CHAPTER 9
"Nobody can see the trouble I see. Nobody knows my sorrow."
― Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (1983)
****
Hari Ke-2, 00.20.
Dok! Dok! Dok!
"Buka Pintunya! Cepat!"
Teriakan itu seperti berdengung di kepalaku. Aku tersadar, tetapi seperti patung tidak bernyawa. Mataku menatap ke tanah. Pikiranku hanya terngiang rentetan kalimat-kalimat yang muncul dari mulut-mulut orang di sampingku.
Aku membunuh orang.
"Germain! Apa yang terjadi?"Suara yang lain terdengar lebih kebingungan.
"Septian, masukan mereka ke dalam!"
"For the sake! Bagaimana mereka bisa keluar?"
"Aku tidak tahu! Aku benar-benar tidak tahu!"
Aku membunuh orang.
Suara kepanikan itu mendengung di kepalaku. Orang-orang yang heboh sendiri. Beberapa teriakan dan pekikan. Beberapa orang memanggil-manggil namaku dan Rusya.
Detik berikutnya aku di dudukan di aula bagian Selatan, bersebelahan dengan Rusya. Tanganku lemas tidak bergerak, kakiku diselonjorkan. Aku masih terdiam tanpa bicara dengan tatapan tajam ke lantai. Kosong. Yang hanya di pikiran saat itu hanyalah satu hal. Aku telah membunuh orang.
Orang-orang mulai memanggil-manggilku, mengguncang-guncang tubuhku. Aku pun tidak merespon. Hal yang sama berlaku dengan Rusya. Orang-orang mulai terdengar heboh sendiri di dekat kami.
"Mereka kenapa?"
"Entahlah, mereka shock mungkin karena ketemu pembantai ...,"
"Masa segitunya?"
"Kayak habis kesambet Dementor—" Runda terdengar mencicit ketakutan.
"Runda! Berhenti bicara yang tidak-tidak!" Suara Septian terdengar nyaring.
"Sepertinya mereka terkena katatonik ...." Entah suara siapa itu, tetapi aku menduga itu Pak Thomas.
"Kat-katatonik??"
"Gangguan perilaku yang dapat disebabkan karena faktor psikologis atau neurologis. Katatonia bisa disebabkan karena depresi, gangguan psikologis, atau trauma pasca kecelakaan."
"Bisa disembuhkan?" celetuk seseorang.
"Mungkin ... aku bisa menangani Rimba ...," ujar Septian.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku.
Plak
Tamparan keras di pipi satunya.
"Septian! Goblok banget—" Guntur meradang.
"Diam, kampret!" Septian menamparku lagi.
Aku membunuh orang.
"Rimba!" teriaknya. Momentum itu berulang. Tamparan, sebuah dengungan pernyataan mengerikan bahwa aku telah membunuh seseorang, lalu teriakan Septian memanggilku. Terus berulang hingga denting kewarasanku perlahan kembali muncul ke permukaan.
"Aku membunuh orang!!!" teriakku menggema ke seluruh aula. Semua orang yang ada di aula tergelak seraya menatapku. Ada yang tidak percaya, ada yang ketakutan, ada yang memandangku dengan tajam, ada pula yang takut. Seluruh ekpresi mereka menuju ke arahku sekarang.
*****
Ketika umur 8 tahun, aku tidak sengaja membuat sebuah eksperimen yang begitu mengerikan. Aku terkesima dengan adegan sulap di televisi, di mana seorang pesulap sedang ditimbun di dalam tanah. Aku mencoba aksi tersebut dan malah merengut nyawa seekor anak ayam yang malang. Perasaan bersalah benar-benar menghantuiku selama tiga hari lebih. Ibuku memvonis aku terkena sawan ketika diriku tidak mau makan dan bolak-balik mengalami insomnia. Butuh waktu sekitar sepekan sampai aku benar-benar pulih dari berbagai ancaman rasa bersalah, serta beberapa nasihat dari ibu.
Kini, aku berumur 18 tahun, aku melakukan hal yang hampir sama. Sebuah golok di tangan. Ketika aku akan diserang, sebuah refleks aku mengayunkan golok itu tepat ke arah leher si pembantai. Berbagai pertanyaan terus menerkamku. Apa aku berdosa? Apa aku akan ditangkap setelah ini? Apa aku tidak ada bedanya dengan Para pembantai itu?
Tidak lama hingga Septian dapat menyadarkanku, meskipun harus menanggung dengan bekas tamparannya yang cukup kuat, dia memang benar-benar menamparku. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya aku dapat menggenggam dengan sempurna kesadaranku.
"Kau tidak melakukan hal yang salah ...," ujar Septian.
"Aku telah membunuh orang, Sep ...," racauku pelan sembari memijat-mijat kepalaku yang kini malah terserang pening yang cukup mengganggu.
Rusya yang ada di sampingku, butuh sekitar sepuluh menit sampai ia benar-benar tersadar. Itu pun belum efek samping berupa memuntahkan seluruh makan malamnya. Aku menoleh ke arah Rusya, yang kini bersama Marrisa. Gadis itu kini muntah untuk yang ketiga kalinya.
"Terkadang, kita harus memilih pilihan yang sulit, Rimba ...," Septian tetap berusaha membuatku agar merasa lebih tenang.
Namun, aku masih terngiang-ngiang, bagaimana diriku dan Rusya tadi telah melakukan aksi pembunuhan pertama kami. Itu bukanlah hal menyenangkan yang dapat dimasukkan ke dalam memori, tetapi faktanya—sebuah peristiwa yang dengan kuatnya emosi yang mempengaruhi—peristiwa tersebut malah tersimpan jelas dalam memori tersebut.
Aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah, berusaha untuk menghindari otakku memutar kembali memori yang baru saja terjadi. Membuang sejauh-jauhnya, bahkan mulai menyangkal segala kebenaran bahwa diriku telah membunuh orang, Mekanisme pertahanan diri seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, di mana antara naluri kita terjadi konflik dengan norma, moralitas dan keyakinan universal, lalu kita berusaha menyeimbangkan itu melalui mekanisme agar pribadi seseorang tetap seimbang.
"Istirahatlah. Para pembantai tersebut sepertinya sudah habis. Patroli kita tidak menemui mereka lagi setelah insiden tadi ...." Pak Thomas datang menyarankanku agar istirahat.
"Bagaimana dengan Rusya? Dia terlihat masih sangat shock ... dan tidak begitu baik ...."
"Dia akan segera baikkan ... mari berharap agar ada suatu kemajuan untuk esok hari ...," ujar Pak Thomas seraya pergi dan melihat keadaan Rusya.
Rusya tampak terlihat murung, lebih pendiam, tatapannya mengisyaratkan ketakutan yang amat sangat, melebihi sahabatnya sendiri, Marrisa. Ia tidak bicara sepatah kata pun. Tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan, baik dari Pak Thomas maupun Marrisa. Bayangannya selalu kembali terngiang pada mayat dengan penuh luka tusuk di depannya, serta darah yang melumuri tangannya. Selalu terngiang kembali kepada jeritan pembantai yang meregang nyawa.
Bagaimana pun kami hanyalah korban dari malam pembantaian SMA Harman Sastranagara. Kami hanyalah kumpulan manusia-manusia yang masih selamat, menunggu sebuah keajaiban, seraya satu per satu dari kami mulai dijangkiti penyakit ketidakwarasan secara perlahan-lahan. Perlahan-lahan kami mulai menjauh dari moralitas, perlahan-lahan karakter kami seperti sekarat. Beberapa orang seperti Runda, mungkin ia tidak akan memedulikan nasib pembantai yang tadi ia bakar, karena bagi Runda, itu adalah sebuah karma bagi orang tersebut. Sebuah hukum, di mana mata dibalas dengan mata, nyawa dibalas dengan nyawa adalah hal yang harfiah terjadi di sini.
"Huh, persetan dengan moralitas. Persetan dengan larangan pembunuhan ...," kesal Runda begitu aku mencoba membicarakan hal itu.
"Kita sudah hidup di mana kelicikan tumbuh subur seperti padi di sini, sedangkan padinya sendiri terus menerus kering tanpa berisi ...," lanjutnya.
"Apa kau tidak merasa bersalah kepada pembantai yang kau bunuh? Dia salah satu dari kaum gelandangan hipster ...."
"Mereka juga tidak lebih dari korban, Rimba! Kau, semua orang di sini, para pembantai yang orang gelandangan atau hipster, atau apalah itu, kita semua tidak lebih dari korban adu domba sistem! Kita dimainkan dalam sebuah ring tinju, di mana ring tinjunya adalah tempat yang terisolasi dari norma dan moralitas itu sendiri ...," tukasnya.
"Bukan berarti kita boleh membunuhnya ...."
"Ini bukan masalah boleh atau tidak boleh Rimba. Bayangkan saja kau dikurung dalam sebuah kamar, ukuran tidak lebih dari tiga kali tiga meter, lalu seseorang memukulimu dengan tongkat baseball tanpa henti. Apa kau akan diam saja? Kau mau dirimu babak belur? Kau mau mati konyol? Kau bisa membalasnya, tetapi bagaimana bila orang itu pulih, lalu malah semakin menghajarmu? Kau akan berusaha untuk menghajar orang itu lebih dari orang itu lakukan padamu, agar kau tetap selamat!"
Aku mengenal Runda bukan orang yang penuh dengan pemahaman-pemahaman seperti yang ia katakan tadi. Kami mengenal Runda hanya sebagai seorang master IT, anak paling mesum satu sekolah, serta konyolnya minta ampun. Malam ini, itu menjadi kata-kata yang setidaknya, memakai otaknya.
"Jangan salahkan dirimu sendiri seolah kau melakukan semua itu, Rimba ...," lanjut Runda.
"Kau bukan Tuhan ...." Dan Runda pun pergi berlalu.
Aku menoleh dan menatap Rusya. Kini ia duduk terdiam sembari memeluk lututnya, bersandar pada dinding, menatap lurus kedepan tanpa ada fokus yang jelas. Aku perlahan menggeser dudukku agar aku lebih dekat dengannya.
"Rus—"
"Rusya ...," panggilku pelan.
Ia menolehku dan hanya menatapku. Kemudian kembali menatap ke depan.
"Kita melakukan hal yang sama. Bodoh sekali waktu kita menyukseskan rencana Septian yang malah membuat kita sekarang jadi seperti ini ...," racauku tidak begitu jelas. Rusya masih terdiam.
"Seperti ini kah perasaanmu sekarang? Takut. Bersalah. Semua orang berkata ini bukan salah kita ...." Aku terus meracau.
Kini Rusya menolehku dan memandangku, tetapi masih enggan untuk berbicara.
"Orang berkata seolah semua itu mudah, kenyataannya kita dibebani oleh keyakinan baik, bahwa membunuh itu buruk ...."
"Kita pasti akan jadi bulan-bulanan setelah ini ...." Akhirnya Rusya mencoba berbicara.
"Maksudmu?"
"Ketika kita keluar dari sini, orang-orang akan tahu kelemahan kita, menggunakan kesalahan kita sebagai senjata untuk melawan kita ...," jelasnya datar. Aku hanya terdiam.
"Kalau begitu fakta yang kita akan dapat ... buat apa kita kabur waktu itu? Akan lebih tersiksa ketika kita telah keluar dari tempat ini. Bahkan dunia luar akan terasa lebih menakutkan daripada di sini ...," lanjutnya.
"Jangan bicara seperti itu!" protesku.
"Lalu apa? Kau pikir kita bisa dengan leluasa hidup normal setelah darah seseorang tertumpah dengan tangan kita sendiri!?" Rusya meradang, mulai naik darah.
"Kita hanya korban—"
"Tepat sekali! Kita cuma korban! Kita cuma hewan yang saling diadu! Manusia tidak pernah merasa puas dengan satu hal kecil, sehingga dia jadikan sesamanya tersiksa di atas pondasi kesenangan mereka!" Rusya benar-benar muak sekarang.
Raut wajahnya begitu marah, tetapi aku menangkap sosok Rusya bukan seperti marah, tetapi ketakutan yang menghiasi air mukanya.
"Kita terjebak di sini—"
"Iya kita terjebak di sini! Seharusnya aku tidak ikut pesta ini. Dan aku kini sudah tidur nyenyak dan aman di rumah!!"
"Rusya ...," panggilku mencoba menenangkan.
"Kenapa aku ikut pesta ini? Itu karena kau! Kau, Rimba!" Rusya pun tidak dapat terkontrol lagi, tetapi mau apa. Dihentikan pun, itu akan membuat dirinya semakin tersiksa. Setidaknya sumpah-serapah dapat melegakan rasa sakitmu.
"Terserah apa katamu, Rusya ...."
"Seharusnya aku tidak ikut dengan kalian dan tetap ada di sini!"
"Kau hanya ketakutan, Rusya ...."
"Dan aku ... tidak akan pernah ... bunuh orang!"
Aku hanya terdiam menatapnya. Sebentar lagi, mungkin ia akan mengakui ketakutannya karena matanya sembap dan ia hampir ingin menangis. Perempuan. Sebentar lagi dia pasti akan meledakkan tangisannya.
Sedetik kemudian, memang terjadi.
"Aku takut, Rimba!" Rusya menghambur ke pelukanku. Menangis sejadi-jadinya.
Mungkin Samantha akan bangkit dari kematiannya, lalu menabrakkan diriku ke tembok bila ini terus-terusan terjadi.
*****
Hari Ke-2, 00.48
Dok! Dok! Dok!
Suara pintu aula digedor dengan keras berulang kali. Aku dan Rusya melepas pelukan kami, menatap ke arah pintu. Semua orang terperanjat, beberapa orang terbangun dari tidur mereka. Pak Yitno dan penjaga pintu utama aula membuka pintu. Seorang anak laki-laki datang, pakaiannya penuh bekas darah, napasnya naik-turun, pun dengan wajahnya yang kini penuh dengan luka. Anak laki-laki itu adalah Rayan, ketua panitia Festival tahun ini. Beberapa orang mengerubutinya, tetapi seorang guru dengan sigap langsung membawa Rayan untuk segera ditangani karena lukanya cukup parah.
"Yan! Kau ke mana saja!?" ujar Royce bingung.
"Mer-eka di de-pan ...," desis Rayan terbata-bata sembari menujuk ke arah pintu, langsung tidak sadarkan diri. Sontak kami semua menengok ke arah yang ditunjuk Rayan. Sebuah bahaya yang segera mendekat. Dari kejauhan, kami dapat melihat banyak sekali Para pembantai, berbaris satu banjar, sedang berdiri, bersiap-siap sembari memandangi kami. Sepertinya mereka telah mengepung aula. Jumlahnya? Entahlah, yang kami lihat mungkin ada lima belas atau lebih.
"Celaka! Tutup pintunya! Halangi dengan apa pun yang ada di sini. Ayo!" teriak Pak Yitno dan seisi aula dalam kepanikan. Pak Yitno segera menutup pintu. Beberapa anak tampak sibuk untuk menggotong meja atau kursi, menatanya di depan pintu untuk membuat barikade.
Pun kehebohan juga terjadi di pintu samping aula ketika seseorang menggberak-gebrak dan menggedor-gedor pintu dengan sesuatu dari luar. Kalau mereka memang ingin menuntaskan pembantaian, mereka akan lakukan di sini. Beberapa orang bersiap dengan senjata yang mereka pungut dari pembantai yang telah tewas sewaktu mereka tengah keliling dan melakukan penjarahan. Pak Lian tampak membawa—telah bersiap—dengan senapan berburu yang selalu ia bawa dan kemungkinan besar, beliau mendapatkannya di ruang kepala sekolah.
"Ungsikan anak anak ke tengah dan pasangkan barikade! Gunakan apa pun yang ada!" perintah Pak Lian.
Beberapa siswa dan guru tampak mengungsikan murid-murid yang terluka dan anak perempuan ke tengah. Kami memasang barikade tambahan untuk melindungi perempuan dan anak-anak yang terluka dari kursi lipat yang biasa digunakan untuk pertemuan, beberapa meja kayu, kursi kayu, serta sebuah sofa. Seaktu bunyi keras menggedor-gedor pintu utama, anak-anak menjadi panik.
"Lainnya! Ikuti aku! Ambil obat nyamuk yang tadi kita kumpulkan, lalu pasang korek kalian baik-baik!" Sementara itu, Runda mendapatkan ide untuk membuat sebuah kelompok berisikan beberapa orang, berniat untuk membuat barikade flamethrower dari beberapa obat nyamuk yang tadi ia kumpulkan. Cukup untuk membakar beberapa orang. Runda dan kelompoknya sudah bersiap di depan pintu, kalau sewaktu-waktu para pembantai itu menjebolnya. Cukup cerdas.
"Yang lainnya, jangan panik! Jangan panik!" Pak Lian menginstruksikan dari balik barikade di tengah.
Buk! Buk! Kraak! Kraak! Buk! Buk! Suara kayu yang terkoyak, serta tembok yang berdebum menambah ketegangan. Aku sendiri masih berada di lingkaran barikade dalam bersama Rusya yang kini tidak pernah melepaskan genggamannya dari lenganku. Beberapa orang yang cukup nekat, barbar, atau yang memang telah siap mati bersiap dengan senjata mereka masing-masing. Sebagian besar adalah senjata rampasan. Pak Lian masih dengan senapan berburunya, sementara Pak Thomas telah menggenggam sebuah golok yang cukup panjang. Pak Yitno? Aku cukup yakin ketika beliau juga seorang guru Taekwondo dan mentor dari Septian.
Terdengar suara gergaji mesin dinyalakan. Aku benci hal itu. Baik pintu utama atau pintu samping sudah hampir jebol. Sebagian besar laki-laki akan dipertaruhkan 'kejantannya' di sini. Suara detak jantungku masih samar-samar terdengar. Makin lama makin cepat. Rusya semakin erat menggenggam lenganku ketika suara kayu yang dikoyak-koyak terdengar berulang kali. Marrisa malah masih berada di lingkar luar, berlindung di belakang Pak Victor.
Sekelebat aku mencium bau aneh. Bau gas. Tidak sampai sedetik kemudian, sebuah ledakan terdengar keras dari pintu selatan. Beberapa orang yang berjaga di pintu itu terpental dan terpelanting. Bunyi ledakan itu keras sekali dan bisa kurasakan embusan hangat dari asal ledakan itu. Beberapa orang berteriak kesakitan. Ada seseorang yang terbakar, mencoba mengguling-gulingkan dirinya ke lantai untuk memadamkan api yang membakarnya.
Berengsek! Bisa gitu cara main mereka?!
Sontak adrenalin yang memompa jantungku mulai beraksi. Sejenak lelah dan pegal-pegalku hilang karena efek waspada yang terus-menerus ditimbulkan oleh adrenalin yang terus mengalir di pembuluh darah.
Krosaak!! Pintu utama dijebol dan barikade yang menghalangi pun mulai ditembus. Runda dan kelompoknya sudah bersiap dengan menyalakan korek api sembari menunggu para pembantai itu berada dalam jarak jangkauan flamethrower mereka.
Kau harus selamatkan dirimu.
Batinku berkecamuk, aku merasakan bahwa diriku menginginkan untuk langsung menerjang di tengah pertempuran yang sebentar lagi akan dimulai. Seorang pembantai tampak berhasil menerobos barikade, bersamaan dengan Runda memerintahkan untuk menembakkan flamethrower ke arah mereka.
"Bakar mereka!" teriaknya. Jilatan api yang cukup besar sontak menerangi seisi aula. Pembantai tersebut terbakar hebat dan kini ia berlari-lari panik untuk memadamkan api, tetapi Pak Lian meletuskan senapannya dan memecahkan kepala pembantai tersebut. Pembantai malang itu tersungkur tewas. Bersamaan dengan itu para pembantai lainnya mulai memasuki aula.
Kau akan mati konyol jika hanya berdiam saja, Rimba!
Batinku berontak, dorongan ini berasal dari dalam tubuhku yang lain, meminta untuk dilepaskan, segera menghajar salah satu pembantai itu. Baku hantam pun terjadi. Dentingan besi yang beradu, letusan senapan, erangan pilu dari korban baku hantam tersebut.
Kau akan mati, Rimba! Bergeraklah!
Aku menelan ludah. Seorang murid tampak meronta-ronta ketika tangannya putus dan mengucurkan banyak darah.
Sekarang!
Ketika genggaman tangan Rusya melemah, aku melepaskan lenganku darinya dan merangsek ke depan pertarungan.
"Rimbaa!!" teriaknya memanggilku, tetapi aku tidak menggubris.
Persetan dengan moralitas! Persetan dengan bersalah! Karena nyawa kami taruhannya, sialan!
Aku mengambil sebuah pisau dapur entah milik siapa, menghunjamkannya ke punggung seorang pembantai yang tengah asyik bertarung. Ia pun mengerang kesakitan. Tiba-tiba saja ia berbalik, sontak menyentakku dengan sikunya. Aku terpelanting ke belakang.
Sialan!
Rasanya sakit sekali, tetapi dengan cepatnya mereda, entah karena efek keberanianku yang tiba-tiba muncul atau karena efek dari adrenalinku yang membuatku 'sedikit' kebal sakit.
pembantai tersebut hendak menyerangku dengan sebilah golok. Lagi. Posisiku tidak menguntungkan, serta kemungkinan besar aku akan kena bacok. Ia mengayunkan goloknya. Refleks aku memejamkan mata dan mengangkat tanganku sebagai refleks untuk melindungi diriku.
Dor! Tembakan. Suaranya lain.
Aku perlahan membuka mata dan menonton penyerangku terkapar di lantai. Dari keningnya merembes banyak sekali darah. Aku melihat Pak Thomas menodongkan sebuah pistol. Ia melirikku sembari tersenyum.
Aku bangkit meraih golok tersebut. Beberapa tembakan pun kemudian terdengar, seiring Pak Thomas melepaskan tembakan, satu peluru untuk satu orang pembantai, di mana mereka semua berjatuhan seperti karung beras yang dilempar begitu saja ke tanah.
"Buang rasa bersalahmu nak! Anggap saja kita sedang berhadapan dengan sekelompok serigala yang ingin menerkam kita!" ujar beliau seraya menyabetkan goloknya ke seorang pembantai yang berlari menerjang dia sembari memegang sebuah palu. Cipratan darah menyebar, golok Pak Thomas tepat menancap ke lengan si penyerang. Erangan menyedihkan keluar dari mulutnya.
Detik demi detik telah berlalu setelah bentrokan pecah. Suara dentingan besi yang beradu, erangan kesakitan dari para pembantai atau anak-anak yang terluka, jeritan dari orang-orang—yang baik itu sedang dipenuhi semangat untuk bertarung, maupun yang ketakutan dengan pemandangan di depan mereka—berpadu dalam simfoni layaknya medan pertempuran yang mengerikan.
Beberapa orang tampak kesusahan untuk melawan si pembantai bergergaji mesin karena dia mengerikan, serta cukup berbahaya untuk melukai banyak orang dari jarak yang agak jauh.
"Runda!" teriakku memanggil Runda dan beberapa orang dari kelompoknya. Ia menoleh.
"Gunakan senjatamu untuk membakar yang bergergaji mesin sialan itu!" tegasku.
Ia menyeringai seraya mengacungkan jempol, kemudian bersiap membentuk formasi dengan mengepung pembantai bergegaji mesin. Mereka membakarnya habis-habisan dan si pembantai itu kalang-kabut, bahkan ia tidak sempat untuk mengelak dari jilatan api Runda dan teman-temannya. Pembantai tersebut mati dengan matang.
"Rasakan itu, brengseek!!" teriak Runda puas.
Beberapa orang pembantai mencoba maju menuju ke lingkar tengah, mulai menghancurkan barikade. Seorang perempuan tertindih barikade yang berantakan. Pembantai mulai masuk ke lingkar tengah yang notabene, adalah sasaran empuk. Aku dan anggota Order of Quartz-yang sudah lama tidak tersebut namanya, menuju ke lingkar tengah, berusaha mencegah mereka agar tidak menggasak lebih dalam. Orang-orang di lingkar tengah mulai panik. Beberapa mulai keluar dari barikade.
Kami seperti kesetanan, terus bertarung. Entah berapa pembantai yang telah kubunuh malam ini. Diriku bukanlah seorang Rimba Eka Putra enam tahun lalu. Bukan lagi untuk malam ini. Aku terus mengayunkan golok dan menumpahkan darah para pembantai. Kami terkadang selalu bercanda tentang pertumpahan darah dan malam ini hal itu benar-benar terjadi.
Bau terbakar, keringat dan darah yang berbaur menjadi satu sebagai aroma 'ladang pembantaian' mengharumkan seisi aula. Beberapa anak-anak perempuan di lingkaran dalam yang tidak kuat langsung memuntahkan seluruh makan malam yang mereka telah makan. Bagus sekali, sekarang aromanya menjadi tidak karuan.
Gambaran tersebut seakan sedang direkam jelas oleh kedua mataku, berkali-kali pemandangan mencekam, juga menegangkan. Tubuh tergolek dengan luka sabetan di mana-mana, atau mungkin yang teronggok setengah matang di depan pintu. Beberapa bagian tubuh yang berceceran ke mana-mana, termasuk kepala yang baru saja menggelundung, entah milik siapa.
Kami terus bertarung malam itu.
Tebasan demi tebasan benda yang kami genggam seperti mengkoreografikan gerakan kami. Kami tidak pernah berhenti sebelum pembantai terakhir tewas. Sampai pembantai terakhir.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top