CHAPTER 11


Banyak hal yang terjadi dalam dua puluh empat jam ini. Satu ibu kota negara lumpuh, enam orang teman kami mati, Rusya—perempuan yang selama ini terobsesi denganku, yang kini telah menjadi istriku—berkhianat dan bergabung dengan Charles Marute, pemimpin Anak Kuasa, sesudah kematian Harman Sastranagara.

Setelah mengumpulkan berbagai informasi dari intel SA, diketahui bahwa Charles Marute adalah orang di balik kematian Harman Sastranagara lima tahun lalu. Dia adalah salah satu dari anak emas persaudaraan Anak Kuasa yang selalu diandalkan. Bila Kesatria Masa memiiki keluarga Germain sebagai ujung tombak yang ditakuti, Anak Kuasa memiliki seseorang yang cukup sepadan berhadapan dengan mereka.

Charles Marute. Bocah lugu, penakut, dan linglung itu adalah seorang bedebah paling menyebalkan yang pernah kutemui. Vido, Tiara, Willi, Marrisa, Ammar, dan Hafizh telah mati di tangannya. Ah, tidak, ia tidak akan mengotori tangan liciknya semudah itu. Ia lebih menyerahkan kematian kami kepada orang di bawahnya. Ia ingin terlihat bersih sebagai seorang Grand Master—begitulah sebutan untuk ketua tertinggi persaudaraan.

Tidak mengherankan ketika Charles Marute, menyingkirkan Harman Sastranagara, karena posisi orangtua itu sudah dianggap rentan menyebabkan kehancuran sekali lagi bagi Anak Kuasa. Apa lagi, Harman terlalu lambat dalam bergerak dan mulai mengabaikan pola-pola serangan yang agresif, pascakejatuhannya lima tahun lalu. Kejatuhan ketika Thomas Germain, berhasil mengobrak-abrik keadaan dengan tangannya sendiri. Ketika persaudaraan tidak ada minat, Charles pun menusuk dari belakang, lalu menduduki tahta tertinggi persaudaraan dengan mudahnya.

Yang perlu dikhawatirkan sekarang adalah Miriam Rosemary. Kita sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi, tetapi semua orang tidak ingin terjadi pertumpahan darah dengan sia-sia seperti sebelumnya. Yang paling resah kini adalah dua orang yang terseret hidupnya dalam keadaan semacam ini. Aku dan Arjuna.

Titik tekan setiap orang berbeda-beda. Tekanan yang dihadapi Arjuna bukanlah sembarang tekanan. Ia turut menyumbangkan sentimen kepada orang-orang yang kini menjadi target incaran Charles dan Anak Kuasa. Miriam adalah istrinya, dia juga memiliki seorang anak. Program perlindungan SA tidak akan cukup kuat untuk membendung serangan Charles yang sporadis. Anak Kuasa ada di mana-mana. Menyelinap dari balik bayang-bayang tembok rumah. Siapa saja bisa jadi salah satu di antara mereka, sama seperti Shadow Anonymous.

Langit malam Bandara Halim Perdanakusumah tampak cerah, walaupun beberapa asap sisa kerusuhan Jakarta masih belum surut.

"Wuah ... luar biasa ... bahkan aku tidak tahu kalau istriku sendiri adalah pemegang kunci, setelah lima tahun bersama. Penyamaran yang sangat luar biasa. Mungkin ini yang kaurasakan ketika mengetahui siapa Rusya sebenarnya?" tanya Arjuna. Aku hanya mengangguk diam.

"Hah ... hidup ini penuh kejutan yang indah sekali. Aku berharap kejutan ini tidak membunuhku," cerocos Arjuna, berbicara keluar jalur. Tidak biasanya ia berbicara keluar dari topik semacam ini. Aku tahu, ia memiliki bakat melawak—walaupun masih kalah dengan septian—yang tidak bisa dianggap sebelah mata, tetapi kali ini, ia seperti memiliki suatu hal lain di luar pikirannya.

"Apa tindakanmu selanjutnya?" tanyaku akhirnya mencoba untuk menimpali pembicaraannya.

"Tindakan? Apa maksudmu tentang tindakan ini?" tanya Arjuna balik.

"Kautahu. Kau telah memiliki kehidupan sendiri dengan seseorang. Terlebih lagi, ini perempuan. Kau masih tenang-tenang saja menghadapi semua ini?" ujarku heran. Arjuna malah menanggapi dengan tawa.

"Tidak, jangan terlalu serius dalam menghadapi mereka. Orang-orang yang terlalu fokus pada satu titik, menghiraukan titik yang lain, saat itu lah kelengahan seseorang terlihat. Jangan terlalu menampakkan sesuatu yang terlalu terlihat," tanggap Arjuna. Namun, sepertinya ia mulai menampakkan raut kecemasan.

"Sepertinya gestur tubuh dan raut muka tidak mau berkompromi dengan masalahmu," sanggahku. Arjuna menghela napas untuk sejenak. Memejamkan mata untuk memikirkan apa yang kiranya ia akan katakan di hadapanku. Sejurus kemudian, wajahnya menampakkan keseriusan yang cukup dalam.

"Hampir dua puluh empat jam, kita kehilangan enam orang dan satu kota di ambang kehancuran. Charles Marute sangat berbahaya dengan alat yang dulu pernah menguntungkan kita. Sekarang, kita dipaksa menari di antara jurang kematian kita masing-masing dengan barang itu," ujar Arjuna memulai penjelasan.

"Kaukhawatirkan Miriam dan anakmu?" tanyaku seraya menaikkan sebelah alis. Arjuna tersenyum.

"Tentu aku mengkhawatirkan mereka. Miriam bukan orang yang humoris, tetapi dia cukup baik untuk mengurus masalah bagaimana mengatur rumah tangga yang baik. Tentu saja aku juga mengkhawatirkan anakku. Siapa yang tidak khawatir, jika penerus genetik untuk eksistensi seseorang dalam bahaya?" lanjut Arjuna menjawabku.

"Apa yang Charles tidak ketahui dan apa yang kita ketahui?" tanyaku mengejar pertanyaan.

"Sejauh dampak yang telah ia timbulkan saat ini. Meretas sistem komunikasi, mengacaukan setiap strategi kita, meretas sistem kendali alat perang nasional, menyebabkan kepanikan dengan meretas sistem keamanan, memantik bom, serta mengakomodir mobster dan kelompok bandit untuk mengacau di ibu kota. Ia mencari dua buah kunci tersisa, untuk mengaktifkan ... sesuatu seperti Kotak Pandora itu. Mungkin lebih baik jika disebut dengan 'Kotak Jayabaya'. Sepanjang pengalaman kita bersama Vido yang telah dipelajari, Charles belum memberikan domino effect kepada sistem pertahanan negara dan sistem operasi Shadow Anonymous. Setidaknya ... ia butuh kunci untuk meraih akses penuh," jelas Arjuna mulai berspekulasi.

"Itu ... spekulasi belaka atau probabilitas mendekati satu?" sahutku.

"Aku optimis kepada pilihan kedua, Rimba," tukas Arjuna sembari tersenyum dengan penuh keyakinan, seolah-olah itu akan terjadi.

"Apa keuntungan kita?" tanyaku.

"Keterbatasannya mengakses ponsel milik Vido. Sudah pasti Vido menyiapkan sebuah program proteksi bagi siapa pun yang mencoba mengambil alih ponsel itu. Thomas Germain—kuyakin dari ceritamu—juga sudah pasti menyiapkan langkah pencegahan untuk hal terburuk. Selama kunci belum komplit, kita akan menjegal dia."

"Seandainya ... ponsel itu berhasil kita rebut. Apa yang akan kita lakukan?"

"Menghancurkannya." Langsung dijawab cepat oleh Arjuna.

"He? Bagaimana dengan Shadow Anonymous dan isi dari Serat Terakhir Jayabaya?" sahutku bertanya.

"Ambil risikonya. Setidaknya, kita berhasil memperlambat agar kehancuran dunia tidak dipercepat. Teori asumsi dasar Raja Jayabaya. Toh, orang-orang yang tergabung dalam SA akan meninggalkan organisasi komunal itu seperti mereka dulu masuk ke dalam jaringan tersebut. Mungkin mereka akan menganggap ... misi selesai dan mereka dapat pensiun. Tamat," pungkas Arjuna dengan penjelasannya.

Walaupun begitu, Charles masih punya kartu as. Rusya. Masalahnya, Rusya adalah seperti wildcard. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Rusya, bergabung dengan Charles. Apa dia adalah sedang berperan menjadi agen ganda? Itu satu-satunya yang kupikirkan. Namun, semua orang setuju Rusya adalah pengkhianat. Maka sekali lagi, konflik kepentingan mulai muncul di sini. Aku tidak terlalu menyukai situasi, di mana semua gerak-gerik Rusya sangat misterius.

Arjuna tidak akan basa-basi melesakkan ujung anak panahnya ke kepala Rusya, jika itu memang diperlukan. Kami di sini untuk menghentikan Charles macam-macam dengan ketertiban dan keamanan negara. Charles menginginkan kunci program terenskripsi di ponsel milik Vido. Rusya tidak jelas dia mau apa sebagai pimpinan tertinggi Kesatria Kuasa.

Kami dibenturkan kepentingan kami masing-masing.

"Kau pasti juga mengkhawatirkan keluargamu. Orangtuamu dan putri kecilmu ...." Arjuna memecah keheningan dalam percakapan kami.

"Yah ... kautahu, setidaknya mereka adalah orang-orang yang masih memberikan warna kehidupan, di tengah situasi yang amburadul ini," komentarku.

"Keluarga, adalah salah satu hal yang mengasyikan bila dipikir-pikir. Ketika seruwet apa pun ibumu memberi peraturan dan sekuat apa ayahmu membangun proteksi, pasti semua kisah damai dan tenteram selalu terjadi di dalam keluarga," ujar Arjuna.

"Yah ... begitulah."

Percakapan kami terhenti sejenak dengan kedatangan tiga orang kelompok kami yang tersisa. Rahmat, Septian, dan Chandra. Sepertinya mereka akan bergabung bersama menikmati percakapan di malam sebelum kami berangkat menyusul Charles.

"Hai, komandan skuadron terbaik yang dimiliki oleh UFCA ...," sapa Rahmat. Mereka pun memasang duduk masing-masing di kursi tunggu bandara, menghadap kami berdua. Sepertinya ini akan menjadi malam sebelum perang sesungguhnya di mulai.

"Sudah lima tahun, sejak aku bergabung dengan ide gila kalian mengurung diri di gedung rektorat. Aku tidak percaya, kini aku berada di sini dan merasakan segala kegilaan hidup di negeri sendiri." Rahmat memulai pembicaraan.

"Yah, kau juga pada akhirnya adalah orang yang memutuskan membuang kehidupan tenteram sebagai warga biasa, memilih menjadi milisi akademisi," sahutku mengomentari.

"Entah sudah berapa kali kita menembak orang. Apa dosa kita dihitung per peluru yang mencabut nyawa mereka?" tanya Rahmat.

"Di saat seperti ini, kau masih memikirkan soal dosa, Rahmat?" timpal Chandra datar.

"Semua orang memiliki dosa seperti itu sekarang. Terlepas dari siapa pun yang kita bunuh. Peperangan mengubah hidup banyak orang. Peperangan mengubah pola pikir banyak orang. Ketenteraman, seolah-olah menjadi mahal harganya di tengah konflik yang terjadi," Septian mulai ikut menimbrung.

"Kaubicara, seolah-olah kau sudah merasakan pahitnya kehidupan sekarang, Sep?" canda Rahmat.

"Ah, diam dulu! Kau tidak tahu bagaimana hidup penuh mara bahaya bersama Rimba selama delapan tahun perjalanan kami, hingga sampai saat ini!" timpal Septian.

"Kukira, setelah lima tahun kita saling lomba berburu di tengah hutan bersama anak-anak lain, kaunikmati hidupmu, Sep?" tukas Rahmat. Seketika tawa pun tercipta di antara perkumpulan orang-orang ini.

"Wah ... wah, kalian berdua tampak serasi sebagai pasangan ...," cibir Arjuna.

"Itu tidak akan mungkin terjadi, Ar. Setidaknya, kita masih ada tukang lawak di kelompok ini," timpal Rahmat seraya menunjuk Septian.

"Hoo, katakan saja kau iri denganku, mencoba ikut-ikutan melawak sepertiku?" balas Septian.

"Setahuku, Rahmat selalu gagal membuat lawakan. Berakhir dengan tanda tanya yang menjadi bumerang baginya sendiri," komentar Septian dengan datarnya. Tawa pun meledak lagi di antara kami semua.

Tawa pun berlalu, kini kami akan mempertimbangkan apa yang akan kami lakukan.

Arjuna telah menyiapkan rencana untuk berpacu dengan Charles, berlomba untuk sampai ke Kediri. Ada kemungkinan Charles akan sampai lebih dahulu ke Kediri. Kemungkinan besar ia akan menaiki pesawat bajakan, lalu memilih langkah Airlift—angkutan udara untuk sampai ke perbatasan. Mereka akan mengincar safehouse program yang dibentuk di Kediri. Tujuan mereka adalah Miriam Rosemary, siapa tahu juga, Charles akan melakukan hal gila lagi di sana.

Aku tidak dapat membiarkan itu terjadi. Ada kemungkinan, kami akan mati-matian mempertahankan safehouse dari serbuan Charles dan anak buah mereka. Aku tidak bisa biarkan keluargaku dan keluarga Arjuna bernasib sama seperti Marrisa. Kami telah terhubung dan berkoordinasi bersama UFCA dan daerah komando Brawijaya jika terjadi apa pun di Kediri. Kami akan berangkat ke Kediri dengan menggunakan Hercules T-130 tiga puluh menit lagi. Mau tidak mau, kami akan terjun di daerah perbatasan, dekat dengan safehouse.

Kami telah mendapat sambungan dari pusat komando militer Brawijaya dan juga komando UFCA di daerah Jawa Timur. Sepertinya Charles telah mencuri start dengan melakukan serangkaian serangan di perbatasan. Intel belum mendapat laporan adanya keberadaan konvoi utama di daerah sekitar Kediri. Kemungkinan besar, itu adalah ulah organisasi Anak Kuasa cabang daerah Timur.

Dalam kondisi yang seperti ini, sulit untuk melakukan evakuasi. Terlalu berisiko. Sepertinya Charles mulai memenangkan strategi untuk mengungkung keluargaku agar tetap berada di persembunyian mereka. Awal yang tidak terlalu bagus dari kami. Kami belum tahu, berapa banyak orang-orang yang Charles bawa dalam pertempuran ini. Sepertinya ia ingin melakukan perang habis-habisan.

Dari track record, serta gesekan yang kerap masih terjadi di lapangan, siapa yang akan membantu kami kali ini? Untungnya ... Indonesia cukup pintar dan baik hati untuk membantu kami. Kali ini.

*****

28 Jam setelah kekacauan.

"Pertempuran sudah mulai memanas. Pasukan persaudaraan Anak Kuasa tengah berusaha menerobos pertahanan pasukan gabungan," ujar Rahmat sembari mengabarkan yang terjadi di radio.

"Siapa saja yang tampil kali ini, Arjuna?" tanya Septian.

"Kesatria Masa tidak akan diam dengan serangan ini, tetapi kita tidak tahu apakah mereka bergerak sendiri atau bersama dengan pasukan gabungan. Komando Shadow Anonymous tidak bisa dilakukan dalam skala nasional, tetapi lingkar dalam SA setidaknya mengkoordinasi komando antar wilayah. UFCA dan Brigade Infanteri dari komando militer Brawijaya juga turut membantu. Polisi juga ikut membantu ...," ujar Arjuna.

"Kita sudah mendarat di perbatasan tiga puluh menit lalu, masih belum ada tanda-tanda Charles?" sahutku bertanya.

"Sepertinya kita sampai lebih dahulu. Sebaiknya kita lekas menuju safehouse. Dua kilometer dari sini," perintah Arjuna.

Perjalanan kami benar-benar tidak mulus. Kami berhadapan dengan agen-agen, anak buah Charles di dua titik di dekat safehouse. Pertempuran telah meletus. Sama seperti sebelumnya. Metode yang sama untuk melakukan serangan. Kali ini, tindakan Charles, setidaknya dapat dibaca. Anak Kuasa akan berkoordinasi menyerang baik dari dalam, pun dari luar. Agen Anak Kuasa yang berada di dalam kota akan melakukan misi berupa melumpuhkan beberapa titik vital kota, membuat keributan, atau bahkan melakukan serangan langsung.

Saling tikam-menikam. Kami sedikit beruntung bisa mendapat informasi dari William Duravene lebih cepat. Kalau tidak, bahkan program perlindungan Shadow Anonymous dapat dijebol dengan mudah.

"Keadaan?" tanya Septian.

"Bah! Kacau! Kacau! Orang-orang Anak Kuasa memang benar-benar gila! Mereka melakukan serangan secara sporadis di beberapa titik," ujar Rahmat yang memegang radio.

"Wah ... pulang kampung langsung disambut acara heboh seperti ini ...," komentar Septian seraya membuang napas panjang.

"Setidaknya ... ini benar-benar disebut dengan serangan fajar," tambah Chandra menimpali.

"Berapa jauh lagi dari safehouse?" tanyaku.

"Satu kilometer dari target!" teriak Arjuna yang memimpin di depan. Tiba-tiba terdengar suara tembakan yang sangat familiar.

"Merunduk!" teriakku. Semua pun merunduk.

"Satu orang jatuh! Satu orang jatuh!" teriak seseorang dari kejauhan. Aku tahu kami sedang berhadapan dengan siapa. Satu orang terlihat terjatuh lagi dari kejauhan. Kami sukar untuk melihat karena matahari masih belum muncul dari horizon.

"Awas, Thermal! Berpencar! Rimba, kautahu dari mana arah tembakannya!?" teriak Arjuna dari kejauhan.

"Eh ... itu ... dari arah timur! Kurasa arah rumah penduduk! Delapan ratus meter!"

Tembakan untuk ketiga kalinya terdengar. Sesuatu serasa meluncur, tepat di samping pipiku. Seperti angin topan mini yang lewat.

Sompret, Rusya benar-benar ingin menembakku? Aku pun menyalakan radio komunikasi, mengubah sedikit frekuensinya. Aku hanya berdoa agar frekuensi yang kuinginkan dapat ditangkap radioku.

"Rusya ... aku tahu kau yang menembak di sana. Hentikan permainan gila ini," ujarku dalam radio komunikasi.

"He—Hoi apa yang sedang kaulakukan!?" sahut Rahmat menangkap frekuensiku.

"Mencoba negosiasi," komentarku.

"Kau yakin?" tanya Rahmat.

"Semoga saja."

Suara rentetan senjata semi otomatis terdengar menggema memecah ketenangan fajar di kampung halaman tercinta. Disusul gemuruh ledakan di sisi lain. Pertempuran telah dimulai.

"Aku bisamendengar suaramu, Rimba," sahut suara lembut dari ujung radio komunikasi. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top