kepingan memori.
Matsuda Jinpei berdiri tepat di samping mobil berwarna biru gelap. Pemuda tersebut tampak menimang-nimang sebentar sebelum memutuskan membuka pintu pengemudi, menampilkan sosok lain yang berada di balik pintu dengan wajah terkejut.
"Minggir, aku yang menyetir."
"Ehhh-"
Perempuan yang tak terima berhendak mengeluarkan protes lebih lanjut, tetapi Jinpei lebih dahulu menginterupsi.
"Cukup sekali aku membiarkanmu memegang kemudi jika kita bersama, cepat geser," tukas Jinpei berdiri di tempat sambil menunggu kekasihnya itu berpindah ke sebelah.
Mizuhara Kaya menekuk bibir ketika dipaksa duduk di kursi penumpang. Posisinya memang sama-sama di bagian depan, hanya saja bukan yang memegang kendali. "Padahal aku mau menyetir ...." rengek Kaya dengan volume kecil.
"Tidak." Jinpei langsung menolak tegas. Sekilas memori buruk mengenai bagaimana Kaya membawa mereka mengebut dalam kecepatan tinggi demi mengejar perampok bank kembali terlintas. Memang saat itu berkat dirinya, mereka berhasil menangkap pelaku, tetapi dalam prosesnya Jinpei sendiri sudah tidak ingat berapa kali dia berpikir bahwa mereka berdua akan kehilangan nyawanya karena sang perempuan memiliki kebiasaan menyetir yang mengerikan. Maka daripada merasakan pengalaman yang sama untuk kedua kali, dia pilih mengusir gadis itu dari kursi kemudi. Lagipula seorang Matsuda Jinpei masih mempunyai harga diri untuk tidak membiarkan pacarnya yang menyetir mobil selama mereka pergi berdua.
Segera lelaki itu menempati kursi pengemudi, mengetes deru yang dihasilkan mesin selama beberapa saat sebelum bertanya, "Kapan terakhir mobil ini kau bawa ke bengkel?"
Kaya mengerjap, "Sebulan yang lalu kurasa, kenapa?" raut muka menuntut lebih banyak penjelasan pun ditunjukkan.
Jinpei melirik sebentar ke arah, "Suara mesinnya tidak enak. Kalau ada waktu coba bawalah lagi ke bengkel untuk diperiksa."
"Aye aye!" Kaya mengangguk sebagai balasan, menyodorkan jempolnya kepada Jinpei dan membuat dirinya tersenyum maklum.
"Baiklah, jadi kali ini kita akan ke mana?"
"Oh!" Binar mata Kaya terlihat jelas begitu Jinpei mengajukan pertanyaan yang telah dinanti-nanti. "Taman bermain, sudah lama kita tidak ke sana 'kan, Jinpei?"
"Benar juga." Jinpei mengiyakan, lantas tanpa menunggu lama dia segera menggerakkan tuas gigi, "kalau begitu, kita menuju ke sana kali ini."
"Asik!"
Mesin mobil yang telah dipanaskan pun dibawa melaju. Jinpei berjalan pelan di area pemukiman, kedua matanya kerap menoleh ke arah kaca spion untuk memastikan keberadaan pengendara jalan lain, juga supaya mobil dengan harga selangit itu tidak mendapatkan luka gores baru. Berbanding terbalik dari Kaya yang style mengemudinya sangat berisiko, Jinpei cenderung berhati-hati. Mungkin karena sang adam paham betul mengenai seluk beluk sebuah mobil akibat pengalamannya bekerja di bengkel milik sahabatnya, dia jadi lebih menghargai alat transportasi beroda empat tersebut.
Keluar dari jalan berkelok-kelok yang sempit, Jinpei mulai menaikkan kecepatan. Mobil kepunyaan Kaya adalah tipe mobil sport dengan kemampuan melesat cepat di jalan raya, tetapi sekali lagi, Jinpei masih ingin mereka berdua selamat sampai di tujuan sehingga dia tetap mengemudi dalam batas wajar. Selain itu, tidak lucu jika mereka yang notabene sama-sama petugas polisi harus diberhentikan polisi lalu lintas karena melanggar batas kecepatan yang ditetapkan. Keuntungan lain dengan kecepatan rata-rata ini, mereka bisa menikmati suasana Kota Beika yang tenang.
Perjalanan menempuh waktu cukup singkat. Taman bermain pun nampak lumayan sepi ketika mereka tiba di sana. Jinpei dan Kaya memang janjian mengambil hari libur pada hari kerja agar mereka dapat menghabiskan waktu berduaan. Tentu mereka berharap bahwa liburan kali ini akan ditempuh dengan damai, dalam artian sama sekali tidak ada sangkut paut menangani kasus atau apapun itu, tetapi siapa mengira hal itu sungguh terwujud.
Sepasang insan lantas melangkahkan kaki melewati gerbang taman bermain. Rollercoaster merupakan wahana pertama yang menarik minat mereka, maka bersamaan keduanya menuju ke sana. Teriakan pengunjung di belakang terdengar memekakkan telinga. Jinpei berusaha keras menahan teriakannya, sedangkan Kaya sangat antusias untuk turut berteriak demi memeriahkan suasana. Alhasil mereka melalui wahana pertama dengan kondisi sedikit mual dan telinga sedikit budek. Untung saja tiada dari mereka yang menyesali keputusan tersebut.
Jinpei menggenggam tangan Kaya erat-erat tatkala mereka berlarian ke sana kemari dari wahana satu ke wahana lain. Walaupun taman bermain terhitung sepi dibanding hari-hari libur nasional, tetapi tetaplah ramai pengunjung. Dan Jinpei jelas tak mau kehilangan Kaya di antara lautan manusia, apalagi mencarinya akan membutuhkan waktu lama dan mereka berujung membuang-buang energi. Pilihan saling bergandengan tangan memang menjadi opsi terbaik saat ini.
Pasangan kekasih tersebut beristirahat sejenak di bangku taman usai melalui beberapa wahana melelahkan. Kaya dengan permen kapas berperisa mint favoritnya dan Jinpei dengan sekaleng kopi serta rokok di tangan. Mereka mengobrol santai selama mengisi energi untuk wahana lain setelah ini. Di tengah perbincangan pun Kaya mengingatkan bahwa merokok itu tidak baik bagi kesehatan; sebuah kebiasaan yang muncul begitu menghadapi Jinpei yang menyulut batang nikotin itu di sekitarnya, tetapi berakhir nahas dengan aksi Jinpei menyahut paksa gulali milik Kaya sebagai pengalihan topik.
Belum selesai menjahili sang pacar, tindakan Jinpei dihentikan oleh Kaya yang menunjuk ke satu arah.
"Ayo coba itu!"
Jinpei menoleh guna temukan ujung dari arah yang ditunjuk dan dapati sebuah wahana klasik berada di sana; rumah hantu.
Tidak ada alasan baginya untuk menolak ajakan Kaya. Jinpei sudah tahu bahwa rumah hantu hanya berisi orang-orang yang memainkan peran sebagai hantu palsu dengan memasang riasan wajah yang menurutnya konyol, jadi dia tidak mungkin memunculkan rasa takut dalam diri. Kaya yang terlihat antusias lalu cepat-cepat meminta Jinpei menyelesaikan isapan rokok, kemudian menariknya secara terburu-buru mendekati wahana terkait.
Satu dan dua kali kaki menapak, keduanya disuguhkan panorama serba gelap yang mencekam. Kaya memeluk lengan Jinpei dengan erat seakan enggan berpisah dengannya, sementara iris hijau laut celingukan mencari intensitas lain yang bersembunyi di balik properti. Jinpei sebagai insan yang memimpin jalan pun terus fokus memandang ke depan sambil sesekali mengingatkan Kaya supaya berhati-hati dalam melangkah.
Mencapai pertengahan rute, semakin banyak hantu bohongan yang muncul untuk menakut-nakuti mereka. Kaya berteriak pada beberapa dari mereka yang sukses membuatnya jantungnya melompat, tetapi Jinpei malah sibuk menghujat betapa tidak realistisnya tampilan dari hantu-hantu yang menghampiri. Puncaknya, Jinpei secara ajaib kehilangan Kaya di tengah ruangan gelap gulita. Gadis itu tidak berteriak memanggil atau menyerukan namanya barang sekalipun, tetapi Jinpei tetap khawatir kalau Kaya akan tersesat sendirian.
Lelaki tersebut memacu langkah, mencoba mencari eksistensi Kaya di antara kegelapan secara teliti. Jinpei juga mencari-cari di belakang tempat yang sekiranya mampu dijadikan tempat persembunyiannya hingga tiba-tiba sebuah sosok muncul dari balik tumpukan karton yang disusun sedemikian rupa sebagai imitasi dari pohon-pohon rindang yang menyeramkan.
"Ba!"
Tiga detik, lima detik. Kedua netra berbeda warna saling menatap dengan ekspresi dari sang pemuda yang dipertahankan tetap datar.
Baru setelah menyadari siapa gerangan yang berada di depan muka, raut wajah Jinpei dibuat seolah-olah terkesiap. "Uwaaah, aku kaget," ucapnya memperagakan gaya dari seseorang yang terkejut dengan menaruh tangan di dada.
"Kamu bener-bener nyebelin, ya!" Bagai tak terima diperlakukan demikian, Kaya lekas menaikkan nada bicaranya terhadap Jinpei.
Tentu saja Jinpei sudah menduga bahwa Kaya akan menjahilinya di tempat-tempat seperti ini. Oleh karena itu dia mampu menahan air mukanya supaya terlihat biasa-biasa saja ketika Kaya yang sudah lama bersembunyi itu muncul untuk mengagetkannya.
"Haha!" Jinpei melepaskan tawa ringan, lantas tangannya bergerak mengusap-usap pucuk kepala Kaya dengan lembut. "Maaf, Kaya. Aku takut kau benar-benar akan tersesat jadi aku mencarimu dengan panik dan melihatmu mengendap-endap bersembunyi."
Kaya mendengkus kesal mendapat perlakuan demikian. "Kalau sudah tahu, jangan pura-pura mencariku dengan wajah serius begitu dong!" tukasnya.
Jinpei mencoba menenangkan Kaya yang merajuk seperti anak kecil. Mereka bercakap-cakap santai seakan melupakan fakta keduanya sedang berada di dalam rumah hantu; membiarkan hantu-hantu bayaran di sekitar tergarami oleh kelakuan sejoli yang kasmaran. Sejujurnya beberapa dari para pekerja sudah lelah melihat pasangan-pasangan yang masuk kemari malah bermesraan sambil memanfaatkan wahana mereka sehingga salah seorang hantu mengambil inisiatif mendekat diam-diam.
"Ba!"
"WAAAA-"
Seruan yang sama dengan volume yang tidak kalah kencang, tetapi sanggup membuyarkan fokus dan membuat Jinpei dan Kaya berseru keras akibat tidak siap dikagetkan, bahkan mereka refleks memeluk satu sama lain sebagai respons mendadak.
Seketika mas-mas hantu yang bertindak mereka menyesali keputusannya. Memang tujuannya mengagetkan keduanya itu berhasil mencapai targetnya, hanya saja dia tidak menyangka malah mendapat pemandangan lain dari pasangan yang sedang dimabuk cinta, ditambah omelan marah yang harus dia terima karena muncul tanpa aba-aba dari Kaya dan Jinpei membuatnya merenungi pilihan hidupnya, kasihan.
Yah, setidaknya pekerja hantu itu berhasil menghadiahi mereka berdua kenangan yang akan terukir seumur hidup dalam hati mereka. Kenangan yang tidak akan mungkin terulang kembali sebab keberadaan pihak lain yang hilang selamanya meninggalkan sang hawa.
"Kau tahu? Aku berharap kau tidak meninggalkanku bersama segala kenangan yang menyesakkan ini sendirian, Jinpei."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top