CHAPTER 15
Dia melakukannya dengan sangat baik hingga detik-detik terakhir. Keterlibatannya dalam pembantaian ratusan siswa SMA Harman Sastranagara, juga segala permainan yang ia lakukan. Kini di detik-detik terakhir, Pak Thomas masih sempat memberikan sandiwara terbaiknya, hingga pada akhirnya dia sukses menghunjamkan sesuatu ke bekas luka yang kuperoleh ketika aku diserang oleh sosok misterius di tengah kota.
Masih ingatkah? Sepertinya bekas luka ini benar-benar sudah mengingatkanku.
Kulihat di depanku sekarang, Rusya, tampaknya tidak sadarkan diri dan terikat di kursi yang ia duduki. Aku tidak melihat adanya tanda-tanda kekerasan padanya. Kurasa ada motif tersendiri mengapa Pak Thomas menyekap Rusya di loteng ini.
Waktuku tidak banyak lagi, tetapi sepertinya Pak Thomas tidak akan semudah itu memberikan begitu saja sebuah penyelamatan gemilang dan kami semua dapat selamat. Sepertinya akan banyak basa-basi lagi. Luka yang kuperoleh malah semakin melebar dari sebelumnya. Rasa perih yang menyeruak, serta nyeri yang tidak tertahankan ketika serabut-serabut otot itu lepas akibat tusukan benda tajam yang kini menohokku.
"Kita tidak punya waktu banyak, Pak Thomas. Anda pelakunya ...," ucapku sedikit mengerang karena luka yang ada di bahuku semakin perih dan menyiksa. Bukankah ini benar-benar menyakitkan. Rasa yang menggelitik ketika darahmu perlahan mengalir keluar perlahan.
"Kita juga tidak punya waktu banyak, Mas Rimba. Silakan tanya saja seperlunya. Sebentar lagi pestanya akan selesai dan kita mungkin bisa pulang ke rumah kita masing-masing. Ngomong-ngomong, sudah hampir setengah sembilan lho ...."
Aku mendecak kesal sembari menatap Pak Thomas tajam.
*****
Hari Ke 2. Jam 20.10
Baiklah, kita akan memulai diskusi. Biasanya berlangsung cukup lama, tetapi kali ini aku akan memperpendeknya.
"Aku sudah mencurigai bapak sejak awal ...," ujarku memulai. Pak Thomas menaikkan sebelah alisnya.
"Keterlibatan bapak memang tidak bisa disangka-sangka. Terima kasih kepada Rusya yang selalu menaruh curiga pada bapak. Pada mulanya kami mengira ini terorisme. Pada mulanya kami mengira ini bentuk protes. Pada awalnya kami mengira pelakunya adalah para hipster atau gelandangan yang marah. Pada awalnya kami mengira pelakunya adalah salah satu perusahaan yang ingin menggulingkan citra Harman Corporation. Semuanya memang benar, hingga kami melupakan satu probabilitas penting, bahwa pelakunya adalah satu orang ...."
"Semua pelaku kejahatan berasal dari satu pusat otak manusia, Rimba... mereka hanya eksekutor ...," dalih Pak Thomas.
"Anda memberikan probabilitas-probabilitas itu untuk menguatkan pemahaman kami tentang siapa pelakunya. Pada umumnya, serangan skala besar seperti ini akan dianggap oleh orang awam kalau ini bukan perbuatan seorang saja. Anda merancangnya seolah-olah ini perbuatan kelompok-kelompok tertentu ...." Daerah luka yang ada di tubuhku mulai panas, perih, dan kedut-kedut. Aku menjelaskan awalnya dengan perjuangan menahan rasa sakit yang luar biasa. Aku tidak ingin memecah konsentrasi hanya gara-gara luka yang ada di dadaku.
"Buat aku terkesan, Rimba ...," desis Pak Thomas sembari mundur selangkah.
"Salah satu anak buahmu berkicau, Dean Begawan ...," ucapku.
"Hmm ... kurasa kau sudah tahu dari dia. Tidak kusangka ia masih bisa berkicau setelah kubunuh ...."
"Dean mengatakan sesuatu sebelum ia mati. Ia mengucapkan kata-kata yang pada awalnya, aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Hingga aku sadar, itu sebuah nama, Pak."
Mulut membentuk 'o', kemudian menganga lebar secara vertikal.
A setelah O.
Mengatupkan bibir dengan mengeluarkan suara sedikit mendesis, kukira konsonan, ternyata benar.
S setelah A.
Dengan kata lain ...
"'Thomas' ... susunan yang memungkinkan dan terpikir pertama kali di kepala saya. Merujuk kepada nama bapak ...."
Pak Thomas terlihat tersenyum puas dengan jawabanku. Ia bertepuk tangan. Namun, ia tidak memberikan umpan balik maupun niatan untuk berbicara. Sepertinya Pak Thomas memang menungguku untuk bertanya.
"Pesta yang diatur sedemikian rupa, para hipster dan gelandangan yang seperti dilatih untuk menjadi pembunuh bayaran, sponsor setiap satu keluarga gelandangan, gelang ID yang menciptakan alat pengurung portable, biaya dan senjata, bahkan helikopter polisi yang jatuh, semua itu rencana yang rapi. Pistol, penyamaran, senjata tajam, alat-alat ini, pastinya membutuhkan biaya yang besar. Bagaimana Anda mendapatkannya?" tanyaku.
Pak Thomas tersenyum. Sepertinya ia sudah tidak sabar dengan gilirannya.
"Selamat datang di 2018, di mana digitalisasi semakin mendunia dan menyentuh aspek kehidupan dasar kita. Salah satunya, ekonomi. Terima kasih kepada temanmu yang tergeletak di samping karena sudah berhasil meretas tiga buah rekening sekolah ini dan memindahkannya ke sebuah rekening anonim ...."
Mustahil!? Runda!?
"Runda!? Itu tidak mungkin!?" sergahku.
"Ya ... dia tidak keberatan dengan hal itu, Hasilnya ... cukup untuk membiayai pesta dan acaranya ..., " ujar Pak Thomas cepat, dengan penekanan ketika mengucapkan 'acara'.
"Tetapi ... bagaimana!?"
"Cukup mengancamnya dengan mengatakan kalau dia akan dilaporkan ke pihak komite dan dewan guru atas tindakan meretas jaringan sekolah. Ketakutan semua peretas seumuran Runda. Oh, jangan lupakan aib otak mesumnya!? Mudah sekali melakukan kejahatan dengan orang yang terbiasa melakukan kejahatan karena kita dapat mengancam dengan aktivitas yang ia lakukan, jika ... mereka terlihat menyeleweng dengan visi kita. Ia tidak akan berkicau karena gerak-geriknya merasa terbatasi dengan ancaman tersebut. Kalaupun ia coba melapor ... laporannya akan jadi bumerang," jelas Pak Thomas.
Kurang ajar!
Pak Thomas selangkah lebih maju. Ia memanfaatkan kami dengan sangat baik. Yah, dengan sangat baik. Itulah alasannya kenapa Runda mulai cemas ketika teror-teror yang terjadi di sekolah mulai bertebaran. Runda sendiri tidak melapor? Tentu saja itu akan jadi senjata makan tuan. Berjuta kali server sekolah ia retas dan secara tidak langsung ... ia mantan 'pemasok' film porno di sekolah ini. Sebuah kerugian tersendiri jika kita memasukkan seorang kriminal—literally kriminal—ke dalam tim pembela kebenaran.
Aku kini memandang Pak Thomas dengan kebencian yang mulai tersulut dalam diriku. Namun, tidak akan kubiarkan hal ini menguasai, sebelum aku mengorek semua keterangan dari Pak Thomas. Lelaki itu tampak tenang, seolah-olah ia telah merencanakan hal ini, memperhitungkan dengan matang setiap kemungkinan dan cara mengatasinya.
"Lalu?" tanyaku kembali.
"Lalu? Oh ... tentu saja. Uang tersebut kugunakan untuk mempersuasi para gelandangan yang tengah begitu marahnya dengan pemerintah, untuk melampiaskan kekesalan mereka dalam acara ini. Mungkin sebagian dari mereka akan meragukan pekerjaan ini, tetapi uang sebanyak itu? Sedangkan mereka sendiri terlunta-lunta ketika rumah mereka tergusur? Mereka pasti akan memikirkan bagaimana cara mereka agar anak-anak mereka dapat makan dan tertawa kenyang. Tidak mati kelaparan setidaknya. Di sisi itu, apa yang disebut kenormatifan sebuah norma akan bergeser dan perlahan menghilang. Mereka juga punya hal yang sama. Mereka mati kelaparan atau kalian yang mati terbantai ...," ujar Pak Thomas kembali menjelaskan.
"Walhasil, mereka pun ikut program ini. Termasuk Dean yang paling antusias. Ibunya tengah sakit, ayahnya tewas menjadi martir kaum mereka karena bentrokkan yang terjadi, ketika para gelandangan memprotes kebijakan penggusuran wilayah mereka. Dean sendiri di PHK dari tempat kerjanya di sebuah pabrik kimia. Ia seorang sarjana kimia yang berbakat dan berprestasi, terlunta-lunta menjadi gelandangan. No offense. Dia melakukannya dengan baik. Jangan khawatir, ia sudah gunakan uang pembayarannya dan ibunya kini sedang dirawat intensif. Sayang sekali, padahal kalau dia bisa menahan diri untuk tidak berbicara sedikit saja, dia pasti selamat. Huh ... sayang sekali. Ibunya pasti kini sedih sekali kehilangan anak satu-satunya," lanjutnya.
"Begitu kejam bapak memperlakukan dan mempermainkan Dean ...."
"Kejam!? Kejam mana dengan sebuah organisasi beradab dan bermoral yang menutup-nutupi kasus pembunuhan, lalu menghancurkan harapan seorang anak bangsa!?" protes Pak Thomas yang begitu murka.
"Dean dan anak buahnya begitu baik melakukan penyamaran. Tentu saja ini event organizer kamuflase dan saya yang merancangnya. Saya merekomendasikan ini kepada Rayan. Ia tidak keberatan dan berterima kasih kepada saya. Tentu saja, guru yang baik hati mau membantu muridnya yang tengah kesusahan karena acaranya yang terancam di banned ...," lanjutnya.
"Bom-bom itu?" tanyaku.
"Dean merakitnya dengan baik. Sayang sekali membiarkan bakatnya menguap lalu terkubur, jadi mengapa tidak dimanfaatkan saja. Anak itu membuat sebuah alat yang sederhana, terkesan rumit, dan penuh menjebak. Kami menghabisi seluruh security dan penjaga sekolah sebagai keamanan malam itu, mengunci gerbang utara dan selatan, sukseslah kami mengurung kalian. Jika saja tidak ada truk yang menyenggol panggung dan merobohkan konstruksinya, mungkin rencanamu untuk meruntuhkan atap panggung akan tidak ada apa-apanya dan kalian menunggu sampai pagar jebol. Lebih banyak orang yang akan mati ...."
"Gelang-ID ini?" tanyaku seraya menunjukkan gelang yang kini terpasang di pergelangan tangan kiriku.
"Mahakarya Dean. Lagipula, pusat kendalinya ada di sini ... pembatas wilayah gelang-ID, timer, dan pengacau sinyal ...," ujar Pak Thomas ketika beliau mengeluarkan ponselnya. Sebuah smartphone berwarna hitam dengan kombinasi perak.
Sebuah ponsel. Ya, sebuah ponsel pintar.
Keparat! Karena itu kami tidak menemukannya di mana pun!?
Pak Thomas kembali tersenyum penuh kemenangan. Ia dua kali, memecundangi kami. Apalagi yang akan ia ungkapkan sekarang?
"Termasuk dengan mendaratkan helikopter dengan tidak mulus di lapangan basket?"
"Oh, itu persoalan lain. Terlihat canggih bukan dapat menyabot sebuah helikopter polisi? Aku memanfaatkan lubang yang ada di dalam tubuh kepolisian ...."
Lagi-lagi sebuah pengakuan yang menyebalkan.
"Lubang di tubuh kepolisian?" Aku terperanjat. Pak Thomas mengangguk.
"Ingat salah satu polisi yang dikirim dalam tim di helikopter itu? Mungkin kau tidak terlalu mengingatnya karena dia yang memang dimusnahkan di awal. Untuk berjaga-jaga ... seandainya identitasnya terbongkar atau dia akan banyak bicara ...."
Sejenak aku berpikir hingga aku menemukan satu nama.
"Bripda ... Drajat?" Tanyaku. Pak Thomas mengangguk.
"Dia tidak keberatan ketika uang berada di tangannya. Ia lagi kalah main judi dan situasinya semakin memburuk ketika ia dikejar-kejar debt collector. Aku memanfaatkan kesusahannya untuk sedikit membantu meringankan beban yang tadinya dimiliki oleh polisi muda itu. Dia tidak keberatan. Sebuah keuntungan tersendiri ketika kau menemukan salah satu relasimu yang ada di instansi keamanan negara, mendapatkan masalah pelik tentang keadaan ekonominya yang memburuk. Itu bisa menjadi salah satu senjata yang ampuh, jika kau memperlakukannya dengan benar ...," ungkap Pak Thomas, masih dengan sikapnya yang cukup santai.
"Kenapa bapak melakukan semua ini?"
Pak Thomas tidak tersenyum, tetapi sepertinya ia menunjukkan reaksi kalau pertanyaanku merupakan pertanyaan inti yang diharapkannya. Senyumnya yang misterius dan benar-benar menyebalkan itu membuatku ingin segera menghabisinya.
"Akhirnya aku mendapat pertanyaan yang tepat ...."
*****
Jawabannya pun terdengar cukup mengerikan. Aku tidak menyangka akan mendapat penjelasan yang begitu mengerikan mengenai motif Pak Thomas mengenai perbuatannya merancang sebuah skema pembunuhan besar-besaran ini. Skema yang sangat rapi dan tertata, serta menampilkan segala kemungkinan, sehingga ... kita akan membuat kita bias dalam menentukan siapa pelaku sebenarnya. Pak Thomas pun memulai penjelasannya. Sebuah gagasan yang visioner, tetapi sungguh di luar nalar kami yang hanya pelajar SMA.
"Apakah uang? Jabatan?" tanyaku mengejar.
"Jabatan!? Oh, tidak-tidak! Saya sudah cukup bangga menjadi seorang guru di sini ...." Pak Thomas berdalih.
"Negara yang kita ketahui, negara yang kita pijak tanahnya sekarang, saat ini sedang mengalami fase yang sekarat. Berbagai keburukan perlahan menggerogoti negara di mana kita, tengah berdiri di sini, menunggu orang-orang di sekitar kita sekarat. Sekarat karena sistem yang telah salah. Bagaimana bisa orang-orang dapat melakukan tindakan korupsi yang terkeji, memainkan sistem seenaknya, membuat sebuah peraturan dan kebijakan anekdot yang hanya diperuntukkan bagi kesejahteraan para wakil-wakil rakyatnya. Bisa dibilang, mereka bukan wakil rakyat lagi, mereka adalah tirani. Kita diperbudak oleh tirani dari masyarakat kita sendiri. Mereka yang pesta pora dari hasil jerih payah dan banting tulang rakyatnya, orang-orang yang berperilaku licik dalam menguasai dan memperbudak bangsa kita dengan barang dagangannya!" Pak Thomas menghela nafas sejenak.
"Lihatlah di sekitar, bagaimana makin banyak saja orang-orang yang tidak bisa bayar inilah-itulah, dikejar debt collector-lah, tidak dapat sekolah, tidak dapat makan. Lihatlah, bagaimana perlahan kegelapan akan sedikit demi sedikit mengunyah bangsa ini. Seluruh sektor kita dijual, negeri kita dijual, kita sendiri juga dijual. Semua ini tidak terlepas tanpa adanya lingkaran setan dari generasi kita yang ternyata telah rusak dengan semua visioner semacam itu! Anak-anak cengeng yang hanya ingin memuaskan dirinya dengan budaya hedonisme, uang, uang, uang bapaknya! Pamer kekayaan! Pamer status keluarganya! Pamer yang bapaknya PNS, bapaknya pejabat, bapaknya pengusaha, yang kemudian sudah bertindak seperti tirani kecil! Memeras yang tidak punya, mengejek yang lemah! Terpapar budaya kemalasan, hura-hura, tidak peduli dengan sesama, tidak peka!" lanjutnya sembari sesekali meninggikan suaranya penuh dengan kekesalan dan amarah.
"Semestinya institusi pendidikan seperti ini mengajarkan anak-anak bangsa bagaimana cara untuk berperilaku baik terhadap orang lain, anak-anak dengan visioner dan gagasan mengenai cara mengentaskan kemiskinan, membuat negara ini maju tanpa ada praktik korupsi, negara kita tidak terus menerus terlilit utang dan jadi bahan memalukan di hadapan negara lain! Namun, orang-orang seperti itu, seperti berlabel Harman Foundation, telah merubah segala harapan tersebut. Memasukkan anak-anak cengeng tersebut, merubah sistem yang seharusnya mengasah jati diri anak-anak bangsa yang seharusnya, menjadi sebuah pisau kue bermata tumpul! Pendidikan kita dijual! Hanya untuk yang berhak saja! Membiarkan anak-anak bangsa yang lain jadi bodoh dan mudah ditipu!"
Aku cukup mengenali beberapa kata-kata tersebut. Malah beberapa di antaranya pernah kutemui entah di mana.
"Capitalizing Education ... Penulis buku anonim ...," desisku.
"Ah ... kau rupanya membaca tulisanku. Well, aku mengapresiasinya nak ...." Pak Thomas kemudian bertepuk tangan.
"Saya di sini hadir untuk meluruskan beberapa hal yang telah melenceng dari semestinya. Baik aku dan kau, mungkin telah sama-sama bisa melihat dan merasakannya. Biaya sekolah? Anak-anak dari kalangan atas yang dinomorsatukan? Nilai-nilaimu dijual ke anak-anak tersebut? Kalian tertindas, dimaki, dihujat, dilecehkan, diperbudak, dan berkali-kali aku mendapat laporan kalau anak ini ... terus-terusan menjadi korban bullying! Kalian dicap anak yang tertinggal! Kalian dicap anak yang lemah! Kalian dicap ... anak miskin!?" jelas Pak Thomas marah seraya menunjuk Rusya yang masih belum sadarkan diri di kursinya.
"Saya di sini untuk mengatasi hal ini semuanya! Sebuah konsep visioner yang sangat ampuh untuk memberikan pelajaran, sekaligus menstabilkan bagaimana pendidikan Indonesia seharusnya berjalan. Bayangkan jika kaumiliki sebuah komputer, kemudian komputermu lagging, tatanannya tidak berjalan sesuai dengan yang seharusnya dan komputermu sering macet, apa yang akan kaulakukan? Kau akan mencoba merestart, mereset komputermu. Saya di sini untuk menerapkan hal itu, pada sekolah ini ...."
Aku merasakan bahwa penjelasan Pak Thomas begitu ekstrim.
"Ma-maksud Bapak?" tanyaku antara ragu dan takut.
"Me-restart kalian. Me-reset sekolah ini. Memusnahkan hal-hal yang tidak perlu ada di dalam sekolah ini. Anak-anaknya! Sistemnya! Dan orang-orang kapitalis yang memboncenginya!" tegas Pak Thomas berapi-api.
"Visi mengerikan macam apa itu, Pak Thomas!?" Aku mencoba memprotes. Bagaimanapun juga, apa yang telah dilakukan Pak Thomas sudah terlalu jauh.
"Bayangkan, Nak Rimba. Kau akan hidup tentram bila tidak ada anak-anak cengeng itu. Kau akan nyaman bersama teman-temanmu, dengan tidak ada anak yang sok berkuasa, anak yang senang berleha-leha, anak yang senang dengan budaya hedon, kebebasan yang keblinger!? Anak-anak yang akan keluar dari sini ... adalah yang terpilih. Survival of the fittest! Anak-anak yang teruji, anak-anak dengan pribadi yang tangguh, siap untuk dididik menjadi penerus bangsa yang seharusnya!" sergah Pak Thomas.
"Namun, kenapa kita juga harus ikut dimusnahkan?! Saya tidak melihat adanya pengujian di sana. Saya hanya melihat pembantaian! Kami dibantai satu per satu, hingga tidak ada yang tersisa dan kami terus-menerus dilanda kesedihan. Di antara yang terbunuh juga ada yang membawa cita-cita untuk membawa kesejahteraan bagi negara ini!?"
Terlalu banyak pembantaian yang telah kulihat. Menyaksikan kami mati sia-sia. Bagaimanapun juga kami terpilih untuk menempuh pendidikan, beruntung karena masih dapat merasakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari guru-guru. Visi yang mengerikan dari Pak Thomas telah mengubah harapan banyak orang. Memusnahkan harapan banyak orang tua yang kini tengah menunggu di luar sana.
"Mereka hanya tidak beruntung. Kami membutuhkan anak-anak yang tahan banting ...," jawab Pak Thomas enteng.
"Lantas kenapa Anda tidak bantai kami saja semua di awal pesta dengan meledakkan gelang sialan ini! Kalau Anda memang tidak puas dengan kami, mengapa bapak masih dengan warasnya menyuruh kami untuk berlindung di aula, menemukan kami semua, bahkan melindungi kami, dari amukan anak buah bapak sendiri!" Aku kini tidak bisa menahan emosi. Semua yang kulihat telah membuatku ketakutan. Segala darah yang tertumpah, segala rintihan yang terdengar.
Pak Thomas hanya terdiam masam.
"Proses, Rimba. Kau salah satunya. Rusya pun salah satunya ...," jawab beliau.
"Kenapa Rusya? Kenapa harus saya!" protesku.
Pak Thomas kembali terdiam sejenak.
"Kalian punya kehebatan kalian masing-masing. Kau, dengan kecerdasan dan pemikiran yang cukup kritismu. Rusya, kurasa dia juga memiliki kecerdasan yang cukup bagus ...."
"Bohong! Kami semua biasa-biasa saja!?" aku menyela Pak Tomas
"Kau belum menyadarinya ...."
"Anda hanya memuji kami yang sebentar lagi akan mati!?"
"Mental kalian perlu diuji agar terbebas dari segala hal yang dapat membentuk cikal bakal orang-orang yang mendukung tirani berkuasa."
Aku berang.
"Kalau memang kami telah tidak layak. Kalau kami hanya mati sia-sia walau dengan ujian konyol seperti ini, kenapa tidak Anda bunuh saja saya dan Rusya dari awal! Kalau memang kami semua merepotkan, kalau kami memang anak-anak yang sedari awal tidak dapat diandalkan, kenapa tidak bunuh kami saja dari awal!"
Pak Thomas hanya tersenyum pahit. Air mukanya sedikit sembap. Jawaban yang kudengar ... sangat klise dengan senyum getirnya.
"Kalian berdua ... mengingatkanku pada Reamur dan Rosetta ...."
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top