CHAPTER 10

"He who thinks great thoughts often makes great errors."

—Martin Heidegger

Kini waktu yang tersisa semakin sedikit.

Aku mengeluarkan SD Card itu. Keputusanku adalah untuk menghancurkan video itu hanyalah satu-satunya cara. Kalau Charles juga menginginkan ini, tentu akan sangat berbahaya. Lebih baik, video ini musnah. Setidaknya, kami mendapatkan informasi.

Suara ramai orang-orang yang berteriak dari arah luar, pecahan kaca dan beberapa tembakan. Sepertinya, mereka sudah dekat. Para bromocorah itu mulai melakukan kericuhan lagi. Hanya karena kau membuat onar di sebuah gedung milik negara, kaubisa menaikkan ancaman yang cukup meresahkan kepada masyarakat.

Listrik padam. Kemungkinan besar, cecunguk-cecunguk itu pasti yang melakukannya. Terdengar suara derap langkah dan kelentingan besi yang beradu dengan lantai. Aku bisa mendengar suaranya yang terdengar mengganggu di telinga. Benar-benar mengganggu, membuatku sedikit muak. Aku mengokang pistol .45 dengan peluru lengkap, bersiap memberikan serangan dari balik pintu ruangan multimedia. Toh, kalau terjadi keributan di sini, kami tidak peduli dengan beberapa arsip.

Ammar bersiap dengan tongkat Baseball-nya. Hafizh mengokang senapan serbu AK-47-nya, lalu membidikkan senjatanya ke arah bandit yang berlari kami sembari membawa sebilah parang.

"Mati kau, bandit!" teriak Hafizh seraya memberondongkan peluru ke arah barisan bandit yang menyerbu kami di depan.

"Sepertinya akan lebih banyak lagi orang yang datang. Kita harus menghemat amunisi," ujarku sambil memungut parang yang digunakan oleh salah satu bandit.

"Sepertinya mereka sudah mengepung gedung ini," dugaku lirih.

"Bagaimana kita akan keluar dari sini?" tanya Ammar.

"Kalau kita menyerbu dan memberondong mereka dengan peluru, kurasa itu jauh lebih baik," timpal Hafizh.

"Kau gila? Kita tidak akan tahu, berapa bandit yang pegang senjata api dan berapa bandit yang maju dengan parang atau semacamnya. Jangan bertindak gegabah!" selaku.

"Aku punya granat. Mungkin aku bisa menghajar beberapa dari mereka dengan ini—" Ammar mengeluarkan granat dari sakunya, tetapi aku dan Hafizh serempak mencegahnya untuk berbuat hal gila semacam itu. Kami cukup tahu, Ammar akan menggagalkan segala rencana dengan kelakuan cerobohnya.

"Goblok, apa yang kaulakukan? Mencoba membunuh kita semua??" sahut Hafizh kesal.

"Ah kau, Fizh. Aku hanya ingin membantu," kesal Ammar. Hafizh merebut granat dari tangan Ammar, mencabut pinnya, lalu melemparnya ke arah kerumunan yang bersiaga di ruangan depan. Terdengar ledakan yang cukup keras, disusul dengan teriakan menyedihkan para bandit. Badan mereka terlempar dan tergeletak di lantai, dengan nyawa mereka setengah keluar semua pastinya.

"Ayo! Ke depan!" teriak Hafizh. Kami bertiga berjalan perlahan melewati ruang depan, kemudian lobi dari Arsip Nasional. Sambutan yang cukup meriah langsung dilempar kepada kami, berupa rangkaian tembakan yang langsung mengarah kepada kami bertiga. Aku, Hafizh, dan Ammar terpisah di sisi pilar yang berlawanan.

"Keparat, mereka menembaki kita! Ammar, granat lagi!" teriakku. Ammar hendak melempar granat ke arah kami, yang langsung dicegah oleh aku dan Hafizh secara serempak.

"Tolol, jangan dilempar kesini!" umpat Hafizh.

"Oke! Oke! Jangan emosi tingkat tinggi seperti itu! Nanti kaubisa darah tinggi!" timpal Ammar, yang langsung melempar granat tanpa sempat kami cegah. Para bandit yang menembaki kami bereaksi, langsung menyebar untuk menyelamatkan diri dari jangkauan ledakan granat. Masalahnya, pen granatnya lupa dicabut. Hafizh langsung menembaki balik para bandit tersebut.

"Kenapa kau tidak cabut pennya!?" teriak Hafizh mulai kesal.

"Kausuruh lempar, ya aku lempar!?" Ammar tidak mau kalah.

"Guys, bisakah kalian tidak melawak sekarang!? Ada para bangsat yang sedang menembaki kita!" sergahku, berusaha agar pertengkaran tolol mereka berdua tidak berlarut-larut. Baku tembak saling terjadi, kami kalah jumlah. Namun, setiap tembakan dari para bandit anak buah Charles, tidak pernah ada satu pun yang mengenai kami.

Aku mencoba melempar granat sekali lagi—sekaligus yang terakhir—ke arah bandit yang tersisa di pintu depan. Ledakan terjadi, ketiga bandit yang sedari tadi berdiam di dekat pintu depan gedung langsung terpental. Setelah memastikan bahwa tidak ada lagi bandit yang terlihat di pintu depan, kami langsung keluar dari gedung Arsip Nasional.

Tiba-tiba aku mendengar suara letusan senjata yang menggema di udara.

"Arrgh! Sial!" teriak Ammar bersamaan tubuhnya jatuh berdebam ke tanah. Di lihat dari arah tembakan yang dilepaskan, aku yakin pasti dari arah samping. Aku bersiaga seraya beralih menuju mobil yang terparkir di tengah jalan untuk berlindung.

"Apa yang terjadi!? Ammar!" teriak Hafizh yang jauh berada di depannya.

"Kakiku ... kakiku sepertinya tertembak ...," rintih Ammar.

"Sial ... merepotkan sekali—" Suara tembakan yang sama terdengar lagi, kali ini Hafizh yang berada di tempat terbuka langsung terjatuh dan sempat terpelanting ke belakang.

"Sniper!" teriakku. Aku melihat Ammar dan Hafizh yang masih tergolek di aspal. Aku tidak dapat keluar dari persembunyianku sekarang.

"Ammar! Hafizh!" teriakku. Ammar melihat ke arahku, memberi kode kepada diriku untuk tetap berada di tempatku bersembunyi. Tidak lama berselang, teriakan barbar mulai terdengar dari arah depan. Mereka benar-benar serius. Tanganku bergerak berusaha menggapai senapan serbu AK-47 yang tergeletak tidak jauh dari tempatku.

Aku harus bisa menggapainya. Tanganku hampir sampai.

Dapat.

Aku langsung berguling keluar dari persembunyian, lalu mulai memuntahkan isi senapan serbu yang kuambil ke barisan depan bandit barbar—yang ternyata sudah sedekat itu—di depan kami. Beberapa orang langsung tumbang. Aku berlari mendekat ke arah Ammar dan Hafizh. Hafizh sepertinya tidak bergerak sama sekali dari tadi. Ammar tampak panik.

"Hoi ... Kurasa jemputan kita sebentar lagi akan datang. Pergi ke ujung perempatan jalan yang satunya," ujar Ammar dengan suara berat.

"Ammar ... jangan bercanda. Kita harus keluar dari sini!" sergahku.

"Aku sepertinya tidak mampu untuk berjalan terlalu jauh. Kakiku tertembak dan hampir tidak dapat digunakan untuk berjalan dengan benar. Kalau aku memaksakan, kemungkinan aku akan berulang kali jatuh, karena keseimbangan tubuhku yang tidak bisa bertahan lama," sahut Ammar.

"Tetapi—"

"Tidak ada keraguan lagi, Rimba. Kau harus pergi, cepat! Biar aku yang memperlambat mereka!" tukas Ammar. Ia memungut pemukul baseball di sampingnya. Pegangannya terkena lumuran darah dari Hafizh yang tidak dapat berhenti, keluar terus dari jantungnya.

Aku terdiam sejenak, lalu pergi meninggalkan Ammar.

Tidak ada kesempatan untuk menoleh ke belakang ketika Ammar berteriak, mengumpat kepada bandit yang datang ke arahnya.

Hari itu adalah hari yang melelahkan.

Satu hari, enam teman kami telah gugur di medan pertempuran. Matahari semakin menyingsing ke arah barat. Senja mulai turun di langit Jakarta yang penuh dengan asap. Raungan sirine terdengar menguing-nguing di kepala setiap orang yang masih hidup di sana.

*****

Begitu aku sampai di perempatan di ujung jalan yang ditunjukkan Ammar, sebuah mobil Humvee militer terparkir tepat di tepi jalan. Aku langsung melompat naik ke mobil besar itu, seraya mobil berjalan berpacu di jalanan kota Jakarta. Aku hampir saja jatuh, jika Rahmat dan Septian tidak memegangi tanganku.

"Sekarang, kita ke mana?" tanyaku.

"Mengejar Charles," sahut Arjuna cepat. Di sampingnya ada Chandra yang menyetir Humvee.

"He? Kau bercanda?" timpalku sembari menautkan kedua alis.

"Aku mendengar suara letusan senapan runduk Rusya dari radius delapan ratus hingga satu kilometer dari Arsip Nasional. Aku juga diberitahu oleh pembawa tim pengintai, bahwa Charles dan anak buahnya berada tidak jauh dari Arsip Nasional. Sepertinya mereka mengejar hal yang sama denganmu—"

"Atau menjebak kita," potongku. Arjuna sedikit terkejut, membalikkan pandangannya ke belakang.

"Maksudmu? Apa yang kaudapatkan di sana?"

"Tidak banyak. Hanya testimoni dari seorang Thomas Germain yang tidak terlalu banyak membantu. Namun, kita hanya dapat menghentikan Charles di sini," jelasku.

"Tidak ada kunci?" sahut Arjuna cepat.

"Siapa pemegang kunci selanjutnya, hanya Marrisa yang tahu. Marrisa sudah mati, kemungkinan Charles sudah mengetahui, lalu sekarang mereka hendak menuju ke tempat pemilik kunci kedua," lanjutku menjelaskan.

"Ah, sial—" Arjuna hendak mengumpat ketika tiba-tiba Chandra membanting setir.

"Itu mereka!" pinta Chandra spontan seraya menunjuk konvoi mobil yang agak jauh di depan, sedang mengarah ke pintu tol.

"Kita bahas itu lebih lanjut. Kita kejar Charles sekarang!" perintah Arjuna.

"Jangan sampai Charles lolos kali ini! Kesempatan kita hanya di sini saja untuk menghentikannya!" timpalku.

"Mana Ammar dan Hafizh?" tanya Septian. Aku menggeleng. Septian tampak kesal dengan jawabanku.

"Posisi kami dengan konvoi berjarak sekitar dua ratus meter. Kami telah memasuki jalur tol. Pihak kepolisian tentunya tidak ingin melewatkan kesempatan ini juga. Semua akses keluar Jakarta pastinya telah di blokir, selama orang-orang kampret ini masih di dalam kota. Pertanyaannya sekarang, apa yang Charles rencanakan? Ia memiliki ponsel sakti yang sangat berbahaya ketika dipegang oleh seorang megalomaniak sepertinya. Harus benar-benar membuat perhitungan yang ... menyaingi ponsel sakti itu, bila ingin mengakhiri semuanya sekarang.

"Helikopter polisi!" sahut Rahmat ketika sebuah helikopter terbang mendahului kami, sepertinya itu adalah pengintai. Tiba-tiba saja, Helikopter itu kehilangan kendali dan menukik tajam ke jalanan.

"Awas!" teriak Arjuna.

"Pegangan, benturan terjadi sekarang!" ujar Chandra memperingatkan. Chandra membanting setir ke arah kiri, di mana bemper humvee kami sempat menghantam badan helikopter tadi. Selang dua puluh meter di belakang kami, heli itu meledak. Aku bertaruh, helikopter itu sudah dikendalikan oleh ponsel pintar Charles.

"Whoaa! Oh ... man ..., sepertinya kita punya hari yang berat di sini," racau Arjuna sembari menggelengkan kepalanya.

"Sebentar lagi akan masuk pintu tol! Kita harus cepat menyusulnya!" ujarku ketika kendaraan kami melewati tanda peringatan pintu tol di pinggir jalan. Benar saja, tampak sebaris barikade polisi dari kejauhan telah siap untuk menghalau konvoi kendaraan yang ditumpangi Charles. Dua helikopter militer telah bersiap di atas pintu tol.

Dengan cepat adegan itu berputar. Terlihat ada beberapa kelap-kelip yang diluncurkan dari mobil konvoi Charles. Lalu kedua helikopter itu meledak, setelah kelap-kelip berasap tadi menghantamnya. Konvoi tersebut menerobos barikade polisi dengan mudahnya, menggasak setiap benda di depan mereka. Chandra memacu lebih cepat kendaraan kami. Menginjak pedal gas sekuatnya.

"Ledakan lagi!" sahut Chandra.

"Whoaa!" teriak Rahmat.

"Apa itu tadi? RPG?" tanyaku seraya melongok.

"RPG. Mereka benar-benar totalitas—sompret! Mereka menembaki kita! Awas!" sergah Arjuna, bersamaaan dengan mobil konvoi paling belakang mulai menembaki kendaraan kami.

"Sial, mereka kabur!" umpat Septian.

"Kuharap yang di belakang tidak bawa pelontar kejutan juga!" timpal Arjuna seraya mempersiapkan busur panahnya.

"Setidaknya biar kucoba untuk ...," Chandra memacu kendaraan dengan kecepatan maksimum. Kami melewati barikade polisi yang kacau balau. Sekilas terlihat penuh kepanikan ketika kendaraan kami lewat.

"Menghentikan salah satu dari mereka." Kendaraan kami menghantam bagian belakang mobil konvoi dengan keras. Mobil van di depan kami pun kehilangan keseimbangan, lalu oleng menabrak pembatas jalan. Humvee yang kami tumpangi langsung menghantam sisi samping van dan menggilas mobil van tersebut.

Di depan kami adalah sebuah Range Rover berwarna hitam. Chandra menghantamkan bemper depan kendaraan dengan kendaraan di depan kami, melakukan hal yang serupa. Kendaraan di depan kami sedikit oleng, sebuah kesempatan yang tepat bagi Chandra untuk memepetnya dan menggasaknya di pembatas jalan.

Range Rover itu tertinggal di belakang dan kendaraan kami ikut terhenti dengan perlahan. Terlihat seseorang keluar dari kendaraan yang setengah ringsek itu.

"Itu salah satu dari kaki tangan Charles!" sahut Rahmat.

"Tidak secepat itu kabur," teriak Arjuna, bersamaan dengan bidikkan anak panah yang langsung ia lepaskan, "sialan!"

Anak panah melesat hampir tidak terlihat dan langsung menembus kaki orang tersebut. Ia terjelembab jatuh di aspal.

"Bagus. Satu keparat sudah di tangan," pinta Arjuna seraya menghela napas.

*****

Kami pergi ke pos polisi di dekat tol terdekat, membawa 'barang' yang cukup penting untuk 'dibedah'. Suasana senja yang semakin meredup, tergantikan oleh malam yang mulai bangun, menambah ketegangan suasana interogasi. Tidak ada penilaian standar ruangan untuk interogasi sekarang. Tidak ada waktu banyak, sebelum Charles menemukan pemegang kunci aktivasi kedua untuk program yang ada di ponsel milik Vido.

Ini waktunya untuk tim interogasi.

Tawanan kami, kini diikat di sebuah kursi kayu, dengan mata tertutup. Sedari tadi ia terus saja mengoceh, berteriak-teriak mengatakan segala hal buruk di depan kami. Jujur saja, hari yang merepotkan ini, membuat kami—mau tidak mau—harus menyiksa seseorang. Kekacauan yang telah ditimbulkan, akibat perebutan ponsel milik Vido, adalah kekacauan di Jakarta.

Segera setelah Charles keluar dari Jakarta, para mobster, bromocorah, pencari kerusuhan, dan para bandit residivis tahanan penjara dapat dilumpuhkan. Sebagian lagi masih kabur, berkeliaran di sudut-sudut kota. Pemerintah kota menerapkan jam malam segera, setelah kerusuhan dapat diredam.

Banyak gedung-gedung penting terbakar. Pihak keamanan masih harus menyisir lokasi, di mana kericuhan masih terjadi. Rumah sakit seketika dipenuhi korban-korban kerusuhan yang terus bertambah, seiring dengan bertambahnya pula mayat yang datang. Petugas kebersihan kota punya pekerjaan yang lebih sibuk untuk mengurus mayat-mayat manusia yang bergelimpangan di tengah jalan.

Sembilan puluh persen aktivitas kota menjadi lumpuh. Segera setelah serangan ini, pemerintah langsung menyatakan siaga satu untuk perang. Perang melawan terorisme dan aksi yang dianggap merujuk pada upaya pemecahan keamanan negara. Presiden masih berada di tempat yang aman, untuk sementara waktu. Perekonomian, tatanan sosial, keamanan, menjadi kacau hanya dalam satu hari.

Kembali kepada tawanan kami.

"William Duravene. Salah satu kaki tangan Florent Du Luoyac, yang bekerja sama dengan organisasi bernama Anak Kuasa. Sangat di sayangkan ketika kau adalah salah satu orang penting di pemerintahan, tuan William. Motifmu ikut dengan Charles, adalah membayar kegagalan Du Luoyac lima tahun silam, sudah pasti. Sekarang katakan ... ke mana bosmu pergi?" ujar Septian mengintimidasi.

"Cih! Apa aku akan memberitahu kalian? Kalian adalah orang-orang menyedihkan. Mengapa kalian tidak diam saja di tempat, sembari menunggu kami sukses dengan tujuan kami?" jawab William tanpa ada ragu.

"Hoi, Pak Tua. Apa aku harus memalu satu per satu jarimu? Asal kautahu, kau ini jauh lebih menyedihkan. Aku yakin, Charles membuangmu segera setelah kau tertangkap, benar begitu?" sungut Septian seraya menghantam salah satu jari kaki William dengan palu. William mengerang kesakitan.

"Iblis gila! Sakit jiwa kalian semua! Kalian pikir, kalian bisa menghentikan kami, setelah kehilangan pemandu tertinggi kalian, ha!" berang William menahan sakit.

"Jangan banyak basa-basi, Pak Tua. Aku bisa melakukan seratus cara untuk menyiksamu sebelum kematianmu selama semalaman. Katakan ke mana kalian pergi!" bentak Septian.

Setelah perang urat syaraf selama setengah jam, dengan berbagai teriakan kesakitan William menghiasi sepanjang interogasi Septian, kami akhirnya mendapatkan informasi yang cukup berharga.

"Bagaimana aksi mencabuti kuku dan gigimu? Kuharap kita dapat hasil, sebelum dia mati tersiksa ...," sapaku.

"Ini gawat. Kita harus cabut dari sini, segera ...," ujar Septian ketika ia keluar dari pos polisi yang digunakan sebagai ruang interogasi, dengan tangannya berlumuran darah sembari memegan sebuah tang.

"Oke, jadi ... kemana mereka selanjutnya?" tanyaku.

"Kediri," jawab Septian cepat.

"Apa? Kenapa?" sergahku terkejut dengan informasi yang diberikan. Semua orang juga tampak terkejut.

"Pemegang kunci berikutnya, adalah Miriam Rosemary,"

*****

Mengenai siapa yang harus kupercayai sekarang, hanya Thomas Germain. Memercayai kata-kata yang keluar dari orang yang mati delapan tahun yang lalu. Yah, dapat dibilang, kami kini berharap hanya pada tujuannya. Aku tidak habis pikir dengan dirinya. Membantai anak-anak delapan tahun lalu, yang dianggapnya sebagai orang yang akan menghancurkan masa depan negara. Sepertinya Thomas sedikit terobsesi menjadi Kesatria Masa yang diharapkan Jayabaya. Well, setidaknya hanya dia yang masih terobsesi dengan sesuatu yang waras.

Apa yang diributkan oleh negara ini? Hanya perebutan kekuasaan tertinggi. Siapa yang tidak mau menguasai wilayah dengan belasan ribu pulau ini. Bangsa yang dulunya pernah berjaya di masa keemasannya, kini semakin terpuruk dalam perpecahan antar manusianya sendiri. Apakah bangsa kita bodoh? Apakah bangsa kita mudah sekali diadu domba? Apa bangsa kita rakus akan kekuasaan? Bah, semua tiran rakus akan kekuasaan. Kerakusan seolah-olah menjadi bagian dari dalam diri manusia, bersama enam dosa besar lainnya.

Aku, terlempar dalam intrik kuno dua persaudaraan yang memperebutkan sebuah buku memasak. Memasak sebuah rencana konspirasi. Itu yang akan kupikirkan. Tidakkah kini semua masuk akal, apa lagi setelah Thomas Germain menjelaskan di dalam testimoninya, hakikat kekuatan Serat Terakhir Jayabaya, adalah bagaimana cara menggenggam negara ini dengan satu langkah mudah.

Mungkin Thomas Germain pula, adalah orang yang telah melepas iblis itu ke dunia. Iblis yang bernama kekuatan menguasai masa depan. Sebuah alat yang dapat menyusup, mengendalikan, dan merubah semua aspek penunjang nyawa sebuah negara. Orang yang memiliki alat tersebut, berarti memiliki negara ini lebih dari seorang presiden. Tidak ... bahkan presiden hanyalah boneka mainan bagi para pemain dengan harta sebanyak Gunung Bromo.

Kini, lompa 'siapa cepat dia dapat' telah di mulai. Charles Marute bersama dengan organisasi tua bernama Anak Kuasa—sebuah organisasi persaudaraan—berencana merebut kekuatan yang Jayabaya tinggalkan pada sebuah serat yang ditulis beratus-ratus tahun silam.

Target mereka selanjutnya adalah Miriam. Ini adalahtitik krusial dalam hidupku, mengingat semua yang berada di dekat Miriam, sudahpasti dalam bahaya. Bahkan keluargaku, tidak lama lagi akan terlibat.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top