CHAPTER 12
Hari Ke-2, 14.37
Kasak-kusuk menyebar. Perantara dengan dunia luar ada tiga orang, Pak Thomas, Pak Lian, dan Bripka Lestussen.
Bapak Presiden telah berpidato di Istana Negara dan bereaksi cepat dalam masalah keamanan nasional yang sebenarnya, terjadi di beberapa petak tanah berisi kompleks pendidikan bernama SMA Harman Sastranagara. Beliau menginstruksikan agar menyelesaikan ketegangan ini secepatnya. Perang urat syaraf mulai terlihat, yang perlahan, akan berpengaruh cukup signifikan bagi negara. Syukurlah, setidaknya presiden kita masih tanggap dalam menghadapi situasi semacam ini.
Kami sendiri punya masalah lain. Pertama, orang-orang mulai lapar. Kenapa aku menekankan ini menjadi masalah? Kami yang selamat adalah yang telah banyak menyaksikan orang-orang terdekat kami terbantai, pemandangan kematian di mana-mana dan keadaan mental yang tidak sehat. Sedikit saja ada guncangan dalam masalah metabolisme dan asupan nutrisi, bubrah alias kacau sudah.
Kedua, 'Bubrah'-nya telah terjadi. Ketika kami kembali untuk diamankan dari kemungkinan adanya serangan lain yang tiba-tiba saja terjadi, orang-orang sudah mulai muak dengan pengurungan ini. Oke, pertama, mereka menumpahkan kekesalan kepada Briptu Sarwono karena beliau satu-satunya orang dari kepolisian yang ada di aula saat itu. Beberapa orang muak karena polisi tidak kunjung juga menjebol 'pagar titanium berpeledak' tersebut. Itu secara teknis membuat orang-orang yang ada di aula mulai meragukan kinerja dan kredibilitas kepolisian.
Kami mencoba membantu dengan menjelaskan, segamblang-gamblangnya mengenai kelambatan pihak kepolisian, terutama dalam menjinakkan bom sialan yang penuh dengan pemicu ganda yang tidak jelas ke mana arahnya. Bisa saja ketika menjinakkan bom satu, meledak di sisi lain. Beberapa hambatan lainnya seperti serangan penembak misterius (aku bertaruh mereka juga sebagian besar hipster yang cukup pintar), dan truk yang menerobos barikade juga telah kami jelaskan.
Mereka tetap tidak peduli, hanya menginginkan keluar dari sini. Lama-lama aku mulai tidak suka dengan banyak orang yang ikut-ikutan gusar, menginginkan secepatnya untuk keluar dari tempat mengerikan ini. Well, setidaknya sekarang tempat ini benar-benar mengerikan, daripada hanya sekadar 'mengerikan' karena terbebani oleh sekolah dan tugas!
Kebanyakan wanita mulai kembali menangis sesenggukan meratapi nasib, sebagian lainnya masih teriak-teriak enggak jelas memprotes siapa. Beberapa anak laki-laki yang cukup berandal juga mulai melakukan aksi provokasi. Salah satunya, Andika Basri. Ketika kami melihat dia yang paling berkoar dan sok bossy di aula, kami mulai paham siapa yang menyulut api di sini.
Aku menautkan kedua alis dan mengepalkan kedua tanganku gregetan.
Provokator bangsat.
Biar kujelaskan karena aku sudah tidak tahan lagi melihat dia makin menggila.
Siapa yang tidak kenal Andika Basri alias Andika? Pun sebelum kejadian ini, ia sudah cukup banyak mengumbar sensasi. Salah satu berandal di sekolah ini, terlepas dari keluarganya yang seorang konglomerat kaya. Ia pindahan dari luar kota dan ketika mulai masuk kesini, kebanyakan orang akan menggerutu setiap harinya.
"Tuhan, mengapa kauturunkan Leviathan di tengah-tengah kedamaian ini!?"
Ia juga suka mabuk-mabukkan dan aku sangat yakin, tidak ada 'Drunken Master' paling idiot, paling licik dalam mempengaruhi anak-anak selain Andika. Samantha kemungkinan besar salah satu korbannya. Provokator, suka memancing keributan, dia punya kelompok dan geng tersendiri yang cukup eksklusif, menguasai kantin tiap istirahat paruh pertama. Musuh paling dibencinya? OSIS, terutama ketika ia menemukan fakta bahwa saudara jauhnya, Royce, adalah ketuanya. Dia makin ndugal.
Ah ... iya, satu lagi. Dia adalah Runda versi 'jahat'. Cassanova ... ah, bukan ... penjahat-kelamin berotak mesum. Setiap hari menggoda anak-anak perempuan yang lewat di depan matanya. Oh, jangan ungkit-ungkit masalah logika keuangan lagi! Dia punya banyak uang di sakunya dan ia bisa menggaet wanita mana pun.
Kami, Order of Quartz, menyebutnya dengan kode P3KB
Provokator. Pemabuk. Penjahat Kelamin. Bangsat.
Satu-satunya kelemahan yang baru kami temukan malam tadi mengenai Andika, dia cengeng ketika kematian di dekatnya. Mungkin kalau beruntung bisa keluar dari sini, kami bisa 'jual' informasi ini kepada semua orang yang menginginkannya. Terdengar cukup kejam, tetapi dunia memang kejam, kawan, secara harfiah.
Kini, aula sedang ricuh dengan beberapa protes dari orang-orang yang diprovokatori oleh Andika. Briptu Sarwono yang ditugasi untuk menjaga aula, tidak bisa langsung saja mengambil alih komando seluruh orang-orang yang ada di sini, mengingat situasi yang tegang, ditambah anak-anak di depannya benar-benar tertekan. Briptu Sarwono berharap ada petugas trauma crisis di sini.
Guru-guru yang ada di sana mencoba untuk menetralkan situasi, tetapi perang urat syaraf sudah dimulai di sini. Mayoritas guru yang garang telah tewas karena perlawanan tadi malam. Sedikit saja ada slip tongue, bentrokan bisa pecah dan mungkin saja, mereka akan memakai senjata yang 'tersedia' dan terkumpul di pojok barat aula.
"Kami lapar!" teriak di satu bagian kecil kubu provokator.
"Panas!"
"Kami ingin keluar dari sini!"
Mereka seperti domba-domba yang dengan mudahnya dituntun oleh serigala ke jurang gelap, tempat mereka akan dijagal. Beberapa anak yang sebenarnya tidak ikut-ikutan menjadi terpancing.
"Apa kalian tidak mendengar penjelasan dari teman kalian tadi!? Kami masih mencari cara untuk menjinakan bom yang ada di sekeliling kalian! Bom ini sulit untuk dijinakkan, akan berisiko kalau kita meledakannya begitu saja!" jelas Briptu Sarwono tegas.
"Tetapi, kalian kan polisi! Kalian tahu bagaimana caranya untuk menjinakan bom! Kalian ahlinya!" Andika berteriak lantang memprotes Briptu Sarwono.
Terlihat wajah Briptu Sarwono yang berusaha untuk tidak terpancing provokasi dari Andika.
"Lebih tepatnya tim Gegana, tolol!" ujar Briptu Sarwono dari tatapan mata beliau.
"Bukan berarti kami dapat bisa mematikan bom tersebut sekejap mata. Semua butuh proses."
Memang kalian kira kami dukun? Kami Superman?
"Bilang saja kalau kalian para polisi tidak becus! Bisanya cuma nilang saja!" Mulut Andika mulai berkicau mengeluarkan cicitan yang 'mematikan'.
Briptu Sarwono hanya membuang muka. Terdengar beliau sempat mengumpat pelan.
"Bagaimana jika kau di posisi kami, bocah keparat!?"
"Hei, kalian! Sebenarnya mau kalian apa sih!? Tolong mengertilah situasinya! Kita di sini dikurung oleh seseorang yang sangat jahat dan licik. Bisa saja teroris internasional di balik semua ini!? Apa kalian ingin mati konyol hanya gara-gara keegoisan kalian sendiri!?" Septian menengahi.
"Oi, Sep, enggak usah sok jadi penengah di sini!? Jangan hipokrit deh! Kau juga ingin keluar kan!? Kau juga muak dengan semua ini kan!?" Kini Andika mulai mengganti target mulutnya.
"Aku juga muak. Kita semua juga pastinya muak di sini!? Tetapi, mereka, para polisi, mereka sedang berjuang keras untuk menyelamatkan kalian tanpa ada yang terluka lagi. Mengertilah posisi bapak-bapak di depan gerbang itu!?"
"Aku bertaruh, ini semua gara-gara kalian yang ikut mendukung terselenggaranya acara festival ini sebelumnya!" Andika mulai menunjukkan kelihaiannya dalam memanas-manasi.
"Sial, jangan kaugunakan orang-orang yang kontra dengan acara Festival untuk menuduh kita!? Nyatanya mereka sekarang juga ikut di sini! Maumu apa sih!" Septian kali ini menuding Andika, emosinya mulai tersulut.
"Aku cuma ingin kita keluar dari sini!?" Andika bersikukuh.
"Ini juga karena kalian ... yang melobi Pak Lian untuk menyetujui acara ini!?" Dan ia pun mulai menyangkut-pautkan Order of Quartz.
"Ya sudah, diam saja, cengeng!" timpal Septian.
Terlihat Runda yang sudah anti dengan Andika memalingkan wajah, memaki-maki Andika sebanyak-banyaknya dalam hatinya.
"Hei! Apa maumu sebenarnya! Jangan coba cari masalah di sini, Andika!" seseorang yang cukup waras dan logis mencoba membela kami.
"Woi! Jangan ikut-ikutan ya! Gara-gara acara ini jadi diselenggarakan dan ternyata orang-orang sialan itu membunuh kita satu persatu! Teman-temanku banyak yang mati! Teman-teman kita juga banyak yang kehilangan sahabat mereka!" Sanggahan Andika mendapatkan sorakan dari beberapa orang yang terprovokasi dengannya.
"Whoa! Whoa! Teman-teman, mari kita sudahi ketegangan ini. Biarkan kita bekerja dengan kepala dingin. Aku tahu kalian lelah, takut, dan sedih sekarang. Ingat, orang-orang tua kita telah menanti cemas di rumah. Presiden telah memercayakan sepenuhnya kepada orang-orang, yang kini tengah berusaha untuk mengeluarkan kita dari sini. Tenanglah! Tidak lama lagi, kita pasti akan keluar ...." Aku berusaha untuk menengahi dan beberapa orang mulai yang sempat protes pun akhirnya mundur seraya terdiam. Sepertinya Andika mulai menatapku dan sepertinya ia akan menyerangku.
"Hei ... Rimba, jangan ikut-ikutan jadi penengah ya!? Jangan jadi sok bijak!" semprotnya.
"Mending begitu daripada kau yang tidak membawa kebaikan apa pun!" balasku.
"Kaucoba begitu, padahal kau sendiri juga ingin keluar dari sini dan kau sudah muak dengan semua ini!?" Andika masih pedas berbicara.
Aku berusaha untuk tetap tenang dan tidak segera berontak.
"Kita semua juga ingin keluar dari tempat ini, tolol! Berhentilah mengoceh!" protesku.
"Oh ... lihatlah, tuan sok bijak marah!?" sembur Andika. Pun kesabaranku sudah menipis. Suara gemeletuk gigiku samar-samar bisa di dengar. Kalaupun aku mau, aku bisa membogem mentah mulut sialannya. Septian menarik bahuku dan menatap diriku sembari menggelengkan kepala. Ia tidak menginginkan kami berdua berkelahi.
"Ada apa, Rimba?? Apa kau masih terlalu lembek untuk berkelahi??"
Bajingan itu menantangku!! Aku abaikan tangan Septian yang terus saja mencegahku, membantingnya menjauh dari bahuku, lalu aku menghampiri Andika seraya menatap wajahnya nanar.
"Apa maumu!" ujarku tegas. Tiba-tiba saja dia sudah meninjuku dan mengenai pipi sampingku.
Aku salah perhitungan dan langsung terjelembab ke belakang. Sontak perkelahian kami memancing anak-anak lain untuk riuh dan menyoraki kami. Aku bangkit dan memukulnya dari samping, Andika menangkis dengan tangan kanannya. Seketika itu juga kulancarkan sebuah uppercut dengan tangan kiri dan sukses menghantam rahang bawahnya. Andika terdorong ke belakang, marah, ia menyerangku dengan membabi buta. Karena tubuh Andika yang agak tinggi, menyebabkan langkahnya menjadi panjang, hingga sempat memukulku dua kali dengan telak. Aku tersungkur ke belakang. Septian hanya menatapku sembari geleng-geleng kepala, seolah-olah isyaratnya kepadaku begitu jelas.
Kesalahan besar kaumenantang Andika, Mba.
Aku merasakan rasa asin yang tajam menusuk lidahku, mengalir dari sudut bibirku yang perih dan mengeluarkan darah. Andika tampak tersenyum menang sekarang. Keunggulannya adalah tubuhnya yang memang lebih tinggi dariku. Juga, dia tidak bisa dianggap remeh ketika duel tangan kosong. Belum aku maju untuk membalasnya, Briptu Sarwono sudah melerai kami berdua.
"Hentikan perkelahian tidak berguna kalian!" ucap beliau tegas. Aku dan Andika masih saling bertatapan tajam, seakan seorang Briptu Sarwono pun bukan merupakan sebuah halangan.
"Apa kalian tidak punya telinga?? Teman kalian sudah menjelaskan panjang lebar. Kami, polisi yang berwenang dalam menangani kasus kalian, masih berusaha mencari cara menyelamatkan kalian dengan utuh!" lanjut beliau dengan penekanan di kalimat terakhir, membuat kami semua bungkam.
"Ini bukan sirkus! Kita berada di tengah-tengah permainan sekarang. Kalau kalian tetap seperti ini, tentu pelaku yang mengurung kita di sini akan senang sekali. Kenapa? Sebab dia inginkan kalian seperti ini! Tertekan, putus asa dan akhirnya panik sendiri. Tentu saja, sangkar besi yang digunakan untuk mengurung kita, sangat efektif!" Mendadak Septian angkat bicara. Suaranya keras di penjuru aula yang cukup hening.
"Jika kalian terus menerus berkelahi seperti ini, ada kemungkinan bakal terjadi pertumpahan darah. Beberapa kalian yang panik dan tidak sabar, tentu akan menghambur keluar dari tempat ini dan meledak tercincang-cincang. Si pelaku? Tentu menghendaki ini karena ia tidak perlu lagi susah-susah untuk membunuh kita semua! Tenanglah! Sudah Rimba katakan tadi, jangan panik. Tetap dengan keadaan tenang!" lanjutnya.
"Lalu, kami harus apa sekarang?" Celetuk salah satu anak perempuan di antara kerumunan.
"Beberapa orang yang kupilih akan ikut aku dan Rimba untuk ke suatu tempat. Beberapa orang anak yang cukup tenang di sini, termasuk kau Rusya, aku meminta tolong untuk menjaga keadaan teman-teman atau orang-orang di sekitar agar tidak cemas, panik dan tetap tenang. Runda, kauminta bantuan Briptu Sarwono untuk menjaga tempat ini. Jangan sampai ada yang keluar ...," jelas Septian.
Rusya dengan sedikit terpaksa mengiyakan saran Septian. Runda sepertinya oke-oke saja dengan tugas barunya. Situasi pun kembali normal, sementara ini Andika masih aman, hanya duduk menggerutu dan menyendiri. Beberapa orang yang tadi ditunjuk Septian, tentunya orang-orang yang cukup dapat dipercaya tentunya, membantu kami untuk mencari sesuatu yang kiranya terlihat sebagai petunjuk untuk mengeluarkan kami semua dari tempat ini.
Kami bersiap untuk kembali menyisir area sekolah ketika kami menemukan untuk kesekian kalinya, kehebohan lain muncul. Dimulai dari jeritan anak-anak yang panik ketakutan karena sesuatu, kemudian menyebar dengan cepat sebagai ketegangan yang cukup mencekam. Kami bergegas menuju ke sumber suara ketika kami menemui sesuatu yang tidak terduga.
Satu pembantai masih hidup. Ia mengenakan sebuah topeng menyeramkan dan menodongkan sebuah pistol ke arah kami sembari mencengkram dan menyandera Marrisa.
Sialan!? Bagaimana dia bisa tiba-tiba saja ada di tengah-tengah kami!?
Aku baru menyadari kalau pintu samping sudah tidak terjaga. Tidak ada yang tahu siapa yang keluar atau masuk sewaktu perkelahian tadi. Pembantai ini sengaja memanfaatkan momen yang tepat.
Marrisa menjerit ketakutan ketika pembantai tersebut mengarahkan moncong pistol ke arah keningnya. Ia mulai terisak. Kami mencoba mengepung si pembantai, tetapi kami tidak begitu ahli dengan negosiasi.
"Minggir kalian dari sini!" teriak pembantai itu. Aku terperanjat mendengar suara yang familiar. Suara yang tidak asing. Sebuah bisikkan langsung menyusup ke telingaku.
Si Penerima Tamu.
*****
Bagaimana dia masih bisa hidup!?
Keparat satu ini!
"Tolong tenanglah. Lepaskan anak itu!" Briptu Sarwono mencoba melakukan negosiasi karena beliau yang paling berkompeten di antara kami dalam urusan satu ini. Namun, si Penerima Tamu malah tertawa cekikikan. Tanpa perhitungan menembak Briptu Sarwono sebanyak tiga kali. Briptu Sarwono langsung tergeletak dan tersungkur. Beberapa orang berteriak dan mundur menjauh. Andika yang panik ketakutan menjerit-jerit tanpa henti.
"Bayi cengeng, diamlah!" Si Penerima Tamu dengan kejinya menembak salah satu kaki Andika. Kontan Andika pun menjerit kesakitan dan terguling-guling sembari memegangi kakinya. Aku, Septian, dan Guntur yang masih sedikit memiliki nyali masih tetap mengepung si Penerima Tamu.
"Huh! Merepotkan!" Dengan satu sentakan si Penerima Tamu mendorong Marrisa hingga ia terjelembab. Ia mengambil ancang-ancang dan segera lari. Kami bertiga sudah siap untuk mengejarnya, tetapi ketika kami bersiap untuk langkah pertama, si Penerima Tamu menembakkan pistolnya sekali lagi, entah mengenai siapa tetapi yang pasti setelah itu Marrisa terdengar juga menjerit kesakitan. Si Penerima Tamu langsung lari melalui pintu belakang. Ia melempar pistolnya ke lantai. Aku dan Guntur langsung mengejarnya, sementara Septian masih disibukkan dengan Marrisa yang tertembak, sepertinya di bagian bahunya.
Aku tidak ingin membiarkan keparat satu ini lari!
Aku dan Guntur baru saja keluar dari pintu ketika kami mendapati si Penerima Tamu memanjat salah satu atap gedung sekolah bagian Barat. Dia mencoba kabur melalui atap. Dengan satu kali lompatan, Guntur telah sampai ke atap dan mulai kembali mengejar si Penerima Tamu, sementara aku masih kesusahan memanjat.
Hah, salah satu kepayahan dalam mata pelajaran pendidikan jasmani.
Akhirnya aku dapat memanjat atap dan mengejar Guntur yang cukup jauh. Si Penerima Tamu tampak berduel dengan Guntur. Guntur sendiri cukup kewalahan, terlepas dari badannya yang bisa dibilang, cukup seimbang dengan si Penerima Tamu.
Kini kami bertiga berada di atas atap. Aku dan Guntur mengepung si Penerima Tamu. Guntur melayangkan sebuah pukulan hingga topeng si Penerima Tamu lepas dan aku bisa melihat wajah seorang laki-laki, berambut berantakkan dan setengah keriting gimbal. Bekas sayatan melintangi dari pelipis hingga pipi kirinya membentuk bekas seperti codet. Ia masih bisa tersenyum menyeringai seolah ia ingin menantang kami.
"Menyerahlah! Jangan harap kaubisa lolos!" gertak Guntur.
"Hah! Silakan kalau bisa!?" balas si Penerima Tamu mengejek seraya kembali berlari, tetapi Guntur dapat menangkap hoodie hitam si Penerima Tamu dan membuat pria itu terjengkang. Si Penerima Tamu melepas jaketnya, hendak meloncati gedung, tetapi Guntur menerkamnya. Si Penerima Tamu terjatuh, lalu mendarat di atas toilet guru beratap asbes. Guntur ikut terjun.
Kontan atap yang terbuat asbes tersebut tidak mampu menahan beban kedua pria tersebut, langsung hancur ketika mereka berdua terjatuh. Si Penerima Tamu sempat mengerang kesakitan sebelum akhirnya tangan dan kakinya berhasil dikunci oleh Guntur.
"Rimba! Turunlah! Kita tanyai kampret satu ini!" teriaknya. Aku melongok ke bawah.
Sepertinya aku harus cari jalanlain untuk turun dari sini ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top