CHAPTER 8
23.30
Mungkin kami adalah korban dari perubahan sistem tata kota.
Distrik Veteran bukanlah tempat yang ramai. Merupakan kompleks pendidikan, sisanya lagi perkantoran. SMA Harman Sastranagara terletak strategis di tengah-tengah Distrik Veteran. Diapit dua buah sungai kecil. Sebelah Timur dan Barat sekolah juga merupakan kompleks sekolah, yang dua-duanya sekolah kejuruan. Tenggara sekolah terdapat menara lonceng Gereja St. Bartholomeo Antonius. Depan sekolah kami adalah gedung perkantoran, di sampingnya juga gedung perkantoran yang sedang dibangun. Posisi kami berada di Barat Sungai Brantas yang membelah kota. Setahun lalu, dua buah kanal pengairan dibuka, membatasi—salah satunya mengapit—sekolah kami. Belakang sekolah adalah kebun pisang. Jarak kami dengan perumahan penduduk juga terbilang jauh.
Ada kemungkinan beberapa saksi mata akan melihat pembantaian ini dari luar, terutama seseorang yang lewat jalan besar di depan sekolah atau sempat melewati lapangan. Sayang sekali, hari ini adalah akhir pekan. Siapa yang mau ke Distrik Veteran yang notabene bukan distrik pusat pembangunan ekonomi. Orang-orang mungkin akan fokus ke pusat kota. Apabila ada yang melewati daerah Distrik Veteran, mungkin hanya segelintir orang. Terlebih lagi, sejak Jembatan Kembar Brantas diresmikan untuk jalur yang lebih cepat, setidaknya kami tidak tersentuh orang yang lewat karena Jembatan tersebut akan langsung menghubungkan dengan pusat kota.
Satu-satunya keamanan yang mungkin akan merespon bila terjadi serangan adalah Distrik Militer yang ada di utara, itu pun jaraknya kurang lebih lima belas kilometer. Ironi di atas ironinya, gedung-gedung perkantoran yang ada tepat di depan sekolah kami, dulunya adalah markas satuan Brigade Mobil Kepolisan Kota alias Brimob. Markasnya kini dipindah di Timur karena lebih dekat dengan pusat kota, serta tidak terbatasi oleh aliran Sungai.
Kami tidak dapat mengakses ke dunia luar. Sinyal jamming yang entah dipasang di mana membuat seluruh ponsel kami tidak berfungsi, bahkan untuk layanan panggilan darurat. Seluruh telpon kabel dan faksimili terputus. Wifi? Apalagi. Satu-satunya yang memungkinkan adalah jaringan kabel optik, tetapi siapa yang mau mengeruk di kedalaman lebih dari lima puluh meter di bawah tanah?
Mencoba keluar? Jangan tanyakan ketika salah satu kami mencoba mengeluarkan tangannya ke luar pagar untuk memperoleh sinyal telepon, buum! Kini ia tewas.
Tidak ada yang mendengar kericuhan ini? Kurasa bila ada yang mendengar, mungkin mereka akan menganggap kita sedang merayakan sesuatu sehingga teriak-teriak tidak jelas. Para pembantai tadi menggunakan peredam untuk meminimalisir terdengarnya suara letusan senjata, kecuali untuk Si Penerima Tamu Sialan yang menembak Samantha tadi. Mereka telah memperhitungkan semuanya. Aku rasa, teror ini bukan main-main.
Baiklah, mungkin yang pertama akan merespon adalah keluarga di rumah. Orang tua kami mungkin akan cemas dan panik ketika mereka tidak dapat menghubungi anak mereka. Beberapa mungkin akan menyusul ke sekolah, tetapi itu jika mereka berasumsi kalau anak mereka pesta sampai larut tengah malam. Mungkin saja mereka bakal diserang Sang pembantai bila ada yang coba-coba memasuki areal kompleks, apalagi sewaktu kepanikan melanda, seluruh gerbang ditutup dan dikunci.
Hal kedua, mungkin orang di rumah lainnya makin cemas karena orang yang menjemput tidak kunjung kembali atau tidak dapat dikabari. Dapat diasumsikan, yang menjemput anak mereka, telah 'dijemput' duluan oleh Sang pembantai yang masih berkeliaran. Kita tidak tahu berapa pembantai yang masih berkeliaran di luar sana.
Asumsi berikutnya, orang-orang di rumah akan panik, kemudian segera melapor ke pihak ke polisi. Semakin banyak yang melaporkan berita kehilangan secara simultan dari beberapa saluran dan dengan laporan perkiraan tempat menghilang yang sama, polisi mungkin akan langsung terjun menggerebek sekolah kami.
Undangan diperkirakan selesai hingga tengah malam nanti. Dan mungkin, asumsi di atas akan terjadi sekitar paling lama satu jam lagi. Perkiraan rentang waktu yang diperlukan dari asumsi pertama hingga laporan kehilangan anak-anak mereka secara misterius dengan simultan Sekitar tiga puluh menit. Polisi kemungkinan akan menyelidiki sekitar pukul dua dini hari nanti. Itu pun jika tidak ada faktor lain.
Karena undangan ini diperkirakan selesai hingga tengah malam, maka ada beberapa anak yang tidak akan datang karena alasan jam malam. Semua guru dan orang-orang dari komite yayasan mayoritas akan datang. Mungkin mereka akan pulang ketika acara tengah berlangsung, tetapi penyerangan itu terjadi di awal sebelum pembukaan. Bisa dipastikan hampir semua pihak instansi sekolah hadir, kecuali untuk guru-guru yang telah 'sepuh' alias tua, yang memilih untuk tidak menghadiri undangan ini.
Oh iya, bagaimana dengan tamu undangan yang terlambat? Asumsi yang paling mendekati, mereka pasti sudah di bantai duluan di depan.
Berita acara yang ditemukan menyebutkan sekitar 886 siswa dari 937 total siswa, juga 130 orang guru beserta komite yayasan hadir dalam undangan ini. Di ruangan ini sekarang terdapat kurang lebih empat ratus siswa dan kurang lebih tiga puluh orang dewasa. Sisanya berada di luar auditorium, sedang mencari yang terjebak atau ... mencari mati.
*****
"Siapa yang melakukan semua ini? Siapa biang keroknya?" celetuk salah satu anak. Ada kemungkinan akan terjadi sedikit perdebatan seperti yang terjadi di kantin tempo hari lalu.
"Oke, kita akan mulai dengan seluruh orang yang kira-kira jadi biang keroknya, lalu kita akan eliminasi hingga tersisa seseorang yang mungkin ... menjadi biang kerok sialan dari masalah ini ...," jelasku.
"Anak-anak yang tidak setuju dengan acara ini? Butuh lebih dari satu orang dan indikasi mengalami gangguan mental untuk merencanakan pembantaian gila ini. Siapa pula yang mau membayar segitu banyaknya orang untuk membantai kita? Tidak mungkin! Jangan kalian pikirkan bila masih ada anak yang tidak setuju dengan acara ini, melakukan rencana pembantaian yang sebelas dua-belas dengan holocaust ini ...," sahut Septian sebelum seseorang menyulut masalah, dengan mengait-ngaitkan orang yang tidak menghendaki diselenggarakannya acara ini—juga pembantaian yang terjadi.
Ada dua kemungkinan asumsi yang mungkin saja terjadi.
Pertama adalah kompetitor dari Harman Corporation.
"Mungkin ada beberapa perusahaan besar saingan Pak Harman yang ada. Mungkin saja mereka membayar atau menyuruh antek-antek mereka untuk melakukan aksi pembantaian ini ...," duga Septian.
"Terlebih lagi ... kondisi ekonomi global yang semakin bersaing ketat, juga lagi memanas setelah ada Masyarakat Ekonomi Asia ... tentu saja hal ini juga dimungkinkan, bila perusahaan saingan Harman Corporation main cara kotor ...," tambah Royce.
"Namun ...Victor dan papa sudah menyelidiki semua kompetitor perusahaan papa. Mereka terbilang masih bersaing secara sehat kok ...," tukas Marrisa.
"Marrisa benar. Perusahaan besar yang punya antek-antek atau mafia pun tidak akan melakukan cara kotor dan vulgar seperti ini. Mereka punya cara-cara yang lebih elegan daripada harus membayar mahal untuk pembantaian ini, membunuh orang-orang yang tidak berkepentingan. Salah-salah, nama perusahaan mereka bisa tercoreng atau bahkan, mereka dapat dipidanakan ...," sambung Pak Victor.
"Terlebih lagi ... sekarang jamannya sudah canggih. Mereka tidak perlu repot-repot menjagal kita satu per satu hanya untuk meneror dan mengganggu kinerja perusahaan. Dari satu komputer di antah berantah, mereka bisa membobol data-data dan rahasia perusahaan, atau mengirimkan teror ke server perusahaan. Bahkan, perang sekarang tidak lagi identik dengan gasak-menggasak dan bacok-membacok, tetapi lebih ke pada di jaringan dunia maya ...," timpal Runda.
Serentak kami semua berpaling dan memandangi Runda.
"Apa? Aku hanya berasumsi! Jangan pandangi aku seolah-olah kalian ingin menggilirku seperti itu!" protes Runda.
"Siapa juga yang mau sama kau!" timpalku.
"Dasar otak ngeres!" tambah Willi seraya menabok punggung Runda yang sedang tiduran.
"Gile lu Run ...," tambah Septian.
"Jangan-jangan elu pelakunya, Run?" Royce menambahi.
"Berarti ... kalau begitu ini kelompok Terorisme?" celetuk Andre. Percakapan pun kembali berlangsung.
"Sepertinya begitu. Asumsi yang paling memungkinkan adalah jaringan kelompok terorisme yang cukup berbahaya, hingga dapat mendesain sebuah pengurungan dan penjagalan dengan cara yang benar-benar horor seperti ini ...," pinta Guntur.
"Tetapi teroris mana yang menyewa sekelompok hipster untuk membunuh kita satu per satu? Gitu-gitu teroris juga elite dan pilih-pilih anggotanya kali ...," tukas Runda.
"Kayak elu pernah ikut aja ...," canda Septian sembari mendorong punggungnya. Runda memandang sengit ke arah Septian.
"Ada banyak jenis teroris. Ada yang bertujuan ingin memperkenalkan atau menentang suatu ideologi ataupun keyakinan. Ada yang bertujuan untuk meraih keuntungan di balik aksi teror yang mereka lakukan. Ada juga yang bertujuan untuk menentang sebuah sistem yang dirasa tidak menguntungkan kelompok mereka. Pertanyaannya sekarang, yang mana mereka?" ungkap Guntur.
Kami berhenti untuk berpikir sejenak.
"Run, masih ingat tentang penjelasan kita sewaktu di kantin tentang kebijakan pemerintah kota yang merelokasi slum area yang terletak di beberapa pusat kota. Hipster dan gelandangan, muncul dan tumbuh dari situ. Ketika 'habitat' mereka diambil alih, mereka berkeliaran. Mereka protes kepada pemerintah kota tentang tempat relokasi mereka yang tidak kunjung mendapat tanggapan dan salah satunya adalah ... ini." Aku mencoba membuka pernyataan asumsi.
"Tetapi ... kenapa harus kita?" tanya Royce.
"Harman Foundation, salah satu aset milik Harman Corporation yang merupakan perusahaan terbesar di negara ini. Buat sajalah dengan memulai teror di sebuah aset milik suatu instansi yang berkontribusi besar untuk negara. Seperti ... Harman Corporation," celetuk Runda.
"Kalau begitu, teror ini terlalu berlebihan dong? Untuk sekadar menyuarakan aksi protes?" sanggah Septian.
"Kalau protes setengah-setengah ... tahu sendiri bagaimana pemerintah?" timpal Royce.
"Namun ..., ini secara teknis juga mengancam mereka sendiri. Iya kalau mereka berhasil, kalau gagal? Mereka akan mati sendiri ...." Septian masih bersikeras bahwa beberapa asumsi yang kita diskusikan masih tidak ada yang tepat.
Diskusi kami pun masih berjalan alot hingga malam mencekam terus berjalan menggelayut di langit, di atas SMA Harman Sastranagara.
*****
23.52
"Kak ...."
Aku masih termenung, lebih tepatnya melamun dengan berbagai hal berputar dalam kepalaku.
"Psst!" Seseorang memanggilku.
"Kak Rimbaa?" Rusya memanggil namaku dengan berbisik tepat di dekat telingaku.
"Apa?" sahutku pelan.
"Kak Rimba sakit? Wajahmu sedikit pucat ...," ujar Rusya.
Baru saja Rusya berkata begitu, pandanganku tiba-tiba jadi sedikit berkunang-kunang, juga aku merasakan ruangan ini berputar perlahan.
"Sepertinya gula darahku turun karena belum makan dari sore tadi ...," ujarku sedikit lemas. Bersamaan dengan itu, suara perutku yang keroncongan karena belum terisi makanan apa pun mulai berdendang.
"Wah, sepertinya ada yang lapar ... gimana kalau kita cari makan?" bisik Septian yang ada di belakangku.
"Gile lu, Sep!? pembantai muka jelek itu masih berkeliaran di mana-mana, sementara kau dengan santainya mengajakku untuk cari makan!" protesku.
"Ih, Kak Sep, di luar enggak ada tukang jualan!" tambah Rusya.
"Aku lapar ... meski tadi sudah makan malam sih ...," ujar Septian seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Dasar, makanan melulu dipikirin!"
"Halah, enggak usah terlalu hipokrit gitu ... kita bakal nyari sama-sama deh," kata Septian dengan santainya.
"Gimana kalau enggak dibolehin?" tukasku.
"Orang-orang lagi ronda, Bang. Yang jaga di pintu paling cuma beberapa orang yang bisa dilobi-lobi sedikit ...,"
"Sableng bener kau, Sep. Di luar ada makhluk-makhluk 'kripik-kripik' menyeramkan dan mematikan, berkeliaran kayak Dementor patroli. Kau mau tiba-tiba ditangkep, terus darahmu disedot gitu ...." Runda yang mendengar pembciaraan ikut-ikutan nimbrung.
"Otakmu kau pakai ngebokep aja sih, Run! Ya jelas kita bareng-bareng, Bocah mesum! Kau mau berangkat sendiri?" berang Septian.
"Ih, ogah!"
"Makanya, kita berangkatnya barengan!"
"Jadi enggak nih!" sahutku mengiterupsi.
Aku, Runda, dan Rusya mengangguk bersamaan.
"Loh, kamu jangan ikutan! Di sini aja!?" larang Runda ketika Rusya bersikeras untuk ikut.
"Tapi ..., aku juga lapar," ujar Rusya sembari menatap kami dengan memelas. Terpaksa kami bertiga mengikutkan Rusya.
"Ingat, jangan jalan jauh-jauh dan jangan pisah dari kelompok. Tetap fokus di jalan," Septian memperingatkan.
Tengah malam dan kami pun menyelinap di antara siswa-siswa yang sedang tiduran di lantai. Dua orang bocah bertubuh gempal dan Pak Yitno sedang berjaga di pintu depan aula. Kedua bocah itu sepertinya telah terlelap dengan mulut menganga dan air liur yang menetes menjijikkan. Pak Yitno sendiri sedang berjuang melawan kantuknya. Beliau bukanlah jenis orang yang nocturnal, jadi tidak terbiasa dengan tidur terlalu larut. Kini beliau pun tengah berada di batas kesadarannya, mulai tertidur.
"Ehrrm ..., mau ke mana?" kata Pak Yitno setengah sadar, matanya di antara merem dan melek.
"Kami mau cari ma—" ujar Septian.
"Cari siswa yang masih diluar," tukasku cepat.
"Hmm ..., silakan ... hati-hati ...," ucap Pak Yitno ngelantur, yang akhirnya pun tertidur dengan sukses. Aku dan Septian memindahkan meja penahan pintu dan membukakan pintu aula dengan sangat perlahan, menghindari orang lain curiga dengan kami. Kami berempat meninggalkan aula sembari terkekeh menahan tawa. Kami mulai bergerak dengan mata yang tetap waspada terhadap segala kemungkinan serangan dari Para pembantai.
"Oke, sekarang kita cari di mana, cowok paling ganteng satu sekolah?" timpal Runda.
"Ah ..., mungkin di gedung induk masih ada sisa-sisa prasmanan untuk guru dan komite, itu pun kalo Para pembantai sialan itu tidak leyeh-leyeh sejenak di sana, menghabiskan sisa makanan pesta ...," sahut Septian.
Kami pun berjalan menuju gedung induk yang terdiri dari 3 lantai, merupakan gedung utama sekolah ini. Terdiri ruang guru, kepala sekolah, ruang komite, beberapa laboratorium serta kelas. Kami mendapati pintu utama gedung induk yang masih terbuka. Di lorong lantai satu masih tertata dengan 'cukup' rapi, makanan sisa prasmanan guru-guru tadi malam di atas sebuah meja jamuan.
"Wah ... wah, kalau begini caranya sih, kita makmur sentosa ...," komentar Septian yang langsung mengambil piring dan menciduk nasi yang ada dalam bakul-nasi berbahan rotan.
"Urusan makan aja kau semangat amat ...," cibirku.
"Yaelah, Rim. Utamakan sarapan, utamakan makan!" jawab Septian sembari mencomot sepotong tempe, yang langsung dia lahap. Kami berempat pun mulai makan malam 'di tengah pembantaian', yang mungkin saja masih terjadi. Makanan yang tersedia pun sebenarnya tidak terlalu disebut sebagai makanan sisa. Pak Thomas dan rombongannya masih belum kembali sejak kloter keempat mereka selamatkan.
Beberapa saat berlalu, Septian dan Runda telah menghabiskan makanan mereka dengan tandas. Lalu, mereka berdua menyempatkan untuk berkeliling tidak jauh dari tempat kami makan, mencari sesuatu yang dapat digunakan, mungkin sebagai senjata pertahanan diri. Sementara itu, aku dan Rusya yang masih menghabiskan makanan berada di tengah lorong lantai satu.
"Mengenai waktu itu ... ketika kau dan Marrisa ditemukan di peti es, sebelumnya kau sendiri di mana?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Hem ..., aku sudah lupa dengan kejadian itu, tetapi ... saat itu aku dan Marrisa sehabis dari laboratorium bahasa. Kami berdua berjalan menuju ke kelas dan setelah itu ... aku tidak ingat ...," jawabnya.
"Laboratorium bahasa?"
Rusya mengangguk.
"Iya. Aku bangun, terasa dingin dan gelap. Waktu itu ... aku ketakutan hingga bahkan tenagaku sendiri tidak cukup untuk takut. Aku pun pingsan lagi ...," jelasnya.
"Semua orang cemas sekali waktu itu ... termasuk diriku," ujarku seraya melahap nasi terakhir di piring.
"Benarkah?"
"Ya ... untung saja kami menemukan kalian waktu itu ...,"
"Aku tidak tahu, tetapi ... terima kasih ...." Rusya tersenyum.
"Kau takut, Rusya? Maksudku ... apakah kau menginginkan hal ini segera berakhir? Setelah semua teror ini dan itu."
"Entahlah ... aku hanya berharap tiba-tiba saja ada kesatria yang jatuh dari langit menyelamatkan kita semua .... Namun ... aku takut, Rimba ...," jawabnya sembari mengaduk-aduk makanannya tidak berselera.
"Huh, semoga harapanmu jadi kenyataan .... Sejujurnya, aku tidak tahu lagi bagaimana orang tua di rumah yang kini pasti mencemaskanku. Juga ... jangan terlalu bersedih begitu ... kita pasti akan keluar ...," jelasku. Rusya tersenyum getir. Ketakutan mulai menyelimutinya, walau sejak penyerangan pertama tadi, ia berusaha tegar. Kami pun hening tanpa ada yang menyambung percakapan. Malam semakin larut dan jeritan-jeritan dari para korban sudah jarang lagi terdengar.
"Jadi ... kau pernah menyukai Samantha ...," celetuk Rusya memulai kembali percakapan.
"Hmm ... iya. Namun, aku sadar, kalau itu hal yang bodoh ...," jawabku asal.
"Tidak apa ... itu hal yang wajar ...."
"Kau sendiri? Pernah menyukai seseorang? Atau ada pria yang tiba-tiba saja, ada yang jatuh hati padamu?" tanyaku balik.
Rusya tampak sedikit kebingungan untuk menjawab.
"Umm ... mungkin ... pernah .... Namun, mana mungkin ada laki-laki yang mau denganku. Aku terlalu kikuk untuk mereka ...," dalihnya.
"Oh ... begitu. Seandainya pria yang kau sukai terjebak di sini ... apa yang kau harapkan?"
"Entahlah, mungkin aku hanya berharap dia bisa melindungiku. Namun, aku tidak mau harus selalu berada di belakang punggung orang lain. Setidaknya ... ada hal yang dapat kulakukan ...," jawab Rusya.
"Apa perasaanmu jika pria tersebut tidak selamat?" Rusya pun terdiam. Bibirnya mengatup dan ia ragu untuk menjawab.
"Mungkin aku akan bersedih ...." Kalimat itu meluncur juga dari mulutnya.
"Oh iya Rusya, apa gelang ini untuk seseorang yang kau sukai?"
Pertanyaan macam apa itu Rimba!? batin, moralitas, dan ketololan dalam diriku mulai berontak seiring dengan pertanyaan konyol yang kuajukan.
"Eh, oh, maksudmu?" Rusya sedikit panik.
"Aku sempat melihat ada rajutan kecil dengan inisial R and R ...,"
"Aaah!? Benarkah!?" Rusya yang panik langsung memegang tanganku dan mengecek gelang pemberiannya yang kukenakan. Aku tersenyum menang. Booyah! Kena kau ....
"Aha ... aku hanya bercanda ...," celetukku. Rusya menatapku sengit, berniat untuk mengomeliku, tetapi aku hanya menatapnya sembari tersenyum.
Sadar dengan sikapnya, Rusya jadi canggung dan kelabakan sendiri.
"Rusya ...," panggilku tanpa melepaskan senyumanku.
"I-iya?"
"Kau ... Meny—"
Crring! Srraak! Criiing!
Aku berhenti tersenyum dan tersekat menghentikan kata-kataku. Perlahan kami kembali memandang ke arah depan lorong gedung utama dan menatap pintu lorong sisi satunya, yang tertutup dan sedikit remang-remang. Ada sesuatu yang berjalan menuju kami dari arah belakang.
Crrring! Srraak! Criing!
Suara seperti besi diseret di lantai itu terdengar lagi, makin mendekat. Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih kencang. Kami tidak berani menengok ke belakang. Kulirik Rusya yang juga diam, dengan napas memburu. Septian dan Runda belum kembali dari berkeliling di gedung induk, kini entah mereka di mana.
"R-Rimba ...," cicit Rusya dengan nada gemetar.
"Jangan bergerak ... dan tetap tenang ...," bisikku.
Suara itu semakin mendekat, semakin jelas. Suara besi atau bahan metal yang diseret di lantai. Lalu perlahan suara tersebut berhenti. Terdengar suara detak jantungku yang semakin cepat. Keringat dingin mulai menetes dengan derasnya. Kemudian seseorang menyentuh pundakku. Aku mencelus, mungkin bila aku tidak kuat aku sudah berteriak. Kemudian sensasi dingin berbentuk tipis melintang, terasa menyengat lekukan leher sebelah kananku.
Bertangan kanan ...Pisau? Ah sesuatu yang lebih besar? Gawat, aku akan dipenggal! Sensasi dingin itu kemudian lenyap, sedetik itu nyawaku di ujung tanduk.
Aku tidak mau mati konyol ....
Aku tidak mau mati sekarang! Aku tidak mau dipenggal!
Sruaat! Byuur!
"Gyaaak!" Seseorang di belakangku berteriak kesakitan, aku tidak akan melepaskan momen itu. Aku langsung memegang tangan seseorang yang tadi hendak memenggal kepalaku, kutarik tangannya, dengan cepat aku meraih sebuah sendok berpangkal tajam, lalu kuhunjamkan langsung ke tangannya hingga aku bisa menyaksikan pangkal sendok itu tembus.
Aku menengok dan melihat Rusya mengangkat panci kuah sop—yang masih panas—lalu menyiramnya ke belakang yang ternyata adalah salah satu pembantai sialan. Pelajaran yang kami dapat malam ini : Jangan makan malam di tengah lorong yang sepi, apalagi dengan makanan acara perjamuan!
"Kepar-" pembantai itu hendak mengumpat ketika Rusya yang tidak buang-buang waktu langsung menghantamkan panci tersebut ke kepala pembantai tersebut berulang-ulang.
"Larii!" teriakku seraya aku menggengam tangan Rusya, bersiap lari dari lorong. Sayangnya di ujung lorong pintu masuk utama, kami sudah dihadang sosok menyeramkan lain dengan sebuah golok di tangannya.
Oh ....
*****
"Kyaaa! Rimbaaa!" Genggaman tangan Rusya terlepas.
Aku berbalik, Rusya sudah dibekap dan diseret oleh pembantai yang tadi kami serang. Ia benar-benar murka sekarang, terutama ketika darah yang mengucur di tangannya karena pangkal sendok yang kuhunjamkan. Ia pasti akan bertindak lebih agresif karena kesakitan bukan main.
pembantai bergolok lainnya berlari menerjangku. Aku merunduk dan menghindar sabetan goloknya, lalu kutendang pembantai itu tepat di tulang keringnya. Ia berjingkat-jingkat kesakitan, serta goloknya terlepas. Aku hendak merebut golok itu ketika ia menabrakkan dirinya padaku hingga aku terdorong ke tembok. Ia berusaha mengunci kakiku dan mencekik leherku, hingga aku terpaksa menyundul kepala si pembantai, yang langsung terjungkal. Topeng yang ia gunakan pecah, aku bisa melihat wajah si pembantai yang seperti orang-orang gelandangan yang senang berkeliaran di kota akhir-akhir ini.
Aku hendak menolong Rusya yang berusaha lari dari si pembantai, tetapi kepalaku masih terasa pusing. Langkahku terhuyung-huyung karena kugunakan untuk menghantam kepala pembantai lainnya yang menyerangku.
Craak!
"Aarrrggh!" Jeritan pembantai yang menyerang Rusya bergema ke seluruh lorong. Rusya meraih sebuah pemecah es. Antara ketakutan dan kepanikan, Rusya menusuk-nusukkan pemecah es itu ke tubuh si pembantai. Berulang kali hingga setiap pemecah es yang mirip paku besar itu tertarik dari badan si pembantai, darah mengucur dengan derasnya.
"Aaakkh!! Kep-ar-at!!" teriak sang pembantai dengan putus asa.
"Rusya ...." Aku kembali terjatuh dan kepalaku semakin pening. Kulihat Rusya yang berhenti menusuk pemecah es dan ia melonjak ke belakang. Wajahnya ketakutan setengah mati, badannya menggigil hebat. Tatapannya kosong menghunjam mayat pembantai yang ada di depannya, tangannya bersimbah oleh darah.
Aku kembali dikejutkan dengan pembantai yang berusaha menyerangku. Aku berhasil menghindar dari sabetan goloknya, yang kini golok itu menancap di sebuah papan pengumuman di belakangku. Aku langsung menendang tepat di selangkangan si pembantai itu hingga ia mengerang kesakitan. Aku merebut golok darinya dan langsung menyabetkan tepat di leher pembantai itu.
Di mana moralitas dan keyakinan berbenturan dengan insting untuk bertahan hidup.
Aku membunuh orang, untuk pertama kalinya.
Ayah, Ibu ... anakmu telah membunuh seseorang...
Napasku terengah, perlahan aku terenyak ke dinding. Pikiranku kosong, aku hanya menatap tanganku yang kini bersimbah darah orang yang telah kubunuh.
Oh, Tuhan ... aku membunuhseseorang ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top