Kelana

Hatimu berkelana jauh mengitari bentala, apakah kamu masih ingat jalanmu pulang ke rumah?

Ada beberapa artikel mengatakan sekali anak burung bisa terbang mereka akan terbang jauh dan tidak akan pulang. Mereka membuat sarang baru dan menyebutnya rumah mereka. Tapi mereka ingat, sarang yang dulu pernah mereka sebut rumah meski sudah bersinggah di tempat baru. Mungkin manusia juga begitu, berkelana dengan impian diikat di hati mereka tanpa pasti bisakah mereka meraih mimpi itu atau tidak.

Dan Vivi Nikolaevna adalah burung yang lupa arah menuju rumah. Musisi yang mengikuti kemanapun kakinya membawa meski itu sampai ke ujung bumi. Entah berapa tahun ia tidak kembali ke Jerman, tidak kembali ke rumah. Dia mulai lupa bagaimana berbicara dengan bahasa Jerman tapi lucunya lidahnya tidak pernah lupa logat kampung halamannya. Mulai lupa adat istiadat negara bir tersebut, tapi tidak pernah lupa bagaimana menyapa para anak kecil yang bermain kapal mainan di jalan kota.

Mungkin jika Vivi tidak menerima undangan konser di Freiburg, ia tidak akan menginjakkan kaki di kota itu. Kota tempat perempuan itu pertama kali menghembuskan napas di bumi, Freigburg. Menurut berita, Freiburg lebih hangat dari musim panas tahun lalu, anak-anak banyak bermain di jalan dengan gelak tawa mengiringi mereka, bir terasa lebih segar dan kicauan burung yang merdu mengajak kaki untuk menari. Karenaa itu, Freiburg disebut sebagai kota musim panas. Ah, sudah lama Vivi tidak menghirup udara musim panas setenang ini. Perempuan tersebut mampir di sebuah bar dekat sungai, teman lamanya yang dulu hanya seorang bartender biasa kini menjadi pemilik bar tersebut. Hebatnya permainan waktu membuat Vivi sadar sekali ia melihat kebelakang akan banyak hal yang dia lewatkan di depan.

"Segar ya di sini?"

Pertanyaan itu menggugah Vivi dari lamunan, ia mengangguk sambil minum alkohol racikan rekannya, "Benar. New York isinya polusi doang."

"Oh? Jadi bakal tinggal-"

"Kalau tinggal enggak sih."

Perkataan temannya dipotong seakan-akan ia sudah menghadapi pertanyaan yang sama berulang kali, Vivi mengelap ujung bibirnya sebelum menaruh uang di meja, "Di sini terlalu nyaman."

"Just accept the fact that you're homesick Vivi."

Vivi terdiam seperti ditusuk belati tepat di hati, sialnya ucapannya benar sekali. Vivi bisa saja tinggal lagi di Jerman dan menjalani hidup yang pernah ia janjikan dulu bersama seseorang. Tapi perempuan ini teguh memilih tidak, mungkin karena egonya atau hati yang merasa tidak lagi nyaman di rumah. Vivi juga tidak tahu, karena manusia paling pandai membolak-balikan perasaan mereka sendiri.

"Keep the change."

Kakinya sekali lagi berjalan tanpa tujuan, Freiburg menyenangkan, setidaknya itu yang perempuan dengan heterochromia tersebut pikirkan. Ia bagaikan turis yang mengenal setiap sudut kota, ia bagaikan orang asing di rumahnya sendiri. Dari kota lama Freiburg sampai ke katedral, sedikit demi sedikit rasa rindu yang tertabung dalam hatinya perlahan lunas. Vivi menatap bangunan tua tersebut, jika ingatannya tidak salah ia sering mampir ke bangunan ini tidak peduli di mana dan sejauh apa jarak dari tempat ia berdiri ke tempat ibadah ini. Entah dari hati atau memori kecil tersebut Vivi mengangkat kaki ke dalam katedral dan duduk di kursi paling belakang. Perempuan bermahkotakan violet itu mengatup tangannya dan menutup mata, apakah ia ingin berdoa? Tidak juga, tapi ada perasaan nyaman tentang berposisi seakan-akan dia memohon kepada Tuhan.

"Wofür betest du?" (Kamu berdoa untuk apa?)

Vivi membuka matanya, ia hafal betul milik siapa suara semanis madu itu. Mau disangkal seperti apapun juga suara itu tetap milik lelaki yang paling ingin dia hindari di kota ini. "Bete für meinen Tod." (Berdoa untuk kematianku).

Vivi menoleh ke lelaki yang duduk di sampingnya, Alexis Ness sekali lagi masuk ke dalam hidupnya tanpa ia minta dan tanpa ia panggil, "Lama tidak jumpa Ness."

"Aku merindukanmu, apa kabar?"

"Aku tidak."

Ness tertawa bagai mendengar komedi terlucu yang pernah ia dengar, ekspresi pemuda tersebut sulit untuk dibaca bagaikan novel tua yang terletak di rak paling pojok di perpustakaan. Ness meletakkan tangannya di dada dan membuka kembali mulutnya, "Mau jalan-jalan? Sudah lama kita tidak ngobrol bersama."

"Tidak, terima kasih."

Vivi menjawab pertanyaannya dengan blak-blakan. Perempuan itu menyilangkan tangan ketika Ness terkekeh atas jawabannya, toh, tidak ada alasan juga untuk menerima tawaran seseorang yang sudah lama tidak hadir lama hidupnya. Ah, ia hampir lupa betapa ia membenci senyuman lelaki di hadapannya dan betapa rindunya ia akan kehangatan senyum itu.

"Baiklah, aku traktir saja, bagaimana?" Ness sumringah seperti kebahagiannya telah berada di puncaknya, lelaki tersebut berdiri sambil menawarkan tangan untuk membantu Vivi berdiri.

"Lakukan sesukamu."

Tangan Ness dibalas oleh hembusan angin bersamaan dengan jawaban si bunga violet. Dan tangannya mengepal lantaran belum bisa merasakan kehangatan violet tersebut. Mungkin belum saatnya, pikirnya.



Keduanya berjalan menyusuri jalan dan sesekali mampir ke toko di pinggir jalan, entah itu makanan atau pernak-pernik receh yang tidak menarik untuk ditatap, Vivi menguak memori lama yang dipendam di dalam inti otaknya seperti menemukan uang di dalam sakumu yang lupa kamu keluarkan. Dalam perjalan itu, memori tentang mereka kembali hidup, tentang masa kecil mereka yang berlari menuju katedral hanya untuk bertemu pastor favorit mereka, tentang pemilik bar yang tidak bosan mengusir mereka saat Vivi terlalu mabuk untuk melangkah ke atas panggung. Vivi tidak pernah lupa, hanya beranggapan bahwa ia sudah lupa.

"Kau terlihat begitu senang dengan gantungan kunci itu."

Celetuk Ness mengambil atensi Vivi dengan sempurna, perempuan tersebut memasukkan gantungan kunci tersebut ke dalam tasnya, "Karena bentuknya aneh."

Ness terkekeh dan memandang ke arah jalan, pemuda tersebut tenggelam dalam laut pikirannya sendiri sebelum akhirnya berbalik ke arah Vivi, "tut mir Leid, Vivi." (Aku minta maaf, Vivi.)

Vivi mengangkat alis dengan raut bingung, "Untuk?"

Keduanya lanjut berjalan dalam diam, Ness yang tidak menjawab pertanyaan Vivi dan Vivi yang memilih untuk tidak bertanya lagi. Kaki mereka berhenti berjalan sampai di sebuah pemakaman, Vivi menatap Ness seperti tau isi pikiran lelaki berkepala maroon itu, dua insan tersebut menjelajah pemakaman tersebut sampai ke sebuah kuburan dengan nama yang tidak asing bagi mereka berdua. Teman, saudara, manusia esentrik bagaikan sang bintang, Michael Kaiser adalah lelaki dengan segalanya kini terkubur 6 meter di bawah tanah. Kecelakaan akibat pengemudi yang mabuk menabrak mobilnya ketika ia merayakan rilisnya album Vivi bersama Ness. Langit kehilangan salah satu bintangnya pada malam itu.

"Ayo, keburu malam." Ajak pemuda itu dengan senyum simpul, ia mengelus tangan Vivi dengan lembutnya seperti mengelus bayi yang baru lahir.

"Yakin?"

Ness diam. Diam selalu pertanda buruk bagi Vivi. Pemuda tersebut menggeleng pelan, kini elusan yang lembut berubah menjadi tarikan paksa. Kan, ada yang tidak beres. Terpampang dari wajah Ness yang ingin kabur dari tempat itu, dari gemetar tangannya di atas tangan Vivi.

"Toh, nanti aku juga ke sini lagi."

Saat itu Ness adalah buku yang paling mudah untuk dibaca, kebetulan saja Vivi adalah kutu buku yang cinta membaca.

Vivi memilih untuk tidak membalas tanggapan Ness dan mereka lanjut berjalan tidak tahu arah hanya mengikuti papan jalan, Vivi menangkap sekilas pemain jalanan, seorang pria dengan gitar menyanyikan suara hatinya. Tanpa sadar kakinya berhenti melangkah seraya matanya yang terpaku pada musisi jalanan tersebut. Seakan melihat dirinya saat kebebasan adalah hal tersulit yang dapat ia gapai, masa dimana hanya ada dia dan Ness menghadapi dunia. Ness mengusap bahu Vivi dengan penasaran terpampang di wajahnya, lelaki tersebut mau tidak mau ikut menonton musisi yang tidak jauh dari mereka. Perempuan tersebut menepis tangan Ness dengan muka datar.

"Mau mampir?"

Vivi menggeleng dan lanjut melangkah, bahkan poker face-nya tidak mampu menutup hatinya, "Hanya melihat."

Ia masih ingat akan janjinya, janji yang ia bisikkan di malam pertama musim dingin bersama Ness. Kala dingin menyentuh pipinya dan seluruh tubuhnya menggigil akan suhu di Jerman. Sorakakan para penonton yang hampir memecahkan gendang telinga. Sebuah kenangan yang belum mampu ia buang hingga saat ini juga. Jika, hari itu tidak terjadi, mungkin band mereka sudah melakukan touring ke setiap sudut bumi.

"Keingetan masa lalu." Tambahnya sambil mempercepat kaki, dan lelaki di belakangnya buru-buru mengejar jarak di antara mereka.

Ness tertawa mendengar jawaban Vivi, ia memiringkan kepala ke arah wanita di sampingnya, "Masa lalu?"

"Yang pasti tidak relevan dengan masa sekarang."

Diam kembali menyelimuti perjalan mereka, ditemani langit senja tampak begitu cantik di atas kepala, dan angin yang menyapa saat lewat.

"Kejadian dua tahun lalu bukan salahmu, Al."

Mulut Ness tertutup rapi mendengar panggilan yang sudah lama mati bangkit terdengar telinganya. Ia tahu betul apa yang Vivi maksud. Suara klakson yang menusuk telinga, becek darah menggenang di bawahnya, Ness tidak akan pernah lupa hari di mana ia kehilangan bintang hidupnya dan melihat dewinya melangkah dari pintu jiwanya.

"Jika ini bukan salahku, kau tidak akan pergi 'kan?"

Kini diam bergilir pindah ke Vivi, dengan raut muka yang sulit ditebak karena terlalu datar dan mata yang menjelaskan semua yang mulut tidak bisa, perempuan tersebut menarik nafas dalam, "Aku pergi karena kemauanku sendiri."

"Seharusnya aku saja yang menyetir."

"Yang salah itu pengemudi yang mabuk, Al."

"Tetap saja." Ness menyanggah ucapan Vivi, Senyum di bibirnya pudar berganti pilu sebiru laut.

Setelah dua tahun. Dua tahun. Akhirnya mereka beradu mulut, tumpah ruah isi hati dua insan yang terluka batin tersebut, menjerit pada satu sama lain di perjalanan pulang, melepas perasaan yang telah lama dikekang seperti saat mereka di rumah sakit di malam kecelakan tersebut terjadi. Vivi dengan keras kepalanya bertemu Ness dengan lincahnya membalikkan kata kepadanya. Hingga sampailah mereka di satu titik di mana mereka berpikir bahwa semuanya itu percuma. Percuma berdebat akan hal yang tidak akan kembali, percuma bertengkar meski tau ada solusi yang lebih baik. 

Perdebatan mereka larut begitu saja ketika keduanya berhenti bersama ketika melihat alun-alun kota, panggung yang dipergunakan untuk konser Vivi sudah jadi namun, tidak ada rasa semangat menyala di mata heterochromia perempuan tersebut. Ia melirik Ness di sampingnya, yang justru terlihat bahagia bagai bocah yang 'tak sabar menanti natal. 

Vivi yang sedari tadi membisu usai bertengkar kini terkekeh pelan, "Aku memaafkanmu." Ia tersenyum, setelah entah berapa bulan lamanya, ia bisa tersenyum, "Jika maaf yang kau butuhkan untuk kembali berjalan, maka aku memaafkanmu, memaafkanku juga."

"Tapi kamu tidak salah?"

"Salah karena meninggalkan tempat yang seharusnya jadi rumahku. Kota ini rumahku, tapi menjadi asing. Karena aku egois."

Ness mengangguk pelan, seperti mengerti dunia yang dilihat oleh perempuan di sampingnya, "Tidak ada yang mengatakan kamu egois. Menurutku, Kaiser sekarang puas melihatmu mengejar mimpi."

Vivi merasa ia ingin menjerit ke langit, ke sepupunya karena menghantui tidurnya selama dua tahun, namun di realitanya ia hanya menggeleng pelan, "I'd still choose to be free, I did music as a form of my selfishness... I'm sorry I couldn't keep my promise. I was serious about teaching you how to play guitar, playing on the street with our little band ...," Vivi tersenyum pahit usai berucap, perempuan tersebut menatap ke langit seakan mencari keberadaan sepupunya di sana.

Anggukannya menjadi pelan, Ness menarik nafas dalam sebelum mengusak rambut maroon-nya kasar, "Jadi?"

Vivi berhenti mendongak dan menatap Ness, "Aku akan tetap berkelana, dari kota ke kota." 

Keduanya lagi-lagi diam. Seperti terlalu banyak hal untuk dibicarakan sampai-sampai bingung harus mulai darimana tapi di sisi koin yang lain mereka telah berbicara secukupnya. Ness menghela nafas memecah sunyi, ia menatap ke arah Vivi dengan matanya yang begitu cantik seranum buah beri.

"Aku boleh nonton konsermu besok?"

Vivi menyilang lengan sebagai jawaban, "Bayar."

"Vi."

"Al."

Keduanya tertawa bersamaan, Ness mengacak rambut violet Vivi dengan sedikit rindu tertinggal di ujung jarinya. Dua insan tersebut seperti berlari ke berlawan arah, dari kubu yang berbeda dengan garis finish yang sama. Garis start ketika mereka memulai segalanya. Ness mengulurkan lengan dengan niat melakukan salam tangan buatan mereka kala masih remaja. "Bis später, vielchen." (Sampai nanti, violet.)

Vivi tersenyum dan meraih tangan Ness, jabat tangan yang dulu ia cetuskan karena rasa bosan kini membawa rasa nostalgia, "Direkt zu dir zurück." (Kau juga.)

Tanpa berbicara lebih keduanya berjalan ke arah yang berbeda, melepas tali yang sudah lama mereka genggam sekuat tenaga. Malam itu Vivi merasa untuk pertama kali ia bisa bernafas.

Untuk pertama kalinya, ia merasa damai.

 Di tengah perjalanan menuju hotel, Vivi mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan sebuah pena. Tangannya menulis segala rangkaian kata yang melaju bagai kereta di otaknya.


Untuk seseorang, yang telah kujanjikan sebuah lagu dengan iringan gitar seperti jaman remaja.


Lagi-lagi lagunya akan bercerita tentangnya.


𝙚𝙣𝙙.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top