Kyoto

Setumpuk dedaunan terhempas, kala roda-roda sepeda menerjangnya. Roda-roda itu tidak berhenti, ia terus bergerak maju diikuti roda-roda lainnya. Ketika sampai di tepian sebuah danau, barulah ia berhenti.

Sang pengendara turun dari sepedanya. Ia memarkirnya di dekat sebuah pohon besar yang daun-daunnya mulai beralih warna. Saat ini masih didominasi oleh hijau, tetapi beberapa hari lagi warna hijau akan tergantikan oleh oranye.

Warna yang sama dengan langit yang terbentang luas jauh di atas.

Ia tidak sendiri karena beberapa pasang kaki turut mengikutinya lebih dekat ke tepian danau. Permukaan airnya tenang, sedikit ada gelombang ketika sebuah daun jatuh menimpa. Refleksi yang dihasilkan juga terlihat indah. Sangat memanjakan mata bagi yang melihatnya.

"Syukurlah kita memilih Kyoto untuk tujuan study tour ini," ujar seorang laki-laki bersurai hijau kecokelatan yang membawa tas kecil di punggung.

Seorang perempuan di sebelahnya mengangguk, tangannya terangkat untuk menyelipkan anak rambut yang tertiup angin sebelum menyahut, "Untung saja kepala sekolah setuju."

Sementara seorang laki-laki dengan pandangan datar hanya menyetujui kedua temannya di dalam hati.

~

"Sedikit lagi, geser sedikit lagi."

"Ke kanan, geser ke kanan."

"Terlalu banyak! Geser lagi ke kiri."

Ckrik!

Suara kamera berbunyi. Membuat sekumpulan orang-orang menghembuskan napas lega. Pasalnya, butuh waktu lama hanya untuk mengatur barisan agar terlihat bagus di foto. Cukup untuk membuat kaki pegal karena berdiri dan membungkuk.

Setelah mendapat informasi jika mereka bebas mengunjungi tempat di sini, barisan yang semula rapi pun mulai berbubaran. Mereka pergi ke arah yang berbeda-beda, meninggalkan lokasi yang sekarang, panggung kuil Kiyomizu. Namun, tidak untuk ketiga remaja yang masih berdiri di pinggir dekat pembatas.

"Kita harus berkumpul lagi ketika jam dua belas, ya," ujar lelaki bermata besar yang tengah melihat telepon genggamnya. "Apa ada tempat yang ingin kalian kunjungi?"

"Tidak ada." Lelaki yang berambut hitam menyahut enteng, saking entengnya seperti tidak niat.

Sang pemberi pertanyaan hanya bisa ber-sweat drop ria, sementara seorang gadis di sana menyenggol lengan lelaki berambut hitam itu agak keras. "Kita sudah jauh-jauh ke sini, tidak mungkin jika tidak berkeliling. Ayo, kita ambil foto bersama dulu di sini," kata gadis itu seraya menarik lengan kedua lelaki yang ada di sampingnya.

"Tadi, 'kan, sudah."

"Tadi itu 'kan foto kelas, Hayato." Hayato hanya bisa diam kemudian dan hanya mengikuti apa yang dikatakan teman perempuannya sejak kecil itu.

"Ayo, semuanya lihat ke sini." Tangan gadis itu terangkat, dengan ponsel yang sudah siap untuk mengabadikan momen mereka bertiga. Beberapa pose sudah dilakukan, kini mereka tengah melihat hasil jepretan yang baru saja diambil.

"Hasilnya bagus. Nanti akan aku cetak."

"Nanti kirimkan padaku, ya, Arisu-san." Arisu mengangkat satu jempol, membalas permintaan Ryuuichi.

"Aku juga."

"Iyaa."

~

"Hah, lelahnya." Tangan teregang ke atas dan ke samping guna menetralkan rasa lelah. Arisu kemudian mengambil sebotol air dalam tas kecil yang ia bawa, kemudian meminumnya dengan rakus. Setelahnya, ia kembali berbicara, "Di waktu bebas ini kalian ingin melakukan apa?"

Ryuuichi yang tengah melihat telepon genggamnya menoleh pada Arisu. "Aku sepertinya akan langsung ke naik ke kamar. Kotarou ingin menekeponku," jawab Ryuuichi dengan senyuman khasnya.

"Aku juga ingin langsung ke kamar," jawab Hayato singkat.

Arisu mengangguk. "Kalau begitu aku juga akan langsung ke kamar," ujarnya. Kemudian mereka memasuki lift dan menekan tombol lantai tempat kamar hotel mereka berada. Arisu keluar lebih dulu karena lantai kamar murid perempuan ada di bawah lantai murid laki-laki.

Ia melambaikan tangannya pada kedua temannya lalu melanjutkan langkah menuju kamarnya yang tidak jauh dari lift. Ia sudah menghubungi teman sekamarnya dan ternyata ia telah sampai lebih dulu.

Arisu masuk dan temannya itu tengah merapikan belanjaan yang dibelinya siang tadi. Melihat kamar mandi yang kosong, Arisu langsung masuk untuk bebersih diri. Tidak lama setelahnya, Arisu keluar dengan wajah yang lebih segar.

"Arisu, setelah ini aku mau ke hotel cafe. Mau ikut?"

Gadis berambut gelap pendek itu menoleh pada temannya yang bertanya. "Boleh, tapi kau pergi duluan saja. Aku akan beres-beres sebentar," jawabnya disertai sebuah acungan jempol dan senyuman.

"Baiklah, aku duluan, ya."

Suara pintu yang tertutup terdengar, kemudian Arisu merebahkan dirinya di kasur. Rasanya seperti sudah berabad-abad ia tidak bertemu kasur.

Menatap langit-langit, pikirannya mulai melayang. Ia mengingat bagaimana kelasnya yang sepakat memilih Kyoto untuk tujuan study tour. Kemudian hari keberangkatan mereka dua hari lalu, hari pertama berkeliling Kyoto ke berbagai kuil hingga hari ini yang banyak waktu bebas. Lalu hari terakhir adalah besok dengan kuil Fushimi Inari yang menjadi tujuan terakhir.

Pada awalnya ia tak masalah ke mana pun destinasi karya wisata ini. Tetapi mungkin Kyoto memang pilihan yang tepat karena ia bisa sekalian berkunjung. Berkunjung ke villa keluarganya yang sekarang sudah jarang ia singgahi. Sejak hari itu.

Arisu bangkit. Ia mengambil jaket lalu memakainya dan keluar kamar. Tujuan langkahnya adalah cafe yang tadi disebut oleh temannya. Agak lama ia diperjalanan karena lift yang penuh. Meskipun hanya terpisah tiga lantai antara kamarnya dengan cafe, tetapi ia tidak mau menggunakan tangga.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Arisu sampai di cafe. Ia menghampiri meja teman-temannya dan ikut memesan makan malam di sana. Ia hanya memesan satu slice cake dan segelas milkshake. Rasanya ia sedang tidak begitu lapar.

Ia makan sembari berbincang dengan teman-temannya mengenai study tour ini. Tak lupa juga membincangkan tentang anak laki-laki di kelas mereka atau guru baru yang mengajar mereka.

Melihat jam di ponselnya, Arisu rasa belum terlalu lama mereka bersua. Tetapi ia sudah pamit undur diri. Gadis itu mengatakan ingin berjalan-jalan menikmati angin malam Kyoto.

Ia tidak berbohong kala mengatakan ingin menikmati angin malam, sebab kini ia tengah membawa sepeda keluar. Ketika hendak menaikinya, ia bertemu Hayato yang baru saja dari luar. Niat hati hanya ingin menyapa sebentar lalu pergi. Kenyataannya, Hayato malah memberhentikan dirinya.

"Mau ke mana?" tanyanya sembari memegang stang sepeda.

"Aku hanya ingin berkeliling," jawab Arisu sekenanya. Toh, dia benar ingin berkeliling.

"Malam-malam? Tunggu sebentar." Hayato pergi meninggalkan Arisu setelah mengatakan hal tersebut. Membuat Arisu bingung tentang tindak-tanduk teman masa kecilnya itu. Baru Arisu ingin pergi, Hayato sudah kembali. Kembali dengan mengendarai sepeda.

"Kau mau apa?" Nada terkejut sekaligus bingung terlontar ketika Arisu berbicara. Menurutnya, Hayato memang sulit ditebak.

"Menemanimu," balas Hayato singkat yang langsung mengayuh sepedanya.

"Hei, tunggu!"

Pada akhirnya, mereka berdua bersepeda di malam hari. Awalnya hanya berkeliling sekitar hotel yang mereka tempati, tetapi kala Arisu yang memimpin, ia langsung mengambil arah lain. Hayato di belakangnya hanya menaikkan satu alisnya dan tetap mengikuti ke mana Arisu pergi.

Tidak lama di perjalanan, Arisu menghentikan kayuhannya di depan sebuah pekarangan. Lampunya menyala, membuat siapa saja yang melihat tahu jika itu adalah sebuah villa yang cukup mewah. Arisu turun dari sepedanya dan merogoh tas kecil yang ia bawa. Kemudian setelahnya, ia melakukan sesuatu pada gerbang dan membuatnya terbuka.

Ia langsung masuk membawa sepedanya, sembari menoleh ke belakang mengisyaratkan agar Hayato juga ikut masuk. Laki-laki dengan postur tinggi itu mengikuti bukan tanpa tahu sesuatu. Ia baru saja ingat bahwa keluarga Arisu memiliki sebuah villa di Kyoto yang rupanya dekat dengan hotel yang mereka tempati. Sewaktu mereka masih kecil, mereka sering berlibur ke Kyoto dan tinggal di villa ini. Menghabiskan waktu dengan bermain bersama sepanjang hari.

Ketika di ruang tamu, Hayato cukup takjub karena tempat ini masih bersih dan terawat dengan baik. Ia tahu jika keluarga Arisu sudah jarang pergi ke villa ini, begitupun keluarganya yang diundang oleh keluarga Arisu. Di suatu sudut meja, ia menangkap sebuah pigura yang di sampingnya terdapat tiga gelas kecil.

Gelas-gelas kecil itu membuatnya menjelajah waktu ketika ia masih kecil. Tidak lama ia menjelajah, karena ia sadar apa yang membuat mereka jarang bahkan hampir tidak pernah mengunjungi villa ini lagi. Ketika melihat sekitar, ia hanya sendiri. Tidak ada Arisu yang tadi masuk bersamanya.

Hayato mulai berjalan, berkeliling villa ini sembari mencari Arisu. Ia sedikit takjub, ternyata ingatannya tentang denah tempat ini masih melekat dengan jelas.

Ketika tiba di depan sebuah kamar, ia terhenti. Pintunya sedikit terbuka dan Hayato seperti mendengar suara dari dalam. Kemungkinan Arisu ada di dalam kamar tersebut. Namun, Hayato ragu untuk masuk. Pasalnya ini adalah kamarnya, kemungkinan Arisu pergi ke villa ini juga pasti ada hubungannya dengannya.

Terdengar sebuah suara tangisan yang pelan, tetapi masih dapat Hayato dengar. Persetan dengan apapun, Hayato menerobos masuk ke dalam. Benar rupanya. Di dalam ada Arisu, yang tengah terduduk di tepian kasur. Lemari baju di sebelahnya terbuka, beberapa baju banyak yang berserakan di kasur maupun di lantai.

Yang menjadi fokus Hayato adalah Arisu yang tengah tertunduk sembari memeluk sebuah sweater. Hayato mendekat, kemudian memegang pundak gadis itu pelan. Ia bisa menebak apa yang membuat gadis itu menangis.

"Alice," panggil Hayato.

Itu nama asli Arisu, Alice. Biasanya jarang yang memanggilnya dengan pronounciation bahasa Inggris. Sehingga kebanyakan memanggilnya Arisu. Hanya keluarga dan orang yang mengenal Arisu dari kecil yang memanggilnya Alice. Begitupun dengan dia.

Arisu mengangkat kepalanya kala mendengar panggilan tersebut. Ia jadi teringat kala dipanggil Alice oleh Hayato dan dia ketika masih kecil. Kembali ke villa ini atau bahkan kembali ke kota ini memanggil kembali rindu yang sudah ia pendam sejak lama. Kerinduan tak tertahankan yang akhirnya runtuh ketika Arisu memasuki kamar ini.

Kamar kakak laki-laki Arisu. Satu-satunya saudara yang ia punya. Tetapi sekarang sudah tidak lagi.

"Aku … rindu." Arisu tak dapat melanjutkan kalimatnya. Dadanya terasa sesak, seperti ada yang menahan jalur udara ke dalam paru-paru.

Hayato mengerti. Bukan hanya kali ini Arisu teringat oleh kakaknya. Jarak usia mereka yang hanya terpaut dua tahun, dan orang tua yang sering meninggalkan mereka bekerja, membuat mereka hanya memiliki satu sama lain. Saling bersandar satu sama lain.

Namun, kini sandaran itu hilang dari hidup Arisu.

"Ingat, kau masih ada aku, dan keluargaku. Jangan ragu datang pada kami apapun kondisimu," kata Hayato yang kini mengusap bahu Arisu. Gadis itu merasa sedikit tenang. Karena memang kenyataannya, ia lebih sering bersama dengan keluarga Kamitani dibanding keluarganya sendiri. Ia benar-benar berterima kasih akan adanya Kamitani Hayato.

Setelahnya, Arisu berdiri. Ia memungut kembali pakaian yang berserakan akibat ulahnya. Ia melipat kembali dan merapikannya ke dalam lemari. Kala selesai, ia berbalik menghadap Hayato yang setia menunggunya di belakang.

"Terima kasih, Hayato," ucap Arisu kemudian. "Ayo, akhir tahun ini kita berlibur ke sini," lanjutnya dengan senyuman lebar.

Hayato sempat terdiam sejenak, kemudian ikut melempar senyuman tipis kala tahu jika Arisu benar-benar tersenyum tulus.

"Ya, aku akan bilang pada wanita itu."

"Ibumu, sebuat dia ibumu," ralat Arisu merasa gemas dengan laki-laki satu ini.

"Ya," balas Hayato sekenanya, membuat Arisu rasanya ingin memukulnya. "Ayo kembali."

Arisu mengangguk kemudian keluar dari kamar itu lebih dulu. "Oh, iya. Kita nanti ke minimarket sebentar, aku lapar."

"Ya."

Kali ini, Arisu benar-benar memukul Hayato.

𝗙   ɪ   ɴ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top