CHAPTER 4

Lima Tahun Lalu.

Beberapa hari setelah penggulingan kekuasaan.

2021, Kamp Pelarian Alas Roban.

Seseorang tiba-tiba saja membuka tirai yang menutupi ranjangku. Aku sendiri terkaget-kaget ketika aku didatangi oleh Arjuna, Septian dan Vido. Yang menyebalkannya lagi, ini tengah malam. Aku yang berusaha untuk mendapatkan tidur cukup karena masa pemulihanku, kini dirawat di sebuah kabin yang berfungsi sebagai balai kesehatan. Mirip seperti rumah sakit darurat.

"Demi Tuhan! Perihal apa yang membuat kalian bertiga menggerebekku malam-malam begini!" umpatku.

"Kau sudah siap untuk beraktivitas malam hari ini?" tanya Arjuna.

"Huh? Apa kau sudah gila? Sepekan aku di sini, dengan luka yang hampir membuatku sekarat. Dan sekarang kauingin aku untuk beraktivitas di malam hari! Apa? Jaga malam?" Aku mengomel kesal. Namun, sepertinya ketiga orang yang menemuiku bergeming saja, yang pada akhirnya memaksaku untuk bangun dari istirahat panjangku. Mereka bertiga mengambil kursi, mulai duduk di samping ranjangku.

"Kita ingin membicarakan satu hal penting. Ini mengenai Rusya," jelas Vido.

"Ha? Ada apa dengan dia?" tanyaku.

"Kenapa kaukenal Rusya?" Sekarang gantian Arjuna yang menanyaiku seperti seorang tersangka kasus pembunuhan. Ya Tuhan! Ini interogasi dan aku yang dicurigai akan suatu hal.

"Pertanyaanmu tidak konkrit," tukasku cepat dengan nada sebal.

"Well, kalau begitu. Ceritakan hubunganmu dengan Rusya." Arjuna meralat pertanyaannya. Sementara Septian dan Vido hanya duduk memerhatikan kami. Vido terlihat sibuk dengan ponselnya seperti biasa, sementara Septian hanya duduk sembari memerhatikanku dengan raut muka yang berbeda dari biasanya. Dia terlihat cemas.

Kenapa Septian sampai begitu cemasnya?

"Ah, aku akan bantu. Jangan kau ceritakan. Kau dan Rusya adalah sahabat—err ... pacar—dekat sejak kalian bertemu di SMA Harman Sastranegara kira-kira tiga tahun lalu. Kau kakak kelasnya. Rusya adalah anak kelas 2. Kalian menjalin hubungan yang begitu absurd dan tidak masuk akal. Kalian adalah outlyer sebuah kurva normal hubungan lawan jenis. Kalian hidup bahagia sampai pada suatu saat, sebuah peristiwa yang merenggut nyawa ayah Rusya, memaksa kalian berdua untuk berpisah. Ada pun juga, hubungan kalian bertambah dingin. Kalian bertemu lagi di universitas yang sama dan dia menjadi ...." Arjuna berusaha menceritakan secara ringkas, hingga pada akhirnya, aku memaksanya untuk berhenti bercerita.

"Stop. Itu benar. Semua itu benar. Lalu kenapa kalian menanyakan hal yang sudah kalian ketahui?" tukasku.

"Lalu ... apakah kau benar-benar mengetahui siapa sebenarnya Rusya Annastasya?" tanya Arjuna dengan menatap tajam mataku. Aku bergeming. Berusaha mengingat kembali hal-hal yang penting mengenai Rusya, tetapi pada akhirnya, aku hanya menemukan informasi sesuai yang diceritakan oleh Arjuna tadi. Aku menggelengkan kepala.

"Ada kemungkinan. Bisa jadi ini adalah asumsi aku dan Vido. Ada kemungkinan juga asumsi dari Septian, bahwa Rusya adalah orang yang patut kita curigai untuk sekarang ini," jelas Vido.

"Kenapa?" sergahku dengan menanyakan asumsi Vido.

"Kautahu sekarang kita bersama siapa? Kenapa semua orang mencari kita? Orang-orang pemerintahan Presiden Jaya?" tanya Arjuna. Aku kembali meminta mengheningkan diri untuk berpikir sampai aku menemukan satu jawaban.

"Karena Vido dan ponsel ajaibnya yang serba guna itu?" ujarku memastikan. Arjuna menaikkan bibir dan mengernyitkan dahi.

"Kurasa itu adalah faktor utama saat ini. Ada kemungkinan ... Rusya adalah Loyalis," duga Arjuna.

Aku bangkit untuk menggertak Arjuna yang melontarkan asumsi gila tersebut, tetapi lukaku memaksaku untuk berusaha tidak menimbulkan keributan lagi.

"Aku tahu, kau akan marah seperti ini. Tapi, pikirkanlah lagi. Rusya adalah seseorang yang cerdas. Lebih cerdas dari siapa pun. Chandra—teman kita—berkali-kali mencurigai Rusya adalah gadis yang memiliki kepentingan tersendiri dalam perebutan kekuasaan kali ini. Asumsi awal, dia adalah seorang agen ganda untuk Loyalis. Bahkan dengan status yang leluasa itu, ia dapat membunuh siapa pun yang berusaha menghalangi misinya. Bahkan jika ia harus membunuh rekan kerjanya sendiri," jelas Arjuna.

Aku terdiam seribu bahasa. Sejenak kepercayaanku kepada siapa pun mulai berkurang, seiiring dengan Arjuna menjelaskan situasi yang tengah terjadi. Bahkan kini, aku bisa saja mencurigai mereka atau Rusya, karena setiap orang memiliki kepentingan mereka masing-masing. Bisa saja kini, orang-orang yang tengah berkumpul ini terpecah secara diam-diam dan pelan-pelan.

"Jangan terlalu pundung begitu. Aku mendapatkan sebuah hal yang menarik bagi Rusya. Mungkin kau masih bisa bernapas lega, sebab kemungkinan data ini adalah data valid, sehingga Rusya bisa jadi bukan seorang agen ganda Loyalis ...," celetuk Vido.

"Apa yang kautemukan?" tanyaku tidak sabar.

"Mungkin aku terkenal dengan 'raja peretas' lima tahun lalu. Aku bisa mengetahui data-data apa pun berkat ponsel ajaib ini. Namun, ada beberapa hal yang tidak kuketahui. Seperti, aku tidak dapat mencari informasi lebih lanjut dari seorang Thomas Germain Purnama, yang menciptakan ponsel ini ...."

Aku menyela penjelasan Vido. "Marunda Jati. Dia adalah salah satu korban tewas SMA Harman Sastranagara. Thomas pernah bilang kepadaku, kalau anak bernama Marunda itu lah yang menciptakan prototype dari ponsel yang digunakan Thomas untuk mengurung seluruh orang di SMA itu."

"Ah, itu terdengar mustahil. Sebab sistem Shadow Anonymous yang digagas Thomas Germain, telah dirancang lebih dari sedasawarsa. Mungkin ... Marunda juga punya peran penting dalam pembentukan SA atau Sistem SA sudah dirancang, tetapi belum terintegrasi dalam satu pusat portable seperti ponsel ini," lanjut Vido.

"Tunggu," sergah Arjuna. "Ada kemungkinan ... orang yang memberimu ponsel itu adalah Thomas Germain. Bisa saja dia memalsukan kematiannya."

"Sayangnya pihak dari forensik dan kepolisian negara mengonfirmasi kalau itu Thomas Germain. Aku punya bukti lab dan catatan forensiknya. Mungkin ... itu adalah orang kepercayaan Thomas Germain. Bisa jadi, orang yang dekat dengan dia lah, yang menjadi perantara visi dan misi Thomas Germain dalam membentuk Shadow Anonymous ...." Vido tidak sependapat, menunjukkan bukti forensik dan catatan lab mengenai Thomas Germain.

"Tunggu ... katamu orang terdekatnya .... bisa jadi ... Rusya adalah tangan kanan Thomas? Namun, ... katamu kaudapat ponsel itu dari seorang pria tua. Bisa jadi itu adalah suruhan Rusya, kalau mereka bekerja dalam satu visi atau perkumpulan yang sama!" celetukku.

"Nah! Itulah yang ingin kita cari tahu! Aku berusaha mencari tentang dua orang itu, tetapi tidak ditemukan di data mana pun ... sampai aku menemukan satu hal misterius di sebuah situs cocoklogi penggila teori konspirasi beberapa hari lalu. Aku sampai tidak tidur untuk mencari-carinya. Di situ di katakan bahwa ada kaitan antara pembantaian SMA Harman Sastranagara dengan cocoklogi sebuah organisasi konspirasi semacam ... Iluminati atau Freemason ... atau semacamnya ...," ujar Vido yang langsung di sanggah oleh Arjuna.

"Vid, serius. Tidak bisakah kita berhenti berasumsi tentang konspirasi-konspirasi itu? Itu teori lama, anjay!"

"Tidak. Ini memang benar-benar ada. Memang pada awalnya aku mengira itu hanya sebuah situs cocoklogi. Namun, aku tertarik setelah melihat ada nama kedua orang itu—Thomas dan Rusya—di salah satu postingan berformat JPEG secara samar-samar. Ada beberapa nama lain yang tidak kumengerti seperti ... Kesatria Masa ... dan Anak Kuasa. Aku rasa mereka ada hubungannya dengan nama-nama itu," tukas Vido mencoba menjelaskan.

"Lalu, apakah kau berhasil menemukan data mengenai mereka?" tanyaku untuk kesekian kalinya.

"Nope. Tidak ada data-data yang mendukung bahwa mereka berdua bergabung dalam kelompok mana pun," jelas Vido.

"Lalu ... apa mau kalian sebenarnya malam ini?" tanyaku seraya memandang ke arah tiga orang yang ada di depanku.

"Tanyakan semuanya," tegas Arjuna.

"Tanyakan semuanya? Ke siapa?"

"Rusya." Kali ini, Septian yang menjawab.

"Bagaimana jika ia menolak? Bagaimana jika dia memang benar-benar agen Loyalis? Ah, bukan maksudku untuk mempersulit kalian, tetapi dari gelagat kalian, kalian juga punya kepentingan yang berbeda," sanggahku.

"Semua orang punya kepentingan, Rimba. Bahkan orang yang dekat denganmu memiliki rencana yang tidak terduga. Pun dengan kami," sahut Arjuna.

"Kalian? Apa yang kalian telah rencanakan?" tanyaku heran. Namun, mereka bertiga tidak menjawab.

Septian hanya memapahku untuk keluar dari kamar perawatan darurat. Aku telah sembuh agaknya, menuju ke sebuah rumah yang tidak jauh dari tempatku dirawat. Aku tidak segera dimasukkan ke dalam rumah itu tampaknya. Septian mengantarku ke pintu belakang, memasuki dapur rumah itu, melewati lorong gelap, kemudian aku didudukkan pada sebuah kursi kayu di pojok ruangan yang minim sekali dengan cahaya.

Ruangan itu layaknya ruangan interogasi yang mendirikan bulu kuduk dan mengeluarkan reaksi ketegangan bagi siapa saja yang ada di ruangan tersebut. Aku berada di sisi gelap, sehingga niat mereka untuk menyembunyikanku di balik kegelapan setidaknya tercapai. Namun, untuk apa?

Hanya ada satu cahaya yang ada di tengah-tengah ruangan itu, berasal dari lampu bohlam yang telah diatur sedemikian rupa agar cahayanya hanya terpusat di tengah ruang. Di tengah ruangan itu, ada sebuah meja dan dua buah kursi yang terbuat dari metal. Benar-benar seperti ruang interogasi.

"Jangan bereaksi sebelum kami selesai menginterogasi dan memberi isyarat padamu untuk muncul. Kau akan menjadi pendengar setia sampai kami memberikan kode. Saat kami belum memberikan kode, kau harus tetap tidak terlihat, tersembunyi di balik kegelapan ini," ujar Arjuna memberikan instruksi kepadaku.

Pada awalnya aku langsung bosan dengan situasi sunyi senyap. Semua itu berubah ketika aku melihat Septian dan Vido datang membawa Rusya ke ruangan itu. Bisa kulihat wajah Rusya yang sangat kebingungan, kesal, sedikit ketakutan. Arjuna masih berada di sisi gelap bersamaku. Ah, bisa kubuktikan kalau sisi gelap ini memang tidak ada satu orang pun yang bisa melihatnya. Rusya tidak menyadari kalau aku ada di sini.

"Ada apa malam-malam kalian membawaku kemari. Ah ... tidak. Menculikku!" bentak Rusya.

"Kaupikir apa yang membuatmu dikirim ke sini?" Septian mulai menunjukkan nada tidak suka.

"Aku tidak tahu! Mungkin rencana gila dari kau, Vido!"

"Kok aku. Aku lho tidak merencanakan yang aneh-aneh. Kami hanya ingin mendengar cerita darimu," celetuk Vido memasang tampang tidak peduli.

"Ah, sudah kuduga! Apa mau kalian!" berang Rusya. Arjuna melangkah meninggalkanku di kegelapan, memunculkan dirinya seolah-olah ia adalah makhluk yang datang dari kegelapan sudut ruangan rumah ini.

"Rusya Annastasya. Benar?"

"Oh ... ada apa ini? Apa mau kalian?" tanya Rusya menatap Arjuna dan semua orang yang terlihat dengan sengit.

"Mungkin kau harus ceritakan dulu, bagaimana hubunganmu dengan Rimba? Apakah kau telah mengenalnya sejak dulu? Apakah kau yang menyeret dia dalam sebuah pembantaian yang telah terjadi tiga tahun silam? Apakah kau ... yang menyebabkan semua kekacauan yang terjadi di negara ini?" berondong Arjuna dengan berbagai pertanyaan.

"Huh, kenapa aku harus memberi tahu kalian? Lagi pula, pertanyaan macam apa itu? Menyeret Rimba ke dalam ... pembantaian ... Arrgh! Sial! Apa mau kalian sebenarnya! Apakah kalian ingin menjebak kami berdua? Sehingga kami harus mematuhi apa yang kalian mau!?" cerocos Rusya. Arjuna menahan tawa.

"Lucu sekali. Kau menggunakan Rimba sebagai tameng. Dengan memosisikan bahwa kau dan Rimba memiliki satu alasan tersendiri untuk dapat bebas kemana pun. Dengan memosisikan bahwa kalian berdua selalu bersama. Sebuah kata-kata yang terdengar hipokrit untuk perempuan yang membenci laki-laki yang diinginkan bersamanya, kemudian dia membenci laki-laki itu tanpa sebab. Ah ... itu terdengar egois. Egosektoral kalau kutebak. Sekarang, apa maumu? Kenapa kaulibatkan seorang Rimba Eka Putra dalam situasi yang berbahaya semasa hidupnya?" tanya Arjuna yang kini mengambil tempat duduk di hadapan Rusya. Rusya menatap laki-laki itu dengan tajam. Aku dapat mendengar dan melihat situasi di sana dengan jelas, tanpa harus ketahuan sedikit pun.

Rusya tertawa sinis sebelum mulai menjawab. Tidak kusangka, Arjuna dapat mengeluarkan bagaimana sifat seseorang yang sebenarnya. Entah mengapa, aku kini tidak melihat seorang Rusya yang ada di depan Arjuna. Dia terasa seperti orang lain.

"Egois? Kaupikir aku egois!? Begitu? Aku mengejar Rimba, membuatnya nyaman bersamaku, membuat dia mencintaiku? Aku pikir semua perempuan juga seperti itu. Benar! Aku ingin Rimba bersamaku! Aku egois! Aku tidak bisa ... aku tidak bisa meninggalkan dirinya, karena aku menyukainya juga!" Rusya tampak marah menggebu-gebu. Ia gebrak meja alumunium di depannya, sebelum dirinya melanjutkan penjelasan.

"Hah! Menyeret dia ke berbagai hal bahaya? Kalianlah yang membuat Rimba terseret masalah! Kau, siapa namamu? Vido! Ha! Kau yang membuat kekacauan yang terjadi di seluruh Indonesia karena ulahmu! Semua ini salah kalian!"

"Terobsesi dengan seseorang yang ia sukai, lalu dia akan melakukan apa pun itu, agar orang yang ia sukai menjadi dekat, iba, mendapat kepercayaan, mengasihi, maupun membuat kau menjadi orang yang pantas di dekatnya. Obsesi yang sangat kompulsif, dalam tahap tanpa memedulikan apa pun yang ada di dekatnya. Sekalipun itu mati, hidup, atau sekarat. Ia malah bersyukur atas itu, sehingga penghalang untuk dia mendapatkan orang yang ia sukai menjadi lebih mudah. Aku tanya satu hal, apakah obsesimu itu adalah obsesif yang sangat kompulsif, berasal dari hormon yanga membuatmu merasa senang di dekatnya? Jangan-jangan kau menginginkan Rimba di dekatmu karena alasan lain, seperti ... kepentingan golongan tertentu?" ujar Arjuna menanyakan.

"Hah! Kau tidak terlalu cakap dalam menebak seseorang, Arjuna Wijaya. Namun, kupikir itu benar ketika aku merasa terobsesi dengan Rimba," jawab Rusya.

"Rusya Annastasya ... siapa kau?" Tiba-tiba Septian mulai angkat bicara. Wajahnya terlihat sedikit geram. Selama ini, tidak pernah kupikirkan Septian akan menyimpan sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap Rusya. Setidaknya, dia tidak senang jika ada perempuan yang mulai mempermainkanku sebagai laki-laki yang tidak mampu berbuat banyak dan penuh dengan kebaikan, daripada laki-laki dengan keberengsekan tingkat tinggi.

"Septian ... kau juga mulai ikut-ikutan?" cibir Rusya dengan nada sinis.

"Dengar, aku paling tidak suka ada orang-orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain hanya untuk dirinya sendiri. Rimba adalah orang yang tidak mau terlibat dalam masalah, keonaran, dan segala hal yang membuat dirinya merasa menjadi orang berengsek semasa hidupnya. Ia memilih jalan kedamaian, hatinya selalu membuat ia menangis di samping berkelahi, ia tidak pernah ingin ribut dengan siapa pun. Kau ... kuharap pertama kali kita bertemu dulu, kau bukanlah perempuan yang ingin enaknya saja. Ternyata, kau tidak lebih dari seorang Samantha Marcella!" geram Septian.

"Jangan samakan aku dengan dia!" bentak Rusya.

"Oh, aku tidak tahu bagaimana ketika Rimba tahu wujud aslimu sebenarnya seperti ini? Rusya Annastasya yang kukenal dulu, bukanlah kau! Siapa kau? Rusya yang dulu mungkin akan lebih cemas ketika menghadapi situasi seperti ini, di tengah-tengah kejaran pemerintah, kita dicap buronan! Kau mungkin akan terus-menerus ketakutan seperti anak manja. Namun, aku tidak melihat itu, bahkan semenjak Rimba telah memulai kuliahnya," kejar Septian dengan berbagai pertanyaan yang hampir serupa.

Rusya hanya begeming, masih memasang muka tidak senang dengan tatapan benci.

"Kenapa kau tidak menjawab? Apakah kautakut ketika pada akhirnya kami menanyakan apa hubunganmu dengan Thomas Germain Purnama?" tanya Septian. Rusya langsung bereaksi.

"Sok tahu! Aku tidak ada hubungan apa pun dengannya! Vido lah yang punya hubungan dengan guru gila itu! Aku bahkan harus ikut-ikutan terjebak situasi sulit ini bersama kalian!" berang Rusya.

"Benarkah? Lalu apa rencana kalian untuk membuat sebuah peristiwa Malam Pembantaian SMA Harman Sastranegara tiga tahun lalu?" celetuk Vido. Raut muka Rusya berubah lebih terlihat kaget dan panik sekarang.

"Apa maksudmu?" tanya Rusya, berusaha untuk menghindari pertanyaan Vido.

"Tiga tahun lalu, kalian merencanakan sesuatu untuk membuat sebuah peristiwa yang tampak seperti pembantaian ruang publik, di mana ratusan orang mati. Kalian pasti memiliki afiliasi yang sama, bekerja sama dalam satu ruang yang sama. Rusya Annastasya, nama itu yang tercantum di semua catatan kependudukan, catatan pendidikan, tetapi kami tidak pernah menemukan apa pun tentang asal-usulmu. Akta kelahiran, catatan bayi yang melahirkan di rumah sakit, bahkan setidaknya catatan di taman kanak-kanak pun terlihat dipalsukan. Kau tidak memiliki asal-usul sekitar ... enam hingga tujuh tahun, tetapi bila pemalsuan data di taman kanak-kanak itu tidak dihitung, kira-kira kau tidak memiliki asal-usul yang jelas selama tiga-empat tahunan. Singkatnya ... tidak ada anak yang lahir bernama Rusya Annastasya dari bayi hingga sekitar umur enam tahunan. Rusya Annastasya hanya lahir setelah tahun-tahun itu. Pertanyaannya, siapa kau sebenarnya?" jelas Vido, membuat Rusya tampak mati kutu mendengar jawabannya. Keringat tampak mulai membasahi wajahnya, napasnya terlihat mulai kacau.

"Aku ... orang yang menjalankan Shadow Anonymous, nyatanya tidak lebih dari sekadar boneka Thomas Germain. Namun, ini kehendakku, karena kini aku yang memegang visi-visinya. Toh, asimilasi visi tidak masalah terjadi. Apa kau terlibat dengan kasus pembantaian di SMA Harman Sastranegara tahun lalu? Apakah keluargamu ada perang dingin dengan keluarga Harman Sastranegara? Lalu ... apakah kaukenal ... Anak Kuasa dan ... Kesatria Masa?" gempur Vido dengan berbagai pertanyaan yang langsung membuat Rusya benar-benar kelabakan.

"Ba-bagaimana kaubisa tahu itu?" tanya Rusya dengan muka yang panik.

"Ponsel. Ponsel ini," canda Vido sembari memain-mainkan ponsel-sakti miliknya, menunjukkannya di depan Rusya. Rusya tampak tertunduk, tiba-tiba ia tertawa dengan nada yang tidak pernah bisa didefinisikan sebagai tawa seorang Rusya Annastasya. Terbahak-bahak seperti layaknya ratu jahat dalam berbagai kisah dongeng.

"Aku tidak percaya bagaimana kalian bisa mengetahui hal yang seharusnya tidak diketahui oleh orang lain. Namun benar, aku terlibat dengan salah satu dengan nama-nama yang kausebutkan tadi. Puas sekarang!"

"Kalau begitu, apa yang membuatmu begitu gembira? Apakah kau akan merencanakan sesuatu setelah ini? Apakah kauingin membuat kami sebagai bagian dari percobaanmu itu? Yang kutahu, kau terlibat dalam salah satu organisasi paling terselubung di dunia, yang berusaha mengontrol dunia ini. Setidaknya, mengontrol bagaimana negara ini berjalan, benar?" sambut Vido dengan berbagai rentetan pertanyaan yang tidak ada habisnya.

"Lantas apa aku harus menjawab semua pertanyaanmu itu? Tentu saja aku akan melakukan sesuatu dengan kalian, dengan pelarian ini, dengan para pengkhianat negara ini! Asal kautahu saja, aku bisa saja lari bersama Rimba, akan membunuh kalian semua secara perlahan! Aku akan buat apa pun caranya, kalau Rimba merasa dikhianati!" berang Rusya mulai kalap.

"Apa yang akan kaulakukan dengan Rimba! Apa kautahu, dia hanya jadi korban obsesi dirimu! Membuat Rimba menderita dan mengalami banyak masalah seperti ini!" sahut Septian lantang.

"Aku terpaksa melakukannya demi kebaikan Rimba. Bagaimana pun, Rimba itu penting bagiku!" Rusya tidak mau kalah.

"Vido! Arjuna! Bagaimana kalau kita akhiri saja interogasi ini?!" Septian terlihat berusaha menarik pistol dari sarungnya, tetapi tangannya dicegah oleh Arjuna.

"Kita tidak tahu apakah dia adalah seorang pengkhianat atau bukan ...." Arjuna berusaha menahan, tetapi ditukas oleh Septian.

"Tentu saja di adalah seorang pengkhianat, Arjuna! Dia ikut kita untuk kepentingan dia dan golongannya sendiri! Ia berniat akan melakukan sesuatu dengan Rimba! Kita tidak bisa biarkan Rimba termakan oleh bujuk rayunya!"

"Tentu saja sama dengan kita? Kita juga punya kepentingan sendiri ...," jawab Arjuna berusaha menahan kepalanya agar tetap dingin. Septian menahan amarahnya, giginya bergemeletak keras.

"Benarkah? Bagaimana jika keadannya tidak begitu? Bagaimana jika Rimba tahu bahwa dirinya tengah digunakan sebagai tameng, untuk kepentingan seseorang yang sudah diberinya kepercayaan untuk bersamanya? Tidakkah itu terlalu menyedihkan ketika kau mencintai seseorang, tetapi orang lain memanfaatkanmu, hanya karena kau memberinya kepercayaan? Ah ... semua orang gila kepercayaan ...," cerocos Vido, menohok Rusya dengan sebuah perkataan yang cukup untuk membuatnya marah.

"Hah! Tidak mungkin semudah itu Rimba bisa memercayainya! Kita akan lihat, siapa yang akan menang ketika Rimba benar-benar pulih esok hari!" sumbar Rusya.

"Kalau begitu ... kau yang kalah, Rusya Annastasya," sahut Arjuna datar.

Sementara itu, jauh di sudut kegelapan ruangan, di mana semua kebenaran telah terungkapkan, aku hanya dapat menerima dan menerima segalanya. Ini adalah kenyataan yang harus diterima. Aku, seorang anak laki-laki biasa, terjebak dalam berbagai kehidupan yang memaksa dirinya untuk menyerahkan kepercayaannya kepada orang lain. Suatu bentuk kebaikan yang dapat menjadi bumerang, sakit jika mengenai bagian tubuh.

Marah, kesal, dan tidak terima. Itulah kiranya yang kurasakan. Sebuah penipuan yang tidak terkira selama lebih dari tiga tahun! Tiga tahun untuk sebuah sandiwara kehidupan yang ternyata, aslinya menyedihkan! Hidupku terus-menerus dipermainkan seperti skenario dalam sebuah film, diputar berkali-kali sampai menghasilkan sesuatu yang enak dilihat.

Situasi telah memanas di ruangan itu. Semua perang urat syaraf ini membuat lelah badan dan pikiran. Aku muak, aku ingin melampiaskan kemarahanku untuk semua yang telah dilakukan Rusya. Apa yang bisa dikatakan sebagai ... sandiwara.

Aku akhirnya angkat bicara, kalimat yang akan mengubah jalannya sandiwara ini.

"Septian, Arjuna. Kalian dipersilakan untuk menembak."

Satu suara bergema memantul-mantul di ruangan yang hening, di malam hari yang sepi pada sebuah hutan tempat para pelarian berkumpul. Satu suara yang mengubah keadaan hari itu.

*****

Aku berdiri, perlahan keluar dari tempat persembunyianku. Menatap ke sekeliling ruangan yang terlihat menyedihkan. Kulihat Septian sudah menarik pistolnya dan mendodong ke arah Rusya. Arjuna masih terlihat enggan untuk memulai konfrontasi, ia lebih memilih mengarahkan pistol yang digenggamnya ke arah lantai. Aku bergerak mendekat ke arah meja, berusaha untuk tidak 'meledak' sebelum waktunya.

Aku menatap sosok Rusya—yang kini kaget, takut, cemas, dan panik—yang sedang duduk di sisi lain meja. Entah ia menyesal telah mengumbar semua yang telah ia sembunyikan selama ini atau lebih menyesal karena sebentar lagi ia akan mendapati orang yang ia dekati selama ini meninggalkannya.

"A—aku tidak bermak—" Rusya tergagap ketika aku memandangnya dengan tajam. Aku mengembuskan napas panjang, melakukan teknik relaksasi, sebisa mungkin agar aku dapat menahan diri.

"Yang kaukatakan semua itu benar?" ujarku dengan nada mempertanyakan.

"A-ak—" Rusya masih tergagap.

"Apa ... yang kaukatakan semua itu benar!" Aku menggebrak meja alumunium di depanku. Tanpa di duga, Rusya menangis.

Aku benci situasi ini.

"Kumohon ... kumohon. Kalian harus percaya aku ...." Ia mengiba dan merengek di depanku seperti seorang anak kecil yang telah memecahkan bokor kaca berisi minuman pesta.

"Bagaimana aku bisa percaya kepada orang yang selama hidupnya ... hanya menyerahkan waktunya hanya untuk sandiwara. Cukup bagus sandiwaramu, sehingga aku hampir saja jatuh cinta ... pada ... seorang maniak!" Tinggi nada yang kulontarkan meninggi, menendang meja alumunium di depanku.

"Karena aku tidak tahu kemana aku harus memercayai ini, Rimba. Aku menyimpan rahasia ini seumur hidupku, membuatku kesakitan sendiri!" ujar Rusya dengna nada cengeng.

"Salahmu sendiri berbohong, jalang!" sahut Septian.

"Tolong ... kalian sudah berkali-kali menghantamku dengan pertanyaan yang menyakitkan. Tolong ... Tolong ...," Rusya mengiba.

"Septian, Arjuna, turunkan senjata kalian," perintahku, "sekarang, jelaskan apa pun yang kausembunyikan!"

Rusya bergeming sebentar, menengok ke atas dan menatap sejenak lampu neon yang hidup mati. Kami menunggu setiap embusan napasnya, berusaha untuk tidak mengeluarkan bentuk emosi apa pun.

"Yang aku tahu, namaku adalah Rusya Annastaya, nama pemberian ayahku. Tetapi aku tidak menemukan apa pun ketika aku masih bayi atau ketika aku masih di taman kanak-kanak. Singkatnya, sesuatu menghapus diriku selama tahun-tahun itu. Aku hidup sebagai anak dari kedua orangtuaku, seperti anak pada umumnya. Aku baru mengetahui rahasia tentang keluargaku ketika aku berumur sepuluh tahun," jelas Rusya.

"Lanjutkan," pintaku menaikkan dagu.

"Sebenarnya ... kami adalah darah para bangsawan terdahulu. Keturunan para raja," lanjut Rusya.

"Keturunan para raja?" Vido mempertanyakan kalimat terakhir Rusya.

"Sebenarnya, apa yang telah terjadi di dalam catatan sejarah manusia Indonesia, bisa dibilang diatur oleh sebuah keluarga yang bernama Kesatria Masa. Aku, adalah salah satunya."

Detik itu, pembicaraan semakin menarik.    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top