di bawah langit kota ini.
Di bawah langit kota Tokyo, di salah satu jembatan penyebrangan orang, netra kopi seorang gadis mengamati lekat keramaian daerah di bawahnya. Walau lebih terlihat seperti sedang melamun dibanding fokus mengamati. Sebagian helai pirang muda miliknya tertiup angin sepoi-sepoi, terutama bagian poni dan ujung rambutnya. Menambah suaran aura sendu dari manusia yang baru saja lepas dari hiruk-pikuk perkuliahannya pada hari itu.
Ia menghela napas, lalu membalikkan badan. Kini tubuhnya bersandar di pegangan jembatan. Jemari salah satu tangan dilingkarkan dengan pasti di selongsong batang pengaman agar diri tidak terjerembab ke bawah (dan mati dengan bodoh). Gadis itu hanya sedang mencari suasana baru sehabis menuntut ilmu, bukan ingin melakukan percobaan bunuh diri karena galau. Walau perasaannya yang kini sedang bimbang adalah benar; sebuah fakta.
Jika bertanya mengapa perasaan galau tengah menghantuinya, jawabannya adalah kar ena satu entitas: Izuki Shun. Rindu akan satu-satunya sosok kekasih bagi diri Fumiko, penjelasan secara gamblangnya demikian. Berada di dua almamater yang berbeda, dengan lokasi yang tidak dekat walau masih sama-sama berada di Tokyo menjadi alasan bagi mereka untuk jarang bertemu. Ditambah keputusan Shun untuk menetap di apato yang lebih dekat jaraknya dengan universitasnya yang sekarang, membuat mereka semakin jauh saja.
Ah, Fumiko benar-benar ingin bertemu Shun sekarang. Atau setidaknya, ia ingin mendengar suara sang kekasih, jika ego dalam permintaannya harus dikurangi.
"Sudah berapa hari sejak kejadian itu ya ... ?"
Mengenai konteks yang dibicarakan Fumiko, sebenarnya hubungan antara dia dengan Shun sedang tidak baik-baik saja. Menjawab pertanyaan mengapa sang gadis tidak menghubungi kekasihnya lebih dulu, jika ada yang bertanya demikian. Selain masih waktu kuliah bagi sang jelmaan elang, ia juga merasa mungkin lelakinya sedang perlu waktu sendiri. Ya, bagaimanapun merupakan wajar bagi mereka yang telah menjalin hubungan selama bertahun-tahun, untuk merasakan ketegangan barang sedikit yang hadir mengganggu ikatan di antara keduanya. Suatu hal yang mustahil bahkan bisa dibilang, jika semua berjalan dengan mulus-mulus saja.
Dan kini Fumiko merasa pesimis akan keinginannya.
Namun lekas rasa itu terhapus oleh ponselnya yang tiba-tiba bergetar. Kebiasaan Fumiko yang mengatur gawai sebisa mungkin tanpa suara jika sedang berada di universitas. Agar tidak mengganggu yang lain, tetapi dia masih bisa mengetahui jika seseorang tengah coba menghubunginya.
Dewi Fortuna sepertinya tengah berada di sisi Fumiko.
.
.
.
Di bawah langit Kota Tokyo, walau berada di sisi lain hiruk pikuk kota yang menjadi ciri khasnya, seorang pemuda berambut hitam bersilang lengan. Bersandar di salah satu dinding gedung ilmu murni yang mahasiswanya identik sering bergelut dengan angka—padahal kenyataannya tidak demikian. Sepotong rokok ia keluarkan dari tasnya. Tak lupa dengan barang yang akan bertugas menyulut api di pucuknya. Jarang-jarang diri sampai mengonsumsi sesuatu yang ... bisa dibilang pelarian dari masalah yang sedang ia hadapi. Walaupun ia tak bisa menampik fakta bahwa barang-barang tersebut selalu setia tersedia di dalam tas punggungnya.
Bukan masalah yang teramat besar, sebenarnya. Hanya satu dua konflik dengan sosok sang kekasih. Namun tetap saja, rasanya benar-benar membuat pikiran kalut dilanda stres. Ditambah segala urusan akademik ... serasa otak sebentar lagi akan meledak. Tentu, itu semua hiperbola. Akibat dari segala masalah yang sedang dialami hanya membuat ia berkunjung ke ruangan dengan plat tulisan area merokok di depan pintu.
Korek miliknya sudah selesai menjalankan tugas. Kini, waktunya benda itu beristirahat kembali di salah satu bagian tas milik sang tuan. Sembari menyesap asap dari puntung benda silinder di tangan, Shun pun akhirnya duduk di salah satu kursi di ruangan tersebut. Energinya telah dikuras oleh otak, tak perlu kaki ikut menambah beban penggunaan tenaga dalam dirinya. Setidaknya dengan menaruh bokong akan membuat suasana hati lelaki itu lebih rileks.
Netra hitam mengamati kebulan asap rokok yang menguar ke arah langit-langit. Ia jelas sedang memikirkan pasal urusan percintaannya, di mana diri sedang bertengkar dengan sang kekasih. Dan itu jelas dikarenakan oleh dirinya. Karena dia overthinking, bahasa gaulnya, sehingga waktu itu emosinya terpancing untuk menjadi tidak stabil. Shun memang terlalu memikirkan banyak hal, bahkan yang seharusnya tak perlu ia pikirkan sekalipun. Penumpukan beban pikiran yang menjadi fatal karena diluapkan saat mereka sedang tidak berada di tempat yang sama. Membuat keduanya belum menjalin komunikasi lagi sejak saat itu.
Dan itu justru membuat beban pikiran lelaki tersebut makin bertambah. Serba salah, memang.
Kelar berkutat dengan segala unek-unek, tangan pria itu menggapai gawai. Kini pikirannya telah mencapai satu titik kesimpulan bahwa dirinya belum pantas menjadi lelaki seorang Fujimoto Fumiko. Pupil tajamnya menatap lekat ponsel di tangan sembari jemari memandu menuju informasi kontak sang pacar. Masih ada keraguan yang membuat ia hanya memandang saja layar bertipe liquid-crystal display yang masih menyala, namun hatinya lebih cenderung ingin membuat Fumiko lebih bahagia—dengan bersanding bersama yang bukan dirinya. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh otak seorang Izuki Shun.
Selang beberapa lama, Shun akhirnya memutuskan untuk menelpon orang yang tengah ia pikirkan. Untung, lelaki hitam itu hanya sendiri di sini. Jika tidak, mungkin dirinya bakal dicap sebagai orang aneh karena hanya melihat satu informasi kontak wanita untuk jangka waktu yang tak sebentar. Ya, butuh waktu yang tak sebentar untuk dia memantapkan hati lagi setelah mematangkan kesimpulan. Ia juga tak ingin menunda sebab selain diri tahu bahwa saat ini sudah tidak ada kegiatan di agenda yang dimiliki Fumiko, Shun sangat yakin bahwa rasa tak yakin akan kembali menghantui jika ia memutuskan untuk mengatakan apa yang dipikirkannya nanti.
"Moshi-moshi."
Sekarang jaringan antara diri dengan ponsel lawan bicara telah terhubung. Satu langkah lagi dan tak ada jalan memutar kembali untuknya.
.
.
.
"Moshi-moshi."
"Halo, Fumi?"
"Shun-pai! Baru pulang kuliah? Shun-pai sedang senggang, ya?" Suara yang gadis terdengar antusias. Bagaimana tidak, keinginannya untuk mendengar suara Shun yang baru saja ia pikirkan langsung dikabulkan oleh semesta.
"Ada yang mau aku bicarakan denganmu." Tak mengindahkan pertanyaan sang gadis, lawan bicara malah membawa suasana menjadi lebih serius.
Antusias Fumiko seketika menurun. Berubah menjadi rasa penasaran mengenai apa yang akan Shun ucapkan. "Apa itu?"
Hening sebentar, namun bibir sang puan tidak berani untuk menginterupsi. Fumiko merasa kekasihnya harus diberi waktu sebentar untuk mengungkapkan apa yang ada di benaknya.
Lalu berselang beberapa saat, sesuatu yang dimaksud tersebut akhirnya terucap dengan nada yang terkesan berat hati. "Maaf, tapi aku ingin kita putus dulu."
Dewi Fortuna ternyata tidak memihak kepada Fumiko. Sebab di bawah langit kota ini, masih di Kota Tokyo—kota yang sama dengan tempat di mana Shun berada—hubungan mereka harus merenggang sampai waktu yang tidak bisa dia perkirakan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top