CHAPTER 2


"Rimba?" tanya Guntur yang ada disampingku. Aku hanya menyandarkan dagu di tumpuan tangan, sembari menatap jendela, keluar menuju lapangan basket.

"Hmm ...," gumamku menyahut.

"Apakah terjadi sesuatu?" tanya Guntur penasaran.

"Apa?"

"Ini sudah tiga hari tanpa ada bantuan 'ransum' makan siang dari Rusya—"

"Mungkin dia lelah ...," tukasku cepat. Guntur hanya mengernyitkan dahi. Sementara itu, celetukan-celetukan lainnya mulai terdengar dari barisan bangku belakang.

"Samantha? Samantha Marcella?"

"Benarkah? Padahal beberapa hari lalu dia dengan si Drew masih akrab-akrab saja?"

Satu celetukan lain mulai menyebar.

"Sayang sekali tetapi biasanya Samantha dengan Drew suka putus-nyambung gitu kok ...,"

Yang lain mulai menimpali. Sebentar lagi, forum gosip akan pecah seperti rapat DPR.

"Tetapi kali ini putus beneran, goblok!"

"Ah, masa sih? Kudengar dia juga mendekati Rimba setelah putus dengan Drew,"

"Ha? Masa? Tetapi kan Rimba ...,"

Akhirnya aku mulai ikut disangkut pautkan.

"Dasar, wanita itu kadang-kadang emang enggak tahu diri kalau lagi putus sama Drew, rasain tuh, putus beneran, deh!" yang lainnya menimpali. Beberapa anak perempuan dari deretan bangku tengah hingga belakang sedang sibuk 'meledakkan' forum baru. Kupingku serasa geli mendengarnya.

"Sial, kenapa aku sekarang malah ikut-ikut jadi bahan pembicaraan ...," gerutuku.

"Wah ... Rim, diam-diam kamu terkenal juga ya ...," canda Guntur seraya terkekeh pelan.

"Terkenal ndiasmu! Semua ini ulah Samantha juga. Kurasa dia mabuk sewaktu menemuiku tempo hari lalu ...," timpalku.

"Ah ... mungkin dia sudah lelah ...," bisik Guntur pelan, sembari menirukan perkataanku di awal tadi.

"Lalu ... bagaimana dengan Rusya? Dia pasti cemburu denganmu ...," lanjutnya.

Aku menahan tawa.

"Kok kau malah ketawa, sih!"

"Ha? Cemburu? Soal apaan?" Aku mencoba memutar-mutar jalan pertanyaan. Guntur hanya mendengus.

"Sialan kau, Rimba! Jangan bilang kamu enggak peka sama sekali ...," entah kenapa Guntur tiba-tiba gusar sendiri. Aku terkekeh.

"Belum waktunya—"

"Rimba! Bisa kamu kerjakan soal nomor 5?" Guru kami yang sedang mengajar, menyudahi percakapanku dengan Guntur. Sialnya, aku malah terkena imbasnya. Aku hanya menghela napas ketika melihat guru itu menudingku dengan spidol sembari tersenyum.

Yang ramai siapa ... yang kena siapa ... gerutuku dalam hati.

*****

Tiga hari sebelumnya

"Hai Rimbaaa!" sekejap kemudian, aku tidak dapat mengelak dari pelukan yang tiba-tiba saja membuatku hampir berhenti bernapas. Aku juga tidak menyangka kalau pagi itu bakal mendapatkan sedikit 'masalah' yang merepotkan.

"Sa ... tolong ... Lepaskan!" berontakku ketika pelukan itu semakin kencang 'mencekik' diriku. Aku tidak habis pikir dengan perempuan yang kini memelukku. Dia lebih terlihat seperti orang yang setengah sinting karena masalah pribadinya. Oh, bisa jadi hipotesisku itu benar karena dia benar-benar membuatku dalam 'masalah' hari ini. Terutama setelah aku sempat melirik Rusya yang ada di sebelahku memasang muka sinis.

Samantha Marcella, 18 Tahun. Mungkin dia adalah salah satu perempuan yang paling dicari oleh seantero SMA Harman Sastranagara. Selain karena dia cantik dengan rambut memanjang hingga sepinggang, dan baru kutahu kulitnya terasa halus sekali. Tidak hingga dia memelukku tadi. Dia artis sekolah multitalenta, dengan suara yang indah, bodi mulus seksi, jari-jarinya lihai memainkan organ, serta ia pintar akting.

Multitalenta? Yah, apa pun dia bisa. Apa pun.

"Bisakah kau melepaskanku!" Aku mulai membentak serius dan Samantha mulai melepas diriku. Sepertinya ia tidak pernah kapok untuk mencoba menggoda siapa pun, terutama setelah dia ada masalah dengan kekasihnya yang sudah 4 tahun bersama dengan dia.

"Kenapa kau begitu kasar sekali, sih?" protes Samantha sembari memasang muka cemberut, seperti kekanak-kanakan. Rusya yang sedari tadi ada di sampingku sempat mendelik dan memaling mukanya dari Samantha.

"Karena kau membuatku hampir mati kehabisan napas ketika kau memelukku. Bisakah kau tidak memeluk-meluk orang dengan seenaknya seperti itu?" Terus terang, aku juga sangsi dengan perkataanku yang tidak kusetir barusan. Ada sedikit kehipokritan di sana dan jujur saja, siapa lelaki yang tidak 'kesetrum' ketika dipeluk oleh salah satu makhluk indah bernama Samantha Marcella, dengan tubuh seksi serupa bidadari yang bisa membuat laki-laki berontak dari moralitas—kecuali memang kau seorang homo—dan akal sehat.

"Rimba ... jangan terlalu kaku seperti itu. Ke mana dirimu enam tahun lalu?" sentilnya memancing ketegangan di sini. Apalagi dengan Rusya yang ada di sampingku, yang kini, benar-benar tidak senang.

"Enam tahun?" sahut Rusya cepat sembari melipat kedua tangannya dan menghentak kaki kanannya.

"Whoa, jadi ... ini ya, Annastasya Rusya ..., anak yang setiap hari membawakanmu makan siang?"

"Namaku Rusya Annastasya! Jangan seenaknya membolak-balik nama orang!" geram Rusya.

"Rus ...," sergahku sembari menggelengkan kepala untuk memberi isyarat pada Rusya agar tidak terlalu ikut campur urusan konyol ini.

"Samantha Marcella, jangan seenaknya kau berbicara di depan orang!" kini aku menoleh tajam kepada Samantha. Dia jauh lebih berbeda daripada beberapa tahun lalu. Sifatnya juga jauh lebih rapuh.

"Oke ... oke, tetapi jangan menyembunyikan kehipokritanmu, Rimba. Aku tahu kau masih memikirkanku sejak kejadian enam tahun lalu—" kini Samantha mulai menggila lagi, aku sudah tidak tahan untuk mendebatnya.

"Hah! Jangan berkhayal! Apalagi kau sudah melakukan kesalahan besar waktu itu, Sam!"

"Pembicaraan ini ... tidak ada sangkut pautnya dengan diriku. Lebih baik aku pergi ...," ujar Rusya datar sembari beranjak dari duduknya. Aku berusaha lari ke depannya, tetapi Rusya sudah keburu angkat kaki. Aku ingin beranjak dari dudukku, tetapi Samantha yang menjengkelkan itu berhasil menyeretku untuk duduk kembali. Aku kini sebal bukan main. Kalau saja Samantha bukan wanita, pasti sudah kutampar habis-habisan tadi.

"Apa!" tanyaku menahan amarah. Samantha hanya cengar-cengir.

"Aku mau curhat, Rimba ...," rengek Samantha, sementara aku hanya mendengus mengiyakan.

"Iya ... iya. Apa maumu sekarang ...," tanyaku.

"Apakah kamu terkadang masih memikirkanku?" tanya Samantha.

"Tidak. Karena memkirkan dirimu saja sudah sangat menyakitkan, terlebih apa yang kau katakan hingga membuatku hampir gila enam tahun silam ...," ujarku datar.

"Ah ... aku ingin meminta maaf—"

"Minta maaf saja tidak cukup, Samantha. Ada perasaan yang begitu tersakiti waktu itu," tukasku cepat.

"Lalu, aku harus apa? Si Drew sialan itu sudah mengacaukan segalanya. Hubungan kami berakhir seperti layaknya rumah tua terbengkalai," rengeknya. Aku benci bila ada anak lebai yang terlalu rapuh sedang dalam masa-masa labilnya.

"Berhentilah merengek, lalu mulailah dengan merenungi apa yang telah kau lakukan pada orang lain!" ujarku tegas.

"Tetapi ... aku menyukaimu ...,"

Aku terdiam. Ekspresi yang ada di dalam tubuhku tidak bisa kujelaskan. Terlalu mencampur dan membentuk substansi rasa yang baru. Namun, hati kecilku berteriak : Lelucon macam apa ini!?

"Samantha ...," panggilku masih dengan memunggunginya.

"Aku sadar kalau aku salah. Waktu itu aku hanya menekankan egoku saja. Kau sudah bersusah payah, mencoba dengan segala yang kamu bisa untuk menyatakan perasaanmu. Namun, aku malah mempermalukanmu, tidak menghargaimu, membuatmu terpuruk—" Samantha masih meracau sendiri.

"Iya ... itu membuatku terpuruk. Butuh berbulan-bulan untuk membenahinya ...," sergahku.

"Namun, ... kau bisa bangkit ...,"

"Aku meluapkan dan mencurahkan segalanya melalui tulisan, itu membuatku lebih baik. Huh, aku mirip pasien rumah sakit jiwa saja ...,"

"Ha?" Samantha mengernyit.

"Ah, aku sudah katakan tadi ... meminta maaf saja tidak cukup ...," ujarku tetap teguh. Entah apakah hanya kita yang ada di sini, ataukah jangan-jangan Rusya mencoba mengintip? Aku rasa pembicaraan ini begitu sensitif.

"Apakah ada yang kurang dariku?" tanya Samantha. Aku menggeleng.

"Mungkin ... sesuatu yang terjadi enam tahun lalu membuat aku menjadi berpikiran bahwa ... kau bukanlah orang yang kuharapkan ...," lanjutku.

"Tetapi—"

"Tetapi apa, Samantha?"

"Kau dulu mengejar-ngejarku. Kau dulu sempat menyukaiku? Ada apa dengan dirimu?" Samantha melemparku dengan banyak pertanyaan.

"Aku tidak ada apa-apa. Apa yang kau harapkan? Memintaku untuk kembali mengejar-ngejarmu seperti orang bodoh, enam tahun lalu?" jawabku singkat, bahkan aku melempar kembali pertanyaannya. Samantha hanya terdiam. Ia seperti berpikir sejenak mengenai sesuatu, lalu aku bisa merasakan kalau air mukanya berubah drastis.

"Anak bernama Rusya Annastasya ...,"

"Kenapa?" tanyaku.

"Tidak apa-apa ...," geleng Samantha.

*****

"Mentang-mentang pintar, terus kamu merasa lebih hebat, gitu! Mestinya hormatin yang lebih punya dan pantas di sini, tau enggak!?" sentak seseorang dan sepertinya aku kenal suaranya. Dari nada yang kudengar, bicaranya ngelantur.

"Ma-Maaf ...," cicit seseorang yang sepertinya menjadi bulan-bulanan orang yang sedang marah itu.

"Minta maaf saja tidak akan cukup! Kamu tahu enggak, akuu ... sudah dipermainkan banyak orang! Ditambaaah ... lagiih ... kamu!?" Aku mengenali kalimat yang sepertinya pernah kuucapkan. Aku berusaha mencari asal suara itu. Tidak lama beberapa pekikan kecil dan erangan membuat jantungku lebih berdebar, menyebarkan aura ketegangan di sore hari yang cukup sepi itu.

Hingga aku membelok di sebuah belokan gang, aku melihat sedikit horor yang begitu nyata ketika Samantha, yang entah apakah dia sedang mabuk atau mungkin benar-benar mabuk hingga ia lepas kendali, kini ia menabrakkan tubuh mungil Rusya ke tembok. Cukup keras untuk seorang perempuan yang sedang di bawah kendali alkohol. Aku melihat Rusya merosot jatuh, lalu tidak sadarkan diri.

Aku bersiap mengambil langkah ketika seseorang tiba-tiba mendahuluiku. Horor lain terjadi. Aku tidak merasakan ada seseorang yang mengikuti atau ada di belakangku karena aku habis dari toilet. Telah kupastikan hanya aku seorang yang ada di toilet itu. Seseorang yang bertubuh cukup tegap dan berseragam guru.

Samantha yang mengetahui ada seseorang yang mendekat begitu kaget dan takut ketika melihat orang tersebut berdiri tepat di sampingnya. Aku menduga kalau guru tersebut sedang menatap Samantha. Gadis itu lari dan pergi terhuyung-huyung ke gerbang sekolah. Aku sendiri tidak dapat bergerak, entah karena aku terlalu terpukau dengan guru itu, atau aku juga ketakutan sendiri.

Hingga detik di mana ia akan mengangkat tubuh Rusya, aku akhirnya dapat berteriak mencegah guru tersebut untuk melangkah mendekat.

"Tunggu!"

Sosok itu berhenti.

"Lekas kita bawa gadis ini ke UKS. Orang tuanya pasti mengkhawatirkannya, Mas Rimba ...,"

Aku mengenali panggilan itu.

Thomas Germain Purnama. Beliau tersenyum seperti biasanya.

*****

Aku mengenal beliau tidak lebih dari seorang guru Bahasa Inggris yang cukup gaul dengan usianya yang mencapai kepala empat. Memang sih, sebagian besar guru-guru yang beranjak 'senja' tidak mau disebut sebagai bapak-bapak yang terkesan tua dan tradisional. Selebihnya, Pak Thomas merupakan pribadi yang menyenangkan.

Thomas Germain Purnama, 44 Tahun. Tergolong guru yang masih baru bekerja di SMA kami, setidaknya kurang lebih 8 tahun. Tidak seperti tipikal bapak-bapak guru yang berusia sama, wajah guru yang terbilang masih 'muda' itu malah terlihat seperti guru berusia 30 tahunan yang baru masuk ke sekolah ini. Banyak hal yang mengesankan dari beliau. Lahir di kota bernama Hereford, nun jauh di negeri Inggris sana, blasteran Inggris-Jawa, Lulusan double-degree di Inggris, serta mantan atlet anggar. Tidak banyak kami ketahui Pak Thomas pernah memperlihatkan ekspresi marah. Semua orang menyukai Pak Thomas karena selain cara mengajar beliau yang enak, beliau juga baik.

Namun, yang menyebalkan, kalau ini mungkin adalah hal yang menyebalkan menurutku, adalah ketika ada salah satu dari kami yang mulai mengusik ketenangan kelas, beliau akan menunjuk sembari senyum kepada kami dan memberi beberapa pertanyaan. Karena kapabilitas beliau, Komite Guru dan Yayasan Harman Sastranagara Foundation sepakat untuk menunjuk beliau sebagai Teacher of The Year untuk tahun ini. Bagi sebagian orang yang iri, tentu saja, Pak Thomas juga banyak yang tidak menyukainya, terutama untuk beberapa masalah seperti ... eksistensialitas dan senioritas, mengingat Pak Thomas masih terbilang 'baru' di sekolah ini.

"Saya akan berbicara sebentar dengan orang tua anak ini. Kamu tunggu di sini saja ...," ujar Pak Thomas seraya merogoh saku dan mengambil ponsel. Sempat terdengar beberapa pembicaraan serius yang timbul tenggelam. Aku masih duduk di samping Rusya yang belum sadarkan diri. Hentakan Samantha terbilang cukup keras untuk membuat seseorang pingsan.

"Saya mendapat laporan juga dari beberapa temannya, kalau dia sering dibully," Pak Thomas kembali berjalan ke arah kursi yang beliau duduki tadi. Aku masih enggan untuk masuk dalam percakapan beliau dan lebih jadi sebagai pendengar.

"Sayang sekali perubahan sistem membuat seleksi alam menjadi sedikit terbiaskan. There was no filter and you got that bastard inside this community. Tidak ada penyaring, kau dapatkan bajingan itu di dalam komunitas ini."

"Err ... apakah Rusya tidak berniat melaporkannya ke dewan guru?" tanyaku akhirnya mencoba membuka pembicaraan.

"Yah, dia terlalu takut untuk mengatakan kebenaran, dengan ancaman yang sewaktu-waktu dapat membuat dirinya dibanting seperti tadi lagi. Namun, ia tidak pernah mengeluhkan hal itu kepada gurunya, bahkan oleh saya, wali kelasnya sendiri ...," jelas Pak Thomas.

"Dia memang sedikit kikuk dan pemalu. Mungkin bicara langsung dengannya dapat membantunya."

"Hmm ... saya akan mencobanya, terutama saran dari laki-laki yang baru dikenalnya selama 2 pekan ...." Lagi-lagi beliau mencoba mengajakku untuk bergurau. Aku pura-pura tidak memerhatikan. Pak Thomas hanya terkekeh melihat reaksiku.

"Saya dengar dari beberapa murid dan beberapa guru—terutama para wanita—tentang kedekatanmu dengan ... err ... Rusya. Mereka selalu tahu peristiwa terkecil ...," lanjut beliau sembari tersenyum kepadaku. Antara gurauan atau memang karena lucu. Aku memasang muka tidak senang.

"Anak muda ... selalu saja—ah, dia sudah siuman." Percakapan kami terhenti ketika aku melihat ada respon dari Rusya yang mulai tersadar. Ia sedikit kebingungan dengan situasi yang berganti dengan cepat.

"Tenanglah, kau ada di UKS," jelasku pelan, mencoba untuk tetap bersikap tenang dan bersikap biasa di depannya.

"Siapa—Siapa yang menolongku?" tanya Rusya dengan suara masih parau.

"Pak Thomas ... dan aku ...," Seketika itu juga, raut muka Rusya berubah tegang, apalagi ketika melihat Pak Thomas ada di sampingku.

"Ada apa?" tanyaku penasaran. Rusya masih melamun. Aku ragu kalau ia sudah sadar sepenuhnya.

"Rusya?" Rusya tidak merespon. Ia seperti melihat sosok mengerikan di samping kami.

"Rusya!?" kali ini aku mencoba memanggilnya kembali.

"Ee ... sepertinya aku harus segera pulang!?" ujarnya seraya beranjak dari kasur, tetapi karena cara bangunnya yang tidak beraturan, ia malah terhuyung dan terjatuh lagi ke ranjang.

"Tenanglah, nak. Saya sudah menghubungi orang tuamu. Untuk sementara tidak perlu khawatir ...," jelas Pak Thomas. Aku hanya diam memikirkan keherananku terhadap reaksi Rusya, apalagi setelah melihat Pak Thomas.

Semengerikan itukah beliau? Thomas Germain Purnama? Entahlah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top