CHAPTER 16
Kami mengetahui kasus yang ditutupi itu. Mereka berdua kakak dan adik yang sangat saling menyayangi. Kami semua tahu itu. Rosetta meninggal karena dia menjadi salah satu korban bullying. Ia diancam terus menerus. Rosetta yang berhati lembut dan kecil itu tidak bisa apa-apa. Bukan apa-apa karena Rosetta hampir sama seperti Rusya memang. Riang gembira, semua orang suka dengannya, dan ia selalu membuat orang di sekitarnya gembira. Bukan apa-apa, tetapi anak-anak itu hanya iri. Mereka menghajar Rosetta hingga babak belur, mengurungnya di sebuah peti dan memasukannya ke dalam ruangan pendingin. Bukan apa-apa, tetapi dua jam setelah itu, Rosetta tidak terselamatkan. Ia mati beku dan sekolah hanya memutuskan kalau Rosetta mati karena kecelakaan? Sebuah keputusan aneh bukan?
Reamur yang kehilangan Rosetta begitu terpuruk. Kami sendiri menjemputnya di stasiun dan aku salah satunya, dengan sebuah medali emas Olimpiade Sains Nasional yang rencananya ia persembahkan untuk ulang tahun Rosetta. Ia tidak sadarkan diri selama tiga jam setelah mendengar kabar itu. Dia menjadi sakit-sakitan selama seminggu karena depresi, kehilangan orang yang selalu mendorongnya untuk berprestasi. Pun juga Pak Thomas yang tampak begitu terpuruk kala itu. Pak Lian yang tidak mau dirinya terlibat dengan kasus pembunuhan, mencoba menutup-nutupi kejadian itu, memberikan santunan duka pada keluarga Pak Thomas.
Reamur bertekad mempersembahkan gelar Olimpiade Sains Internasional yang seharusnya di depan mata demi Rosetta. Ia jungkir-balik, berlatih untuk mendapatkannya. Demi Rosetta. Hingga suatu hari, anak dari salah satu pejabat tertinggi di negara lucu ini, merengek-rengek minta masuk salah satu kontingen di Olimpiade Sains Internasional yang dilaksanakan di Antalya, Turki. Kongkalikong antara pejabat dengan Pak Lian selaku kepala sekolah, memakan pengorbanan.
Reamur.
Kami juga begitu kecewa mengetahui Si Anak Pejabat, mengambil alih tempat Reamur, merampas impiannya. Merasa jerih payahnya tidak dihargai, merasa bahwa seluruh impiannya gagal demi Rosetta. Kami menjadi saksi terakhirnya. Siang itu, disertai dengan jeritan seorang anak, kami menemukan Reamur, tergantung di loteng lantai tiga. Ia tidak tahan lagi dengan ketidakadilan di dunia, jadi ia memilih untuk meninggalkannya. Pak Thomas? Benar-benar terpuruk. Beliau akhirnya meminta cuti selama beberapa bulan untuk menenangkan pikirannya dan kembali mengajar di tahun ini. Hebatnya, beliau tetap menahan segala kesedihan tersebut, tetap mengajar seperti yang biasa beliau lakukan.
Hingga sekarang.
Hingga sekarang Pak Thomas masih dapat menahannya. Hingga dia sendiri yang akhirnya merencanakan seluruh skenario yang diimpikannya selama ini.
Semuanya.
Terdengar sangat klise ketika Pak Thomas menyamakanku dan Rusya dengan kedua anaknya, walaupun pada kenyataannya kami memang tidak jauh berbeda.
Hingga pada satu titik, segala ketakutan, kesedihan, dan rasa sakit yang kami rasakan dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam, mungkin adalah kesedihan Pak Thomas yang kehilangan dua anaknya secara tragis. Istilahnya, merangkum kesedihan itu selama dua tahunan dalam waktu dua puluh empat jam penderitaan. Kesedihan yang dirasakan ketika kedua anaknya menjadi korban dari permainan orang-orang yang sok berkuasa dan menginginkan apa pun yang ada di depan batang hidung mereka.
"Hanya karena anak bapak, Anda melakukan hal ini?" ujarku menahan geram.
"Hanya? Hanya katamu? Ini bukan hanya sekadar 'hanya', Rimba! Sudah waktunya segala kekejaman ini disudahi. Masa depan akan terbentuk dengan sukses, setidaknya bangsa kita tidak menjadi bangsa yang cengeng, merengek-rengek, dan ikut-ikutan!" dalih Pak Thomas.
"Dengan mengorbankan banyak orang yang tidak berdosa?" elakku.
"Mereka telah memiliki dosa sejak mereka masuk ke dalam lingkaran setan sistem dan birokrasi yang dibawa dari keluarga mereka! Pungutan liar, korupsi waktu, penguntit sumbangan!? Semua pengorbanan ini tidak ada apa-apanya dibanding penderitaan yang aku dan anakku rasakan selama itu!?" Pak Thomas bergeming, kedua alisnya bertaut, wajahnya terlihat merah padam.
"Berarti Anda sama saja dengan orang-orang yang bapak kata sok berkuasa itu!" dalihku.
"Jangan mencoba menjustifikasi, Rimba!? Itu adalah pemikiran-pemikiran yang coba mereka masukkan ke dalam otakmu! Keragu-raguan seperti itu hanya akan menjadikan kalian tidak maju-maju!" berang Pak Thomas.
Terdengar suara getaran yang cukup keras. Bisa kami rasakan gedung induk bergetar. Hawa yang kurasakan begitu pengap dan terasa panas sebelum kami kesini.
"Jangan buat ini lebih lama lagi, Rimba ...."
Belum aku berpaling, Pak Thomas telah menodongkan sebuah pisau ke arahku. Pisau Beretta milik Bripka Lestussen.
"Selesaikan sekarang juga, Rimba. Kalau kau ingin teman-temanmu selamat," ujarnya sembari tersenyum menyeringai. Pak Thomas memegang ponsel yang merupakan pusat kendali yang mengatur gelang ID kami.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Pak Thomas bisa saja menghabisiku di sini. Kalau tidak mau repot, beliau bisa mengulur waktu lebih lama lagi dan memaksa Pak Thomas untuk meledakkan kami semua. Beliau diuntungkan dengan pengalaman beliau yang pernah bermain anggar, setidaknya beliau terlatih menggunakan senjata. Pun sekarang kondisiku juga menguntungkannya. Luka di dada yang kini semakin menyiksaku. Satu langkah salah, semua akan berakhir. Langkah pertamaku, adalah untuk menyelamatkan kami semua. Merebut pusat kendali yang kini sedang digenggam oleh Pak Thomas.
"Apa yang bapak inginkan?" tawarku.
"Kita bermain sejenak, Rimba. Bukankah kau harus melepas stress setelah semua pembunuhan yang kaulihat di depan matamu. Lihatlah, kau begitu kacau setelah serangkaian insiden yang cukup membuat adrenalinmu terkuras habis untuk ini." Pak Thomas sudah bersiap memasang kuda-kuda.
Ujung pisau yang mengarah bukan menghunus ke arahku, melainkan menyamping, target termudah adalah luka di dadaku. Target utama, leher, menusuk dari samping, kemudian merobek leherku dengan pisau tersebut.
"Satu penawaran terakhir. Tolong lepaskan kami semua, Pak. Biarkan kami pulang ...."
Pak Thomas hanya menggeleng.
"Baiklah kalau bapak memaksa ...."
Aku pun maju ke depan, menahan luka yang ada di dadaku. Keuntungan beliau, luka milikku. Aku terpaksa menggunakan tangan kiriku untuk melepaskan pukulan pertama ke arah Pak Thomas, tetapi beliau menepisnya dengan mudah dan mengayunkan pisaunya ke arah samping. Pisau milik Bripka Lestussen merupakan standart equipment kepolisian, memiliki jarak yang cukup untuk melindungi beliau dari serangan jarak pendek. Apalagi, aku kini benar-benar bertarung dengan tangan kosong. Sesuatu yang bukan keahlianku walaupun aku berasal dari keluarga, yang terbilang cukup brutal dalam melakukan hal-hal semacam tarung tangan kosong.
Dengan satu kali langkah, beliau melangkah maju dan memasang kuda-kuda sama seperti beliau bermain anggar dan ujung pisau tersebut hampir mengenaiku. Aku menghindari, mencoba menyerang dari samping. Ia menghindar kembali, berputar seraya mengayunkan pisaunya, sempat mengenai dan mencabik jaketku.
Aku terdorong ke belakang, tetapi Pak Thomas dengan cepat melangkah maju dan mengayun pisau, menghunusnya ke arahku. Aku dapat menghindari serangan pertama, tetapi dengan sebuah serangan yang tiba-tiba dan tidak terduga, ia tepat melayangkan sebuah pukulan ke arah lukaku, hingga bisa kurasakan seluruh uratku seperti tersobek-sobek. Aku pun tersungkur dan sensasi berjuta otot yang terkoyak seperti terkuliti di daerah yang terluka. Aku mengerang cukup keras. Tidak ada yang akan kesini setidaknya. Telah terlambat untuk memanggil bala bantuan sekarang.
"Aku akan buat kalian menderita seperti yang kalian lakukan pada Rosetta dan Reamur!" Pak Thomas yang mulai murka bersiap untuk melampiaskan amarahnya, beliau mengacungkan pisaunya ke arahku. Beliau semakin dekat dan semakin mendekat. Aku berusaha menghalaunya dengan menahan tangan Pak Thomas yang mencoba menusukkan pisaunya ke arah pinggangku.
Beliau memiliki kecepatan yang cukup cepat dan memiliki teknik bertarung. Namun, usia beliau yang tidak memungkinkan beliau untuk bergerak lebih cepat dari saat ia masih muda.
Hanya itu. Benar, hanya itu.
Dengan sekuat tenaga, aku menepis tangan Pak Thomas, kemudian bergulir ke samping. Momen itu kugunakan sebaik mungkin. Aku bangkit dan siap dengan memasang kuda-kuda. Pak Thomas merangsek maju, berteriak seraya mengayunkan pisaunya ke arahku.
Sekarang!
Mungkin bagi sebagian orang, ini gila. Aku ancang-ancang, berkelit dari serangan Pak Thomas, tepat ketika aku berada di posisi yang memungkinkan untuk mengangkat kakiku. Dengan sekuat tenaga kuayunkan dan kutendang Osteo Tibia—tulang kering—kiri beliau. Terdengar seperti ada suara benda retak seperti tulang. Pak Thomas tersungkur, mengerang kesakitan seraya memegangi kaki kirinya yang langsung membengkak. Pisau Pak Thomas pun terjatuh dan ia berusaha meraihnya kembali. Aku menendangnya menjauh dan perlahan mendekati Pak Thomas, seraya merebut ponsel beliau dengan paksa.
Aku memandang layar ponsel tersebut:
WAKTU TERSISA : 00 : 04 : 20
MASUKAN KATA KUNCI :
"Sial ...," umpatku.
"Apa kata kuncinya!?" bentakku pada Pak Thomas. Beliau tidak bergerak dan masih mengerang perlahan.
"Pak Thomas!" teriakku lagi. Beliau tampak tidak mau menjawab. Aku tidak berani ambil risiko. Asap tiba-tiba sudah muncul dari balik pintu loteng. Mau tidak mau, aku pun harus mengetikkan sesuatu. 6 digit. Angka dan huruf. Probabilitas yang sangat banyak.
Kode untuk sesuatu yang sangat melekat di pikiran dan hatinya?
Aku selesai mengetik.
R-E-A-M-U-R
Tiba-tiba layar ponsel pun cerah dan muncul tulisan :
"KUNCI TERBUKA. APAKAH ANDA INGIN MENGHENTIKAN 'PROJECT ANTITHESIS' ? (97% SELESAI) - Y/N"
Keberuntungan.
Aku menghentikannya.
"PROJECT ANTITHESIS TELAH BERHENTI"
Berhasil. Aku tidak kuasa lagi menahan ketegangan, perlahan aku merosot dan jatuh terduduk. Aku menatap Runda yang tidak bergerak dan Pak Thomas yang kini menatapku tidak percaya. Marah, tetapi ada sedikit rasa kelegaan dalam raut mukanya.
"Selamat ...," kata Pak Thomas datar dan dengan nada menahan sakit akibat tulang keringnya yang retak. Aku tidak menyangka tendangan dari anak yang tidak pernah bisa bermain sepak bola, dapat meremukkan tulang seseorang. Semua telah berakhir, kami berhasil menggagalkan rencana Pak Thomas.
"Bagaimana kaubisa tahu kata kuncinya?" tanya Pak Thomas.
"6 Digit dan aku hanya menebak kata kuncinya adalah nama anak Anda ...," jawabku tidak memandang Pak Thomas. Hawa panas yang menyengat membuat keringat kami berjatuhan begitu deras. Terdengar bunyi peletik seperti barang terbakar. Gedung ini kemungkinan besar telah terbakar. Aku bangkit dan jalan terseok menuju ke arah Rusya. Aku membuka kain yang mengikat Rusya seraya mengguncang tubuhnya perlahan.
"Rusya ... Rusya ...," panggilku perlahan.
Ia pun perlahan membuka mata dan berusaha untuk berbicara. Namun, sepertinya ia masih lemas. Ada kemungkinan efek obat bius yang digunakan Pak Thomas untuk menculiknya.
"Rimba ... kaukah itu?" tanyanya sedikit lemas.
"Ya."
"Di mana ini?" Rusya menoleh ke sekeliling. Ia sempat melihat seseorang tergeletak dan juga Pak Thomas yang kini masih menggeliat dan mengerang karena kakinya yang patah.
"Di Loteng. Kaubisa berjalan?" ujarku. Rusya mencoba bangkit dari duduknya, tetapi dengan mudahnya ia juga kembali terduduk dengan kaki yang gemetaran. Perlahan aku membantunya berdiri dan memapahnya. Hawa di loteng semakin pengap dan panas, mirip seperti kamar pemanggang. Aku mendekati Pak Thomas, mengulurkan tangan. Pak Thomas yang kini terduduk selonjor pun tidak merespon.
"Keluarlah, sebelum gedung ini habis terbakar ...," ucapnya seraya tersenyum padaku. Aku tidak menggubrisnya dan hendak menyeret Pak Thomas, tetapi ia menatapku tajam, tanpa ada sepatah kata pun. Pak Thomas masih tetap tersenyum, walaupun kami tahu, beliau tidak tersenyum untuk kemenangan dan rencananya yang hampir berhasil. Aku masih mewaspadai beliau, terutama ketika Pak Thomas bangkit, dengan langkah tertatih-tatih dan terseret, beliau mencoba menurunkanku dan Rusya. Beliau tidak komentar sedikit pun dan perlahan senyumnya memudar. Dahinya berkerut, ekspresinya masam seperti menyesali akan sesuatu hal yang dilakukan beliau.
"Pak ...," panggilku. Beliau hanya mengangguk dan memberi isyarat dengan kepalanya untuk segera pergi dari situ.
"Pak Thomas ...," panggil Rusya lirih. Sepertinya ia belum terlalu tahu konfrontasi kami dan masih berpikir bahwa Pak Thomas lah yang datang untuk menyelamatkannya.
"Pergilah, Nak ...." Hanya itu ucapan terakhirnya, sebelum aku membawa Rusya dan pergi menyusuri lorong lantai tiga. Aku berpaling dan beliau masih berdiri di tengah-tengah lorong lantai tiga. Beliau hanya tersenyum kepada kami. Tidak ada lambaian tangan. Tidak ada kata selamat tinggal. Beliau hanya menatap kami sembari tersenyum. Pun ketika api mulai menjilat dinding-dinding ruangan, beliau masih berdiri dan bergeming dari tempatnya, serta beliau masih menatap kami seraya tersenyum.
*****
Aku dan Rusya berjalan menyusuri lorong dengan dinding-dinding yang telah terjilat-jilat oleh api. Rasa panas yang menyeruak dan menusuk ke lapisan kulit, membuat kami seperti dipanggang. Rusya yang tidak begitu kuat untuk berjalan akhirnya memaksaku untuk mengangkat dan menggendongnya layaknya penganten baru. Tentu saja ia keberatan dan tidak pernah ada orang lain selain ayahnya. Masa bodoh, aku tidak ingin jadi Rimba panggang saus pedas di sini.
Gedung ini telah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda. Gedung tiga lantai, konstruksi perpaduan antara arsitektur Belanda. Sebuah keunggulan bangunan orang-orang Belanda yang digeneralisasi oleh bangsa kita sebagai bangunan tahan lama. Aku berjingkat-jingkat menghindari api yang kini menyebar dan melahap tangga lantai satu.
Rusya panik sendiri, antara panas yang makin lama makin menyengat, dirinya yang tidak kunjung membaik dan kini ia menggerutu sendiri karena seseorang dengan 'lancangnya' menggendong dia tanpa ada persetujuan. Ia cemas kalau kami berdua tidak akan pernah dapat keluar dari gedung induk.
Rusya terus menjerit-jerit seperti anak kecil ketakutan, menyebut-nyebut namaku ketika aku berusaha untuk melewati kobaran api yang membakar anak tangga yang terbuat dari kayu. Sesekali ia juga melakukan hal yang sama ketika tangga yang kupijak berbunyi gemeratak seperti ingin patah.
"Kaubisa tenang? Atau aku mau jatuhkan sekarang juga ... kita sudah hampir sampai pintu ...," ucapku tenang sembari merenggangkan gendonganku.
"Kyaa!? Iya iya iya!?!" Rusya memekik ketakutan. Aku hanya terkekeh. Gadis ini benar-benar merepotkan. Lihat saja, tingginya hanya sebahuku dan dirinya benar-benar mirip bocah. Pun dengan kelakuannya.
"Eh ... terima kasih ...," ujar Rusya pelan.
"Kenapa?"
"Karena telah menyelamatkanku tentu saja ..., Kak Rimba ...," ujarnya seraya tertawa kecil sembari menyembunyikan kepalanya di dadaku. Aku hanya tersenyum dan ajaibnya untuk beberapa saat rasa sakit di dadaku sejenak menghilang.
Kami akhirnya sampai tepat di depan pintu gedung induk, persis di depan tangga. Pintunya sudah terlalap api dan mau tidak mau, aku harus menembusnya. Sayangnya, kondisiku kini tidak memungkinkan untuk menembus pintu dengan api berkobar itu. Menendangnya, aku bisa kehilangan keseimbangan dan kami berdua bisa terjatuh. Pun cedera akibat luka yang ada di dadaku juga masih terasa sakit. Kami juga kelelahan dan asap yang keluar makin banyak. Napas kami semakin sesak. Dengan kekuatan terakhirku, aku mengambil ancang-ancang.
"Rusya ... pegangan ...," ujarku.
"Kenapa?" belum sempat Rusya mendapat jawabannya, aku langsung berlari merangsek menuju ke arah pintu yang terbakar. Rusya meringkuk dalam gendonganku dan tangannya tidak terlepas dari lenganku. Aku menghentak dari lantai dan mendobrak pintu berapi itu dengan bahuku. Tepat ketika kami berdua telah disambut oleh dua orang polisi bersenjata lengkap yang langsung menangkapku dan Rusya yang hampir terjatuh dan kehilangan keseimbangan.
"Kalian tidak apa-apa? Apakah ada orang lain di dalam?" tanya salah satu polisi tersebut.
"Ada satu mayat yang ada di loteng lantai tiga gedung ini. Kalau Anda beruntung, Anda mungkin akan menemukan mayat yang lainnya ...," ujarku. Kemudian polisi tersebut tampak berkomunikasi dengan HT. Sepertinya seluruh komunikasi kembali lancar dan dapat digunakan kembali. Pembicaraan mereka tampak serius. Tim pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api. Selang-selang dari mobil pemadam memancarkan ribuan kubik air untuk memadamkan api yang membakar hampir keseluruhan gedung induk.
Kami berdua dikawal oleh beberapa dua orang polisi hingga ke pintu gerbang yang telah dibuka. Pagar-pagar titanium tersebut kini juga telah hilang entah ke mana. Aku bisa melihat berbagai keriuhan di balik pagar. Mobil-mobil polisi, ambulans dan pemadam kebakaran berjejer membentuk barikade. Mobil-mobil van milik stasiun televisi, radio dan surat kabar juga tidak mau kalah untuk mencari berita. Kilatan-kilatan lampu foto milik wartawan menyoroti mataku. Kesibukan, keriuhan dan keramaian. Ketika aku melewati gerbang, aku sempat sedikit takut, apakah alat itu tadi telah benar-benar mati. Ketika aku melwati sejengkal dari gerbang, aku dan Rusya tetap baik-baik saja. Kami tidak meledak.
Ketika kami berdua 'benar-benar' keluar dari gerbang, riuh tepuk tangan, sorak-sorai dan siulan-sulan menyambut kami. Beberapa anak menyoraki namaku dan Rusya. Beberapa lainnya yang agak kampret, bersiul-siul sembari berteriak 'ciee' beberapa kali. Tim medis yang sedari tadi menunggu langsung membawa tandu dan datang menghampiri kami. Aku pun meletakkan Rusya di tandu, sementara aku sendiri pun kini mendapatkan perawatan dari tim medis. Cahaya dari blidz foto para wartawan makin membuatku silau seiring dengan seringnya mereka memotret kami tanpa ampun, bahkan ada yang kini mencoba mewawancaraiku. Septian dan Guntur yang telah cemas menanti kami langsung menghambur dan ikut-ikutan menghampiri.
"Kau benar-benar membuat kami ketakutan setengah mati!!? Darimana saja kau!?" ujar Septian tidak sanggup menahan emosinya sembari menepuk-nepuk punggungku keras.
"Kami mencoba mencari alatnya ... dan ceritanya panjang sekali ...," ujarku.
"Di mana Runda?" tanya Guntur. Aku terdiam. Seseorang telah mati malam hari ini, untuk menyelamatkan nyawa yang tersisa di antara kami. Aku hanya menggeleng. Kami tidak merayakan keberhasilan kami malam hari itu. Kami hanya terdiam dan sesekali menghela napas. Terlalu banyak kenangan yang ia berikan kepada kami. Marunda Jati. Aku melirik ke arah Rusya yang kini sedang didatangi kedua orang tua mereka. Ibunya tampak menangis bahagia sembari memeluk anaknya erat-erat. Ibu dan anak itu tidak melepaskan pelukannya.
Sementara itu, seorang lelaki separuh baya, dengan kumis yang cukup lebat memandang ke arahku dengan tatapan sayu seraya tersenyum dan mengangguk kepadaku. Aku membalas senyuman lelaki paruh baya tersebut dan mengangguk takzim. Mungkin agak tidak sopan ketika seseorang yang tidak dikenal menggendong anaknya keluar. Mungkin juga, aku harus menyampaikan permintaan maaf untuk itu lain kali. Lelaki itu, yang kuketahui sebagai ayahanda Rusya.
Dan dari arah lainnya, rupanya ayah dan ibuku juga menghambur ke arahku dan kami bertiga pun berpelukkan bersama. Ibuku menangis cukup keras dan tidak henti-hentinya mencium keningku. Ayahku hanya terdiam, tetapi bisa kulihat beliau juga meneteskan air mata. Dadaku begitu sesak hingga air mata yang tidak sanggup kubendung lagi, terjatuh begitu saja. Aku tahu betapa cemas dan paniknya ketika mereka berdua mengetahui anaknya berada dalam ujian hidup dan mati.
"Le ...," panggil ibu seraya mengelus-elus rambutku. Aku masih berada dalam pelukannya. Isyarat pelukan ibu seperti tidak akan membiarkan anaknya ini kembali terjatuh dalam berbagai mara bahaya untuk yang selanjutnya. Aku tidak menjawab. Aku hanya mengeratkan pelukanku dan air mataku berlinang begitu deras. Aku tidak mampu terisak. Aku hanya menangis dalam diam.
"Kamu enggak apa-apa, 'kan?"
Aku hanya mengangguk perlahan karena tidak sanggup untuk berkata-kata. Terlalu bahagia untuk mengucapkan apa pun sekarang.
Malam itu, anak-anak yang telah bertahan selama hampir dua puluh empat jam di dapam 'pengurungan' canggih dari Pak Thomas telah keluar. Orang tua dan keluarga mereka pun menyambut mereka. Tangis bahagia pun meledak di mana-mana. Beberapa anak saling berpelukan dengan teman-teman lainnya yang selamat.
Pun juga dengan orang tua siswa-siswa lainnya yang kini tengah berduka. Kesedihan yang meledak menjadi tangisan ratapan para ibu yang mendapati anaknya keluar dari sekolah dengan kondisi berada di kantung mayat. Beberapa sanak saudara mencoba untuk menenangkan anggota keluarga mereka yang begitu kehilangan. Beberapa ibu menyebut-nyebut nama anaknya sambil meratapi di samping mayat mereka. Hari itu, malam itu, kami mendapat kebahagiaan yang menyedihkan. Kami tidak mendapatkan apa pun. Kami hanya korban.
357 Siswa dan 13 orang guru. Jumlah kami yang selamat. Jumlah kami yang berhasil keluar dari 'neraka' itu, di mana kita biasanya memaki-maki sekolah dengan sebutan itu karena segala hal yang membosankan. Guru, pelajaran, tugas, ujian. Kini, hal itu telah benar-benar menjadi kenyataan.
Kami hanya korban.
Pak Lian langsung digelandang dan diamankan ke kantor polisi untuk dilakukan interogasi lebih lanjut mengenai kejahatan yang beliau lakukan. Semua orang tampak memasang raut kebencian ketika mereka menatap Pak Lian yang tertunduk bisu dan berjalan di antara kawalan polisi. Beberapa anak yang masih tersulut kebencian hendak merangsek barikade dan berusaha menghajar kepala sekolah, mantan kepala sekolah mereka yang kampret bukan main.
Kami hanyalah korban dari orang-orang seperti itu. Orang-orang yang berusaha memanfaatkan kami. Mungkin sebagian dari perkataan Pak Thomas ada benarnya. Orang-orang tersebut, adalah penjahat yang sebenarnya.
Dan pada akhirnya, kami pun keluar dari 'penjara' mengerikan itu. Aku pun melirik jam tanganku. Pukul setengah sepuluh malam. Seharusnya konser telah dimulai beberapa jam yang lalu. Seharusnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top