CHAPTER 2
Wanita itu bernama Miriam Rosemary. 18 tahun. Mahasiswi antropologi salah satu universitas di Jawa Timur. Sejak kecil, ia memang telah dibesarkan di daerah yang dekat dengan alam. Ia telah mengetahui kalau ayahnya—seorang warga berdarah Perancis-Belanda yang berprofesi sebagai seorang botanis—telah mati setahun lalu karena diterkam buaya. Ibunya entah kemana, setelah diperkosa oleh seorang dukun santet setengah monster—tergantung dari mana kalian menerima perspektif logika dan urban legend masyarakat lokal—dan dijual entah di mana, serta entah kepada muncikari yang ke berapa.
Ia sendiri yang menghadapi kehidupannya di alam liar pedalaman-hutan di pegunungan selatan-Jawa-Timur, yang bukan merupakan pilihannya untuk melanjutkan hidup. Lima tahun lalu ketika Operasi Sapu dimulai, ia bertahan bersama teman-temannya selama lima belas hari, kemudian bersama orang misterius yang ia kenal dengan nama Quebec, mengajaknya untuk kabur ke pedalaman hutan di pegunungan selatan-Jawa-Timur. Ia, bersama sekitar lima puluh orang pelarian membentuk suatu perkampungan kecil, menjadi seorang Coureur Des Bois—istilah harfiah Bahasa Perancis yang berarti 'Seseorang yang berjalan di tengah hutan', sebutan untuk para penjelajah Perancis yang menjelajahi daerah New France dan Amerika Utara pada abad ke-17. Singkatnya, anak hutan—. Seorang Woodsman—atau girl—. Perkampungan tersebut secara teknis adalah kampung para pelarian. Mereka juga menerima orang-orang yang hendak pindah ke kampung terpencil itu.
Bukan suatu hal yang luar biasa—mengingat ada orang-orang yang cukup mengerti, bagaimana membentuk sebuah komunitas baru—dengan orang-orang pelarian sebagai anggota komunitas masyarakat tersebut. Karena suatu hal, pada suatu ketika, orang-orang di kampung pelarian—begitulah kiranya aku menyebutnya—menerima sebuah transmisi radio liar dari gelombang radio yang tidak dikenal, meminta untuk dijemput. Lalu dikirimlah satu tim yang dipimpin sendiri oleh Miriam untuk mencari asal transmisi radio liar tersebut. Ia akhirnya menemui sebuah truk penumpang yang berisi orang-orang pelarian dari Jakarta dan mengakui sebagai UFCA, yaitu rombongan yang membawaku—yang mana pada waktu itu, entah apakah aku berhasil selamat atau tidak—.
Singkat cerita 'perkampungan pelarian' tersebut menjadi sebuah desa yang cukup terisolasi dari dunia luar. Sebenarnya itu tidak dapat disebut sebagai perkampungan. Itu kamp semi-militer pemberontak negara, yang didesain sebagai pemukiman. Ada kira-kira belasan bangunan rumah berstruktur kayu, di mana ada satu rumah besar bertingkat dua yang tergabung bersama aula luas yang digunakan sebagai markas utama—di mana itu menjadi rumah bersama kami pada akhirnya—. Terdapat sekitar lima puluh lebih manusia yang membangun sebuah pemukiman baru di sana. Bahan seadanya, struktur bangunan yang mayoritas terbuat dari kayu. Orang-orang di sana tidak bisa disebut sebagai warga sipil, mengingat mereka adalah pelarian. Mereka adalah orang-orang yang dicap sebagai teroris di masa-masa itu.
Quebec, seperti yang diketahui, adalah seorang lingkar-dalam Shadow Anonymous, bersama beberapa anak buahnya mulai mengajari para pemuda yang kebanyakan mayoritas adalah akademisi, untuk belajar bertahan hidup di tengah konflik panas revolusi. Mereka memanfaatkan alam yang ada di sekitar mereka. Mereka membangun pembangkit listrik sendiri. Orang-orang dari SA pun mulai membuat pusat komando yang tersembunyi di balik kedok pemukiman tersebut.
Aku masih ingat ketika aku di bawa ke sebuah rumah, yang kutahu itu adalah sebuah tempat kesehatan. Kami dipandu oleh Miriam, lalu dengan segera, aku mendapat pertolongan dari seorang lelaki botak plontos yang kutahu itu adalah seorang bekas mantri tentara—iya, itu Lexington, yang ternyata selamat dari Operasi Sapu—. Kami cukup kekurangan peralatan medis yang memadai. Aku kekurangan banyak darah, sehingga Septian harus menyumbangkan darahnya—yang kebetulan bergolongan darah sama denganku—. Sepanjang operasi pengangkatan peluru yang menyakitkan itu, kecemasan selalu membebani Rusya. Paling tidak satu hal yang membuatku lega dari penasaran adalah, tentang Lexington yang kuketahui bernama kecil 'Saparno Lestusen' itu adalah seorang mantan mantri tentara, di sebuah barak di tapal batas luar perbatasan Indonesia dan Papua Nugini belasan tahun lalu.
Aku selamat, tetapi aku dapat konsekuensi yang tidak terduga. Tiga kali di tempat yang sama aku mendapat luka. Pemulihannya malah lebih lama, daripada saat aku ditusuk oleh Thomas Germain sewaktu peristiwa pembantaian bertahun-tahun silam. Sekali lagi bagian luka di daerah bahu kananku kena tembak atau pukul saja lah, ada konsekuensi aku bisa kehilangan setengah tanganku karena lumpuh. Lalu kehidupan kami yang baru pun dimulai di tempat ini.
Ketika kami datang, orang-orang ini tampak seperti para 'peziarah' yang mencari keberuntungan di Dunia Baru. Berperilaku dan berkomunitas layaknya orang-orang pedalaman di Dunia Baru pada abad ke-16. Tidak bisa dipungkiri, selain para akademisi pelarian, orang-orang dari SA pun juga ikut dalam pelarian ini. Aku juga tidak menyangka ketika mengetahui, orang-orang bawahan Vido ... tidak bisa disebut sebagai agen rahasia, tentara, atau bahkan makhluk mengerikan bernama 'kelompok separatis'. Meskipun itu lelaki plontos berininsial Lexington yang ternyata mantan mantri tentara, Quebec yang lebih pantas disebut tukang kayu, sepasang suami-istri pekerja kantoran, atau kakak-adik yang kehilangan orangtuanya—yang mana si adik dari perawakannya, lebih pantas disebut anak SMP yang membawa senapan AK-47—.
Dunia sudah terbalik.
Ah tidak, lebih tepatnya Indonesia mulai memasuki babak baru di Zaman Edan ini.
Akan kuceritakan, satu per satu. Asal kautahu saja, negara telah melahirkan sebuah sejarah horor baru yang lebih mengerikan daripada agenda setting pemerintah Orde Baru setelah tahun '60 an. Segera setelah pemerintahan Pak Jaya tumbang, terjadi banyak sekali kekacauan di berbagai daerah. Perampokan, demonstrasi berujung kericuhan, pembunuhan misterius, tawuran antar geng, begal, tahanan lepas, orang-orang panik yang menggila, dan satuan keamanan yang menjadi obsesif-kompulsif dengan ketertiban masyarakat.
Di kota, terutama kota-kota besar, diberlakukan jam malam. Selalu ada kericuhan yang terjadi. Perang antar geng mulai meletus di mana-mana, sementara polisi sudah kerepotan dengan keributan yang terjadi. Kadang-kadang ada toko yang jadi korban penjarahan, truk kontainer yang dibegal, penculikan anak-anak makin marak, pemerkosaan sudah terjadi seenak jidatnya, sehingga banyak perempuan menjadi 'lacur' mendadak, hingga pada akhirnya dunia luar menjadi tempat yang mengerikan. Sekolah-sekolah diliburkan. Instansi pemerintah juga diliburkan. Kantor-kantor tutup. Ini sudah seperti virus penyakit yang cukup parah. Kau tidak bisa tidak membawa sebuah senjata ketika keluar. Sangat tidak disarankan untuk keluar rumah ketika maghrib menjelang. Pun di rumah, itu masih tidak aman. Ada banyak orang-orang menggila yang mencoba membobol pagar, memecahkan kaca jendela, merampok di mana-mana. Ketika bromocorah, kriminal, dan begal merajarela— di mana kepolisian benar-benar muak dengan mereka, sehingga tidak jarang mereka ada yang ditembak mati di tempat—.
Namun, yang paling mengerikan daripada penjahat, adalah masyarakat itu sendiri.
Ketika banyak orang dirampok, dipukuli sampai mati di tempat umum, diperkosa di depan umum, dibegal dan dirampok terang-terangan di kerumunan orang, penyanderaan masal, rumah dirampok dengan kejam, anak-anak diculik, membuat ketakutan menjadi alat yang ampuh untuk menurunkan status aman seseorang ketika berada di situasi crowd atau kerumunan. Bahkan ketika seseorang itu merasa aman di tempat yang mereka anggap aman. Rasa aman menjadi kebutuhan yang langka dan akan membuat Teori Hierarki Maslow tidak laku, seperti kacang goreng yang tidak laku terjual di pasar malam dan si pembuat teorinya sendiri akan tidak tenang di dalam kuburnya.
Yang terjadi? Penghakiman masal. Kondisi di mana nyawa manusia lebih rendah daripada harga kacang-goreng plastikan seharga lima-ratus rupiah. Di mana moralitas tidak berguna seperti uang monopoli. Di mana agama kehilangan sinarnya. Kerumunan rampok dihajar satu persatu sampai mati, orang-orang rela menabrak lari setiap orang yang tampak seperti seorang anarkis, satu sekolah menjadi sosiopat semua ketika mereka malah ganti menyiksa para penyandera, para pemerkosa dipukuli dan dibakar dengan minyak tanah, para begal diikat di bekakang bemper mobil dan diseret sampai mati, mantan napi malah lebih parah—mereka dibaringkan ke aspal, lalu kepala mereka dilindas oleh truk pickup—. Para ketua RT membolehkan setiap warganya untuk menggebuki terduga penjahat. Polisi? Mereka kena migrain semua ketika mengetahui apa yang harusnya mereka lindungi, berubah menjadi segerombolan serigala. Sebuah sistem masyarakat, kolaps dalam hitungan hari.
Adapun UFCA (United Forces of Civitas Academica)—para akademisi yang membentuk pasukan—masih terlibat perang sendiri dengan Polsus. Polsus masih bertindak dalam mempertahankan stabiltias lingkungan, tetapi setelah pemerintahan lumpuh, mereka seperti samurai yang kehilangan tuannya. Mereka ada perang urat syaraf dengan para akademisi. Para akademisi diculik dan disiksa. Mereka juga menyasar para masyarakat anarkis tanpa pandang bulu. Sebaliknya ketika ada anggota Polsus yang tertangkap, akademisi akan gantian menyiksa mereka. Begitu terus, setiap hari. Siklus yang hampir sama dan monoton.
Bosan dengan Polsus, para akademisi dan warga sipil teradikalisasi mulai menggila dengan mengganti target mereka : birokrat. Rumah keluarga menteri atau pejabat dibobol dan dijarah. Mereka yang kabur dihadang ditengah jalan dan dihabisi di tempat. Para loyalis pemerintah disiksa. Properti milik keluarga mereka dirusak, istri-istri dan anak perempuan mereka dilacuri. Pembakaran rumah terjadi di mana-mana dan membuat para pemadam kebakaran pusing sendiri. Aku tidak mengerti ketika idealisme kaum muda dan pemikiran radikal yang 'berbelok tajam' bercampur menjadi satu, hal itu dapat merubah seorang akademisi menjadi kumpulan kaum barbar. Beberapa akademisi yang masih waras hanya geleng-geleng kepala ketika melihat teman mereka menjadi seorang 'monster'. Bahkan teman mereka sendiri mengancam mereka, bila tidak ikut andil dalam aksi barbar berkedok 'jihad' mereka.
Di pinggiran kota dan daerah sub-urban? Well, sama. Hanya tidak separah di kota. Penghakiman masyarakat juga kurang lebih sama. Bahkan yang lebih mengerikan, adalah ketika masyarakat pedesaan mulai menerapkan penghakiman mereka yang bernuansa 'feodalis', sebuah budaya desa yang mengerikan. Kriminal disiksa dengan beratus-ratus macam cara. Ada dua golongan penting di sini, ekstremis feodal dan ormas 'mengatasnamakan agama'. Aku kembali tidak mengerti ketika agama digunakan untuk pembelaan penjaga stabilitas masyarakat, serta malah terlihat sebagai anarkis dalam kenyataannya, bukan menjadi sebuah regulator moral yang baik.
Hal itu berlangsung ... paling cepat dua pekan. Tergantung di mana daerahnya. Di daerah yang jauh dari pusat kota atau peradaban modern, bisa memakan waktu berbulan-bulan. Ricuh, ribut, dan seram. Sebuah sistem masyarakat lumpuh, melumpuhkan negara. Sebulan setelah keributan masal yang terjadi akibat hancurnya Pemerintahan Jaya, akhirnya disepakatilah untuk diadakan referendum. Pemilihan suara menyatakan bahwa pemerintahan selanjutnya adalah dari orang-orang yang pro dengan kemajuan bangsa dan negara, serta menciptakan perdamaian dengan para akademisi. Di angkatlah presiden baru, Karna Prawangsa. Setelah itu ... perlahan negara memulihkan lukanya.
Sebuah peristiwa kelam yang tercatat di dalam lembar sejarah nasional kontemporer. Zaman Edan. Buku-buku teks sejarah nantinya akan lebih tebal ketika sejarah ini tercatat. Sejarah kelam Indonesia Modern. Lebih populer dikenal sebagai Tahun Kelabu. Suram, menyedihkan pula.
Sementara itu, orang-orang yang muak dengan kehidupan masyarakat nasional, perlahan mulai kabur dari kehidupan itu. Pindah dan eksodus ke pedalaman-pedalaman yang jauh lebih tenang. Menciptakan sebuah masyarakat baru yang lebih senang dengan ketenangan dunia. Salah satunya, adalah aku.
*****
Oke, biar kujelaskan. Gadis kecil usia empat tahun itu adalah anakku. Namanya Reika Annastasya. Itu ... anakku dengan Rusya. Mungkin kalian akan bertanya-tanya bagaimana kami bisa memiliki anak. Sejujurnya kami menikah secara 'tidak resmi', tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, tetapi kami 'mencatatkan' diri. Setidaknya kami harus berterima kasih kepada Vido untuk urusan 'penambahan data' di server pusat kantor kependudukan. Well, menikah bukan soal resmi atau tidak resmi. Menikah pun juga bukan soal mana sah atau tidak. Anggap saja dua orang yang terdampar di pulau antah berantah, tidak bisa kembali, di mana kalian mencari wali kalian masing-masing? Apakah kalian akan berpikir dua ratus kali untuk mencari atau membawa wali kalian?—Aku harap kalian paham maksudku—. Aku tidak tahu. Hidup dengan agama, jalani saja, tidak berperilaku menyimpang, dan tidak ribut dengan orang lain gara-gara mempermasalahkan sebuah debat kusir. Itu saja. Tidak ada yang lain.
Bahkan di antara kalian, mungkin bertanya-tanya bagaimana aku menghabiskan 'malam' di mana aku dan Rusya saling bercinta. Tidak, aku tidak akan menceritakan hal itu secara frontal. Paling tidak itu adalah hal yang telah lumrah dan indah bagi setiap insan manusia. Ayolah, apakah aku harus menceritakan sebuah kegiatan 'menindih dan menarik' untuk melakukan pertukaran cairan, disertai dengan suara berisik, yang keluar dari sepasang suami-istri muda yang baru saja sehari menikah? Paling tidak kaubisa menemukan contohnya di beberapa situs internet.
Hidup kami di 'perkampungan pelarian' sepertinya adalah hal terbaik yang dapat kami lakukan. Memutuskan dari hingar-bingar dunia yang tengah sibuk memulihkan diri pascakekacauan yang terjadi. Sebagian dari pelarian ini memang terkadang muak dengan peristiwa Tahun Kelabu yang merenggut banyak nyawa dan kerugian materiil di mana-mana.
Selama lima tahun kami 'mengasingkan diri' dari dunia. Memutuskan kontak dengan orang-orang terdekat kami. Keluarga, rekan kerja, teman masa-masa sekolah—aku tidak tahu apakah mereka masih selamat setelah Operasi Sapu dan peristiwa Tahun Kelabu. Mereka mengira kami telah mati atau menghilang di tangan para Polsus.
Segera setelah aku dan seluruh rekan-rekan seperjuanganku menyesuaikan diri di 'perkampungan pengasingan', kami mulai melakukan pekerjaan lain yang lebih berfaedah daripada sebelumnya. Pendek kata, kami 'memantau dunia' dari bayangan, juga akan kujelaskan sedikit kegiatan sehari-hari kita di kampung yang'damai' ini.
Vido mulai menempatkan orang-orangnya. Di pemerintahan, berbaur dengan warga sipil, bahkan masuk ke dalam jaringan Intelejen Negara. Sangat diuntungkan ketika ia mendapat suplai informasi dari beberapa orang UFCA yang ada di pemerintahan. Setiap hari, kami memantau perkembangan pemulihan nasional. Mungkin kami bekerja di bawah kendali Vido, secara tidak langsung terkesan 'Vidosentris'. Mau bagaimana lagi?
'Ponsel sakti' milik Vido Immadudin adalah produk peradaban modern yang 'cukup canggih'. Aku rasa itu adalah versi sempurnanya ponsel yang dimiliki oleh Thomas Germain. Akses langsung ke dalam jaringan bank data negara, arus informasi secara terselubung dari para SA, serangkaian aplikasi dan virus peretas jaringan terproteksi, serta beberapa aplikasi 'pengambilalihan' sistem kendali beberapa perangkat lunak. Bayangkan kaubisa meluncurkan sebuah roket secara otomatis nun jauh di Bandung sana.
Kegiatan kami sehari-hari adalah berburu hewan buruan, memancing, bercocok tanam di ladang, mencari kayu, membajak barang para penyelundup atau pedagang gelap, menegksekusi ekstremis atau bromocorah penghuni lapas yang kabur ke hutan, membuat beberapa barang yang bisa dijual lagi—kebanyakan perabot rumah tangga dari kayu atau perkakas—ke beberapa kota terdekat.
Septian terpilih sebagai kepala desa, Vido enak-enakan dengan Tiara—iya mereka juga menikah dan 'ena-ena' semaunya—, Arjuna—yang juga berkeluarga dengan Miriam dan memiliki seorang anak laki-laki—kelayapan di hutan untuk mencari hewan buruan atau penyelundup buruan, Aku yang terkadang ikut Arjuna, atau terkadang membantu Rusya untuk mengurusi kebun di belakang rumah, Chandra yang memilih main game online dengan pemain anonim, serta, dia dapat uang dari itu, Rahmat mengkondisikan perekonomian kampung, dua sejoli jomblo yang nggak laku-laku—Hafizh dan Ammar—mengomando keamanan kampung.
Hidup kami damai dan tenteram. Baru kali ini tercipta sebuah utopia mini, di mana kami bisa hidup berdampingan. Persetan dengan segala perbedaan. Mungkin orang-orang bisa dengan bangganya memasang identitasnya sebagai Islam, Kristen, Kejawen, Animisme, Agnostik, Atheis, Sunda, Batak, Ambon, Papua, Cina, Eropa, Arab, Sosialis, Liberalis, Nihilis, Anarkis atau bahkan Oportunis. Namun, ketika kau berkonspirasi untuk membentuk sebuah utopia, yang berlawanan dengan sebuah masyarakat yang memiliki pemerintahan terstruktur dan diakui dunia, kau hanya dianggap sama dengan satu nama : Pelarian.
Kami lari dari kehidupan yang rusak di luar sana. Kami mencari kedamaian yang melegakan, bukan keributan yang melelahkan.
*****
"Bagaimana harimu kali ini?" tanya Rusya, yang kini tidur di sampingku.
"Tidak terlalu berat. Paling tidak hari ini, semuanya harus membereskan kekacauan yang merepotkan semalam ...," ujarku. Rusya bergeming dari posisinya sekarang, tetap memelukku, seolah-olah dia tidak ingin aku pergi dari kamar ini.
"Bagaimana dengan Reika?" Aku melongok ke kasur dipan di seberangku.
"Dia sudah tidur, jangan diganggu ...," Rusya meletakkan telunjuknya di bibirku, menyuruhku untuk diam. Oke, bayangkan saja kini Rusya sedang berhadapan denganku di dalam satu ranjang, jangan memikirkan yang tidak-tidak!
"Apakah kau bahagia?" tanyaku.
"Tentu saja. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini ...," ujar Rusya seraya memelukku erat.
"Kau sudah puas menikah denganku dan mengasuh seorang anak. Sayang sekali kita harus menceritakan semua hal yang merepotkan ini suatu saat, jika kita kembali ...," gumamku. Rusya terkekeh.
"Setidaknya, kau harus jelaskan kepada orangtuamu ...,"
Aku terdiam. Bagaimana keadaan kedua orangtuaku? Apakah mereka baik-baik saja? Lima tahun aku meninggalkan mereka? Mereka pasti sangat khawatir.
"Kau terlalu memikirkan hal yang sulit, Rimba, sekalipun kautemukan kedamaian di sini ...," ujar Rusya.
"Terkadang, kedamaian tidak selamanya diperoleh dengan menolak keberadaan mereka yang mengasihi kita. Bahagia adalah ketika kaudapat membagikan kedamaian itu kepada orang-orang seperti mereka," kataku sembari mengelus rambut Rusya.
"Ha! Tapi kau bahagia ketika kau bercinta denganku!" canda Rusya. Kami berdua pun harus menahan tawa kami, agar tidak membangunkan si Reika yang sedang tertidur.
"Aha! Kupikir ini kode rajuk darimu ...." Aku mengernyitkan dahi.
"Memang," jawab Rusya cepat seraya naik ke atas tubuhku, hingga wajah kami berdua berdekatan. Baru saja kami memulai ciuman panas kami ketika pintu digedor oleh suara gedoran yang sangat kukenal.
Sial, dari sekian toleransi, kenapa mereka rendah sekali dalam toleransi privasi rumah tangga!
Rusya terdengar mengeluh. Aku cepat-cepat memakai pakaianku kembali dan membuka pintu.
"Ada masalah serius ...," ujar Arjuna.
"Kalau laporan tentang kuda-kuda di belakang merusak pagar tanaman lagi, akan kupukul kau karena merusak mood-ku dengan Rusya malam ini!" gerutuku.
"Sorry ... Sorry. Bukan bermaksud untuk menghentikan aksi panas kalian malam ini, kawan. Namun, sepertinya kawan kita di jalan utama masuk desa sedang kerepotan dengan penyusup," jelas Arjuna.
"Apa? Penyusup?" ulangku. Sejenak kami terdiam dan terdengar suara baku tembak, bersamaan dengan suara ledakan yang cukup keras. Jarak rumah ini dengan jalan masuk sekitar satu kilometer, tetapi karena tenangnya suasana di kampung ini, ledakan seperti pecahan mortir meledak tadi memang terdengar keras.
"Aku penasaran, apakah para tentara bayaran itu memanggil temannya?" gerutu Arjuna. Kami berdua bergegas menuju lantai bawah ketika rumah sudah dipenuhi dengan beberapa orang lingkar dalam SA dan para keamanan kampung. Mereka menenteng berbagai senjata di tangan mereka. Terlihat Vido dan Septian berkumpul di meja makan.
"Situasi di pintu masuk sangat kacau, Pak!" ujar salah satu warga kampung.
"Berapa banyak kira-kira, Lex?" tanya Vido.
"Kureka-reka, ada sekitar puluhan yang menyerbu kampung ini," jelas Lexington.
"Tentara bayaran lagi? Teroris? Pasukan bromocorah? Atau malah TNI?" tanya Septian terdengar sedikit kesal. Sudah dua kali ia dikejutkan dengan kekacauan semacam ini. Belum pernah kampung ini diserbu oleh orang-orang misterius, tetapi kampung ini selalu siap jika terjadi situasi terburuk semacam ini. Mau tidak mau, semuanya harus angkat senjata.
"Sep! Aku menangkap sinyal masuk! Sepertinya mereka ingin bicara dengan otoritas di kampung ini!" Rahmat yang sedari tadi berkutat pada radio menyerahkan headphone kepada Septian di sampingnya.
"Identifikasikan diri kalian!" perintah Septian di radio komunikasi. Terdengar suara yang cukup berisik di radio.
"Ini dari satuan khusus Ke-12 Tentara Nasional Indonesia! Kami bertugas sebagai penyampai pesan kepada Pemerintahan Referendum Republik Indonesia, kini kami diserang oleh beberapa orang-orang tidak dikenal!" ujar suara di sisi lain.
"Pemerintah? Satuan Khusus TNI. Mau apa mereka?" gumam Septian, yang sempat menoleh dan melihat ke arah kami untuk menanyakan sebuah jawaban. Kami hanya menggeleng. Ia kembali ke radio komunikasi.
"Di mana posisi kalian?" tanya Septian.
"Tepat akses jalur masuk kampung! Kami mendapatkan serangan dari arah jam 11 dan 1! Beberapa warga lokal mencoba membantu kami!" jelas suara di seberang.
"Oke, kaubicara langsung dengan pemimpin kampung ini. Kami akan memberikan bantuan segera, setelah Anda menjelaskan maksud kedatangan kalian yang mengundang keributan di sini!" gerutu Septian.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan! Kami tahu dari atasan! Mereka mulai berdatangan! Jumlah kami tidak seimbang! Mohon kirimkan bantuan segera!" suara di seberang terlihat mulai panik.
Septian kembali menoleh kepada kami.
"Well, sepertinya pemerintah menginginkan sesuatu untuk dibicarakan dengan kita, tetapi beberapa orang yang tidak suka mulai mengagalkannya ...," komentar Arjuna.
"Sepertinya aku mengenal suara di radio komunikasi itu ...," ujarku. Septian kembali untuk berhubungan lewat radio.
"Identifikasikan diri Anda!" ujar Septian.
"Pemimpin Tim Satuan Khusus 12, Letnan Dua Guntur Fanani,"
****
Para barbar yang tiba-tiba menyerang kampung, bukanlah suatu alasan yang tidak masuk akal. Sejenak aku berpikir mereka berada dalam satu komando yang sama. Untuk apa tujuannya, aku hanya sampai dalam taraf asumsi. Setelah salah satu kelompok tentara bayaran yang sempat mengacau dihabisi, orang-orang yang berafiliasi dengan mereka pun akan berpikir dua kali untuk menyerbu sebuah kampung sederhana yang berada di tengah hutan. Lebih-lebih kalau kampung itu tidak pernah ada di dalam peta mana pun sebelumnya.
Beruntung sekali kami punya bantuan dari tentara nasional, walaupun tujuan mereka sebenarnya bukanlah untuk ini. Kami bertemu Guntur setelah sekian lama kami berpisah menempuh jalur hidup masing-masing. Entah apa yang kini membuat Guntur menjadi seorang anggota tentara nasional, setelah sebelumnya ia sangat ingin untuk menjadi seorang polisi. Oh, jangan lupa, dia punya pangkat yang cukup tinggi sekarang, tidak main-main.
Jumlah orang-orang yang menyerang kampung juga tidak main-main. Menurut laporan, jumlah mereka sekitar seratus orang. Persenjataan mereka juga bukanlah selevel kacangan. Senjata pistol model Colt M1911, Beretta M9, Shotgun model Remington 1100 TAC-4, Senjata serbu AK-47, dan HK-MP5. Yang lainnya memakai senjata rakitan yang telah dimodifikasi. Kalau aku boleh komentar, mereka tidak main-main dalam menyerbu kita. Masalahnya, siapa yang menyewa segerombolan tentara bayaran ini?
"Arjuna, komando?" ujarku di radio komunikasi.
"Kaupimpin tim Tentara Nasional untuk menghabisi musuh yang datang dari arah jalan utama. Aku dan kelompok pemburu akan menyebar keluar dan mencoba membokong mereka dari kejauhan. Septian bersama Rahmat, Hafizh, dan Ammar akan membantu dari sisi samping. Vido akan membantu lingkar SA untuk evakuasi anak-anak dan orang tua, Rusya ... urus dari kejauhan!" perintah Arjuna.
"Siap, laksanakan!" Aku bersama beberapa keamanan kampung datang membantu tim Guntur yang sedang beradu tembak dan bertahan di salah satu pos penjaga.
"Maaf, kami terlambat. Kami harus mengurus sesuatu," ujarku seraya menyapa seorang berbadan kekar dengan wajah yang familiar.
"Huh, tidak kusangka kebiasaan orang Indonesia tetap saja dipelihara. Sedetik keterlambatan, bagi kami adalah kematian yang begitu dekat ...," ujar tentara berpangkat letnan dua itu.
"Tidak kusangka pula kau sudah ganti profesi, Letnan." Aku memberi hormat.
"Tidak kusangka kaujadi buronan banyak orang, Rimba ...," balas Guntur. Letnan Dua Guntur. Aku tersenyum. Inilah saatnya menunjukkan kemampuanku.
"Pecah menjadi dua tim kecil! Satu di antara rumah-rumah dan satu lagi dekat dengan pos polisi satunya! Tahan mereka! Jangan biarkan mereka masuk sejengkal ke kampung kita! Kita pukul mundur mereka sampai Septian siap untuk menyerbu dari sisi samping kampung! Bergerak!" Aku mengomando kelompokku seraya menoleh ke arah Guntur yang sedikit terhenyak dengan komandoku.
"Baiklah ... sekarang, mari kita mulai dramanya!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top