Maroon


New York adalah rumah bagi jiwa Rei.

Sekalipun kakinya telah menjejak berbagai negara di penjuru dunia, tak dapat dipungkiri hatinya akan selalu menyimpan tempat paling istimewa untuk kota yang jadi pusat perekonomian Amerika Serikat itu. New York menjadi tempat peristirahatan yang selalu ia tuju setiap kali merasa penat usai menjelajah ragam bagian dunia. Sekalipun mampir ke sana seringnya tak lebih dari tiga hari, namun frekuensinya dalam setahun bisa terhitung lumayan.

Sampai akhirnya, di usianya yang menginjak angka dua puluh enam, Rei merasa sudah cukup puas menghabiskan sebagian besar masa mudanya dengan keliling dunia. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk kembali ke New York. Memulai lagi hidup di tanah yang jadi rumah baginya tumbuh besar hingga capai fase awal remaja.

Kembali ke New York berarti kembali lagi ke sang pemilik hati.

Rei masih ingat dengan jelas. Hari pertama ia menghuni apartemennya di New York, saat memperkenalkan diri sebagai tetangga baru di sana, respons orang yang paling ingin ditemuinya benar-benar sesuai dengan apa yang telah ia duga.

Setelah sekian tahun lamanya tidak pernah bersua, ketika mereka akhirnya diberi kesempatan berjumpa, tatkala takdir kembali memutar roda demi mempertemukan mereka di kota yang sama, Himari menatap Rei dengan sorot tidak percaya.

"Hai," Rei membuka suara, lukis senyum sekalipun tak bisa dipungkiri jantungnya berdentum-dentum. "Masih ingat aku?

*****

Himari tidak terlalu menyukai alkohol, namun ia juga tak menolak ajakan Rei untuk menemani pemuda itu duduk di ruang tengah kamar sang lelaki. Pesta kecil-kecilan karena bos memberi bayaran lebih, katanya. Lantas sesuai dengan apa yang telah diduga sang hawa, Rei sendiri juga ingat kalau Himari tidak begitu senang minuman seperti itu. Terekam jelas di otak Rei bahwa apa yang disukai Himari adalah selera yang menggemaskan. Salah satunya, kecintaannya kepada susu stroberi. Jadi, Rei juga telah menyiapkan susu stroberi untuk diminum oleh sang gadis.

Keduanya kini duduk bersisian di atas sofa, menghadap meja berisi aneka makanan dari luar. Ada tawa dan canda yang tertukar dalam keberhasilan mereka. Rasa-rasanya seolah semua terasa masih sama seperti di saat mereka masih sangat belia. Padahal, kedua manusia yang sama-sama telah dewasa itu paham betul bahwa ada sesuatu yang berbeda di antara mereka.

Di sela-sela percakapan itu, sesekali terdapat jeda. Untungnya bukan sunyi yang menyesakkan dada. Malah, keheningan yang terasa begitu syahdu. Tak ada yang mau beranjak duluan dari keheningan itu. Seolah mereka berdua sama-sama membutuhkannya, jarak dan ruang untuk sementara mengenai hati dan alat pikir.

Entah sudah berapa menit mereka berkubang dalam dimensi sunyi yang menenangkan hati. Yang Rei tahu, ketika ia pelan-pelan kembali menyesap cairan dalam gelas di tangan, saat itu pula pandangan matanya pasti mencari Himari. Melihat sosok gadis itu yang memfokuskan mata ke layar televisi di hadapan.

Rei bertanya-tanya apakah sejak dulu Himari memang sudah secantik ini.

Tapi sepertinya memang demikian. Bertahun-tahun tidak bertemu secara langsung, gadis itu tumbuh dengan begitu menawan. Rei menemukan raut manis yang sudah tampak lebih dewasa, dengan sepasang mata cokelat emas jernih bercahaya yang hanya dimiliki olehnya seorang.

Himari masih sama. Gadis ini adalah-dan akan selalu-jadi Himari yang manis sebagaimana yang dikenal Rei sejak dahulu.

Satu-satunya gadis yang namanya selalu dia ingat dalam tiap langkah perjalanannya mengelilingi dunia. Menemani dalam suka-duka pengembaraan bersama.

Sementara itu, Himari bukannya tidak tahu kalau sedang dipandangi sedemikian rupa. Dalam benak, justru sang hawa bertanya-tanya-jika ia menoleh, tatapan macam apa yang kini ditujukan Rei untuknya?

"Himari."

Namanya disebut dengan nada pelan, namun pasti. Suara Rei seolah seperti mengambang di udara, dan Himari sedikit tersentak karena panggilan tiba-tiba. "Ya?"

"Would you dance with me?"

And I chose you-the one I was dancing with in New York.

Rasanya seperti diputarkan rekaman memori masa lalu.

Dan, tidak butuh waktu lama bagi Himari untuk menerima ajakan itu. Menerima uluran tangan Rei, sama seperti yang pernah dilakukannya dulu. Tatkala mereka berdua bangkit dan mulai bergerak mengikuti alunan lagu yang diputar sayup-sayup, Himari menyadari bahwa dunianya-dunia miliknya dan Rei berwarna merah marun.

Mulai dari warna gaun polos yang menyentuh permukaan kulit Himari dengan lembut tatkala ia berputar. Cairan yang hanya tersisa sedikit dalam gelas kepunyaan Rei. Warna sepasang mata merah tajam milik sang lelaki yang dinaungi poni hitam. Warna pada bibir Himari yang tampaknya sedang mencoba lip product baru. Warna rona di pipi Himari ketika Rei curi kesempatan untuk mendekatkan wajah ke wajah gadis itu, atau setiap kali tangannya merengkuh pinggang sang gadis lebih rapat, atau ketika helaan napasnya menggelitik permukaan leher sang gadis seiring dengan pose yang makin intim saat berdansa.

Sampai akhirnya, lagu berhenti. Himari hendak menurunkan tangannya dari bahu Rei, namun ditahan-dan tiba-tiba saja, tanpa aba-aba, Rei membawanya jatuh dalam posisi terkungkung.

Himari tertegun. Kehilangan kata-kata tatkala sadari jarak wajah di antara mereka yang betul-betul tipis.

"Himari," namanya disebut lewat suara rendah, disusul dengan, "can I kiss you?"

Himari sama sekali tidak mengerti.

Setelah semua yang terjadi? Setelah Rei memutuskan untuk pergi hilang dari hidupnya dan tidak muncul lagi? Setelah semua kebingungan, keresahan, dan sakit hati yang ia alami?

"Rei," Himari menyebut nama sang lelaki dengan lirih. Ada keputusasaan dalam suaranya, diiringi rasa tidak percaya saat ia mengucap apa yang dirasanya sebagai fakta, "you're drunk."

Rei ingin membantah dua kata itu. Bagaimanapun juga, ia merasa sadar. Ia sadar bahwa gadis yang ada di bawah kungkungannya saat ini adalah orang yang paling ia cintai. Satu-satunya pemilik lubuk hati, bahkan hingga ke segala sudut ruang dalam mimpi.

Bayangan sosok Himari terekam jelas oleh netra merahnya; terbaring dalam posisi ditindih, dengan jarak antara wajah mereka yang hanya dipisahkan helaan napas. Ada gemerlap memukau dalam sepasang netra cokelat keemasan milik gadis itu, walau tak bisa dipungkiri, sesuatu dalam dada Rei terasa berdenyut dengan menyakitkan saat ia menangkap sorot terluka di dalam sana. Apalagi, memang dialah sang penyebab. Alasan utama mengapa Himari yang justru menanggung dan menerima semua rasa pahit dari lembaran kisah cinta mereka, dalam porsi yang lebih besar darinya.

Bagaimana ia bisa mengatakan pada Himari bahwa ia sengaja memilih tinggal di apartemen ini karena tahu gadis itu ada di sini? Bagaimana ia bisa mengaku bahwa dirinya tak pernah mampu melupakan gadis itu bahkan sejak hari pertama ia berlalu dari hiruk pikuk New York? Bagaimana ia bisa menjelaskan tentang dirinya yang memanfaatkan koneksi di sana-sini sehingga bisa terus mengetahui sekilas kabar Himari tanpa mengusik privasi, sebab nama gadis itu nyatanya selalu ada di dalam hati?

Rei tidak tahu cara menyampaikannya lewat kata-kata saat itu juga.

Sehingga pada akhirnya, yang ia lakukan adalah mendaratkan bibirnya pada bibir Himari-membuat ruang dan waktu dalam dunia mereka berhenti, setidaknya sebelum hari benar-benar menginjak pagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top