CHAPTER 3

Biar kuceritakan sedikit atas kekacauan yang sedang terjadi. Tim Guntur dan Tim-ku bertahan di sekitar pos jaga dan di antara beberapa rumah. Butuh waktu sekitar 10 menit untuk menahan para tentara bayaran sialan itu. Tim Guntur tidak banyak, hanya 8 orang, dua telah tewas setelah mereka digerebek duluan. Penjaga kampung—begitu kami menyebutnya—yang berjaga di daerah utara langsung merespon dan mengangkat senjata mereka. Namun, beberapa orang kewalahan, karena persenjataan dari tentara bayaran itu tidak bisa dianggap remeh.

Aku dan beberapa keamanan kampung turut membantu. Kami membagi menjadi dua kelompok untuk mempertahankan sisi timur dan sisi barat pos. Cecunguk-cecunguk itu menyerang dari dua arah. Beberapa orang mencoba mendekat dengan memutari rumah di dekat pos barat, yang syukurnya, berhasil diantisipasi oleh Rusya dari kamar atas rumah kepala desa—pusat komando kami—,menembaki para 'pembokong' itu dengan Intervention M-200-nya. Jarak dengan pusat kurang lebih delapan ratus meter.

Aku bukan penembak yang baik, juga lebih sering menyergap para cecunguk itu dari balik tembok. Entah berapa orang yang telah kubunuh dengan sebilah golok. Tiga orang mungkin? Dua orang mencoba menembakku, tetapi mereka ditembak duluan oleh Rusya. Beberapa orang memberondong kami dengan tembakan. Kunyalakan bom asap, lalu mulai mengitari, membidik, dan menembaki mereka dari samping.

Tim Guntur dan beberapa orang keamanan kampung menghadapi musuh di sebelah barat laut. Mereka jauh lebih mudah memukul mundur, karena tim musuh membagi kelompok lagi untuk mencoba menyerang dari sisi kampung sebelah barat. Sementara itu, baku tembak tidak terhindarkan ketika beberapa kelompok mencoba menyusup dari arah barat, melalui kebun bertingkat dan balai kesehatan. Aku bisa pastikan makian yang terdengar nyaring itu dari Septian. Terjadi ledakan, yang berasal dari arah kebun bertingkat.

Vido dan Tiara sukses menyelamatkan penduduk nonkombatan untuk keluar dari kampung, menuju barak evakuasi di dekat generator listrik sebelah selatan kampung. Arjuna sudah bersiap dengan tim pemburu, sukses menyerang para cecunguk dari belakang. Kebanyakan dari mereka memakai senjata panah atau crossbow untuk menyergap mereka. Arjuna memasang jebakan jerat atau spring-trap untuk orang-orang yang kabur ke hutan. Sisanya, disergap dari atas pohon.

Total waktu yang diperlukan untuk menangani serangan, tiga puluh menit.

*****

Kami pastikan tidak ada yang kabur setelah penyerangan yang melelahkan. Langit subuh mulai terlihat, ayam-ayam yang panik berkokok lebih pagi daripada biasanya. Beberapa mayat, baik dari para tentara bayaran yang menyerbu kampung atau keamanan kampung yang tewas dalam penyerbuan. Empat belas orang-kami menjadi korban. Tidak ada yang patut dirayakan. Beberapa keluarga yang ditinggalkan oleh mereka yang mati sangat sedih hari itu.

Guntur menjelaskan maksud kedatangannya. Ia adalah utusan dari pemerintahan baru, yang kini bekerja sama dengan UFCA. Tujuan mereka hanya satu, mencari kami, lalu mengakhiri konflik dingin yang timbul antara kami dan pemerintah. Di sisi lain, Guntur mulai mencurigai bahwa, pascarevolusi yang telah berlangsung lima tahun lalu memunculkan beberapa fraksi. Ada fraksi yang menginginkan pemerintahan baru dan ada pula fraksi yang menginginkan untuk mengembalikannya pemerintahan lama seperti sedia kala.

Tahun Kelabu merupakan aib terbesar pemerintahan Indonesia, pascatragedi 1998. Pihak ASEAN dan DK PBB hampir ikut turun tangan, jika UFCA dan pemerintah tidak tanggap untuk melaksanakan referendum. Meskipun begitu, kedua fraksi masih memanas hingga saat ini. Teror politik dan permainan mafia kekuasaan, menjadikan masyarakat berada tepat di tengah-tengah pertempuran. Terombang-ambing menjadi korban tidak bersalah.

Hal lainnya adalah mengenai Vido dan 'ponsel saktinya'. Kemungkinan banyak yang akan mengincar alat tersebut dan Vido dalam bahaya. Asumsi bahwa bila dua kali penyerangan ke kampung ini, ditujukan untuk mencari perangkat tersebut, maka sudah pasti ada pihak-pihak ketiga yang memanfaatkan ketegangan internal pemerintahan. Lebih buruk lagi, jika pihak asing yang ikut mengendus keberadaan ponsel ini. Kemungkinan terjadi perang dunia tidak terelakkan, bila alat yang dimiliki Vido kali ini, adalah kartu AS dalam memainkan peranan kekuasaan dunia. Mungkin ini terlihat berlebihan, tetapi akan sangat cepat dampaknya bila itu jatuh ke tangan yang tidak diharapkan.

"Lalu, maksudmu datang kemari, adalah untuk 'mengungsikan' kami ke Ibu kota untuk bertemu dengan Presiden?" tanya Septian kepada Guntur.

"Benar sekali. Presiden dan fraksi UFCA ingin mengetahui beberapa hal tentang alat yang dimiliki Vido. Sekaligus akan menjelaskan beberapa hal mengenai SA dan...."

"Aku tidak mungkin terlalu ambil begitu saja keputusan tersebut. Alat ini sangat berbahaya untuk siapa pun yang dengan seenak jidatnya ingin menguasai dunia," tukas Vido ketika Guntur tengah menjelaskan.

"Bukankah kau juga diam-diam menguasai negara ini dengan mengakibatkan revolusi besar?" singgung Septian.

"Itu benar. Kalian mungkin bisa saja mengakses data rahasia pemerintah, menggerakkan beberapa sistem perangkat lunak manapun yang terintegrasi dengan server negara ini, mengontrol satelit, membajak komunikasi sekaligus mengacaukannya, hanya dengan satu alat ini. Aku bukan menguasai negara ini. Aku hanya menjalankan sebuah tugas ...," jelas Vido santai.

"Tugas?" kami semua bertanya berbarengan.

"Kaubilang SA dan alat ini merupakan inovasi dari Thomas Germain, guru kami yang melakukan peristiwa pembantaian bertahun-tahun silam. Kau pernah bertemu dengannya?" tanya Rusya yang juga penasaran.

"Aku tidak pernah bertemu dengan dia. Aku berusaha mencari data tentang dia, tetapi tidak ada di mana pun. Catatan sipil, pemerintahan, kementerian pendidikan, bahkan file intelejen negara. Tidak ditemukan data tentang Thomas Germain. Semua hanya tertulis di petunjuk informasi ... pada ponsel ini," jawab Vido.

"Dari mana kaudapat alat ini?" giliran Guntur bertanya.

"Seorang pria setengah tua memberikanku ini saat aku berada dalam perjalanan naik kereta dari Bandung ke Malang, kira-kira sepuluh tahun lalu." Vido berusaha mengingat sembari memegangi dagunya.

"Kau tidak ingat rupanya?" tanya Guntur. Vido menggeleng tenang.

"Aah, aku akan mempertimbangkan lagi untuk bertemu dengan presiden kita yang baru. Aku akan memastikan sendiri, apakah dia terbebas dari salah satu fraksi tersebut ...," jelas Vido.

"Hei, maksudmu?" tanya Guntur sedikit terheran.

"Situasi sekarang telah berubah," ucap Vido, "dulu, kita mungkin bergerak untuk satu tujuan sama. Namun, sekarang situasi berubah ketika para kelompok ingin menguasai negara ini. Ini tidak ada bedanya dengan sebuah siklus yang akan terulang dengan membosankan."

"Kupikir semua pemimpin negara memiliki kepentingan tersendiri. Kenyataannya, itu memang terjadi di manapun," sanggah Guntur.

"Fraksi manapun yang menang, akan memegang tampuk kepemimpinan, juga kendali atas negara ini. Memang tidak terhindarkan. Tugasku di sini adalah mengamati dan mengontrol. Bila ada salah satu fraksi yang mencoba menginginkan kekuasaan yang lebih, sudah tugasku untuk membatasi," jelas Vido, "anggap saja aku mengawasi orang yang mengawasi negara dari balik kursi kepresidenan."

"Lalu ... apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyaku.

"Pertanyaan bagus, aku sudah menyerahkan bagaimana mengatur rencana kita bertemu presiden kepada Arjuna," jawab Vido. Arjuna kemudian muncul sembari membawa beberapa lembar kertas berisi coretan dan catatan berupa tahap instruksi.

"Ini mungkin agak sulit. Kita tidak bisa memercayai siapa pun selain orang-orang kita. Banyak orang-orang yang menginginkan alat mengerikan itu, bersembunyi di balik bayang-bayang pemerintahan sekarang. Aku sudah mengonfirmasi safehouse kita yang telah diusulkan oleh Rimba saat kita berada di Ibu kota. Miriam akan menjaga anak-anak di tempat lain yang terpisah. Aku telah mengontak Charles Marute, sebagai salah satu dari orang-orang UFCA yang memiliki hubungan langsung dengan pemerintah. Terlebih lagi, dia adalah SA. Vido, Rimba, dan Rusya yang akan melakukan pertemuan. Benhazir berada di safehouse untuk memantau pergerakan tiap-tiap individu yang ... mencurigakan. Kami akan backing dari belakang," jelas Arjuna.

"Siapa yang akan menjaga orang-orang di sini?" tanyaku.

"Lingkar dalam SA akan kutugaskan untuk menjaga kedamaian di tempat ini. Mereka hanya orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kita. Biarkan mereka hidup damai sebagaimana mestinya," jawab Vido. "Baiklah, kita akan menyiapkan segalanya hari ini. Kita berangkat besok."

Hingga akhirnya, pada pagi keesokan harinya, kami telah siap meninggalkan kampung. Perpisahan, berbagai perasaan haru terjadi, karena kami telah membangun banyak sekali ikatan kuat bersama orang-orang pelarian. Kami akan dibagi menjadi dua tim. Aku, Miriam, Rusya, dan Septian akan pergi ke suatu tempat untuk menyembunyikan anak-anak kami. Sementara sisanya akan langsung menuju safehouse. Setelah urusan dengan anak-anak selesai, aku dan yang lain akan menyusul ke Ibu kota.

****

Mobil itu menyusuri jalanan yang cukup padat, tetapi ini bukan ibu kota. Tidak lama lagi mobil memasuki kota, cukup cepat untuk sampai ke tempat tujuan kami.

"Kau orang yang beruntung, Rusya. Kaubisa mendapatkan orang sebaik Rimba ...," ujar Miriam memulai percakapan.

"Aku ... tidak. Eh, bagaimana mengatakannya ya. Dia memang baik ...." Rusya kebingungan mencari jawaban dan malah melempar pertanyaan kembali kepada Miriam, "b-bagaimana denganmu?"

"Huh, aku memang telah mengenal berbagai macam manusia yang berbeda-beda semasa aku masih bersama ayahku. Namun, Arjuna adalah orang yang beda dari kebanyakan manusia," jelas Miriam.

"Kalau boleh tahu, bagaimana perspektifmu melihat Arjuna," celetukku. Jelas kini kita sedang membicarakan si Arjuna satu ini.

"Dia ... nihilis kolot yang tidak mau bersosialisasi," ungkap Miriam santai. Aku tertawa mendengar pengakuannya yang blak-blakan.

"Namun, ... dia orang yang masih peduli dengan manusia, tidak sejelek yang kau bayangkan," lanjutnya.

"Jangan-jangan alasan kalian bertemu adalah karena kalian sama-sama bowhunter," dugaku.

"Oh, aku seorang Coureur Des Bois. Sudah semestinya mereka harus bisa berburu bukan? Lagipula, aku bisa menggunakan senapan atau panah berburu," kata Miriam.

"Mengesankan," celetukku.

Pembicaraan kami terhenti setelah Septian memberitahu bahwa kami telah sampai pada tempat tujuan. Begitu aku turun dari mobil, terik panas matahari mulai menyengat, padahal ini masih belum jam dua belas siang. Aku sangat familiar dengan tempat yang kudatangi ini. Tidak banyak yang berubah dari sebuah rumah bergaya kolonial yang telah berdiri dengan cat krem. Hanya saja, bagian belakang rumah sudah dibangun menjadi sebuah bangunan yang menyatu dengan bangunan utama rumah.

Pintu depan rumah yang menghadap ke selatan itu terbuka, serta beberapa orang berlalu lalang di sana. Sepertinya rumah sebelah juga telah ditempati oleh orang-orang yang tidak begitu kukenal. Bisa saja mereka adalah para pelindung suaka keamanan yang dibicarakan Vido. Mereka terlihat seperti masyarakat sipil biasa dibanding sebuah satuan keamanan.

"Ayah, apakah kita pulang?" tanya Reika sembari memegangi jaketku. Aku menangguk dan mengelus kepala anakku.

"Kita pulang," ujarku.

Ketika aku muncul di depan pintu, sontak terjadi keriuhan yang menghebohkan. Perkara apakah aku dianggap telah mati pada sebuah kekacauan yang terjadi lima tahun lalu, bukanlah uruasanku. Aku kini melihat dua orang yang sudah jauh lebih tua daripada saat kutinggal dahulu. Wajah mereka tidak terdefinisikan sebagai sebuah ekspresi senang, malah terkejut. Mungkin mereka juga terkejut ketika melihat aku sudah menggandeng seorang anak kecil di sampingku. Aku juga bertemu seseorang yang familiar dalam hidupku.

Aku masih teringat dengan jelas sebuah kata-kata yang pernah kudengar semasa hidupku.

Jangan menjadi laki-laki yang cengeng. Menangislah di saat yang tepat.

Tidak ada air mata. Kuusahakan hal itu. Aku berusaha tegar, menerima kegembiraan ini agar tidak meluap, karena sebuah misi sedang menungguku. Aku tahu, aku tidak akan bisa lama-lama di sini, dan mungkin aku akan mengecewakan mereka lagi.

"Ayah, ibu. Aku pulang,"

****

"Kemana saja kau selama ini! Ibumu mengkhawatirkanmu dan benar-benar tidak seperti orang hidup! Setiap harinya dia terus-terusan memanggil namamu!" Seperti yang sudah kuduga, aku kena omel ayahku.

"Aku ... bergabung dengan UFCA dan teman-temanku saat revolusi," hanya itu yang bisa kuucapkan.

"Kautahu, betapa ibu melarangmu untuk ikut-ikutan hal semacam itu nak! Kemana lagi kau setelah revolusi!?" tanya Ayahku mengejar.

"Kami kabur ke pedalaman ... dan hidup di sana selama 5 tahun terakhir," jawabku. Ayahku terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia menerima jawabanku. Ia kemudian menyeruput kopinya.

"Ibumu menunggu, nak," ujarnya pelan. Aku melihat ibuku yang tidak henti-hentinya menangis bahagia, melihat kedatanganku kembali ke rumah. Aku menceritakan semua kehidupanku, termasuk aku yang'menikah' dengan Rusya dan memiliki anak. Di sana pula, ada ibu dari Rusya, serta kedua orangtua Septian. Sepertinya Vido memang berniat untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu lingkungan yang sama, sebagai bentuk suaka perlindungan bagi orangtua saat terjadi Operasi Sapu.

Aku memeluk ibuku. Memastikan semuanya berjalan baik-baik saja dan meyakinkan bahwa anaknya masih hidup. Ibu hanya menangis bahagia mendengar anaknya telah pulang kembali. Aku mungkin adalah orang yang sedang berada pada taraf tidak dapat untuk menangis, tetapi entah kenapa setiap kali ibu membuka ruang emosinya, aku menjadi ikut tersentuh, bahkan menitikan air mata.

Haru. Tangis bahagia. Cerita masa lalu kembali diceritakan. Setidaknya kami mendapatkan kesenangan sendiri ketika kami berkumpul lagi dalam sebuah perkumpulan yang disebut keluarga. Tidak ada perkumpulan yang paling aman selain dengan keluarga yang dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan di setiap hidup mereka.

Namun, kebahagiaan ini sontak lenyap secara perlahan ketika aku menceritakan maksud dari kedatanganku. Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, keluargaku akan mengungsi bersama Reika—anakku dan Rusya—dan Abimanyu—anak dari Arjuna dan Miriam—untuk terhindar dari segala ancaman paling tidak. Miriam akan tinggal sementara bersama mereka, di safehouse yang telah disiapkan di daerah perbatasan, serta, mereka akan dijaga oleh beberapa lingkar dalam dari SA.

Ayah sempat mempertanyakan apa yang telah terjadi. Bukankah itu sudah jelas? Sebuah misi penting untuk menyelamatkan sebuah hal yang dapat membawa bangsa ini pada kemajuan—atau juga kehancuran—telah di depan mata. Kami harus segera melakukan negosiasi dengan pemerintahan baru, merancang skenario untuk mengamankan 'ponsel sakti' milik Vido dari tangan-tangan yang 'punya mau'. Mungkin belum terlihat ancaman yang datang. Yang jelas, perlahan ancaman akan datang dengan sendirinya.

Aku meyakinkan keluargaku bahwa ini adalah sebuah langkah untuk mencapai perdamaian. Aku tidak bisa berjanji—untuk kesekian kalinya—bahwa aku akan pulang dengan selamat, tetapi Ayahku tidak mau tahu. Ia sudah lelah dengan kekacauan di dunia. Seharusnya kubawa saja kedua orangtuaku ke kampung pelarian. Ayahku terus saja mempertanyakan tujuanku untuk ikut bersama orang-orang seperti mereka, walau aku sudah menceritakan semuanya. Lalu aku harus menceritakan lagi detail dari kejadian yang terjadi. Kepentingan kekuasaan, perangkat canggih, hingga visi bersama untuk negeri yang lebih baik.

Hingga pada keesokan harinya, Aku, Septian, dan Rusya harus segera ke ibu kota untuk bergabung bersama Vido dan lainnya. Tidak ada yang menyengangkan pada hari itu. Semuanya diliputi dalam kecemasan taraf tinggi. Bayangan akan hal buruk sudah terlintas di masing-masing orang saat itu.

"Kau harus kembali dengan selamat! Kau harus!" ujar ayah sembari meremas kedua pundakku.

Ayah tidak menangis, tetapi aku dapat menangkap guratan ekspresi kesedihan yang begitu mendalam.

"Ayah ... kau akan pergi bersama ibu?" Reika mulai merengek dalam dekapan ibuku. Aku tidak berani untuk menjawab

"Iya ... kita akan kembali, sayang ...," Rusya berusaha menenangkan Reika. Mungkin ini terdengar sebagai sedikit kebohongan, mengingat kami sama sekali tidak tahu, apa yang akan terjadi di Jakarta nanti. Helikopter telah menanti dan kami semua akan langsung ke ibu kota menumpang benda terbang itu.

"Kalian ... akan kembali kan?" tanya Reika sembari menahan tangis.

Aku tidak menjawab.

Aku takut untuk menjawab.

*****

Kami terkejut ketika seseorang membukakan pintu rumah yang cukup besar, bertingkat tiga, lebih seperti istana raja-raja daripada sebuah rumah hunian, memiliki beberapa penjaga keamanan serta orang-orang yang kuduga adalah bagian dari SA, milik seseorang yang ternyata tidak kami duga sebelumnya. Yang membukakan pintu adalah seorang perempuan berusia 24 tahunan dengan wajah muda—atau lebih mirip wajah anak SMA—yang cukup kukenal sebagai Marrisa Harman Sastranagara.

Terkejut juga aku ketika Willi—yang kini jauh lebih tinggi dan memakai mekanisme yang membantunya berjalan, setelah kakinya cedera ketika peristiwa Malam Pembantaian—juga ada di rumah itu. Ia diikuti seorang anak perempuan yang masih berusia lima tahun—yang kemungkinan besar adalah anak mereka, yang berarti Marrisa menikah dengan Willi tentunya—menggandeng tangan Willi. Well, kami disambut bak tamu biasa yang telah kenal sebelumnya.

"Kemana saja kalian lima tahun terakhir ini?" tanya Willi dan Marrisa hampir bersamaan. Aku telah menduga mereka akan berkata seperti itu sebelumnya. Pertanyaan dari orang yang kebingungan melihat teman-teman mereka yang menghilang pascarevolusi 2021. Akhirnya aku juga menceritakan detail kehidupanku setelah pemerintahan runtuh dan bagaimana aku hidup mengasingkan diri di pedalaman hutan, bersama orang-orang yang turut andil dalam penggulingan kekuasaan. Kembali lagi kuceritakan seluruh hal itu. Revolusi, penggulingan tirani, kabur ke pedalaman, kembali untuk berbincang dengan pemerintahan baru, dan sebagainya.

Willi dan Marrisa menikah setelah revolusi selesai. Cinta mereka berkembang, setelah mereka kuliah di satu universitas yang sama dan di sanalah hubungan mereka dimulai. Perusahaan Harman Corporation kini dipegang oleh Marrisa sendiri. Alasannya adalah asumsi yang tidak terduga sebelumnya.

"Ayahku terbunuh saat terjadi revolusi. Orang-orang misterius menerobos rumah di suatu malam. Kami kira itu adalah pencuri, tetapi kami salah duga ketika beberapa satpam telah dilumpuhkan. Aku bahkan melihat dengan jelas, mereka mati perlahan. Ayahku dipukuli sampai mati. Aku dan ibuku bersembunyi di gudang loteng sambil terus-menerus mencoba meminta bantuan dari luar. Setelah mereka berhasil membunuh ayahku, mereka langsung pergi begitu saja ...," ungkap Marrisa.

"Pergi begitu saja?" tanyaku penasaran.

"Iya, pergi begitu saja. Mereka tidak mengambil barang-barang apa pun atau membunuh orang-orang lainnya. Mereka hanya ingin nyawa ayahku dihabisi," ujar Marrisa dengan tebersit kesedihan di raut mukanya.

"Lalu, setelah itu?" tanyaku.

"Kehidupanku mendadak dipenuhi dengan kesibukan. Orang-orang penting berusaha rebutan perusahaan ayahku, tetapi aku berhasil memiliki perusahaan itu lagi, merebut apa yang berusaha orang-orang jahat itu miliki dari keluargaku. Namun, perusahaan ini tidak sejaya dulu, Rimba. Revolusi 2021 telah mengguncang sistem ekonomi nasional. Banyak perusahaan yang tidak kuat, pada akhirnya gulung tikar. Kami juga terkena dampak luar biasa. Sebagian anak perusahaan akhirnya melepaskan diri atau terjual lewat perebutan saham. Kini, Harman Corporation tidak lebih hanya sebuah perusahaan suku cadang sepeda motor yang tidak memiliki usaha lain," lanjut Marrisa bercerita. Semua orang tampak menyimak dengan cerita Marrisa, tetapi aku lebih tertarik dengan kasus kematian ayah Marrisa.

"Kaucoba mencari tahu siapa yang membunuh ayahmu?" tanyaku.

"Aku berusaha mencari tahu, tetapi kasus itu ditutup. Aku hanya berhasil menangkap dan memenjarakan orang-orang yang terlibat dalam pembobolan rumah lima tahun lalu. Dalang sebenarnya dari pelaku pembunuh ayahku tidak pernah terendus oleh orang-orang yang kupercayai ...," jelas Marrisa.

Hasil tidak terlalu buruk untuk mereka berdua yang juga telah berkeluarga. Mereka berdua memastikan kalau kami bisa memakai rumah mereka sebagai safehouse kami di Jakarta. Mereka menceritakan, bahwa beberapa orang telah kemari sebelumnya sembari meminta izin untuk menggunakan rumah mereka berdua sebagai safehouse. Segera setelah itu beberapa orang dari UFCA dan SA mulai berdatangan dan langsung memakai rumah gedong ini sebagai markas utama mereka di Jakarta. Ketika kami berbincang, Vido dan Arjuna datang untuk menyambut kami, seraya menjelaskan detailnya.

"Aku telah menghubungi Charles. Kita akan berangkat besok," ujar Vido.

"Jadi bagaimana rencananya?" tanyaku.

"Kau—Rimba—, Vido, dan Rusya akan pergi bersama Charles untuk bertemu dengan presiden dan Bayu sebagai perwakilan dari UFCA. Aku dan Septian akan membagi kelompok menjadi dua tim untuk mengamankan sekitar Istana Negara. Yah, setidaknya kita akan ke sana lagi," jelas Arjuna. Kami menyimak dengan saksama.

"Aku akan pergi dengan Hafizh dan Ammar. Septian akan bersama Rahmat. Kita akan dibantu orang-orang dari UFCA dan Tentara Nasional untuk menjaga sekitar gedung. Tiara akan mengamankan safehouse ini," lanjutnya.

"Kenapa banyak sekali penjagaan seketat ini?" tanyaku.

"Ada kemungkinan fraksi oposisi tidak akan tinggal diam besok. Beberapa kelompok kepentingan yang menginginkan 'alat itu' juga tidak akan duduk leha-leha begitu saja," tukas Vido.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan di sana?"

"Mudah. Kita ambil kesepakatan dengan pemerintah, lalu mulai mengontrol kelompok-kelompok kepentingan itu untuk yang pertama. Setelah itu ... mengembangkan sistem pertahanan nasional dengan alat ini. Dengan itu, alat itu setidaknya akan jauh lebih berfaedah," ujar Vido.

"Hei, bukankah kita kelompok kepentingan juga kalau begitu?" sindir Septian.

"Iya. Kita kelompok kepentingan yang mementingkan kepentingan kelompok lain," jawab Vido asal.

"Apa yang selanjutnya terjadi, setelah pertemuan ini?" tanyaku. Vido terdiam sejenak.

"Yah ... mungkin saja grup ini akan bubar dan kalian bebas untuk hidup dengan tenang lagi,"

Pada sore hari itu, pertemuan bubar dan kami istirahat. Esok hari menjadi hari yang penting untuk satu langkah baru menuju kedamaian. Setidaknya. Aku bahkan sulit untuk menemukan kenyeyakan ketika tidur, lebih memilih merenungkan apa yang akan terjadi besok.

Hingga hari yang ditunggu, pagi jam 9, kami secara eksklusif akan diantar dengan mobil khusus pengangkut VIP yang kebal tembakan dan ledakan. Didesain khusus untuk tamu kenegaraan. Kami akan dikawal oleh beberapa personel dari UFCA. Jarak antara kediaman rumah Marrisa dengan Istana Negara memang sedikit jauh, tetapi kepolisian telah mengatur sedemikian rupa, agar kami tidak terjebak kemacetan. Di depan gedung Istana Negara, kami sudah ditunggu oleh Charles Marute. Ia kini menjadi salah satu staf penting di pemerintahan. Tim segera berpencar. Aku, Vido, dan Rusya mengikuti Charles, memandu kami untuk menuju ruang pertemuan.

"Bagaimana kabar kalian, baik?" tanya Charles.

"Kau juga sudah banyak berubah. Kau orang penting pemerintahan sekarang ...," komentarku. Charles yang kini sudah tidak terlalu kikuk seperti pertama kali kita bertemu. Ia kini tumbuh menjadi seorang pria tegap, berkumis tipis dan berambut belah tengah. Ia tidak lagi memakai kacamata, mungkin diganti dengan lensa kontak. Ia juga tampak lebih kekar daripada sebelumnya. Mungkin saja karena ia sudah memberitahukan jati dirinya sebagai salah satu lingkar dalam SA.

"Ah ... itu biasa saja, Rimba. Bagaimana pun juga kita harus berubah untuk menjadi lebih baik bukan?" ujar Charles seraya menggaruk-garuk kepalanya, "tuan presiden mungkin belum datang, jadi kalian juga terpaksa harus menunggu."

"Huh ... kebiasaan orang Indonesia," komentar Vido. Baru kali ini ia harus merepotkan dirinya untuk bertemu dengan jajaran birokrat dan pemerintah, membahas hal-hal kenegaraan secara eksklusif dan rahasia. Sejujurnya, ia agak merutuki pekerjaannya bertahun-tahun sebagai orang di balik SA. Shadow Anonymous rancangan Thomas Germain.

"Tahan dirimu, Vido. Kita sedang bertemu birokrat dan pejabat yang maha kuasa," bisikku menimpali. Vido hanya menghela napas panjang.

"Kita akan sampai sebentar lagi. Di balik pintu itu adalah ruang pertemuan." Charles menujuk salah satu pintu kayu jati yang terpelitur dengan mengilap di ujung ruangan. Ruangan yang sama ketika lima tahun lalu, aku dan Arjuna menggerebek tempat itu, menghabisi Florent Du Luoyac, serta menyelamatkan Rusya. Tidak kusangka kita benar-benar kembali.

"Charles Marute ... dengan nama kode Louisiana ...," celetuk Vido tiba-tiba, "aku tidak pernah mengenal kode itu sebelumnya ...."

Eh?

"Benarkah?" tanya Charles tetap tenang.

Ada yang aneh di sini.

"Apakah kau orang baru? Tentu saja tidak. Tidak pernah ada agen lingkar dalam SA yang bernama Louisiana," ungkap Vido. Aku terkejut dan pikiranku berputar. Kami masih berjalan menyusuri lorong di Istana Negara.

Bagaimana mungkin Charles tidak dikenal oleh Vido. Tidak pernah ada nama itu di lingkar dalam Shadow Anonymous. Kenyataan itu sendiri disampaikan Vido tepat di sampingku.

"Benarkah? Aku rasa Anda salah menduga," ujar Charles.

"Charles Marute ... itu benar namamu bukan?" tanya Vido sembari menatap Charles. Kami masih berjalan. Setengah perjalanan lagi menuju ujung selasar pintu itu.

"Benar," jawab Charles pendek.

"Namamu adalah ... Charles William Marute," ujar Vido. Lorong itu penuh dengan gema langkah kaki kami berempat.

"Pengkhianat."

Dor!

Aku menoleh ke arah sampingku dengan pelan. Entah mengapa dan tanpa sebab ... Rusya menembakkan pistol yang kusarungkan di celana kananku. Seberapa cepat ia mengambilnya, aku bahkan tidak menyadari. Dia menembak Vido, tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

"Sial ... ini bakal terasa sakit ...," keluh Vido sembari memegangi dadanya.

"Rusya!" pekikku.

Dor!

Satu tembakan lagi. Aku berpaling dan melirik Charles menyeringai kepadaku. Kali ini dia yang menembak kepala Vido. Seper-sekian detik ketika aku menyadari, bahwa ada yang mencurigakan selama ini dari Charles. Semua hal. Tampang, sifat, latar belakang.

Tunggu. Latar belakang? Ia hanya seorang mantan mahasiswa kedokteran yang pintar dalam bidang anatomi.

Anatomi? Benar juga, dia mengerti tiap jengkal tubuh manusia. Ia tahu bagian mana saja yang harus dilumpuhkan untuk membuat seseorang tidak dapat lagi merasakan nikmatnya nyawa yang merasuk dalam tubuh.

"Keparat!"

Dor! Dor!

*****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top