CHAPTER 15
Yang aku tahu, Vido Immadudin sudah mati. Dia memang sudah mati. Namun, Vido seakan mampu mengirimkan pesan dari alam baka, untuk diantarkan kepada sang iblis yang telah lepas dari belenggu neraka. Balas dendam untuk sosok santo—orang suci—yang menjadi martir untuk dunia ini. Dipermainkan oleh sang iblis, yang tidak lain tidak bukan adalah Charles Marute.
Pesan dari alam baka.
"Hai. Selamat! Selamat! Kau sudah membuka ketiga kunci tersebut. Itu berarti kau hebat. Namun, apa kaubisa tertawa setelah membuka kunci itu, itu bukan jaminan," ujar Vido dari rekaman suara tersebut. Charles masih terperangah dengan apa yang terjadi. Ia berusaha mengutak-atik ponsel, tetapi ia tidak dapat menggunakannya.
"Le-lelucon macam apa ini!? Kenapa aku tidak dapat menggunakannya!?" gerutu Charles, sementara suara Vido kembali terdengar.
"Asal kautahu, selamat menikmati mainanmu, Charles. Aku sudah mencurigaimu dari awal. Lancang sekali kaumau menantang Shadow Anonymous. Kau sudah diawasi bertahun-tahun olehku. Hanya saja, aku tak mau langsung mengeksekusimu, karena aku ingin berikan sedikit kejutan ...," jelas Vido seraya tertawa.
"Sial!! Beraninya kalian mempermainkanku!" geram Charles pada ponsel yang dia genggam.
"Siapa yang goblok sekarang? Asal kautahu, aku tidak tertarik oleh kekuatan super dari raja-raja terdahulu. Sederhana saja, aku sudah merencanakan hal ini tentunya. Anak Kuasa? Jangan main-main. Kauingin menggertakku dengan organisasi mainanmu, Charles? Aku punya koneksi. Aku sudah pelajari semua hal tentang kalian! Ponsel itu dirancang oleh Thomas Germain, tentunya aku harus mengetahui semuanya! Sekarang ... nikmatilah sendiri apa yang kautanam ...," lanjut Vido menjelaskan
"Sial! Sial!" Charles semakin menggila
"Rencana B, goblok. Begitu kaubuka kunci ketiga, secara langsung kaubisa mengakses aplikasi yang ada di dalamnya. Namun, apa kau sudah mempelajari baik-baik, aplikasi apa itu? Memang benar, kaubisa menggenggam negara ini dengan aplikasi itu. Sebuah akses langsung menuju satelit. Akses langsung menuju server dan database mana pun di negara ini. Politik, militer, pemerintahan, ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Namun, perlu diketahui. Begitu kaubuka kunci ketiga, itu juga akan mengaktifkan aplikasi yang terintegrasi langsung di server pusat intelejen negara. Itu adalah aplikasi untuk melacak seluruh anggota Anak Kuasa. Tentu saja, seluruhnya. Kini, kausaksikan anggota persaudaraanmu pretel satu per satu, Charles. Aplikasi tersebut juga telah merekam data sidik jari yang tertempel di ponsel itu, sehingga kau tidak dapat menggunakannya. Menarik? Hah. Ketika kaupikir telah membunuhku, apa kau tidak berpikir? Apa aku sudah dibunuh? Aku hidup di dalam masyarakat ini. Aku adalah Shadow Anonymous." Transmisi tersebut kemudian berakhir.
"Sial! Sial! Sial!" Charles murka sembari melonjak-lonjak seperti anak kecil yang marah karena kalah main.
Rencana yang tidak terduga dari Vido. Ia sengaja—atau memang ia sudah tahu kematiannya—membuat dirinya menjadi martir, membiarkan Charles mendapatkan ponselnya, lalu ketika Charles berhasil membuka kunci itu, rencana yang dia jalankan pun telah terlaksana. Vido sudah menang dari awal.
"Nah, sekarang. Waktunya eksekusi," potong Septian seraya menodongkan pistol ke arah Charles.
"Tidak semudah itu, kawan!" Charles menodongkan pistolnya ke arah presiden, bersamaan dengan Rusya menodongkan pistol ke belakang kepalanya.
"Ap-apa!?" Charles tergagap, mengetahui Rusya menodongnya dari belakang. Aku, Septian, dan Arjuna menahan diri untuk tidak menembak.
Memang benar dugaanku.
"Tidak akan kubiarkan kau melangkah lebih jauh lagi, Charles!" desis Rusya.
"K-kau mem-membokongiku selama ini!" Wajah Charles merah padam. Tanpa disangka, Chalres membuat gerakan cepat dengan menyikut ulu hati Rusya. Gadis itu terjengkang sembari memegangi pinggangnya. Memanfaatkan momentum tersebut, Charles lari ke arah belakang.
"Akh! Ini kesempatan kalian, serang Charles!" teriak Rusya. Kesempatan itu tidak kami sia-siakan. Aku menembak betis kiri Charles, membuat dia jatuh tertelungkup. Ponsel sakti yang ia genggam terlempar ke arah lantai. Aku dan Septian berlari untuk menangkapnya, tetapi Charles sempat menembak tanpa arah, membuat kami mundur beberapa langkah. Tepat ketika itu, Septian menembak bahu kanan Charles. Charles yang masih sadar, menembak kaki Septian, membuat Septian terpelanting. Aku dan menerjang Charles, menendang pistol di genggamannya hingga terlepas. Aku menodong Charles tepat di kepalanya.
"Ini ... untuk semua orang yang sudah kaubunuh!" ucapku seraya memindah bidikanku dan menembak kedua lutut dan kedua siku Charles. Charles berteriak kesakitan.
"Marrisa ... Willi ... Tiara ...." Aku menembak bahu kiri, ulu hati, dan telinga kanan Charles. Membuat Charles tersiksa menjelang kematiannya.
"Hentikaan! Hentikaan!" Charles melaung. Aku hendak menembak kepalanya, tetapi peluruku habis. Kuangkat kepalanya dan kubenturkan ke jendela dua kali hingga kaca jendela tersebut pecah. Darah segar keluar dari dahi Charles.
"Bagaimana rasanya? Mati perlahan, Charles?" bisikku.
"Tidaaak!" teriak Charles. Kuambil pecahan kaca jendela, lalu menghunjamkannya tepat di ubun-ubun iblis bangsat itu.
"Mati kau!"
Teriakan parau Charles karena nyawa yang keluar dari tubuhnya, mengakhiri pengejaran panjang kami. Selesai sudah.
"Setan itu ... sudah kembali ke neraka ...," ujar Septian.
Aku membuang tubuh Charles keluar dari jendela, di mana tubuhnya jatuh tepat menancap di pagar gedung bank.
*****
Kita akan mendengarkan apa yang telah terjadi.
"Jadi ... selama ini ...." Aku menghampiri Rusya, tepat ketika Arjuna yang tidak sabar segera berceloteh.
"Sudah kuduga, agen ganda."
"Hei! Ceritakan dulu apa yang telah terjadi!" Septian kebingungan—atau memang tidak bisa menangkap dengan baik—terhadap situasi yang telah terjadi. Rusya menceritakan yang sebenarnya.
"Singkatnya, aku mengatakan pada Vido, kalau aku akan menjadi agen ganda untuk Kesatria Masa. Aku bilang padanya, bahwa kemungkinan Vido akan terbunuh. Namun, ia tetap pada rencana awalnya. Ternyata, tidak kusangka ini benar-benar terjadi," jelas Rusya.
Kami perlahan sedikit mengerti dengan penjelasan Rusya. Ia sengaja kongkalikong dengan Vido seorang diri untuk membuat rencana ini. Membiarkan Charles mencapai tujuannya, hingga ketika tepat iblis itu terlena karena mendapat apa yang ia inginkan, kami menjadi malaikat kematiannya.
"Jadi ... Serat Terakhir. Itu aman sekarang?" tanya Arjuna
"Iya, benar. Ada di ponsel itu," ujar Rusya seraya melirik ke arah ponsel yang masih ada di lantai.
"Lalu ... kenapa kaurahasiakan ini dari kami," tanyaku heran.
"Aku ... hanya ingin agar dia tidak macam-macam dengan Kesatria Masa, hanya karena organisasi itu telah lama punah ...," ujar Rusya sedikit ragu.
"Ma-maksudmu?"
"Aku orang terakhir, Rimba. Satu-satunya anggota persaudaraan yang tersisa, tinggal diiriku. Tidak ada yang dapat lagi kulakukan, kecuali mengamankan benda itu," jelas Rusya. Kami mendapatkan satu lagi pencerahan. Ia tidak ingin orang-orang lebih banyak terlibat karena pertempuran dua persaudaraan yang sedang terjadi itu. Namun, sepertinya keterlibatan kita memang tidak dapat dihindari, setelah semua kekacauan tiga hari belakangan.
"Benar juga ... setelah Thomas Germain dan ayahmu tewas. Tinggal kau seorang," simpulku.
"Bodoh! Lalu kenapa kau tidak bilang saja ke kami selama ini. Bangsat sialan itu pasti sudah dihancurkan oleh Vido dari awal!" tukas Septian terlihat kesal. Sepertinya ia masih belum dapat menerima kenyataan.
"Kau tidak akan tahu! Anak Kuasa sudah menyusup di mana-mana! Pemerintahan, intelejen negara, UFCA, bahkan dalam tubuh Shadow Anonymous! Charles adalah orang paling licik, diantara Grand Master sebelumnya," sangkal Rusya, membuat Septian hanya terdiam.
"Jadi ... karena itu, Vido yang menyadari penysusupan tersebut, merencanakan ini membuat aplikasi keamanan untuk ponsel. Hebat sekali ...," duga Arjuna sembari menggigit jempolnya. Rusya mengangguk.
"Dibantu dengan Shadow Anonymous yang ia pimpin, ia berhasil mendapatkan orang-orang yang dicurigai. Charles Marute, bagaimana pun sangat pintar. Dia adalah manusia ... tidak, siluman bermuka seribu. Bahkan, ia menyusup ke dalam persaudaraan Kesatria Masa jauh sebelum ini terjadi ...," ujar Rusya, seraya menggeram ketika menyebutkan nama Charles.
"Apa!? Jadi ... yang membunuh ayahmu ...," selaku. Rusya kembali mengangguk.
"Itu Charles. Namun, waktu itu aku tidak tahu siapa pelakunya. Aku mencarinya selama bertahun-tahun, lalu kutemukan orang itu. Pertama kali kenal, ia tampak seperti orang kikuk dan bodoh, bukan? Sebenarnya, dia adalah Siluman Bermuka Seribu yang sesungguhnya!" jelas Rusya. Aku menepuk dahi.
"Tak kusangka ... orang itu licik juga!"
"Maafkan. Aku terpaksa melakukan hal ini. Kalian puas sekarang? Kaubisa mengeksekusiku kalau perlu." Rusya mengangkat tangannya seraya menundukkan kepalanya.
"Huh ... setelah ini ... akan ada banyak pembicaraan, Rusya," ujar Septian yang tidak dapat menyembunyikan ekspresi kalau dia tadi habis senyum.
Ini telah berakhir. Saatnya menyelesaikan apa yang telah di mulai.
"Sepertinya, Septian benar ...," lanjutku menimpali.
"Maaf ... Rimba." Kata-kata Rusya terdengar sedikit berat. Aku juga sedikit berat hati untuk melimpahkan semua kesalahan pada dia.
"Sudahlah, kita akan urus ini nanti," ujar Septian seraya memungut ponsel pintar yang terjatuh di lantai.
"Maaf ...."
Dengan sekelebat gerakan yang tidak aku duga, Rusya menembak Septian. Septian terjengkang dan memegangi dadanya.
"Rusya!"
*****
Aku tahu aku seharusnya tidak percaya begitu saja dengan gadis itu.
Rusya berlari merebut ponsel yang terlepas dari genggaman Septian, lalu ia kabur melalui pintu di seberang.
Aku tahu seharusnya aku memikirkan pertimbangan dari orang-orang.
"Ka-kalian, pergilah! Kejar dia!" teriak Septian.
"Kau tidak-apa-apa!?" tanyaku.
"Tenang saja, pelurunya tidak kena organ vital. Kejar dia, cepat!" perintah Septian. Kami langsung bergegas mengejar Rusya yang lari ke lantai bawah.
"Rimba ... mungkinkah ...," desis Arjuna.
Aku seharusnya memikirkan semua pertimbangan tersebut.
"Mungkin ..., sangat mungkin," geramku. Kami baru saja menuruni tangga ketika kami melihat Rusya sudah menodongkan sebuah senapan ke arah kami.
"Rimba, Awas!" teriak Arjuna. Dua tembakan yang dilepaskan Rusya untungnya tidak mengenai kami. Kami merunduk, seraya bergulir menuju ceruk-ceruk pilar gedung.
"Dari suara tembakan dan bentuk senapannya, itu Senapan Anti-Materiil. PGM-II mungkin. Ah, sial. Berlindung di balik ceruk!" jelas Arjuna. Kami berdua terpisah di antara ceruk pilar gedung yang berseberangan.
"Sial, aku tidak tahu kalau dia punya dua senapan!" umpatku.
"Bagaimana ini!?"
"Senjatanya tidak mungkin bisa digunakan untuk pertarungan jarak dekat. Kita harus mendekatinya, Rimba!" Arjuna mulai menyusun rencana.
"Jadi, apa rencanamu?" tanyaku.
"Jangan biarkan dia memfokuskan senapannya ke arah kita. Tembakan perlindungan! Lari, Rimba!" Arjuna menodongkan senjata semi otomatis yang dia bawa untuk menembakan tembakan perlindungan.
"Arjuna, giliranmu!" teriakku sembari menembak ke arah Rusya. Rusya tengah berlindung di balik meja kantor. Ketika Rusya terlihat terdesak, kami berdua maju, sembari terus menembaki Rusya agar ia tidak berkutik. Ketika Rusya akan menodongkan senapan ke arah kami, Arjuna berhasil menembak senjatanya, sehingga senjatanya terlempar.
"Bagus! Senjatanya kulemparkan! Rimba, kita pepet dia!" teriak Arjuna memberi perintah. Kami semakin dekat menuju tempat persembunyian Rusya. Barang empat-lima langkah lagi, Rusya pun kabur. Kami hendak mengejarnya ketika tiba-tiba, Arjuna mendorongku dan menyuruhku mundur.
"Mundur!" teriak Arjuna bersamaan dengan ledakan di kedua sisi meja kantor. Rupanya Arjuna menerjang pemicu jebakan peledak. Aku menghampiri Arjuna. Yang lebih mengerikan adalah ketika aku tidak melihat tangan kanan Arjuna.
"Arjuna!" teriakku.
"Ri-Rimba ... kejar dia ... cepat!" perintah Arjuna.
"Ta-tapi ... tanganmu ...,"
"Sudahlah, kejar dia!"
*****
Aku sempat tertinggal dari Rusya yang berhasil kabur. Aku sempat melihatnya kabur ke sebuah ruangan. Aku mengejarnya dan malah berakhir dengan sambutan todongan senjata Rusya.
"Berhenti!" perintahnya. Aku berdiri terdiam di ambang pintu. Tidak kusangka Rusya langsung mengarahkan senapannya ke lenganku dan menembaknya. Aku jatuh terjengkang, meremas lengan kiriku yang ditembus peluru anti-materiil. Aku mengerang menahan sakit. Berjuta sensasi panas, sakit, dan serasa lenganmu dilubangi.
"Argh, Sial! Rusya, dari sekian banyak hal yang kaubuat, ini benar-benar di luar batas! Apa maumu!?" teriakku.
"Maaf, Rimba. Seperti yang kau mungkin ketahui, tujuanku adalah ponsel ini," ujar Rusya sembari melambai-lambaikan ponsel sakti incaran semua orang itu di depanku. Ia benar-benar melakukan permainannya dengan baik hingga akhir.
Ia berakting dengan sangat baik.
"Oh ... ponsel itu masih terkunci," ujarku.
"Hanya untuk Charles, tidak untuk orang lain," sela Rusya.
"Mengharapkan untuk menguasai negara, bahkan dunia ini? Kau bahkan tidak mendapat kebahagiaan? Bahkan setelah bersamaku selama lima tahun!?" tukasku.
"Kebahagiaan? Satu-satunya kebahagiaan hanyalah dengan bersamamu, Rimba!" Rusya masih memutar pembicaraan.
"Lalu ... ini apa!? Kau sudah membunuh semua teman-temanku! Bahkan sekarang kaumau membunuhku juga? Apa yang kaupikirkan!" Aku sudah kehilangan kepercayaan kepada perempuan itu. Wajah Rusya nampak sedikit muram.
"Aku ... hanya ingin bermain denganmu ...," ucapnya berat.
"Apa? Apa kau sudah sinting!? Apa maksudmu ...,"tanyaku tidak mengerti.
"Aku menang dan kau kalah. Ini hanya permainan, Rimba. Salahkah?"
"Aku tidak tahu apa maksud perkataanmu, tetapi berhentilah bersikap aneh!" tegasku.
"Tapi ... aku hanya ingin main denganmu ...," desak Rusya dengan perkataannya yang tidak jelas. Aku tahu dia tidak meracau. Dia benar-benar menyebutkan 'bermain'.
"Main, gundulmu! Berhenti jadi ratu drama, Rusya! Kenapa ... dari semua pertemuan denganmu ... tidak, dengan perempuan mana pun, selalu aku!" teriakku marah.
"Jangan samakan aku dengan Samantha atau siapa pun! Aku hanya ingin bermain bersama seseorang! Aku ... aku ...," kini wajah Rusya mulai sembap. Aku tahu dia lakukan ini untuk menarik simpati. Namun, aku tidak akan tertipu lagi.
"Baik," ujarku, "beri tahu aku. Malam pembantaian SMA Harman Sastranegara, Operasi Sapu, Revolusi 2021, dan kekacauan ini, apakah ini semua ulahmu?"
"Huh ... kautahu ...." Rusya bergeming dari posisinya.
"Apa kau sudah gila? Untuk apa? Benda itu, untuk apa?" tanyaku.
"Ini ... hadiah pemenangnya, Rimba." Rusya kembali bicara berputar-putar.
"Diam! Jelaskan!" gertakku.
"Huh ... kurasa, untuk menghibur orang yang akan mati, mungkin aku harus beri tahu kau ...," ujar Rusya seraya memutar sebuah video di ponsel tersebut. Kemudian ia mendekat dan memperlihatkan video itu kepadaku.
Aku membelalak.
Itu video Thomas Germain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top