya terlihat sangat gembira dan tersenyum dengan lucu. Cukup menggemaskan.
"Aku mau tanya sesuatu, Rus ...."
"Iya?" Rusya menatapku dengan penuh semangat dan ia berusaha untuk menahan agar tidak tertawa riang.
"Hmm ... aku mau tanya. Bagaimana bisa Pak Thomas menculikmu?" Tanyaku.
"Eh.. Oh ... waktu itu ... entahlah. Sewaktu anak-anak menemukan bom di aula, kan semua orang pada berhamburan keluar. Aku waktu itu juga ikut arus dan berdesak-desakan. Namun, waktu itu ada seseorang entah siapa. Namun, aku melihat sekilas kalau itu Pak Thomas, setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi ...," jelasnya.
Aku mengangguk-angguk.
"Oke ..., sekarang aku juga mau tanya dan sebenarnya ini membuatku penasaran. Beberapa pekan sebelum aku diserang oleh Pak Thomas yang kami kira hipster sewaktu aku mengantar Septian membeli sparepart sepeda motor di kota, aku sempat mendapatimu sedang bersama Pak Thomas di perpustakaan. Beberapa kali aku mendapatimu dengan beliau. Waktu itu kalian duduk berdua dan aku mendapati kamu terlihat ada beberapa perbincangan serius dengan Pak Thomas. Sebenarnya ... kalian sedang apa sih?" tanyaku.
Rusya terdiam dan ekspresinya mematung dan beku. Senyumnya menghilang.
"Hei, Rusya?"
PART I :
PROBABILITAS ANTITHESIS
-END-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top