CHAPTER 8

2026

Aku terbangun. Gelap. Tidak, remang-remang. Suara kecipak seperti tetesan air mulai menggelitik gendang telingaku. Terdengar ada suara orang berkasak-kusuk, bernada panik, tergesa-gesa, gemelenting metal beradu, dan gemeresek seperti suara radio panggil. Sekali lagi, aku mengerjapkan mataku, mengumpulkan kesadaran yang tercerai-berai. Sebuah ingatan dari masa lalu—lebih tepatnya lima tahun lalu—sontak membuat kepalaku sedikit berat.

"Dua hal," seseorang terdengar mengajak berbicara di sebelahku, "dia tidak membedil kepalamu dan dia membedil ke arah rompi anti peluru-mu. Meski begitu, kau shock karena mendapat tembakan dari jarak sedekat itu."

Seseorang memang sedang berbicara padaku.

Suaranya seperti Septian. Memang benar Septian.

Aku mengerang sembari memegangi kepalaku yang terasa sedikit pening.

"Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan yang lain? Aku seperti baru saja melewatkan banyak hal ...," ucapku lirih.

"Kau ditemukan tergeletak di selasar Istana Presiden ketika penyerangan terjadi," tutur Septian. Sedetik berselang, aku mengingat pecahan ingatan yang sempat terputus. Charles, Vido, Rusya. Tiga orang tersebut berada dalam satu pusaran yang membuatku bingung, hingga akhirnya satu adegan terputar kembali.

"Charles ... dia menembakku," desisku.

"Kita tahu kalau Charles adalah bangsat nomor satu yang harus kita waspadai. Namun, aku benar-benar tidak menyangka kalau Rusya terlibat hal ini. Demi Tuhan, waraskan diri dan pikiran kamu, Rimba! Sampai berapa lama kau akan terus-terusan menganggap bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi!" Septian langsung berang.

"Sumpah, aku juga benar-benar tidak menyangka, Septian. Tolong, dengarkan aku, mungkin ada alasan Rusya melakukan—"

"Tidak ada alasan lain, kecuali dia telah menyeleweng dan berkhianat Rimba! Seharusnya perempuan itu sudah kubunuh dari dulu! Rusya tidak bisa dipercaya, Rimba! Segala omong kosongnya, segala ceritanya!" berang Septian seraya membanting sebuah rokok yang ia nyalakan.

"Siapa saja yang tahu?" tanyaku.

"Kelompok ke-tiga puluh sembilan mendapati dia bersama Charles Marute, bergabung dengan beberapa orang anarkis berpakaian teroris yang menyerbu gedung istana," ujar Septian.

"Di mana yang lain?" tanyaku.

"Mereka sedang mempersiapkan langkah selanjutnya. Sial!" Septian mengumpat untuk kesekian kalinya.

"Bagaimana dengan Vido?" Aku mengejar Septian dengan pertanyaan. Septian menggeleng.

"Ponselnya menghilang. Ada kemungkinan diambil oleh mereka. Situasi di ibu kota sedang kacau balau. Beberapa gangster dan teroris berpakaian seperti Para Pembantai mulai menyerbu kota, menembaki beberapa orang, dan meledakkan beberapa mobil. Istana negara diserang habis-habisan, dari luar dan dalam! Mereka telah menyiapkan rencana ini ... dengan sangat baik," kata Septian bercerita.

"Mereka ... Anak Kuasa?" tanyaku.

"Jangan tanya aku, siapa mereka? Kemungkinan besar begitu," jelas Septian.

"Ayoh! Kita harus ada tugas yang harus dikerjakan!"

Aku segera bangkit dari tidurku. Aku kini berada di sebuah terowongan bawah tanah yang cukup gelap. Ada banyak orang berlalu-lalang di tempat ini. Mirip seperti markas bawah tanah sementara. Beberapa prajurit Pasukan Gabungan Civitas Academica terlihat sangat sibuk hari ini.

Aku berjalan mengikuti Septian, menghampiri beberapa orang yang sedang mengitari sebuah barisan drum sembari membicarakan sesuatu. Dengan penerangan yang seadanya, aku mengenali mereka sebagai Arjuna, Rahmat, Chandra, dan Hafizh. Ada kumpul-kumpul serius di sini.

"Rimba!" Arjuna memanggilku dan mengodeku dengan tangan agar aku mendekat.

Mengenai apa yang telah terjadi, beberapa kelompok orang tidak dikenal, secara simultan menyerang beberapa titik di kawasan ibu kota.

"Istana negara, markas komando paspampres, Kementerian Pertahanan, Ancol, gedung DPR, museum Bank Indonesia, Monumen Nasional, kantor walikota Jakarta, Stasiun kereta api Gambir, Stasiun kereta api Pasar Senen, dan terminal utama Bandara Soekarno-Hatta," ujar Arjuna menyebutkan beberapa nama tempat.

"Jadi ... mereka menyerang tempat-tempat itu? Sompret! Dari mana mereka datangnya?" tanya Septian.

"Intel dari UFCA menyebutkan ada tiga titik gelombang kedatangan besar, dua puluh menit setelah penyerangan. Satu dari arah pelabuhan Priok, dan dua lagi dari kawasan Waduk Pluit. Selain itu, ada bom yang meledak di Mabes Polri, Kedubes Jerman, Kedubes Inggris, Kedubes Jepang, Hotel Grand Indonesia, beberapa titik di gedung Universitas Negeri Jakarta dan RS Cipto," lanjut Arjuna.

"Kalau ini adalah serangan yang ditujukan kepada kita, posisi kita terkurung. Mereka sengaja menyerang kita, mengurung kita. Mereka tahu kita ada di sini—"

"Tunggu! Tunggu! Siapa yang dimaksud dengan mereka!?" sahut Hafizh.

"Musuh, Hafizh! Musuh! Ingat kejadian penyerangan sewaktu kita masih di Alas Roban? Inilah mereka!" geram Arjuna.

"Kalau serangan secara sporadis di ibu kota seperti ini, secara simultan, bergerak cepat seperti virus yang menyerang titik-titik lemah, dengan korban yang lumayan besar, jumlah pelaku yang cukup banyak, Indonesia sudah masuk tanggap darurat perang ...," komentar Rahmat.

"Berapa orang yang terlihat mulai menggila di ibu kota?" tanya Septian.

"Makin banyak. Mereka seperti keluar dari gang-gang sempit ibu kota. Serangan mereka tidak membabi buta seperti teroris mental-tempe sebelum-sebelumnya. Alur ini ... sangat mirip dengan apa yang terjadi lima tahun lalu. Menyelundupkan orang ke Jakarta, lalu menggila dengan waktu yang telah ditentukan," sahutku mencoba berkomentar.

"Aku tahu siapa bangsat nomor satunya. Charles Marute. Aku yakin dia adalah bos mereka," lanjutku.

"Sepertinya intel benar dalam menduga, siapa musuh di balik selimut. Juga Rusya ...," komentar Arjuna langsung membuat semua yang ada di pertemuan itu melirik ke arahku. Sial, kenapa aku jadi ditekan begini?

"Status sekarang?" tanyaku, berusaha mengalihkan ketegangan yang ditujukan ke arahku.

"Baiklah ... Ponsel Vido dicuri sekarang. Aku yakin, Charles Marute yang mencurinya. Aku yakin tujuannya adalah ... untuk kekuasaan yang tiada batas. Kita tahu, kalau benda itu sampai jatuh ke tangan seorang megalomaniak mengerikan, negara ini bisa pecah seperti telur retak ...," ungkap Arjuna.

"Lalu ... kemana selanjutnya kita akan bergerak?" tanyaku.

"Kembali ke safehouse. Aku yakin di sana pasti panik bukan main. Kita tidak boleh membuang-buang waktu. Tiara, Marrisa, dan Willi berada dalam bahaya pastinya ...," kata Arjuna mantap. Kami semua mengangguk dan mulai menyiapkan perlengkapan kami masing-masing.

Tujuh orang yang ada di sini. Aku, Septian, Arjuna, Rahmat, Hafizh, Chandra dan Ammar, akan langsung menuju safehouse. Kuharap Charles dan antek-anteknya belum sampai ke sana. Akan lebih merepotkan jika terjadi pertempuran ketika kami datang.

Kami kembali ke permukaan dan situasi sedang ricuh. Aku baru sadar kalau kita tadi sedang berada di bawah tanah Istana Negara. Kondisi Istana Negara hampir serupa seperti lima tahun lalu. Mayat-mayat bergelimpangan. Asap mengepul di mana-mana. Suara tembakan dan ledakan terdengar dari berbagai ujung. Jakarta makin panas daripada biasanya. Situasi di Istana Negara berhasil diamankan oleh pasukan gabungan Densus Anti Teror dengan Pasukan Khusus UFCA.

Namun, sialnya, para perusuh itu selalu melakukan koordinasi yang lebih baik. Densus dan Pasukan UFCA mendapat perlawanan yang cukup melelahkan dari mereka. Ada kemungkinan, seluruh sinyal radio telah dibajak oleh Charles dan antek-anteknya, sehingga mengacaukan strategi kami. Juga, bagaimana mereka dapat semua suplai senjata seperti itu?

Kami membonceng dua truk milik Brigade Mobil Metro Jaya yang sedang mengarah ke safehouse kami. Ada laporan kalau daerah di sekitar safehouse—tepatnya di kawasan Pondok Gede—terjadi baku tembak antara penembak misterius dengan beberapa polisi yang sedang berpatroli.

Sulit juga untuk tidak berkomunikasi dengan radio, yang sayangnya, kemungkinan besar anak buah Charles telah menyadap hampir seluruh siaran radio yang berlalu-lalang di sekitar Jakarta. Mudah bagi Charles untuk menyadapnya, dengan bantuan ponsel pintar Vido. Situasi bisa dikatakan sebuah kepanikan yang tiba-tiba harus muncul di berbagai tempat vital di ibu kota. Sebuah metropolis dengan penduduk yang berjubel. Kalau Jakarta sampai lumpuh total, Indonesia akan mengalami masalah serius.

"Kacau ... orang-orang panik berlarian kesana kemari ... mobil terbakar, gedung terbakar, pemadam kebakaran ikut terbakar ...," komentar salah satu anggota Brimob yang satu kendaraan dengan kami.

"Bagaimana status terakhir?" tanya Arjuna.

"Bah, mereka datang seperti tikus yang muncul dari balik gorong-gorong. Mereka seperti tidak ada habisnya dan orang-orang keburu panik. Kami lengah untuk yang kedua kalinya dan ini adalah yang kedua terburuk setelah kerusuhan 2021," tukas anggota Brimob tersebut.

"Komandan, baru dapat laporan lagi, ada bom meledak di Kelapa Gading!" sahut sopir truk.

"Sial! Berapa bom lagi yang akan meleduk saat Jakarta lagi panas-panasnya!" geram si Komandan yang ada di samping pengemudi.

"Mereka bergerak cepat ... Kalau begini terus, dalam sehari, Jakarta bisa jatuh," gumam Septian.

"Eh ... kau benar. Semoga kita dapat bantuan. Entah dari Tangerang atau Bekasi ...," komentar anggota Brimob yang kami ajak bicara.

"Komandan, sebaiknya kaumatikan radiomu. Musuh ada kemungkinan sudah menyadap seluruh sistem komunikasi yang ada di daerah Jakarta. Koordinasi kalian bisa ketahuan dengan mudah!" usul Arjuna.

"Apa! Sial? Apa kami juga harus komunikasi pakai kentongan!?" geram si Komandan.

"Hoe, kita hampir sampai! Siapkan senjata kalian, kemungkinan besar area di depan panas dengan baku tembak!"

Baru saja kami turun dari truk, berondongan tembakan langusng menghujani kami. Kami berdlindung di balik truk dan mencari posisi untuk menembak. Aku melirik sekilas untuk melihat musuh kami. Mereka terlihat sama seperti orang-orang yang menyerang Desa Pelarian di Alas Roban. Mereka adalah orang-orang barbar dan bandit yang direkrut Charles untuk memburu kami.

Aku mengangkat senjata AK-47 yang tergeletak di aspal. Menembakkan barang satu dua peluru ke arah bandit yang menembakiku dan ia terjatuh. Situasi benar-benar panas. Arjuna melepas anak panahnya dan mengenai satu orang bandit. Kami hanya berjarak lima ratus meter dari mansion milik Marrisa.

"Kita berpencar! Rimba, Septian, Chandra, pergi ke sisi sebelah Timur! Aku dan yang lainnya akan mencoba mengapit mereka dari sisi satunya!" teriak Arjuna mengomando. Aku, Septian dan Chandra pergi ke sisi Timur, memutar ke arah jalan kecil sebelum menuju ke arah safehouse. Keadaan di sana sepi sekali. Apakah orang-orang di daerah sini mengungsi?

Ternyata tidak, kami disergap oleh bandit yang tengah menunggu kami dari balik tembok rumah. Septian diterkam dua orang berbadan cukup gemuk bertopeng. Septian mengelak dengan menebakkan pistol yang ia genggam ke arah salah satu penyerangnya. Aku dan Chandra menembak masing-masing satu orang yang menyerang ke arah kami, tapi kami dikagetkan dengan beberapa orang yang terjun dari atap rumah. Kami berdua berhasil menghindar, tetapi belum cukup siap untuk pertempuran jarak dekat.

Aku merampas sebuah golok dari si penyerang yang tergeletak tidak bernyawa dan menyabetkan ke punggung orang yang menyerang Septian. Septian langsung menendang bagian abdomen daari orang tersebut dan membantingnya ke samping. Kuberikan golok kepada Chandra, yang langsung ia lempar ke arah kepala bandit yang menghadangnya.

Dengan cepat aku mencabut pistol yang ada di samping pinggangku dan membidik bandit penyerang yang tersisa. Adalah hal yang kampret, ketka para bandit itu terus berdatangan, hingga kami akhirnya harus menyerah dalam kepungan para bandit yang sudah menodongkan senapan ke arah kami.

"Oh, sial! Kalian main curang! Bisanya main keroyokan!" gerutu Septian yang langsung digelandang oleh dua orang bertubuh kekar dengan senjata tertodong di belanang punggungnya.

Aku dan Chandra juga mendapat perlakuan yang sama. Baru kali ini kami jadi tawanan. Rasanya memuakkan bila boleh kugambarkan. Semua orang muak jika harus tertangkap, begitu juga dengan kami. Kami dibawa ke arah belakang mansion milik Marrisa. Aku terkejut ketika sudah mendapati berbagai gerombolan, menanti kami. Di sana juga sudah ada Charles, Rusya, seseorang yang kukenal sebagai Akena Marcella dan seorang bule.

Sementara itu, aku melihat Marrisa sekeluarga dan Tiara sudah berlutut di atas tanah, dengan senjata ditodongkan ke arah kepala mereka. Tiara, Marrisa, Willi, dan anak mereka. Anak perempuan Marrisa menangis sesenggukan karena ketakutan. Willi berusaha meronta, tetapi dipegangi oleh seorang bandit. Kami benar-benar mengharapkan keajaiban kali ini.

"Well ... well, coba lihat. Ada tiga orang penyusup yang berusaha menggagalkan usahaku. Namun, sayang sekali. Kalian terlambat ...," ujar Charles dengan sengit.

"Kalian semua berengsek! Apa mau kalian!" bentak Septian yang masih berusaha meronta dari cengkraman kedua bandit.

"Tentu saja mendapatkan kunci untuk ini, kawan. Bagaimanapun juga, aku lebih tertarik kepada isi dari file yang ada di ponsel ini. Ah ... ponsel ini canggih juga, bisa merekam semua informasi yang masuk dari radio komunikasi kalian ...," komentar Charles dengan sombongnya. Kini ia bergerak mendekat ke arah Marrisa, seraya mendekati wajahnya.

"Kau yang tahu salah satu kunci ini. Beri tahu, berapa kodenya?," tanya Charles.

"Tidak ... tidak! Aku tidak akan memberi tahu kode apa pun! Aku tidak tahu!" teriak Marrisa setengah menangis.

"Ah ... jangan begitu. Kau tidak mau salah satu dari mereka mati, bukan?" Charles memandang ke arah Willi dan anak perempuan Marrisa.

"Marrisa, jangan pernah beritahu kodenya!" sergah Tiara yang sudah terduduk dengan tangan terikat.

"Tutup mulutmu, jalang!" Akena berseru memperingatkan.

"Kau yang jalang, bangsat!" balas Tiara.

"Oh ... kamu merasa jagoan? Kalau begitu rasakan ini!" Akena langsung menendang kepala Tiara. Tiara terkapar ke tanah dengan darah mengucur dari hidungnya.

"Tiara!" seruku. Dua orang bandit yang mengawalku langsung mengekang tubuhku dengan erat.

"Oh ... tolong, jangan berisik. Kami sedang melakukan negosiasi!" gerutu Charles.

"Sekarang, katakan. Apa kodenya? Kalau kau tidak mengatakannya, suamimu yang akan mati pertama."

Marrisa terisak, sementara anaknya terus menangis sembari memanggil-manggil ibunya. Pemandangan menyesakkan kulihat di tempat ini. Selain itu, Arjuna dan yang lainnya masih belum bisa sampai kemari. Setidaknya, tidak ada yang menyelamatkan kami untuk saat ini.

"Marrisa! Demi Tuhan, jangan biarkan mereka mengambil apa yang mereka mau!" teriak Willi.

"Aku ... aku ... aku tidak tahu ...," rintih Marrisa.

Dor!

Tanpa terduga, Charles menodongkan pistol dan menembak kepala Willi. Lelaki itu terjatuh dan tergeletak tidak bernyawa di tanah. Kepalanya mengeluarkan banyak darah segar. Anak perempuan Marrisa menjerit dan menghampiri ayahnya yang tergeletak.

"Hoi! Hentikan, berengsek!" bentak Septian, tetapi ia seperti dihiraukan sama sekali oleh Charles.

"Kodenya?" tanya Charles cepat, seraya menodongkan pistol ke arah anak perempuan Marrisa.

"Keparat!" Tiara berteriak sekencang mungkin, yang kemudian ia ditinju oleh Akena di ulu hati.

"Tolong! Tolong ... jangan bunuh anakku! Anya ... Anya ... tolong ...," Marrisa yang semakin panik, bersimpuh di hadapan Rusya yang hanya terdiam datar menatap Marrisa. Ia terus memohon kepada Rusya yang tidak menanggapinya.

"Oke ... jangan buang waktu. Kita harus selesaikan sekarang. Oke, berapa kodenya?" tanya Charles dengan nada yang sama sekali menyebalkan.

"B-baik. Tiga ... Satu ... Enam ... Delapan ...," ucap Marrisa gemetar. Charles menekan layar ponsel dan ia terlihat tersenyum sembari memandangi layar ponsel tersebut.

Dor!

"Terima kasih telah bekerja sama dengan kami," kata Charles sembari menembakkan pistolnya ke arah anak perempuan Marrisa.

"Tidak! Tidaak!" Marrisa berteriak seraya menghambur dan memeluk anaknya yang tergeletak di samping ayahnya.

"Bangsat! Setan!" Tiara yang berontak memukul rahang Akena. Akena yang tersinggung langsung mencabut sebuah pisau bayonet di kantungnya dan berulangkali menusuk Tiara sebanyak satu ... dua ... dua puluh tiga kali tusukan. Tiara langsung terjatuh tertelungkup dengan tubuh yang berdebam ke tanah. Tidak sampai disitu, Akena merampas senapan dari salah satu bandit dan memberondong tubuh Tiara dengan tembakan. Bertubi-tubi hingga Tiara tidak lagi bergerak.

"Akena, hentikan ...," ujar bule yang ada di dekat Akena.

"Maaf, tapi aku terbawa suasana," sahut Akena. Marrisa yang sudah gelap mata langsung menerjang Rusya yang ada di belakangnya dan berusaha mencekik Rusya.

"Bohong! Kaubohong! Kaubohong! Anya! Kenapa? Kenapa!"

Dor!

Kepala Marrisa ditembak oleh Charles. Marisa terdiam dan kemudian merosot dan mati terduduk di hadapan Rusya. Rusya mengatur napasnya.

"Anjing! Anjing! Anjing kalian semua!" teriak Septian hingga mukanya kemerahan. Aku hanya menundukkan kepala. Dalam diriku, sudah mengalir ribuan makian, umpatan, dan kata-kata kasar untuk keluar, meledak dari mulutku. Chandra terlihat memalingkan muka dan memejamkan mata.

Sejurus kemudian, suara tembakan beruntun terdengar dari belakang kami. Dari belakang terdengar teriakan komando dari seorang Arjuna. Sementara itu, mengetahui kalau posisi mereka terdesak, Charles dan anak buahnya bergegas untuk meninggalkan tempat.

"Ayo, urusan kita sudah selesai di sini. Kita ke tempat berikutnya ...," ujar Charles. Mereka pun berlalu sembari melepaskan kami bertiga.

"Hei! Urusan kalian dengan kami masih belum selesai!" teriakku. Charles sempat berpaling ke arahku.

"Oh, silakan saja kalau kalian bisa ...." Charles pun berlalu.

*****

Kebrutalan. Kami kalah telak, bahkan di awal permainan.

Aku menyaksikan berbagai hal yang berujung pada kematian hari itu. Vido yang mati dan ponsel saktinya dicuri oleh Charles. Tiara mati dicincang oleh Akena. Aku merasakan kepedihan mendalam atas kematian Willi dan juga anaknya, serta Marrisa. Mereka tidak terlibat dengan semua ini, tetapi mereka akhirnya membayarnya dengan harga yang mahal. Nyawa. Ah ... sekarang, berapakah harga nyawa manusia? Kenapa dengan mudahnya setiap orang yang tertembak di Jakarta hari itu, seolah-olah menjadi ajang obral harga nyawa.

Seluruh safehouse dihabisi, yang itu berarti, setengah dari penduduk Kamp Pelarian Alas Roban, yang ikut dalam misi bersama kami, semuanya ditumpas dengan mudah oleh Charles. Kami salah perhitungan. Kami tidak memperhitungkan kemungkinan, bahwa Charles dan Rusya adalah pengkhianat di antara kami. Tetapi, kenapa dengan Rusya? Apa yang menyebabkan dia menjadi berubah haluan, bekerja sama dengan Anak Kuasa? Apa dia sudah gila?

Aku, Septian, dan Chandra menata mayat-mayat orang yang kami kenal agar tidak begeletakkan. Kami mengutus beberapa petugas, untuk mengurus mayat dari Tiara dan keluarga Marrisa untuk diperlakukan dengan layak.

"Semua ..., aku baru dapat sebuah pesan suara yang tidak dikenal. Coba dengarkan ...," Arjuna menghampiri aku, Septian dan Chandra yang sedang berkumpul. Ia kemudian menyerahkan ponselnya kepadaku dan mengeraskan speaker ponselnya. Alangkah terkejutnya kami dengan suara yang ada di dalam pesan itu.

"Hei, kalau kalian menerima ini, itu berarti aku mungkin sudah mati dan ponselku direbut oleh seseorang. Pesan ini akan terkirim otomatis, jika ada orang yang membobol ponselku. Dengarkan. Kalian mungkin sudah dipecundangi duluan oleh para Anak Kuasa itu. Tapi bukan berarti kalian kalah telak. Pertama, aku telah menyalakan sistem keamanan di ponsel milikku, sehingga ia tidak akan dapat mengakses langsung dari satelit. Praktis, ia akan bergantung dengan jaringan komuniasi ponsel apa pun. Kedua, aku menemukan sesuatu yang menarik ketika berusaha untuk mencari tahu mengenai pertempuran kuno ini. Aku meneliti kembali gambar yang kudapatkan lima tahun lalu ketika kita menemukan fakta Kesatria Masa dan Anak Kuasa lewat Rusya. Ada beberapa baris samar-samar berisikan beberapa kode berupa susunan angka dan huruf. Ada juga sebuah barisan angka dan tanda, yang kuketahui adalah koordinat. Setelah kucari ... hasilnya ... voila! Koordinat itu mengarah ke Arsip Nasional Republik Indonesia, dan susunan angka kode itu adalah sebuah tempat di bagian arsip multimedia, di mana sesuatu tersimpan. Kuharap ... kalian bisa menemukannya, sebelum ... cecurut itu memajukan jadwal dan merepotkan Panitia Hari Kiamat. Selamat berburu!"

Itu adalah suara Vido.

Kunci kami selanjutnya untuk bergerak, adalah menuju Arsip Nasional Republik Indonesia.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top