CHAPTER 14

Operasi untuk merebut kembali kota Yogyakarta, sekaligus menumpas pergerakan pemerbontak yang akhir-akhir ini mulai menunjukkan eksistensinya, telah berlangsung selama tujuh jam. Aku, Arjuna, Septian, dan serta empat orang dari Tentara Nasional bergabung dengan satu kelompok inti ini. Kini kami semua bergegas untuk menuju sinyal yang telah ditembakkan. Sinyal suar warna ungu yang berarti target utama operasi telah ditemukan, ditembakkan di daerah sekitar keraton. Tugas kami adalah menghabisi Charles, merebut ponsel pintar, lalu menyelesaikan pertempuran. Kami bergerak dari satu bagian wilayah ke wilayah lainnya.

Hari itu, Yogyakarta benar-benar kacau. Segera setelah kami berangkat sebagai kelompok yang akan meringkus Charles dan Rusya, keadaan terasa sedikit lebih mudah. Dewi keberuntungan memihak kami pada hari ini. Orang-orang yang memihak Anak Kuasa tidak menduga, serangan akan dilakukan oleh orang-orang dari dalam itu sendiri.

Mereka sibuk dengan penembak misterius yang berseliweran kemarin malam. Menembak, lalu kabur, terulang di beberapa tempat yang berdekatan. Penembak misterius itu bersembunyi di balik tembok, jalan layang, apartemen, hotel, atau tempat-tempat yang tidak terduga. Ditambah dengan padamnya listrik dan tidak tersedianya komunikasi, membuat mobilitas mereka menjadi terganggu. Tentu saja, soalnya beberapa relawan yang merupakan warga Yogyakarta, mencoba untuk melakukan sebuah perlawanan yang berarti sebelum kami sampai.

"Keluarga Sultan telah diamankan. Keraton telah direbut kembali. Mereka kini dalam perjalanan menuju tempat ekstraksi!" Seorang milisi UFCA memberitahu kami ketika kami sampai di dekat Alun-Alun.

"Bagaimana dengan Pak Presiden?" tanya Arjuna bergegas.

"Keluarga presiden belum ditemukan, kemungkinan besar mereka dibawa Charles," ujar milisi tersebut.

Paling tidak seluruh keluarga Sultan telah diselamatkan. Yang paling krusial kini adalah keberadaan Karna Prawangsa, sang presiden. Dilihat dari pergerakan kami yang masih mendominasi, juga taktik dari Anak Kuasa yang masih seperti tak terkomando, Charles belum berhasil mendapatkan password terakhir. Tidak mungkin kalau Charles akan membunuh Karna secepat itu. Terlebih lagi, kemungkinan besar Charles mendapatkan argumen alot dari Karna. Tiba-tiba saja sebuah suar merah meluncur dari arah Timur.

"Suar barusan berada tak jauh dari Keraton ...," pintaku.

"Benteng Vredeburg! Mereka di sana!" pekik Arjuna.

"Apa? Kau yakin!?" tanyaku memastikan.

"Dilihat dari jumlah pemberontak yang kita temui semakin sering, mereka pasti terdesak, lalu berkumpul di satu area. Kemungkinan besar Charles juga berada di sana!" jelas Arjuna. Dua sinyal kuning ditembakkan, yang berarti dua kelompok maju untuk membantu.

"Kita menerobos lewat gereja di utara sana, lebih cepat!" teriak Arjuna mengomando. Kami menerobos sisi samping sebuah Gereja Bethel, untuk lekas sampai di Benteng Vredeburg. Begitu kami berada di dekat Benteng, seperti yang sudah diduga, pertempuran terpusat di benteng tersebut. Makin banyak orang Anak Kuasa dan anak buah Charles berada di satu tempat tersebut. Sinyal merah terpaksa ditembakkan kembali, yang berarti dua kelompok bahkan masih belum dapat menguasai wilayah.

"Sial, kita dapat sambutan meriah di sini! Sep, suar mer—ah, tidak, suar ungu!" pekikku.

"Oke!" Septian langsung menembakkan sebuah suar ungu. Tidak butuh waktu lama, ketika empat kelompok terdekat menembakkan suar kuning dan bergegas menuju kemari. Baku tembak dan ledakan terjadi di daerah Benteng Vredeburg. Kami melihat banyak aktivitas di sana. Kalau keadaan kami benar-benar terdesak, sebuah suar hitam akan dinyalakan. Prioritas utama akan membuat seluruh tim terpusat pada satu titik yang memiliki kontak senjata yang cukup panas.

Hingga ketiga tim bantuan datang, kami berhasil memaksa para cecunguk itu untuk terjepit di dalam benteng. Kami yakin kalau batas kemampuan Anak Kuasa tidak sehebat tentara yang terlatih, sehingga pertempuran di Benteng Vredeburg sepertinya sudah berhasil diketahui pemenangnya.

"Bagus ... mereka terjebak seperti kumbang dalam toples!" ujar Septian terlihat senang.

"Apa kita harus ke sana? Sepertinya mereka terjebak. Apa kita tunggu dulu?" duga Arjuna. Aku tiba-tiba memikirkan bahwa kemenangan ini terasa aneh.

"Hei, Juna, Sep, apa kau tidak merasakan keanehan?" ujarku.

"Keanehan apa, Rim ...." Septian tampak tidak terlalu mengacuhkanku, lebih sibuk menyaksikan kelompok pemberontak sedang kocar-kacir diserbu di dalam benteng.

"Benar, Rim. Aku juga merasa aneh. Ini terasa jauh lebih mud—" Arjuna menyadari hal yang sama, ketika tiba-tiba sebuah suar hitam meledak di langit sebelah barat.

"Suar hitam, sebelah barat!" selaku seraya menunjuk ke arah ditembakannya suar.

"Tembakan itu ... mereka ada di gedung sana!" pekik Arjuna. Tim kami yang tidak banyak cakap, langsung bergerak menuju ke arah barat. Kami berjalan berhati-hati, berjingkat di beberapa ruas pertokoan. Yang kami tahu, wilayah tersebut merupakan Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta.

Tiba-tiba satu anggota kelompok kami rubuh. Selang beberapa saat, satu anggota kami yang lain juga tumbang. Aku langsung menyadari begitu mendengar suara tembakan yang cukup familiar.

"Sniper, berlindung!"

*****

Kami berlindung di balik tumpukan kantong pasir dan gang di dekat kami, menghindar dari penembak jitu. Dari suara tembakkannya, pasti itu suara senapan runduk milik Rusya. Bisa jadi dia memang berada di sana. Kami tidak mendapati adanya perlawanan dari kami di sini. Kemungkinan besar, sudah dihabisi oleh Rusya. Mendekat barang satu kilometer saja hampir tidak mungkin. Pergerakan merambat menghindari tempat terbuka akan makan waktu cukup lama. Bisa-bisa, Charles kabur dari sana, sebelum tempat itu digerebek oleh Pasukan Gabungan.

"Sial! Rimba ... istrimu benar-benar merepotkan sekarang!" kesal Septian. Kurasa dia mulai muak dengan Rusya.

"Apa tidak ada yang dapat mengalahkannya? Ini benar-benar merepotkan. Tidak ada yang berani mendekat dari segitu. Terlalu sulit." Salah satu anggota yang masuk grup kami mengeluhkan penembak jitu di sebuah gedung bank.

"Biar aku yang akan menangan—"Arjuna hendak maju memasang posisi untuk menembak, ketika ia dihentikan oleh seseorang dari belakang.

"Tidak usah, aku saja. Aku ada urusan pribadi dengan wanita itu!"

Suara itu!?

Aku dan Arjuna berbalik, melihat Chandra sudah ikut nimbrung bersama kami berdua.

"Chandra, kau selamat?" tanyaku dengan nada tidak percaya.

"Tidak perlu dipikirkan, cukup terbantu oleh salah satu temanmu dari Tentara Nasional. Aku akan mencoba berduel dengan Rusya sekali lagi ...," jelasnya. Aku mengetahui siapa yang Chandra maksud. Kemungkinan besar ia tertolong berkat Guntur dan Inspektur Timur Brahmantyo ketika kami mendapat perlawanan di safehouse.

"Kau yakin?" tanya Arjuna.

"Entahlah, setidaknya aku dapat memperlambat mereka. Rimba ... aku masih tidak akan peduli, meski aku harus membunuhnya. Kalau kau tidak senang, kaudapat membunuhku setelah ini ...," jelas Chandra. Aku tertawa mendengar kata-katanya barusan. Memang sepertinya ia tidak percaya kepada Rusya sejak awal. Karena itu, Chandra memiliki urusan penipuan yang cukup panjang dengan Rusya.

"Aku ... tidak mengharapkan hal itu. Semoga kau selamat ...," dengan ragu, aku hanya mengiyakannya.

"Ayo, lekas bergerak!" ujar Chandra.

"Septian, Rimba, ikuti aku!" perintah Arjuna seraya melambaikan tangan. Chandra memasang posisi dan mencoba menembaki Rusya. Tujuannya adalah memancing Rusya agar dia tidak membidik kami, sementara aku dan kawan-kawan menyusup ke gedung tersebut. Begitu kami berhenti di satu titik, Chandra akan berlari ke titik yang kami gunakan sebagai tempat persembunyian.

Tiga kali Chandra melakukan jual-beli tembakan dengan Rusya. Kami masih seperempat jalan. sepertinya Chandra mulai mengetahui kemampuan Rusya.

Hingga di jual-beli tembakan ke-5, tiba-tiba sebuah mobil yang terbalik meledak tepat di dekat Chandra, setelah tangki bensil mobil yang terbalik itu ditembak, kemungkinan besar, oleh Rusya. Kami yang kaget dengan ledakan itu langsung berbalik melihat Chandra yang terkapar. Ia terlihat tidak bergerak. Mustahil untuk tidak terluka karena ledakan dengan jarak sedekat itu.

"Chandra!" teriakku.

"Tunggu dulu, kami akan menyelamatkanmu!" tambah Septian. Kami mencoba keluar, tetapi tembakan senapan Rusya memaksa kami untuk tetap bersembunyi. Tidak lama berselang, Chandra berdiri seraya tertatih mendekat ke arah gedung.

"Mau ke mana kau!" teriak Septian.

"Hoi ... hoi. Bukankah sudah dibilang, kalau tidak akan kubiarkan mereka menang, kan?" ujar Chandra memegangi tangannya yang berlumuran darah.

"Hooi! Ah, sial!" Aku mencoba keluar, tetapi peluru nyasar nyaris mengenai kakiku.

"Tenang! Sedikit lagi kalian sampai ...," dalih Chandra.

"Aku akan coba memberikan tembakan perlindungan, Rimba, Septian, cepat bawa Chandra!" Arjuna menembakan beberapa buah peluru ke arah jendela gedung tempat Rusya berada. Aku dan Septian bergegas menuju Chandra, tetapi ia malah mengisyaratkan agar kami jangan mendekat

"Tunggu! Jangan kesini! Apa kalian ingin rencana yang telah dibuat masak-masak ini gagal!?"

Tembakan terdengar lagi dan Chandra rubuh. Ia mengerang kesakitan. Dari lututnya keluar banyak sekali darah segar.

"Mau apa kau? Eh, tunggu!" pintaku sedikit ketakutan, ketika Chandra mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah tabung berwarna perak. Kami tahu apa yang digenggam Chandra.

"Sepertinya ... cuma ini yang bisa kulakukan." Chandra kembali bangkit, terseok menuju gedung bank yang hampir dekat. Dekat sekali. Rusya belum menembak karena terdesak tembakan perlindungan dari Arjuna.

"Jangan lakukan itu! Demi Tuhan, jangan lakukan itu!" cegahku.

"Hoi ... kuantarkan salam kalian ke mereka, ya?" ujar Chandra, seraya menekan pemicu tersebut. Seketika itu juga tas yang di bawa Chandra meledak, mengakibatkan ledakan yang cukup besar, hingga membuat seluruh kaca jendela di sekitar ledakan meledak. Gedung bank di depan kami sempat terkena ledakannya.

*****

Tidak ada waktu untuk bersedih saat ini. Tidak ada waktu lagi untuk merasakan kehilangan saat ini. Di depan kami, terbuka lebar pintu menuju hutan luas, di mana iblis bersemayam. Kurang lebih hampir tujuh puluh jam setelah kekacauan yang dibuat oleh sebuah organisasi bernama Anak Kuasa. Organisasi kuno yang asal-usulnya baru diketahui setelah kami berinteraksi secara tidak langsung dengan mereka selama bertahun-tahun. Siapa sangka, orang-orang di sekitar kita, adalah seorang yang mampu membuat kekacauan di negeri ini.

Chandra mengorbankan dirinya untuk memberi ruang sekaligus kesempatan bagi kami untuk menyusup ke dalam bank. Tidak banyak penjagaan, tetapi aku cukup mengenal beberapa jebakan yang dipasang di beberapa titik di lantai satu bank tersebut. Dari tim yang maju, tinggal Aku, Septian, dan Arjuna yang tersisa. Kalau kami digerebek di sini, kemungkinan selamat sangat kecil. Kami menuju lantai tiga, ketika kami menemukan Charles di tengah lorong. Ia tengah menodong Karna yang sedang memeluk seorang anak perempuan yang berusia kira-kira sepuluh tahun. Rusya berada di belakang Charles.

"Lepaskan presiden dan anaknya, Charles! Percuma! Yogyakarta sudah dikepung. Kau tidak akan bisa lari lagi." Kami bertiga serempak menodongkan senjata ke arah Charles dan Rusya, begitu pula sebaliknya. Kami belum melepas tembakan.

"Huh! Menyebalkan harus berurusan dengan kalian, eh? Bahkan setelah istrinya mati terbunuh, dia tetap membisu! Apa aku harus membunuhnya juga!" seru Charles kesal.

"Percuma Charles, bunuh saja aku kalau kaumau!" teriak Karna. Charles tiba-tiba tertawa licik.

"Ah ... tidak. Tunggu. Aku punya ide lebih bagus. Aku telah melancong ke beberapa tempat sebelum melancarkan serangan ini. Ketika kalian sibuk mengejar kami, kalian bahkan tidak tahu kalau Pusat Penelitian Tenaga Nuklir di Bandung sudah kukuasai. Kautahu apa yang ada di dalamnya, Presiden? Aku menemukan hal yang menarik," ungkap Charles seraya mengacungkan sebuah remote control.

"Ap-apa!? Ma-mau apa kau?" Karna terbata-bata. Kami juga kaget tidak percaya. Pusat Penelitian Tenaga Nuklir di Bandung dia sudah kuasai. Di dalam sana ada sesuatu yang cukup untuk meledakkan Bandung dalam satu kali ledakan raksasa. Ada cukup bahan radioaktif di pusat penelitan tersebut. Satu kesalahan kecil dalam bernegosiasi, dapat meluluhlantakkan sebuah kota dalam satu kali kedip.

"Beri tahu nomer password terakhir, Pak Presiden. Haruskah kuledakkan Bandung?" ancam Charles. Ia benar-benar mempersiapkannya. Kurasa, karena dia adalah salah satu dari orang-orang yang bekerja untuk menyusun rencana, kami seharusnya tidak meremehkan rencananya pula. Saat ini aku teringat dengan salah seorang temanku sewaktu kami masih kuliah dulu. Pemikirannya tidak bisa dibilang sembarangan.

Tunggu, nostalgia di detik-detik menegangkan ini tidak boleh membuatku terlena!

Charles masih bergeming dari posisinya sekarang, menunggu Karna membuka mulut.

"Charles, kau setan gila!" laung Karna

"Hentikan, Charles!" Arjuna membidik senjatanya.

"Beri tahu atau aku akan menekan ini ... sekara—" Charles hendak menekan sebuah tombol di remote control kecil yang ia genggam, ketika Karna mencegahnya.

"Oke, cukup. Satu-Sembilan-Empat-Lima," seru Karna dengan cepat. Charles terkikik.

"Menyedihkan ... kunci terakhir ternyata adalah nomor yang dikenali semua orang ...,"

Terdengar suara yang cukup membuat bulu kuduk berdiri. Sebuah suara perempuan, mirip bot penerima panggilan otomatis.

Akses diterima. Program Panopticon dapat diakses.

Aku mengernyitkan dahi. Program Panopticon? Apakah itu yang diincar oleh megalomaniak ini?

Charles tertawa terbahak-bahak.

"Ha, kini dunia ada di genggamanku!" laung Charles.

"Lalu, kau mau membunuh kami, seperti yang sudah-sudah? Kita akan bunuh-bunuhan di sini kalau perlu!" sungut Septian.

"Tidak usah repot-repot," ujar Charles santai.

"Program yang ada di dalam ponsel ini adalah akses bebas ke mana pun. Seluruh kunci, seluruh password, seluruh firewall hanya akan membukakan pintu mereka untuk siapa pun yang mengakses ini. Bahkan, aku dapat mengetahui tempat-tempat rahasia yang dilindungi oleh negara! Hebat bukan?" jelas Charles.

"Jadi itu yang kauincar, keparat!" gertakku.

"Benar-benar hebat! Bahkan kini aku dapat mengakses jaringan Shadow Anonymous dengan mudah! Benar-benar hebat! Lihatlah bagaimana program ini bekerja untuk Vido Immadudin! Mengacaukan rencana jangka panjang pemerintah dengan tiga buah arsip rahasia? Hebat sekali!" bual Charles.

"Kau ...," geramku.

"Ah ... sederhana. Aku hanya dibantu oleh Rusya. Namun, sepertinya Rusya hanya membantuku untuk meloloskan diri dari ketegangan. Jadi ... aku yang berperan penting di sini," sahut Charles sombong.

"Kubunuh kau sekarang ...," ujarku geram.

Mendadak sebuah suara terdengar dari ponsel yang digenggam Charles.

Verifikasi ID dan sidik jari selesai. Identifikasi identitas, Charles Marute. Ketua Organisasi Anak Kuasa. Anggota ke-dua belas Komite Khas. Program Shadow Anonyous Recovery diaktifkan. Memasuki mode aman. Transmisi di terima. Konfirmasi ID Transmisi : Vido Immadudin.

"Ap-apa yang terjadi!?"

Mendadak Charles menjadi panik.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top