CHAPTER 1


Pedalaman Jawa Timur Bagian Selatan

2026

Ada sebuah kisah, di mana sekelompok konvoi kendaraan nampak merayap memasuki pedalaman hutan. Sebuah mobil jip nampak terseok-seok di antara iring-iringan mobil tersebut, serta hari mulai gelap. Makian dari pengemudi mobil melengkapi nasib sial para penumpang mobil jip tersebut.

"Sial! Kenapa mobil ini selalu mogok tidak pada waktunya!" maki sang pria berjenggot tebal yang sering dipanggil komandan oleh beberapa orang lainnya.

"Sori, ndan! Sepertinya mesin ini sudah harus diganti?" celetuk salah satu anak buah sang pria itu.

"Diganti, ndiasmu! Ada apa dengan negeri ini? Apa mereka tak bisa membuat sendiri mesin mobil? Paling-paling hanya berhenti di tahap ujicoba. Lama-lama aku benci juga negara ini!" sang komandan menggerutu. Satu lusin orang-orang misterius itu makin menjelajahi pedalaman hutan dan mereka belum menemui satu pun pemukiman. Mereka berusaha untuk tidak mengeluarkan beberapa barang yang dianggap mencurigakan.

Senja jingga mulai nampak dari balik kanopi hutan. Setelah sekian lama berjalan, ke-dua belas orang tersebut akhirnya sampai di tepi sungai. Komandan kelompok mereka menemukan seseorang yang sedang memanggul cangkul dan menenteng sebuah ember, nampak berjalan menyusuri sungai.

"Lihat! Ada orang menyeberang sungai!" sang komandan menunjuk orang yang dimaksud. Ia sedang memerintahkan anak buahnya untuk menanyakan apakah di dekat daerah itu ada pemukiman. Satu orang laki-laki yang agak pendek berbegas mendekati sang pelintas sungai. Orang yang dipanggil sedikit terheran-heran dengan kehadiran sekelompok orang dari kejauhan, menghentikan langkahnya untuk segera sampai di rumah.

Dua belas orang misterius tersebut beruntung, ternyata laki-laki tadi adalah salah satu warga dari sebuah kampung yang tidak jauh dari tempat mereka kini tersesat. Sang komandan menyuruh beberapa anak buah mereka, agar segera membereskan masalah yang terjadi pada salah satu mobil jip mereka.

"Kita harus memeriksa beberapa komponen pada jip ini begitu sampai di kampung, komandan. Aku harap mereka memiliki beberapa perlengkapan untuk membedah mesin mobil bobrok ini!" gerutu salah satu anak buah komandan.

"Aku harap begitu, anak muda. Kau yang paling mengerti soal mesin mobil di sini," tukas sang komandan.

"Akan saya tunjukkan jalan menuju desa, Pak," ujar sang lelaki desa.

"Berapa jauh jaraknya?" tanya sang komandan.

"Sekitar satu kilometer lagi ke arah tenggara ...," lanjut sang lelaki desa. Iring-iringan mobil jip itu pun kembali bergerak. Konsekuensi yang harus mereka terima, mereka harus jalan kaki sejauh satu kilometer. Mobil jip yang mogok ditarik oleh mobil jip yang lainnya, itu berarti setengah lusin orang harus rela berjalan satu kilometer di medan yang cukup melelahkan.

Barisan pepohonan yang cukup rindang sepertinya tak mengindikasikan kalau di dekat tempat mereka berjalan, ada sebuah pemukiman. Banyak mitos yang beredar kalau daerah-daerah hutan seperti ini sering ditemui portal menuju 'dunia lain', sebuah desa misterius yang muncul tiba-tiba di dalam hutan. Cerita-cerita legenda masyarakat setempat yang menyebut adanya 'desa astral', kampung hantu, atau kota jin sudah beredar di kalangan dua belas orang tersebut.

Well, setidaknya kedua belas orang tersebut membawa peralatan yang cukup memadai. Set perlengkapan untuk berkemah, logistik makanan dan yang tidak kalah pentingnya adalah senjata. Sekotak senapan dan senjata semi otomatis tersimpan di mobil. Sang lelaki desa nampak sedikit curiga dengan barang-barang yang dibawa oleh orang-orang misterius itu.

"Kalian ... tentara?" tanya sang lelaki desa.

"Ah ... kami hanya ... pemburu," jawab sang komandan enteng. Dahi sang lelaki desa mengernyit.

"Saya baru tahu kalau pemburu membutuhkan banyak senjata. Makhluk astral bagaimana pun tidak dapat dibunuh dengan hal seperti itu ...." Sang lelaki desa sempat terkekeh sembari menceritakan keraguannya kepada orang-orang yang kini dipandunya.

"Kami sebenarnya memburu cecunguk-cecunguk iblis, kalau kau ingin tahu. Sekarang, di mana kampungnya?" tanya sang komandan tak sabaran.

"Kita sudah sampai," ujar sang lelaki desa, seraya menunjuk sebuah patok jalan yang cukup besar. Sang komandan yang sudah berpengalaman dalam segala kondisi dan medan tempat-tempat seperti ini pun tak menyangka, bahwa ada pemukiman di sini. Beberapa rumah semi bata nampak tersusun merenggang, dengan pelataran kebun sayur, sawah kecil, atau ternak ayam. Pun beberapa orang nampak menunggang kuda. Sepertinya desa tersebut nampak belum tersentuh peradaban yang sudah cukup maju. Tidak, mereka cukup maju, dengan membangun rumah kayu di dekat sungai untuk membuat pembangkit listrik mereka sendiri.

"Beberapa dari kalian mungkin akan menginap di beberapa rumah terpisah. Saya akan usahakan untuk mencarikan rumah yang berdekatan. Omong-omong, itu pak kepala desa ...," jelas sang lelaki desa, menujuk beberapa orang yang tengah mengobrol di dekat sebuah rumah semi bata yang cukup besar. Kebanyakan dari mereka juga menyelempangkan senapan, anak panah, juga beberapa harpun.

"Wah, sepertinya kalian habis perang ...," komentar sang komandan.

"Tidak. Mereka berburu gerombolan anjing hutan, ular besar, atau tikus hutan. Beberapa unggas di sini sudah jadi mangsa selama beberapa hari," jelas sang lelaki desa.

"Kupikir macan ...," celetuk si montir.

"Macan Jawa sudah punah, goblok!" sahut salah satu anak buah komandan lain yang bertugas menjadi sopir jip mogok.

"Hei, aku masih lihat beberapa di Ragunan liburan awal tahun ini!" komentar si montir.

"Kalau beruntung, kami juga akan bertemu macan, walaupun kami berharap tidak ingin bertemu dengan mereka ...," ujar sang lelaki desa. Sang lelaki desa nampak bertemu dengan salah satu dari para gerombolan bersenjata itu. Mereka lebih mirip bandit-bandit penghuni hutan daripada pemburu. Sang komandan merasakan sedikit keganjilan di sini.

Sang kepala desa, dengan tubuh tegap, agak lebih pendek dari sang komandan, dengan kulit sawo matang, menyapa dan menjabat tangan sang komandan. Setelah basa-basi menceritakan tentang keadaan timnya, mereka berdua segera mendiskusikan untuk perizinan menginap di beberapa pemukiman.

"Anda dapat tinggal di balai di tengah desa, bersebelahan dengan rumah saya, sekaligus anggota penghuni rumah yang lainnya ...," jelas sang kepala desa.

"Anggota penghuni rumah yang lainnya?" Dahi sang komandan mengernyit.

"Beberapa keluarga di sini menetap dalam satu rumah besar. Itu sudah menjadi kebiasaan kami di sini," jelas sang kepala desa.

"Sepertinya rawan perselingkuhan," celetuk si montir.

"Tidak, tuan. Kami masih mengerti adat dan kearifan lokal. Pamali kalau melakukan hal semacam itu, terutama di tempat seperti ini," bantah kepala desa. Sang komandan hanya menganggukan kepala tanda mengerti.

"Sepertinya desa ini banyak kedatangan orang-orang pendatang?" komentar salah satu anak buah komandan.

"Kalian tahu sendiri, negara ini benar-benar kacau semenjak lima tahun lalu. Ada banyak hal yang terjadi, sampai-sampai, beberapa kami harus pindah ke pedalaman untuk menenangkan diri. Mari, saya akan antarkan kalian segera. Kendaraan kalian bisa diparkir di dekat rumah." Sang kepala desa memberi isyarat kepada komandan dan anak buahnya untuk mengikutinya. Berkas sinar senja terakhir telah lenyap dari langit. Malam pun mulai datang.

*****

Rumah tersebut nampak seperti rumah di pedesaan pada umumnya, bersebelahan sekitar sepuluh hingga lima belas meter. Rumah sang kepala desa ternyata cukup besar untuk menampung sekitar tiga kepala keluarga. Namun rumah tersebut tidak nampak seperti rumah-rumah pendatang baru di desa, dengan gaya yang cukup mewah. Bangunan semi bata dan kayu, bertingkat dua dengan banyak ruang luas dan bilik kamar. Mirip seperti rumah pedesaan di Jawa. Memiliki pelataran yang cukup luas, dengan kebun sayur di belakang.

Sebelahnya adalah balai desa yang berukuran tidak jauh lebih besar dari rumah sang kepala desa. Dapat dikatakan, kalau balai desa tersebut cukup terbuka seperti pendopo, ruangannya yang cukup luas. Ada dua bagian balai desa, pendopo dan ruangan dalam yang dipakai sebagai ruangan untuk kantor perangkat desa. Ruangan dalam itu biasa digunakan sebagai tempat para perangkat desa berkumpul dan berdiskusi permasalahan di desa.

Sang kepala desa adalah pendatang lima tahun lalu. Ia sudah cukup disegani oleh penduduk di daerah itu. Bisa dibilang, apa yang telah terjadi lima tahun lalu, banyak merubah dinamika kependudukan negara ini. Bisa dibilang sang kepala desa yang tampak masih muda ini, juga dilirik oleh kaum perempuan di desa tersebut. Komandan menerka ia adalah seorang bujang lapuk berusia dua puluh lima tahunan yang sedang mencari calon istri. Meskipun begitu, ia cukup disegani karena welas asihnya dalam memimpin desa ini selama lima tahun. Tidak ada rasa cemburu, tidak ada rasa iri di antara para warga. Semua senang.

Para rombongan segera disambut oleh seorang anak laki-laki berusia lima tahunan yang sedang bermain di halaman rumah.

"Anak siapa?" tanya sang komandan.

"Salah satu anak keluarga yang menetap di rumah ini ...," jelas kepala desa. Kemudian, muncul juga seorang anak perempuan yang berusia tak jauh beda dari si anak laki-laki. Si anak perempuan yang nampak pendiam hanya bereaksi sedikit dengan si anak laki-laki. Ia segera menghambur ke arah lelaki pemuda desa dan memeluknya erat. Si anak perempuan nampak sedikit kebingungan ketika banyak 'tamu' berdatangan. Pun juga ia sedikit ketakutan, ketika mengetahui tamu tersebut berwajah 'tidak ramah'.

"Aku senang ayah sudah pulang," ujar sang anak. Si pemuda desa mengelus rambut anak laki-laki yang sedang cengar-cengir itu.

"Papa, siapa orang-orang itu?" tanya si anak perempuan yang langsung menerjang, lalu bersembunyi di belakang seorang laki-laki yang tergabung di kelompok pemburu.

"Ah ... entahlah, sepertinya mereka bukan berasal dari daerah sini. Ada apa ini, Pak Kades?" tanya sang lelaki kepada sang kepala desa.

"Mereka tengah tersesat dan kendaraan mereka mogok di tengah hutan. Aku pikir tidak ada salahnya bukan, untuk membantu mereka sejenak?" jelas sang kepala desa.

"Kalau boleh tahu, di mana kami dapat membeli bahan bakar dan beberapa komponen di kendaraan ini?" tanya Si montir.

"Ah ... sayangnya pasar dari sini cukup jauh dan memakan waktu untuk sampai ke sana. Itu pun kalau pasar tersebut menjual suku cadang untuk kendaraan anda. Ada kota di daerah bawah, tetapi itu akan lebih memakan waktu lagi untuk sampai ke sana ...," jelas si pemuda desa.

"Tidak apa-apa, informasi tersebut sudah cukup untuk kami. Terima kasih telah memberikan kami tempat untuk menginap ...," ujar sang komandan.

Lalu, begitulah kiranya cerita di mana sekelompok orang-orang bersenjata misterius, bertemu dengan sebuah peradaban setengah maju yang begitu asri. Bisa dikatakan juga, perkampungan penduduk tersebut tidak bisa dikatakan 'asri', karena mereka juga memiliki rahasia mereka sendiri. Acara berlanjut ketika kelompok pendatang misterius tersebut diundang untuk makan malam bersama di rumah sang kepala desa. Mereka pun mulai berbagi cerita.

Adapun kelompok misterius yang tersesat di hutan itu, mengaku sebagai pasukan rahasia yang ditugaskan untuk melakukan misi pencarian beberapa orang yang diduga sebagai teroris kawakan dan ada hubungannya dibalik proses kudeta pemerintahan yang terjadi lima tahun yang lalu. Lebih tepatnya, kelompok separatis daripada teroris, karena mereka hanya melakukan kudeta terhadap pemerintahan lama dan menginginkan sebuah kedamaian bagi kelompok-kelompok mereka.

Lalu dikirimlah sekitar selusin orang pasukan rahasia yang di tugaskan atas nama pemerintah negara untuk menjalankan misi secara sembunyi-sembunyi. Mereka menyisir berbagai tempat yang kiranya dapat digunakan oleh para kelompok-kelompok separatis yang sempat mengacau di berbagai tempat di negara ini. Itu terlihat jelas, setelah diketahui barang-barang bawaan mereka bukanlah barang-barang bawaan biasa. Berbagai peralatan senjata api dan perlengkapan perang model baru—oleh orang-orang awam—hanya bisa mengetahui dari film, surat kabar, majalah, atau televisi.

Namun selusin pasukan rahasia itu bukanlah pasukan main-main. Sang komandan terus beralasan bahwa atasan telah memerintahkan kelompoknya, untuk mencegah situasi yang sama terjadi kembali, seperti lima tahun yang lalu. Lima tahun di mana pada saat itu adalah tahun yang cukup mengerikan sepanjang sejarah nasional modern. Buku-buku teks pelajaran sejarah anak sekolah terisi dengan sejarah-sejarah kontemporer yang berdarah selama dunia memasuki halaman depan era modern. Mengingat presiden dan kroni-kroninya sekarang juga tak luput dari berbagai masalah, seperti makin banyaknya kubu yang berseberangan pascaperistiwa kudeta-pemerintahan lima tahun lalu.

Sang kepala desa juga menceritakan bahwa mayoritas dari penduduk desa ini adalah orang-orang yang menginginkan 'kedamaian', terlepas dari hingar-bingar kekacauan yang terjadi di pemerintahan. Mereka merasa tidak nyaman berada di dalam suatu kota, sehingga mereka memutuskan untuk pindah ke daerah pinggiran yang lebih tenang. Sang komandan tidak menyangka, bahwa banyak penduduk kota yang memutuskan untuk 'menenangkan diri' mereka dari segala hiruk-pikuk dunia, terlepas dari teknologi yang semakin lama semakin membuat hidup manusia merasa tersederhanakan.

Kurang lebih ada tiga kepala keluarga yang mendiami rumah berlantai dua yang cukup besar ini. Pun rumah ini juga dilengkapi dengan ruang makan yang cukup besar untuk menampung lebih dari sekadar tiga kepala keluarga. Sepertinya rumah kepala desa memang benar-benar besar dan luas, juga kearifan dan kebijaksanaan dalam memimpin perkampungan ini dapat terlihat dari banyaknya warga yang menaruh rasa hormat kepada sang kepala desa. Sang kepala desa sendiri masih bujangan dan belum memutuskan untuk menikah.

Kurang lebih banyak hal yang membuat sang komandan begitu terperangah mendengar cerita dari sang kepala desa dan salah satu kepala keluarga yang menetap di rumah sang kepala desa. Tak menyangka bahwa ia akan menemukan suatu kebudayaan komunal yang tidak terikat erat dengan pemerintah pusat, masih hidup damai, dipimpin oleh seorang kepala desa yang bahkan tidak ada suatu birokrasi yang berbelit-belit seperti kebanyakan desa pada umumnya. Mereka sendiri juga pernah mengunjungi beberapa desa, keluar dari daerah tertutup, namun kebanyakan mereka masih menutup diri, benar-benar nyaman hidup terkungkung di pedalaman alam.

Sang kepala desa, seseorang dengan wajah ndeso seperti kebanyakan orang desa pada umumnya, yang katanya kabur dari hiruk-pikuk dan hingar-bingar kecamuk negara, menuju sebuah desa pedalaman yang masih mengandalkan sistem tani dan kebun sebagai penghidupan utama, jelas bukanlah orang sembarangan. Salah seorang kepala keluarga yang merupakan anggota pemburu juga bukanlah orang sembarangan.

Di sisi lain, masih banyak yang belum sang komandan dan anak buahnya ketahui mengenai desa terpencil, setengah beradab, juga tenteram ini. Keheranan yang berkecamuk luas, bagaimana orang-orang ini masih bisa hidup dengan keadaan seperti ini, ketika dunia sudah mulai berlari jauh dari gerbang generasi modern?

Yang berarti, hanya ada satu hal.

Ada yang mencurigakan dari perkampungan ini.

Sementara itu, tak jauh dari tempat di mana sang komandan pasukan rahasia sedang makan malam bersama dengan sang kepala desa, si pemuda desa mencium adanya situasi yang tidak mengenakan akan segera terjadi. Ia bersama beberapa orang dari kelompok pemburu memutuskan untuk mencari tahu dengan melakukan pengintaian secara sembunyi-sembunyi. Kurang lebih ada sembilan orang yang ditugaskan untuk berjaga dan berkeliling di sekitar rumah sang kepala desa. Si pemuda desa lebih tertarik pada seorang anak buah sang komandan, yang kini sedang mengamati layar ponselnya. Terlihat satu cecunguk kampret itu semakin gelisah ketika mengtahui sesuatu dari layar ponselnya.

Curiga dengan gelagat si cecunguk kampret, si pemuda desa bersama dua orang teman mereka menyergap satu cecunguk tersebut yang tengah kedapatan menerima suatu informasi dari ponsel tersebut. Entah bagaimana dia bisa mendapatkan sinyal di tempat pedalaman seperti ini, namun begitu tahu kalau dia adalah salah satu pasukan rahasia, maka si pemuda desa tak dapat main-main lagi untuk mengonfrontasi si cecunguk kampret, tepat ketika ia akan segera berdiri dan berlari menuju rumah sang kepala desa.

"Berhenti di situ!" teriak si pemuda desa sembari menarik sebuah anak panah dari tempatnya dan mulai membidik ke arah si cecunguk kampret. Dua orang lainnya sedang bersiaga dengan menghunuskan parang dan kapak mereka. Beruntunglah si cecunguk kampret belum sempat menarik pistol di pinggangnya.

"Apa yang sedang kau lakukan!" si pemuda desa menginterogasi si cecunguk kampret. Sementara cecunguk kampret itu malah menyeringai.

"Aku akhirnya tahu siapa kalian! Akan aku laporkan kepada komandan!" gertaknya.

"Tahu apa kau soal kami? Jawab!" bentak salah satu teman si pemuda desa.

"Kalian semua akan tamat dan pasukan kami akan menghabisi kalian semua! Akan kulaporkan kalian kepada komandan!" si cecunguk kampret masih saja bersikeras untuk tidak mau mengaku. Ia bersiap mengambil ancang-ancang untuk kabur, meski ia sudah terkepung.

"Coba saja kalau kau mau kabur ...," tantang si pemuda desa. Si cecunguk menghentakkan kaki dan mulai melarikan diri, ketika si pemuda desa melepas anak panahnya dan menembus leher si cecunguk kampret. Si cecunguk langsung terpental, menabrak dinding, lalu terkapar tak bernyawa. Sialnya, ia telah sempat mengirim sesuatu kepada seseorang melalui ponselnya.

"Sepertinya kita harus jalankan rencana yang seperti biasa ...," ujar si pemuda desa.

*****

Situasi menjadi tidak terkendali dalam barang satu-dua detik setelah sesuatu terkirim melalui ponsel si cecunguk. Situasi di dalam rumah pun juga berubah drastis. Sayangnya hal itu terjadi ketika makan malam baru saja disiapkan, serta semuanya akan menyantap hasil panen bulan ini bersama-sama. Mendadak sang komandan terkejut dengan sebuah informasi rahasia yang dikirim melalui seseorang yang sangat ia kenal. Ia kemudian sedikit berbisik kepada anak buahnya. Segera ia melakukan improvisasi, agar apa yang sedang terjadi tidak sampai bocor ke orang lain.

Apa yang terjadi terjadilah. Sang komandan tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya dan langsung menodongkan sebuah pistol ke arah sang kepala desa. Perlu diketahui, ada dua orang anak-anak di dalam ruang makan tersebut, sang kepala desa, dan seorang pemuda dari kelompok pemburu, yang kini tangannya merengkuh anak perempuannya. Tentu saja kedua anak itu ketakutan. Terkejut, tak percaya, seluruh orang yang ada di ruang makan langsung siaga.

"Kami sudah mengetahui, ada yang salah dari tempat ini ...," ujar sang komandan. Sang kepala desa bergeming dari tempat duduknya dan tetap santai menyantap sup yang tadi disajikan oleh istri dari sang pemuda pemburu.

"Kami juga sudah mengetahui, bahwa ada yang salah dengan kalian ...," jawab sang kepala desa dengan tenang. Sang komandan dan tiga anak buahnya menodongkan senjata, termasuk si montir yang sedikit kebingungan dengan perubahan situasi ini.

"A-ada apa ini?" seorang perempuan yang cukup muda nampak ketakutan ketika mengetahui atmosfer ruang makan sudah berubah drastis, sesaat setelah ia menyiapkan bakul nasi terakhir. Salah seorang anak buah komandan bergerak mendekat ke arah perempuan tersebut, mulai menodongkan moncong pistolnya ke kepala si perempuan.

"Sedikit saja kau melukai istriku, kau tidak akan kuampuni ...," ujar si pemuda pemburu datar tanpa menolehkan wajahnya. Ia melirik dan memandang sekilas anak-anak yang meringkuk ketakutan di dekatnya.

"Bisa kita bicarakan baik-baik. Ada anak-anak di sini. Kita tidak ingin mereka melihat apa yang akan terjadi, bukan?" ujar sang kepala desa. Sang komandan hanya menanggapi dengan ekspresi kecut dan sinis.

"Kalian berdua ... masuklah ke kamar atas dan kunci pintunya ...," ujar si pemuda pemburu. Anak laki-laki dan anak perempuan yang ada di samping si pemuda terpaksa menurut, berlari menuju tangga untuk menuruti perintahnya. Kini, hanya ada empat orang cecunguk misterius, yang tiba-tiba menggila.

"Sangat mengagumkan. Kalian bisa membangun sebuah peradaban sederhana di daerah terpencil ini. Jauh dari masyarakat modern dan merasa aman di tengah kedamaian alam. Sayang sekali, kami adalah orang-orang yang profesional dengan orang-orang macam kalian ...," jelas sang komandan.

"Oh, sekadar informasi, kami menantikan kedatangan orang-orang seperti kalian," sahut sang kepala desa. Sang komandan mengernyitkan alis.

Tiga detik ...

Satu ... dua ... tiga ...

Tiga detik jeda dan konklusi sudah jelas mengalir seperti adegan drama televisi yang sungguh mendebarkan. Kau tidak akan tahu betapa menakutkannya seorang ibu rumah tangga, ketika ia dengan cepat menyambar sebuah pisau dapur yang terletak di pantry yang ia jadikan sandaran, lalu dengan cepat menghunjamkan ke arah lengan si anak buah yang menodongnya. Tangannya terangkat, bersamaan dengan teriakan kesakitan si anak buah, pistol yang ditodongkannya terarah ke atas, meletus mengenai langit-langit.

Sementara itu, tiga orang lainnya—yang masih terpana dengan gerakan yang tiba-tiba tadi—tidak menyadari, kalau dua orang yang masih ada di meja makan ini dengan serempak melemparkan mangkuk sup yang masih panas, ke arah dua orang cecunguk jelek yang berdiri di dekatnya. Kedua cecunguk merintih, karena sup panas langsung mengaktifkan sensasi panas luar biasa ketika menyentuh kulit wajah mereka. Mereka berdua menjatuhkan diri dengan senjata mereka dilepaskan begitu saja. Sang komandan menarik pelatuk pistolnya dan mengarahkannya ke si perempuan yang tengah menikam—mengoyak dagu sampai ke leher—anak buahnya.

Namun di saat yang bersamaan, sebuah pintu kamar terbuka, bersamaan dengan munculnya seseorang yang berbadan seperti superhero-monster berwarna hijau, langsung menerkam sang komandan. Keduanya langsung terjatuh ke arah meja makan. Sang kepala desa terlihat menyayangkan makan malam yang berserakan jatuh ke lantai. Pistol sang komandan terlempar.

Tiba-tiba saja dari arah pintu depan, muncul dua orang cecunguk lagi yang hendak menyerbu rumah. Baru saja mereka selangkah memasuki rumah, kepala mereka sudah bocor, ketika suara tembakan, bersamaan dengan peluru menembus kepala mereka. Dua cecunguk itu langsung jatuh tertelungkup, lalu berdebam ke lantai. Tiga orang warga yang tadi menemukan si cecunguk pengirim pesan, masuk, menyingkirkan mayat dua orang yang tadi mereka bunuh dari ambang pintu. Si pemuda desa bertubuh pendek dengan segera menancapkan sesuatu berbentuk seperti batangan yang terikat sebuah pasak dan kemudian memasangkan pasak lainnya, di sisi yang berseberangan di depan pintu yang terbuka. Sekilas terlihat senar tipis yang melintang di sepanjang pintu.

"Bagaimana kondisi di dalam? Semua aman? Anak-anak baik-baik saja?" tanya si pemuda desa.

"Terkendali," jawab sang pemuda pemburu cepat. Sekilas terdengar suara teriakan dan laungan samar-samar, bersamaan dengan langkah kaki yang semakin lama semakin terdengar jelas. Entah begitu cepat para cecunguk itu merespon, ketika dua orang berseragam semi militer lainnya langsung berlari ke arah pintu, tepat ketika salah satu dari kaki mereka menerjang kawat senar dan langsung memicu ledakan yang cukup keras. Bisa dibilang kaki dan separuh tubuh mereka terkena efek ledakan itu.

"Berapa orang?" tanya sang kepala desa.

"Enam orang koit, sisanya sedang diurus oleh orang-orang yang marah karena ketenangan kampung diusik oleh orang-orang kampret yang berusaha menebar keributan di sini," jawab si teman pemuda desa yang membawa senapan laras panjang.

"Satu orang ditindih oleh gendut bengak yang tak bisa menembak, kurasa ...," timpal pemuda desa yang lain, seraya menunjuk orang yang sedang ditindih pria raksasa di atas meja. Belum selesai sampai di situ, tiba-tiba pintu kamar yang lain terbuka dan keluar pria setengah telanjang—secara harfiah dapat dideskripsikan dia hanya menutupi bagian alat vitalnya dengan selimut—sedang menggendong seorang perempuan—yang juga telanjang, dengan selimut menutupi separuh badannya—sembari mengomel.

"Hell, No! Guys, seriously, tidak ada ketenangan untuk malam ini? Lalu apa pula kekacauan dan tetek-bengek ini!?" ujar si pria.

"Gila kau Vid! Kau membuat acara makan malam kami dengan para bromocorah sedikit kagok dengan suara bercinta kalian!" ujar sang kepala desa.

"Huh sudahlah, sekarang—," si pemuda desa bertubuh pendek mendekat ke meja makan, di mana di sana tergeletak sang komandan yang semaput, sehabis ditindih sang pria besar.

"—kita tanya dan plakeplakeplak orang ini, bagaimana Rimba?" lanjut si pemuda desa seraya menoleh ke arah si pemuda pemburu.

"Silahkan," ujarku.

Kisah pun selesai.

*****settin�"8vA�M

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top