CHAPTER 10
Kami mengamatinya. Pelat itu sudah terpasang setelah pembantaian tadi malam berakhir. Tingginya sekitar kurang lebih tiga meter dengan ketebalan sekitar setengah sentimeter. Tertutup rapat, sehingga kami praktis tidak dapat melihat keluar. Pelat itu tidak serta merta dibuat menutupi begitu saja, bagian bawah pelat tersebut tertanam dalam tanah.
Kemungkinan besar mereka yang memasangnya sebelum mereka melakukan pembantaian besar-besaran. Kami menyangka itu lempengan seng, tetapi Runda mengonfirmasi kalau pelat itu dari bahan titanium. Benar, titanium. Pelat-pelat seperti ini biasa digunakan untuk hal seperti—salah satunya yang kuketahui—industri pesawat terbang. Lempengan titanium itu mengurung seluruh lingkar sekolah dan praktis kami tidak bisa melihat apa yang terjadi di luar.
Kami mencoba untuk meneliti lebih dekat, hingga menemukan sesuatu yang lebih mengerikan. Ada sebuah mekanisme yang cukup lama. Tidak seperti mekanisme-mekanisme modern, mekanisme yang bentuknya dan besarnya dua kali kotak makan itu, berisi sebuah balok lembek bertuliskan C4.
Yup.
C4, peledak yang sudah mainstream digunakan, di game maupun di kenyataan. Mekanisme tersebut tersambung dengan kabel-kabel yang cukup panjang, membentuk rangkaian mengerikan yang mengelilingi sekolah. Hampir sama seperti lempengan titanium lainnya. Kami tidak bisa memindahkan lempengan tersebut karena di dalamnya juga tertanam kabel-kabel kecil yang tersambung ke kotak-kotak C4. Benda itu terpasang dengan jarak satu meter, mengelilingi seluruh sekolah. Kami telah mengeceknya. Salah-salah, jika kami mencoba memindahkan salah satu lempengan titanium itu, maka bom akan terpicu.
Masalah lainnya, tidak ada dari kami yang dapat atau ahli di bidang penjinak bom. Runda yang mengerti seluk beluk tentang mekanisme bom pun juga tidak mau membuat sekolah ini meledak seperti petasan, hanya gara-gara ia salah menjinakkan bom. Sepertinya, para pembantai tersebut memang berniat untuk membuat kehebohan, yang sanggup untuk menujukkan seluruh mata nasional ke arah kami sekarang.
Runda juga ragu ada seseorang yang dapat menjinakannya. Mekanismenya tidak murni kabel, tetapi susunan roda-roda gigi kecil beraneka ukuran. Siapa pun yang membuatnya, dia kampret nomer satu. Dapat membuat peledak semiprimitif yang bisa meledak sewaktu-waktu. Bom-bom ini terpasang seri dan setiap sambungan terdapat mekanisme keamanan ganda. Jadi, jika kau mencoba menjinakannya, mekanisme keamanannya akan terpicu, malah akan membuat bom ini meledak. Ada beberapa cara untuk menjinakkan bom ini. Pertama adalah dengan menemukan pusatnya. Masalahnya, di mana?
Kami berusaha untuk merahasiakan hal ini dari anak-anak, tetapi ada seseorang yang bermulut TOA yang cukup kampret untuk membuat pagi hari diawali dengan kepanikan yang cukup ramai. Siapa lagi kalau bukan Andika yang kemarin meringkuk ketakutan di lingkar tengah bersama anak-anak perempuan lainnya. Mulut besarnya telah membuat salah satu anak yang pasrah dan dengan pikiran yang macam-macam, hendak memotong tangannya agar ID-belt yang terpasang di tangannya bisa terlepas dengan golok. Untunglah kami berhasil mencegahnya dan terpaksa kami mengikatnya, agar dia tidak mencoba untuk melakukan hal berbahaya lainnya. Sebuah awal yang tidak cukup bagus.
Cara kedua? Well, setidaknya kita tinggal menunggu seseorang yang cukup 'tahu' untuk menjinakan bom ini.
Kami menghitung kembali jumlah kami.
410 siswa dan 40 orang dewasa.
*****
Hari ke-2 07.45
Aku merasakan seseorang menampar-nampar halus pipiku. Dari caranya untuk membangunkan, aku bertaruh itu pasti Septian. Aku perlahan membuka mata dan ternyata memang benar Septian.
"Rim ... bangun!" ujarnya.
"Sialan ... Sep! Aku mencoba untuk beristirahat setelah kau mengajakku berkeliling subuh tadi, menemukan kita sudah terpagar ...," ujarku dengan nada setengah ngelantur.
"Kampret, yang lain malah cemas dan tegang, kau malah tidur dengan suksesnya ...," cibir Septian.
"Adek lelah, bang. Adek lelah ...," timpalku seraya menggeliat-geliat di lantai, berusaha untuk kembali tidur.
"Polisi sudah tiba sekarang. Pak Lian dan Pak Thomas sedang melakukan diskusi di luar sana ...."
Mendengar penjelasan Septian, seakan disengat aliran listrik sebesar seribu volt, aku langsung terbangun dan terduduk sembari memandang Septian tajam.
"Kau serius!?"
"Ya! Beberapa anak juga ada di depan ...," ujar Septian.
Aku tidak menghiraukan Septian, bergegas keluar dari aula. Suasana di luar tampak lebih terang. Aku masih dapat menyaksikan beberapa bercak dan genangan berwarna merah pekat. Aku mengabaikannya, tetap berlari menuju ke depan gerbang. Aku sayup-sayup mendengar seseorang berbicara melalui pengeras suara. Beberapa sirine mobil polisi juga telah terdengar.
Akhirnya kami dapat keluar sebentar lagi.
"Ada orang dewasa yang cukup bertanggung jawab untuk menjelaskan situasi yang terjadi di sini?" ujar suara dari megaphone yang cukup memekikkan telinga.
"Saya! Julian Damoko! Saya kepala sekolah di sini!" pekik Pak Lian.
"Baik, Pak Julian. Saya Komisaris Besar Polisi Timur Brahmantyo. Saya dan anak buah saya mendapatkan sekitar ratusan laporan kehilangan secara serentak pagi tadi! Saya mengonfirmasi bahwa di sekolah Anda terjadi hal yang tidak beres! Tolong silakan Anda jelaskan kronologi kejadian dari kemarin hingga kami datang ke sini! Kami akan mencoba membuka pagar-pagar ini!" jelas seseorang yang dikenal sebagai AKBP Timur Brahmantyo.
Sayup-sayup dia akan memerintahkan anak buahnya untuk menjebol pagar-pagar titanium itu.
"Tunggu! Jangan!" Pak Thomas berteriak histeris ketika Komisaris Timur memerintahkan anak buahnya untuk menjebol pagar.
"Ada apa?" tanya Komisaris Timur dari megaphone.
"Pagar ini tersambung dengan bom yang mengitari seluruh sekolah ini, kalau ada gerakan fatal, bom yang ada di sini dapat meledak!" jelas Pak Thomas berteriak karena di luar sangat riuh.
Ada kemungkinan beberapa orang tua dan keluarga yang menanti harap-harap cemas anggota keluarganya juga ikut menyaksikan 'proses evakuasi'.
"Apa? Bom? Baiklah, kami coba memendekkannya!"
"Tidak bisa, ada kabel yang menyambung dengan bomnya, tertanam di dalam pelat ini! Riskan jika mencoba untuk memotongnya!"
"Mohon keraskan suara Anda, kami tidak bisa mendengar!" perintah Komisaris Timur.
Salahkan para kerumunan yang ramai, Komisaris sialan!
Secara umum, memang riskan untuk mencoba memotong pelat titanium ini. Salah potong, semua akan berakibat fatal. Terdengar dari megaphone secara samar-samar, Komisaris Timur dan beberapa bawahannya sedang mengadakan diskusi. Sepertinya mereka terlibat diskusi serius. Selama itu, kami menunggu ada respon selanjutnya dari pihak luar. Sepertinya mereka mengatasi aksi teror jenis baru. Lagipula yang paling mencengangkan, mereka dapat melakukan itu selama satu malam. Kelompok ini, atau setidaknya para pembantai kemarin malam memiliki sistem dan rencana yang benar-benar terstruktur, seperti kelompok teroris kelas dunia yang sangat berbahaya. Aku mencemaskan bahwa ini bukanlah sembarang aksi terorisme.
Kemudian kami mendengar deru helikopter mendekati sekolah kami. Sepertinya kepolisian sudah mulai bergerak. Mungkin saja mereka mengirimkan orang kemari. Helikopter polisi tersebut mengitari sekolah kami selama beberapa menit untuk memberikan data visual lapangan. Komisaris Timur berencana untuk mendaratkan helikopter tersebut ke lapangan basket. Sejauh ini, progress mereka berjalan lancar dan cepat, tidak hingga beberapa saat kami mengira tahap pertama telah selesai, sesuatu yang buruk terjadi.
Helikopter tersebut seperti tiba-tiba saja seperti kehilangan keseimbangan, menjadi tidak terkendali, lalu dengan gerakan yang tiba-tiba menukik tajam ke tanah. Beberapa orang yang ada di sekitar lapangan basket lari kalang-kabut untuk menghindari helikopter yang akan jatuh. Sialnya, Willi terlambat merespon dan ketika helikopter tersebut jatuh, ia sangat-sangat dekat dengan lokasi jatuhnya helikopter tersebut.
"Willi!!" teriak kami memanggil-manggil Willi.
Ia sedang tertelungkup di tanah tidak bergerak. Kami belum berani mendekati helikopter tersebut. Asap pekat muncul dari helikopter tersebut, membumbung tinggi ke udara. Sekilas terdengar rintihan suara minta tolong. Kami yang masih ada di dekat lokasi jatuhnya pesawat langsung menuju ke sumber suara tadi.
Kami menghampiri Willi yang melambaikan tangannya ke arah kami.
"Tolong!" teriaknya parau. Sesuatu yang benar-benar menyulitkannya. Kaki kanannya terjepit salah satu baling-baling helikopter.
"Sepertinya ... patah.... Arrg—tidak bisa digerakkan!" racaunya sembari meringis menahan sakit. Sementara itu, dari helikopter keluar dua orang dari pihak kepolisian juga sedang membantu mengevakuasi penumpang di helikopter yang terjatuh.
"Ada yang terluka?" teriak pilot helikopter sembari melongok ke dalam helikopter.
"Di sini!" teriakku dan Septian di sisi satunya.
"Dorong baling-baling ini!" perintah pilot tersebut. Kami bertiga pun mencoba mendorong baling-baling helikopter yang sempat menjepit kaki Willi. Willi meronta menahan rasa sakit yang menyiksa kakinya. Setelah selesai berurusan dengan baling-baling, Aku dan Septian menggendong Willi dan membawanya ke dalam Aula. Beberapa orang yang lalu-lalang tidak jelas di dalam langsung ikut membantu kami untuk membaringkan Willi. Tiga orang penumpang helikopter lainnya juga ikut membantu.
"Bagaimana dengan komunikasi?" tanya salah seorang polisi yang tadi menumpang helikopter.
"Mati. Bahkan HT juga ...," ujar yang lain.
"Seluruh saluran komunikasi terputus sejak kemarin malam, ada kemungkinan kalau mereka menggunakan signal jamming untuk mengacaukan komunikasi kita ...," terang Pak Thomas. Ketiga polisi tersebut mengangguk-angguk.
"Well ... Saya Bripka. Lestussen dan ini kedua bawahan saya. Sekarang ... ada megaphone?"
*****
Romao Lestussen, Orang Maluku asli yang terlihat dari logatnya yang samar-samar tercampur sedikit dengan logat Jawa karena tempatnya bertugas. Ia sudah di Jawa selama dua belas tahun. Ia tidak seperti polisi-polisi lain yang terlihat 'tambun', Bripka. Lestussen bertubuh tinggi tegap dan berkulit gelap dengan rambut cepak seperti potongan polisi pada umumnya. Kini ia sedang mendengarkan keterangan Pak Thomas dan Pak Lian mengenai kejadian tadi malam.
Bripka Lestussen tampak tenang-tenang saja mendengarkan, sementara kedua bawahannya terlihat terkejut dengan penuturan Pak Thomas dan Pak Lian mengenai rentetan kejadian tadi malam. Bripka Lestussen telah bosan dengan orang terbunuh, semenjak konflik di daerah Maluku dan sekitarnya tidak kunjung berhenti. Di mana pun itu. Gereja, Masjid, Sekolah bahkan halte bis. Masa kecil beliau di Poso sudah mengenal hal-hal semacam pembunuhan dan penjagalan tepat di depan rumah. Beliau masih ingat bagaimana ketika ia yang kala itu masih bertugas di sana melihat seisi gereja tewas mengenaskan karena sebuah bom meledak di dalamnya. Baginya, di Poso, kau akan jauh lebih aman di dalam rumah daripada beribadah di Gereja atau Masjid!
Lestussen sangat berambisi untuk menjadi seorang polisi seperti mendiang ayahnya. Sekarang, ia telah berpangkat Bripka. Setiap hari ia selalu mendapatkan cibiran dan keluhan dari masyarakat, atas kinerja polisi yang tidak mencerminkan sebuah institusi lembaga pembela keadilan yang seharusnya. Masih banyak korupsi dalam sistem lembaga, polisi hanya sebagai alat kepentingan para manusia ber'uang', sedangkan setiap detiknya, tiga kejahatan terjadi di sekitar mereka. Kini dirinya melihat realita yang ada. Hanya dalam waktu kurang dari dua belas jam, empat ratus anak penerus bangsa tewas ketika orang-orang masih tidur nyenyak.
Sahut-menyahut suara di megaphone terdengar antara Komisaris Timur dengan Bripka Lestussen yang melaporkan situasi yang terjadi—yang kemudian—dilanjutkan oleh penjelasan dari Pak Lian mengenai peristiwa yang terjadi tadi malam. Secara teknis, kami hampir tidak terlibat dalam urusan ini sekarang. Pak Lian dan Pak Thomas telah berkoordinasi dengan pihak polisi di luar pagar. Tinggal menunggu waktu sampai datangnya keajaiban lainnya. Beberapa anak tampak duduk-duduk di taman untuk melepas kebosanan karena sedari tadi malam, mereka cuma berada di aula.
Aku sendiri kini berada di lapangan belakang. Terlihat panggung konser yang tinggal puing-puing dan kedua gerbang konektor juga jebol. Orang-orang sepakat untuk meletakkan mayat-mayat, baik korban atau para pembantai di lapangan, untuk menghindari terjadinya kontaminasi lingkungan akibat proses pembusukan mayat. Selain untuk menghormati dan agar tidak menimbulkan kepanikan tentunya. Bercak-bercak darah masih tersebar di antara rumput yang kering menguning. Aku hanya menatap reruntuhan panggung. Seketika bayangan akan Samantha tadi malam masih terngiang jelas.
Aku kini menatap satu per satu jenazah siswa yang tertata rapi di sebelah utara lapangan. Momon dan Lia dibaringkan bersebelahan dan sepertinya mereka berteman hingga mati. Rayan si Ketua Panitia yang juga tidak terselamatkan kemarin terbaring tidak jauh dari tempatku berdiri. Adapun jenazah terakhir adalah si Ketua OSIS, Royce yang tewas karena bentrokan tengah malam kemarin. Aku melihat dia adalah orang yang paling berani dan maju di garis depan waktu itu. Dari sekian tubuh yang tergeletak di depanku, aku tidak menemukan mayat Samantha.
Melihat pemandangan yang menyedihkan itu, mataku tiba-tiba saja memanas. Tidak ada pemandangan menyedihkan lain yang menyulut air mata selain pemandangan mayat teman-teman yang mati sia-sia malam itu. Jeritan mereka masih terekam dan terdengar. Aku memilih untuk meninggalkan tempat menyedihkan itu, kembali menunggu usaha dari kepolisian, hingga mereka berhasil menemukan cara untuk mengeluarkan kami dari sini. Aku hanya berharap tidak ada mayat lagi setelah ini.
Aku berusaha mengalihkan pikiranku dengan satu hal yang membuatku penasaran. Apakah helikopter yang jatuh itu hanya suatu kebetulan atau tidak? Memang sih, kebiasaan Indonesia dengan kecelakaan karena kesalahan dalam pemeliharaan dan perawatan bagian-bagian kendaraan. Suatu hal konyol, bila kecelakaan yang hampir melayangkan nyawa Willi dan tiga orang polisi itu diakibatkan oleh failure maintenance (kesalahan pemeliharaan). Aku berusaha mencari-cari beberapa keterangan mengenai kejadian ini, hingga aku menemukan fakta yang cukup membuat aku dapat menyimpulkan : Ini bukan kecelakaan.
"Kedua polisi itu sempat berdebat soal kontrol helikopter yang tiba-tiba mati sendiri ...," bisik Runda.
"Kau serius?" Aku mengernyit seraya memandang Runda tajam. Runda mengangguk.
"Mereka juga bilang kalau sebelum jatuh ... tiba-tiba seluruh kontrol di helikopter mati ...," tambah Septian.
"Aneh, apakah ada kemungkinan sabotase?"
Runda menggeleng. "Ada seseorang yang membuat helikopter ini jatuh ketika melalui daerah sekolah ...,"
"Seperti ... EMP?"
"Kemungkinan besar. Kau dengar curhatan mereka tentang controller helikopter tiba-tiba mati?"
Aku mengangguk.
"Tidak salah lagi, ada suatu medan elektromagnetik yang cukup kuat untuk menggagalkan sebuah helikopter landing ...," simpul Runda.
"Namun, kemungkinan besar jika ada yang menembakkan EMP semacam itu, seluruh alat elektronik di sini juga tidak akan berfungsi!? Buktinya, ponsel kita sekarang masih hidup-hidup saja?" sanggah Septian.
"Mungkin Rimba benar, seseorang melakukan sabotase terhadap helikopter tadi dan membuat seolah-olah itu kecelakaan?" kata Runda sedikit ragu.
"Kalau begitu, yang kutakutkan, ini bukan hanya sekadar serangan teroris biasa. Jika sampai ada lubang di tubuh kepolisian sehingga dapat menimbulkan sabotase seperti ini ...," ujarku berusaha menyimpulkan sebelum Runda kembali memotong pembicaraan.
"Aku mencium bau-bau konspirasi di sini ...,"
"Run ... Run! Pikiranmu enggak jauh-jauh dari konspirasi!" timpal Septian seraya mendorong kepala Runda.
Runda yang marah pun mengejar-ngejar Septian. Kedua orang itu masih sempat-sempatnya bercanda di tengah ketegangan yang menyelimuti.
"Pada tahap ini ... mungkin teroris ...," bisik Guntur.
"Tidak mungkin ada konspirasi terselubung seperti ini di tubuh kepolisian ... yah.. seburuk-buruknya sistem yang sekarang ...."
"Aku juga berharap begitu, Gun ...," balasku.
Sirine meraung-raung, keriuhan di luar terdengar semakin ramai. Semakin banyak orang yang akan berhenti untuk melihat ketegangan ini. Komisaris Timur telah memerintahkan untuk menutup jalur sepanjang jalan ini. Lalu lintas dialihkan dan pihak kepolisian telah menetapkan zona berbahaya sejauh lima ratus meter dengan pusatnya adalah sekolah kami.
Beberapa anak yang penasaran dengan keriuhan di depan ikut keluar. Perlahan ketegangan mereka reda ketika mendengar sirine polisi. Paling tidak, mereka telah mengetahui bahwa di dekat mereka ada sesuatu yang menjamin mereka aman. Paling tidak karena kami masih terbelenggu dengan ID-belt yang terpasang di tangan kami.
"Rimba, aku punya ide!" celetuk Septian yang masih terengah-engah setelah dikejar Runda.
"Apa?" Aku dan Guntur menoleh ke arah Septian bersamaan.
"Bagaimana kalau sebentar lagi, kita keliling mencari sesuatu yang mencurigakan di sekolah ini?" usulnya.
"Septian, terakhir kali kau mencoba merencanakan berkeliling, kau membuatku dan Rusya menjadi seorang pembunuh dadakan!?" protesku.
"Tetapi kemarin bukankah mereka bilang sendiri, kalau kita dapat berkeliling mencari jalan keluar dari sini, bukan?" Septian tetap bersikukuh.
Aku sendiri juga meragukan idealisku untuk tetap menolak bergabung. Penerima Tamu Sialan kemarin telah memeringatkan, bahwa hanya ada dua hal yang dapat dilakukan di sini. Duduk diam menunggu nasib, atau bergerak mencari sesuatu yang mencurigakan. Kalau ia berkata begitu, artinya mereka sengaja meninggalkan petunjuk untuk kita pecahkan. Ini seperti bermain game petualangan mencari pedang sakti.
"Sepertinya benar, terutama si Penerima Tamu Sialan itu ...," gumamku.
"Apalagi yang kita tunggu, ay—"
Kata-kata Septian terhenti bersamaan dengan seseorang yang tiba-tiba rubuh. Itu Pak Yitno. Sesaat sebelumnya beliau masih berdiri bersama beberapa orang yang lain. Lalu-tiba-tiba dua orang siswa yang sedang asyik berbincang di taman juga tiba-tiba rubuh, lalu tergeletak tidak bergerak. Hal itu terjadi kepada beberapa orang lainnya. Satu orang anak buah Bripka Lestussen, dua orang anak yang berjalan di dekat bangkai helikopter, terkapar.
Apalagi sekarang?
Kami stak bisa melihat apa yang terjadi, tetapi suara kepanikan juga mulai terdengar dari luar. Sebuah tembakan terdengar di susul dengan tembakan-tembakan lainnya. Suara Komisaris Timur tampak sedikit bingung dan beberapa personel polisi mulai berteriak-teriak panik. Berikutnya, Marrisa menjerit dan kami segera menengok ketika Pak Victor tiba-tiba berdiri terdiam, kemudian terjatuh dan terkapar di tanah. Dari kepalanya mengucur darah.
Tiba-tiba saja seseorang terjatuh dari lantai 2 gedung induk dan terjun bebas ke tanah, tepat di depan kami yang sedang duduk-duduk di depan auditorium.
Sekilas aku melihat berkas cahaya dari kejauhan. Detik itu, aku langsung bertindak.
"Merunduk!!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top