思い出の小樽 - Omoide no Otaru
Semua karakter milik Mo Xiang Tong Xiu dalam karya Heaven Official's Blessing. Saya tidak mendapatkan keuntungan dengan membuat karya ini.
思い出の小樽ーOmoide no Otaru [Otaru yang Menyimpan Kenangan] oleh bellasteils
Pair(s): He Xuan x Shi Qing Xuan (beefleaf/shuangxuan)
Genre(s): romance, hurt/comfort
Another tag(s): boys love, out of characters, alternate universe, alur lompat-lompat, typos, etc.
Selamat membaca!
***
"Terima kasih banyak."
He Xuan menerima sejumlah uang kembalian dan nota pembayaran dari pelayan kasir. Kepalanya celingukan mencari meja kosong. Menemukan satu di paling ujung lantai dua.
Bukan kebiasaan He Xuan mengawali pagi dengan sarapan manis. Apalagi Kafe LeTao yang menjadi pilihan. Satu set Amazing Cheesecake dan secangkir kopi panas. Harganya cukup mahal dengan porsi yang tidak sebanding dengan perut He Xuan.
"Tidak begitu mengenyangkan."
"Tapi ini enak tahu! Terkenal di Otaru!"
He Xuan tersentak. Suara itu menggema lagi di kepalanya.
"Silahkan set Amazing Cheesecake dan kopi panas." Pelayan wanita mengalihkan pikiran He Xuan.
"Terima kasih." gumam He Xuan.
Sepiring besar kue cantik dan estetik tersaji di hadapan He Xuan. Secangkir kopi panas dengan tambahan gula dan krim. Tidak mau rugi, He Xuan menuang semuanya ke dalam kopi.
Menyesap kopi panas di pagi yang masih terasa dingin. Bagian Utara Jepang dikenal sebagai wilayah yang lebih dingin dibanding wilayah lain. Bulan April yang seharusnya sudah musim sakura mekar, di Hokkaido terutama kota Otaru masih tersisa jejak salju yang menghitam.
Pukul sembilan lebih empat puluh lima. Saat He Xuan datang masih sepi karena kafe baru saja beroperasi. Tak lama, turis lokal dan asing datang dan pergi silih berganti .
"Cepatlah, nanti keburu dingin."
"Sebentar He Xuan, ini harus diabadikan. Mau kukirim ke gege dan weibo."
He Xuan menyuap sepotong kue dengan garpu. Memandang kosong pada bangku tak bertuan di depannya.
"He Xuan ini enak!"
Ekspresi bahagia dan nada cerianya masih melekat dalam ingatan He Xuan ketika orang itu pertama kali menyantap Fromage Double, menu cheesecake andalan LeTao.
"Memang enak. Apalagi kalau ada kau di sini." He Xuan bergumam. Sosok pemuda sedang menyantap kue keju menghilang dari hadapannya, kembali pada kursi kosong.
He Xuan menyelesaikan sarapan pagi.
Makan dessert di pagi hari apakah bisa dibilang sarapan?
He Xuan sedang tidak bernafsu menyantap makanan berat untuk sarapan. Entah mengapa moodnya sedang ingin makan cheesecake. Lebih mengherankan, prinsip hidup harus irit terpatahkan pagi ini.
Bisa saja He Xuan membeli kue keju dengan harga yang lebih murah di minimarket langganan. Dengan harga yang sama dengan menu sekarang, He Xuan sudah bisa sekalian membeli menu bento untuk makan siang.
"Sekali-kali," gumam He Xuan, "Aku tidak tahu kapan akan kembali lagi ke sini." lanjutnya. Kemudian menyesap kopi terakhir.
Semakin siang, kafe makin ramai. He Xuan segera beranjak. Kebisingan manusia membuat perasaannya tidak nyaman. Piring dan cangkir kosong segera ditinggalkan.
Matahari menyapa dari balik awan berarak. Hari ini tidak mendung juga tidak panas. He Xuan berjalan menyusuri trotoar yang selalu ramai oleh pejalan kaki. Sebelah kanan dan kiri berjajar pertokoan. Sampai di paling ujung jalan hanya satu menit jalan kaki dari Kafe LeTao.
Otaru Music Box Museum.
Papan nama itu sudah terpajang jelas di atas pintu dalam huruf Jepang.
Awalnya He Xuan berniat mengunjungi Otaru Music Box Museum terlebih dahulu. Namun perutnya lebih dulu rewel. Tempat terdekat untuk makan adalah LeTao. Meskipun ada beberapa kafe lainnya, kehendak He Xuan berkata lain.
He Xuan memasuki bangunan kuno. Bukan bergaya Jepang, tapi lebih menonjolkan gaya Eropa.
Sayup-sayup terdengar alunan musik.
Jam besar yang menjadi ikon museum ini akan mengeluarkan melodi lagu yang berasal dari angin yang mengenai tabung-tabung logam di dalam jam. Biasanya turis akan berkumpul untuk menikmati melodi yang mengalun.
Seperti namanya, bangunan itu merupakan museum yang menjual berbagai jenis dan bentuk dari kotak musik. Bentuk yang paling umum adalah kotak, bulat atau bentuk hati. Di museum ini, ada banyak bentuk yang unik; seperti kucing, bianglala atau komidi putar.
Museum ini adalah salah satu tempat terkenal untuk membeli buah tangan khas Otaru. He Xuan tidak berniat membeli, hanya ingin melihat-lihat. Tapi barangkali nanti He Xuan berubah pikiran. He Xuan hanya ingin mengenang kembali tempat yang pernah dikunjungi.
"Siapa temanku yang bisa kuberi oleh-oleh seperti ini."
"Aku mau yang bentuk bianglala!"
He Xuan tersentak, lagi-lagi suara itu muncul di kepalanya. Suasana toko sepi menjelang ramai. He Xuan celingukan, mencari suara tanpa rupa.
"Astaga! Itu mahal, nak!"
He Xuan menemukan suara wanita muda bersama anak kecil. Wanita itu menggandeng gadis kecil yang masih memandang kotak musik lucu bentuk bianglala. Pandangannya tidak teralih sampai menghilang di balik kerumunan.
"Aku mau yang bentuk bianglala, He Xuan!"
"Kenapa kau menginginkan benda tidak berguna ini?"
"Tapi ini lucu! Aku mau beli satu!"
Orang itu mengambil satu buah. Melihat label harga, tangannya mengembalikan pelan-pelan ke tempatnya. Menggandeng tangan He Xuan untuk meninggalkan tempat itu.
"Tidak jadi?" tanya He Xuan sudah tertebak jawaban berikutnya. Pemuda di depannya menoleh dengan wajah ditekuk.
"Mahal!"
"Beli yang lain saja."
"Padahal aku sudah mengincarnya."
He Xuan beralih ke tempat lain. Sedikit berdesakan dengan banyak orang, He Xuan sampai di salah satu tempat.
Seorang pegawai wanita menjelaskan dengan Bahasa Inggris logat Jepang kepada sepasang turis berkulit putih dan mata biru.
He Xuan melihat-lihat di samping sepasang turis yang masih mengangguk antara paham dan tidak. Tak lama, turis pria itu berkata dengan Bahasa Jepang yang fasih.
Ketiga orang itu tertawa bersama. Pegawai toko yang malu-malu menjelaskan kembali dalam Bahasa Jepang.
Pegawai itu menjelaskan; selain membeli kotak musik yang sudah jadi, pengunjung juga bisa membuat kotak musik sendiri. Memilih bentuk dan musik sesuai selera. Namun hanya musik-musik terkenal saja yang tersedia.
He Xuan tidak begitu tertarik. Selain mahal juga, tidak terlalu dibutuhkan.
"Kalau yang ini?"
"Tidak, ah!"
He Xuan bertanya lagi, "Kenapa?"
"Mahal, He Xuan!" ujarnya dengan gemas, "Lagipula aku tidak tahu musik yang disediakan di sini."
"Baiklah, bagaimana kalau kita naik ke lantai dua?"
"Di lantai dua ada apa?"
"Sama saja. Kotak musik lainnya. Barangkali ada yang menarik."
"Baiklah. Ayo!" Lengan He Xuan digandeng oleh orang itu menaiki tangga kayu yang sempit.
Dinding samping tangga dihiasi banyak sekali jam kukuk. Apakah mungkin jam ini juga merupakan kotak musik?
Di lantai dua terdapat kesan klasik. Sesuai namanya, bangunan ini merupakan museum sekaligus menjual barang antik. Kotak musik dari jaman ke jaman dipamerkan di sini.
He Xuan berhenti di salah satu sudut. Seorang gadis dan kekasihnya sedang memutar musik yang sangat terkenal di seluruh dunia.
Soundtrack Harry Potter.
Gadis muda dan modis itu berteriak senang, langsung memilih kotak musik yang dipegang. Si pria membuka dompet berisi berbagai jenis kartu.
'Sungguh orang kaya.' batin He Xuan.
Keduanya sempat berbincang. He Xuan mengira keduanya berasal dari wilayah Asia Tenggara. Kemungkinan Thailand.
Pekerjaan sebagai pegawai sebuah hotel membuat telinganya tidak asing mendengar berbagai bahasa. He Xuan berpura-pura memilih salah satu kotak musik bergambar burung hantu peliharaan Harry Potter agar tidak terlihat sedang menguping pembicaraan sepasang kekasih itu.
"Anda ingin membelinya, Tuan?" Seorang gadis pelayan menghampiri He Xuan. Menyapa dengan sangat ramah.
"Ah, mungkin aku beli ini saja." ujar He Xuan setelah menimbang sejenak kotak di tangan.
Gadis pelayan membawanya ke meja kasir.
"Serius mau itu saja," He Xuan bertanya hal yang sama kedua kali. "Tidak jadi bentuk bianglala di lantai satu?
"Iya. Aku mau beli yang ini saja!" Nada suaranya terdengar mantab.
"Yang ini lebih murah." Orang itu berbisik ke arah He Xuan. "Lagipula musiknya soundtrack Harry Potter. Aku suka banget sama Harry Potter."
"Baiklah."
"Aku bayar dulu, ya." ujarnya. "Kamu ga beli sekalian?"
He Xuan menggelengkan kepala. Orang itu segera berbalik menuju barisan di meja kasir.
"Silahkan kembalian dan barang Anda, Tuan."
Pikiran He Xuan kembali pada kenyataan oleh suara gadis manis di depannya yang malu-malu memberikan kantong berisi belanjaan He Xuan.
"Oh, terima kasih." jawab He Xuan.
"Terima kasih banyak." ujarnya dengan riang.
He Xuan bergegas keluar dari tempat itu.
Matahari bersinar di atas kepala. Tidak malu-malu lagi menampakkan kegagahannya. Seharusnya sudah saatnya makan siang.
He Xuan menyusuri jalan yang disebut Sakaimachi. Jalan yang dipenuhi pertokoan di sisi kanan-kiri. Salah satu destinasi wajib kalau berkunjung ke Otaru.
Toko pernak-pernik sebagai oleh-oleh, warung makan, kafe, kedai-kedai kecil sampai dengan museum berjajar sepanjang 900 meter. Dapat ditempuh lima menit jalan kaki dari Stasiun Minami Otaru atau sepuluh menit dari Stasiun Otaru.
Warung makan menyajikan berbagai makanan khas Hokkaido dan terutama khas kota Otaru sendiri. Wilayah paling Utara Jepang terkenal dengan hidangan laut yang lezat. Ikan dan hasil laut yang masih segar bisa dimasak langsung di tempat.
He Xuan memilih salah satu restoran. Namanya unik menurut He Xuan.
Otaru Kaisen Aka-Ao-Kiro.
Dalam Bahasa Jepang, Otaru yaitu nama kota tersebut, kaisen berarti hidangan laut dan aka-ao-kiro berarti merah, biru dan kuning. He Xuan kurang paham maknanya. Kemungkinan memiliki makna yang berhubungan dengan laut. Letaknya hanya selisih satu toko dari kafe LeTao.
Tidak mau ambil pusing dengan nama restoran, He Xuan bergegas masuk. Namun karena hari sudah siang, jadi He Xuan harus mengantri tiga nama lagi untuk bisa segera menyantap makan siang.
Menu siang ini adalah satu set donburi kaisen. Hidangan laut mentah yang disajikan diatas nasi panas dalam mangkuk. Sepaket dengan sup miso. Tak lupa dengan minuman otentik wilayah setempat, Otaru Beer.
Tingkat toleransi alkohol He Xuan sangat tinggi, jadi He Xuan tidak khawatir mabuk di siang hari. Lagipula hanya satu botol 300 ml tidak masalah baginya.
Hidangan segera datang. Disajikan dengan sangat cantik dan estetik.
"Selamat makan."
Kebiasaan tujuh tahun di negara perantauan untuk selalu mengucapkan selamat makan sebelum menyantap.
Sebelum menuju hidangan utama, He Xuan menyesap sup miso yang masih panas. He Xuan menyuap satu sendok. Daging segar dan juicy menjalar di mulut. Bersatu dengan nasi panas.
"Ih kamu doyan makanan mentah? Itu kan ga enak!" Raut wajahnya menunjukkan jijik dan ingin muntah.
"Kamu pernah cobain?" tanya He Xuan.
"Belum sih, hehe." ucapnya malu-malu.
He Xuan menyipitkan mata. Memandangnya tajam.
"Aku membayangkan rasanya amis di mulut."
"Coba dulu." He Xuan menyeretnya masuk.
"Ah! Tidak mau! Kita ke kedai ramen saja!"
"Kita sudah ke kedai ramen kemarin. Hari ini aku ingin makan ini. Sekali-kali kau juga harus mencobanya."
"Ah, tidak mau!"
Tangan He Xuan reflek menarik tangannya yang hampir kabur.
Setelah drama tarik-menarik, He Xuan akhirnya menang. Dua kaisen donburi sudah tersaji di meja.
Ekspresi He Xuan sumringah. Berbanding terbalik dengan orang yang duduk di sampingnya, antara cemberut dan jijik.
"Kok bisa orang makan daging ikan mentah."
"Di Jepang juga ada sashimi kuda(*)." (*daging kuda mentah)
Orang itu mendelik dan membuka mulut lebar saking kagetnya. "Hah?"
He Xuan segera menyuap satu sendok ke mulut orang di sampingnya. Reflek dia berteriak, segera ditahan oleh He Xuan karena mengganggu pengunjung sekitar.
Makanan yang sudah terlanjur di mulut terpaksa dikunyah. Ekspresinya berubah dari jijik menjadi heran dan penasaran kemudian sumringah.
"Eh? Kok enak?" gumamnya. Seketika itu juga satu sendok disuap ke dalam mulut sendiri.
"Karena ikan di sini masih sangat segar."
Orang itu tidak mendengarkan hanya melahap makanan di depannya.
He Xuan selesai makan. Satu botol 330 ml Otaru Beer juga sudah habis.
Keluar dari restoran, He Xuan melihat kedai ayam goreng. Di Hokkaido terkenal cemilan ayam bernama zangi. Orang awam lebih mengenal nama karaage.
Secara penampilan, zangi tidak berbeda dengan karaage. Berupa ayam tepung yang digoreng. Perbedaannya terletak pada cara masak.
Karaage tidak melalui marinasi bumbu, sedangkan zangi sebelum dibalur tepung, dimarinasi terlebih dahulu dengan bumbu.
Bagi He Xuan entah itu karaage atau zangi keduanya masih satu jenis, yaitu makanan.
Takeda no Zangi atau, atau Ayam Goreng Takeda adalah kedai zangi yang sudah beroperasi sejak Maret 2018. Selalu penuh dengan antrian.
He Xuan membeli satu porsi ditambah saus BBQ. Sebenarnya zangi sudah bisa dinikmati tanpa saus tambahan. Namun di Kedai Takeda memberikan pilihan bagi pengunjung sebagai tambahan rasa seperti BBQ, mayones keju, cuka kedelai dan garam.
Perut He Xuan masih penuh jadi zangi di dalam wadah gelas itu belum disantap. He Xuan berencana membawanya ke sebuah kafe yang menjual es krim dengan rasa unik.
Sangat dekat dengan Ayam Goreng Takeda. Hanya butuh satu menit berjalan menyebrang. Namun He Xuan harus menelan kecewa setelah melihat tanda 'Restoran Tutup Sementara.'
He Xuan menghela napas panjang.
"Es krim rasa lavender?" serunya terkejut.
He Xuan mengangguk.
"Lavender itu bukannya sejenis bunga? Ide darimana dibikin es krim?" Kerutan semakin jelas di dahinya.
"Ayo kesana." He Xuan menyeret lengannya. Membawa pemuda itu ke sebuah kafe pinggir jalan.
Kafe Veneciano. Begitulah namanya. Salah satu kedainya menjual menu Rainbow Tower, yaitu es krim dengan tujuh rasa. Yogurt, stroberi, matcha, melon, cokelat, susu dan lavender. Selain tujuh rasa tersebut, pengunjung juga bisa memilih lima atau tiga rasa saja. Pilihan rasanya sesuai selera.
"Aku beli tiga rasa aja. Lavender, cokelat sama melon."
"Silahkan pesanan Anda, Tuan." Seorang pelayan tua memberikan cone dengan es krim tiga lapis sesuai pesanan.
"Terima kasih." ujarnya dengan Bahasa Jepang logat China. Menerima cone dengan hati-hati. Tiga lapis es krim rasanya seperti mau runtuh bagaimana dengan tujuh lapis?
Keduanya menuju bangku yang kosong. Nuansa kafe ini tidak seperti di Jepang. Rasanya seperti sedang berada di China.
"He Xuan ga beli?" Matanya beralih kepada pemuda di samping.
"Aku minta kau saja."
Matanya mendelik kemudian menyembunyikan es krimnya ke belakang. Seperti anak kecil yang melindungi makanan dari serangan mangsa.
"Aku sudah minta dua sendok." He Xuan memperlihatkan dua sendok kecil di tangan dengan wajah melas.
"Hahaha, baiklah aku hanya bercanda."
"Kau duluan saja."
"Kalau begitu aku mau coba yang lavender dulu." Tangannya menyendok ujung es krim. Urutan paling atas adalah lavender, bagian tengah cokelat dan paling bawah melon.
"Eh? Enak lho!" Sekali lagi tangannya menyendok bagian rasa lavender.
He Xuan ikut menyendok bagian atas. Rasanya tidak begitu manis. Manisnya pas. Ada sedikit aroma lavender.
"Aku mau coba rasa cokelat." Satu sendok kecil disuap ke dalam mulut. "Hm, rasa cokelat biasa."
He Xuan mengangguk setelah satu suapan rasa cokelat. Tidak ada bedanya dengan es krim rasa cokelat dimana-mana.
"Terakhir rasa melon." Bagian paling bawah diambil dengan sendok. Detik berikutnya, ekspresinya tidak sebagus yang pertama. Memorinya sedang mengingat rasa yang pernah dinikmati oleh papila lidah.
"Kok rasanya... tidak seperti melon yang kubayangkan?"
He Xuan mengikuti, menyuap rasa melon. Rasanya memang tidak seperti melon di negaranya. Tapi He Xuan cukup suka dengan rasanya yang agak pahit.
"Aku mau coba campur semua rasa." Tangannya menyendok dari bagian atas ke bawah. Memanjakan papila lidah dengan tiga rasa langsung.
"Tidak buruk." gumam He Xuan yang juga penasaran.
"Aku paling suka rasa lavender, kemudian cokelat terakhir melon." komentarnya. "Kapan-kapan aku mau coba rasa lavender saja."
"Aku cukup suka dengan rasa melonnya, agak sedikit pahit sih. Nomor satu tetap rasa lavender."
Keduanya menikmati sisa es krim dengan lahap.
"Tapi rasa pahitnya tidak bisa dibandingkan dengan pahit kehilanganmu."
He Xuan sempat memandang bagian dalam kafe melalui dinding kaca. Bagian dalam gelap gulita. Kursi ditumpuk menjadi satu di ujung. Namun dalam benak He Xuan terlihat dua orang di dalam sana sedang menikmati es krim, kemudian lenyap.
Kakinya melangkah menyusuri jalan Sakaimachi sambil sesekali menengok kanan dan kiri.
Ada toko yang menjual pernak-pernik dari kaca. Restoran sushi atau seafood segar yang berjejer. Kedai yang menjual soft cream atau yang lebih dikenal dengan es krim. Salah satu yang terkenal di Hokkaido karena produk susunya paling enak se-Jepang.
Tanpa terasa He Xuan sudah menyusuri 900 meter jalan di Sakaimachi. Pemuda itu sudah sampai di paling ujung dari Sakaimachi. Dimana ujung satunya adalah Otaru Music Box Museum tadi.
Alih-alih kembali, kakinya terus berjalan, hingga sampai di sebuah lokasi langganan para turis; Otaru Canal.
Otaru adalah kota pelabuhan. Otaru Canal merupakan sungai yang panjangnya 1.140 meter dan lebar 40 meter. Dulunya digunakan untuk pengiriman hasil laut dan batu bara.
Namun saat ini, Otaru Canal telah beralih fungsi menjadi tempat wisata. Di pinggir sungai berdiri bangunan yang dulunya adalah gudang penyimpanan bergaya Eropa. Sekarang sudah direstorasi menjadi situs budaya. Selain itu juga disulap menjadi restoran atau museum.
Kapal Cruise mengangkut pengunjung menyusuri sungai dan sejarah kejayaan Otaru sebagai kota pelabuhan. Hanya dengan biaya 1.500 yen untuk dewasa dan 500 yen untuk anak-anak di siang hari. Biaya di malam hari sedikit berbeda, yaitu 1.800 yen untuk dewasa karena nuansanya menjadi lebih romantis dengan kelap-kelip lampu.
He Xuan tidak tertarik. Pemuda itu lebih suka berjalan menyusuri tepi sungai. Sambil melihat turis asing asyik berfoto dengan latar sungai dan bangunan kuno.
Lokasinya yang berdekatan dengan laut, membuat burung camar berseliweran terbang di udara. Sesekali bertengger di atas tiang lampu taman.
Siang ini berubah cerah. Kumpulan awan yang sebelumnya memayungi Otaru pagi hari perlahan lenyap. Langit biru membentang di atas kepala.
Berbanding terbalik dengan hari itu.
"Kenapa hujan badai! Aku kan mau melihat pemandangan illumination!" gerutunya. Meneduh sebentar di bawah toko pinggir jalan sambil memperhatikan mobil lewat.
Salah satu hal yang menyebalkan di musim salju selain dingin adalah badai. Sudah dingin yang menusuk kulit ditambah terpaan angin dan salju. Belum lagi jalan licin. Harus ekstra hati-hati agar tidak terpeleset atau salah jalan. Kaki bisa tenggelam di dalam tumpukan salju.
"Dingin..." gumamnya. Menggosok kedua tangan yang terbalut sarung.
Pakaian super tebal dan berlapis tidak selalu melindungi dari dingin.
He Xuan mendekat. Meraih bahunya dan membawanya ke dalam pelukan. Orang itu membalas pelukan. Melingkarkan kedua tangan di pinggang He Xuan.
"Kalau masih badai, kita pulang saja." bisik He Xuan. Dengan terpaksa kepalanya mengangguk.
Tiga puluh menit berlalu tanpa perubahan. Hujan badai semakin berhembus kencang. Keduanya merapatkan diri. Saling berbagi kehangatan.
"Lebih baik kita pulang saja. Perkiraan cuaca malam ini tidak bagus untuk berada di luar." ujar He Xuan seraya menunjuk berita terbaru prakiraan cuaca malam ini di ponsel.
"Baiklah." ujarnya bernada kecewa.
"Ada kafe tak jauh dari sini. Kita kesana saja sambil menunggu badai reda." He Xuan menggandeng tangannya. Membawanya berjalan sebentar dalam hempasan badai.
Jaraknya tak jauh. He Xuan sengaja mencari lokasi yang dekat supaya mereka bisa berlindung sementara dari dingin dan badai. Sekaligus menikmati segelas kopi panas.
"Andai saja saat itu secerah ini."
Tidak terasa He Xuan sampai di ujung dari kanal. Namun perjalanannya belum berakhir. Sore ini He Xuan ingin menatap laut dari ketinggian. Masih ada waktu untuk sampai di Taman Temiya. Taman yang letaknya di sebuah bukit.
Sebelum itu, He Xuan mencari mesin penjual minuman otomatis. Membeli sebotol air mineral dingin.
Duduk di pinggir kanal sambil menyantap zangi yang tadi dia beli. Udara laut menerpa helai poninya. Kapal turis sedang berlayar melewati depan He Xuan. Seorang anak duduk di pinggir melambai ke arah He Xuan.
Kapal itu berbalik arah setelah lima menit berhenti membiarkan turis mengambil foto bangunan atau pemandangan.
Selesai menghabiskan zangi, He Xuan melanjutkan perjalanan ke Taman Temiya. Hanya butuh waktu berjalan lima belas menit. Mungkin lebih karena jalannya sedikit menanjak.
Bagian Utara Jepang memulai musim semi di bulan April. Sedikit terlambat dari wilayah lain di Selatan. Salah satu simbol negara Jepang yang disukai semua orang, bunga sakura, baru mulai mekar di akhir bulan April.
Beberapa taman sengaja menanam jajaran pohon sakura yang nantinya bisa dinikmati penduduk sekitar. Bunga sakura hanya bisa dinikmati selama satu minggu. Setelah itu kelopaknya akan meninggalkan tangkai dan jatuh ke tanah.
Jalan menuju Taman Temiya cukup menanjak. Napas He Xuan sudah hampir habis. Padahal baru setengah tanjakan.
"Makanya, jangan malas olahraga!"
"Istirahat dulu!" He Xuan menuju pinggir jalan bersandar pada tiang. Mengambil botol mineral dari ransel. Meneguk habis setengah.
"Kamu ini makan banyak tapi masih kurus aja. Makanannya pergi kemana?"
"Perutku ini seperti lubang hitam." jawab He Xuan sedikit judes. Orang kesekian yang menanyakan pertanyaan sama.
"Pantas saja." Orang itu menemani He Xuan hingga selesai istirahat.
Botol air mineral sudah habis. He Xuan memasukkan ke dalam ransel karena sepanjang jalan tidak ada tempat sampah.
Jalanan sudah menjadi landai. Sepanjang jalan masuk sudah disambut oleh jajaran pohon sakura berwarna putih dan pink. Sebagian besar bunganya masih berupa kuncup. Sebentar lagi akan memamerkan keindahannya.
Sangat cantik.
Setiap tahun He Xuan tak pernah ketinggalan untuk melihat sakura mekar di berbagai tempat. Bunga sakura itu seperti ada kekuatan magis yang memikat siapapun. Tidak pernah bosan untuk memandangnya.
He Xuan mengeluarkan ponsel dan mengabadikan keindahan dari Langit.
Jepret sana, jepret sini. Walaupun bukan seorang fotografi profesional, hasilnya tidak mengecewakan. Sudah cukup estetik untuk dijadikan wallpaper ponsel.
"Ada jalan pintas!" Tunjuknya pada sebuah jalan tanah berumput yang menanjak tajam.
"Lewat jalan yang benar saja."
"Itu kelamaan. Biar cepat sampai ke atas."
"Bukankah kita mau menikmati bunga sakura?"
Sebelum pertanyaan itu dijawab, lengan He Xuan sudah ditarik naik menuju ke atas. Kaki He Xuan tidak selincah kaki orang di depannya yang bisa menapak dengan sempurna di bebatuan atau tanah terjal.
"Pelan-pelan!"
Orang itu sudah di atas entah sejak kapan. He Xuan masih terengah berjuang untuk naik.
"Lihat He Xuan cantik sekali pemandangannya!" teriaknya dari atas.
He Xuan sampai di atas. Napasnya masih berpacu. "Capek sekali."
Orang yang sudah duluan sedang asyik mengambil foto. He Xuan memandang hamparan pohon sakura di depannya. Di belakangnya pemandangan kota dan laut yang berkilau cantik terkena sinar matahari. Langit biru cerah menambah cantik gradasi warna.
Seketika rasa capeknya hilang.
He Xuan meraih ponsel, membidik dengan cepat. Tidak hanya pemandangan, juga orang yang sedang sibuk memotret sana-sini.
"He Xuan!" Orang itu menarik He Xuan untuk swafoto dengan latar sakura putih yang cantik.
He Xuan memperhatikan hasil bidikan.
Kosong.
Hanya ada pohon sakura yang terlihat kesepian.
Kakinya kembali melangkah naik menggunakan jalan aspal. Lelah terus menerus mendaki tanjakan bebatuan yang curam.
He Xuan menyusuri jalan sampai ke puncak. Di sana ada spot untuk melihat pemandangan laut lebih jelas tanpa halangan pohon sakura.
Semakin sore, orang berlalang menuruni bukit. Hanya He Xuan yang melawan arus. Angin sepoi dari laut menyapa kulit.
He Xuan berhenti di paling ujung tepat di belakang pembatas dari kayu. Suasana sore ini sepi. Matahari sebentar lagi kembali ke peraduan.
Belakang pembatas kayu, berjajar bangku untuk pengunjung bisa duduk sambil menikmati suasana tentram dan damai. He Xuan mencari satu bangku kosong terdekat untuk duduk.
Ketika itu maniknya tertuju pada seorang dengan kursi roda berada di selisih dua bangku darinya. Kemampuan He Xuan yang patut dibanggakan adalah, dia hapal dengan postur tubuh seseorang walaupun dari kejauhan.
Kalau postur tubuh orang lain dia hapal, seharusnya postur tubuh orang yang dia kenal lebih hapal lagi.
"Qing Xuan?" panggil He Xuan dengan getar di bibir.
"Qing Xuan, kau mau menjadi kekasihku?"
Qing Xuan yang sedang menikmati hembusan angin sepoi segera menoleh. "Kau bilang apa He Xuan?"
"Aku menyukaimu, Qing Xuan. Maukah kau jadi pacarku?" seru He Xuan sekali lagi.
Tidak seperti prediksi He Xuan, Qing Xuan yang seharusnya tersenyum malu-malu malah memanyunkan bibir dengan raut heran
"Jadi selama ini kau anggap aku apa?" teriaknya.
"Eh?"
"He Xuan, untuk apa aku jauh-jauh meluangkan waktu dari Sapporo ke Otaru setiap minggu kalau bukan untuk bertemu denganmu!"
"..."
"Kupikir kau sadar waktu mabuk tempo hari!"
He Xuan kebingungan. "Mabuk?"
Qing Xuan mendelik kemudian berseru pada udara hampa yang mengarah ke laut, "Berarti pernyataan cintaku kemarin sia-sia!"
"Eh?" He Xuan masih tidak mengerti. "Qing Xuan apa maksudmu dengan mabuk dan pernyataan cinta?"
Qing Xuan menghela napas. "Baiklah akan aku ceritakan."
Menurut cerita Qing Xuan, seminggu yang lalu saat mereka pergi minum dengan dua teman Qing Xuan, yaitu Qirong dan Lang Qian Qiu, Qirong mengajak duel minum Otaru Beer.
He Xuan yang aslinya malas ikut, sialnya malah kalah suit. Meskipun toleransinya terhadap alkohol tinggi, tetap saja ada batasnya. Setelah habis lima hingga enam botol, kepala He Xuan sudah terasa pusing. Qirong sudah pingsan di botol ketiga.
Qirong diantar pulang oleh Lang Qian Qiu. Sementara He Xuan dipapah keluar kedai oleh Qing Xuan. Samar-samar He Xuan ingat dibawa naik taksi ke apartemen. Setelah itu tidak ingat apa-apa lagi.
Tapi berdasarkan cerita Qing Xuan, saat He Xuan dalam kondisi mabuk. Ia sempat mencium Qing Xuan ketika sampai di apartemen. Mencium dengan ganas dan penuh hasrat.
He Xuan mengatakan, 'Aku menginginkanmu.'
Qing Xuan menjawab, 'He Xuan. Aku mencintaimu."
Pernyataan cinta itu direspon oleh ciuman ganas oleh He Xuan.
Selebihnya, Qing Xuan tidak mengatakan apa-apa lagi.
He Xuan memucat. Seingatnya ketika bangun, Qing Xuan tidak ada di tempat. Hanya kertas bertuliskan, 'Aku kembali ke Sapporo, karena urusan mendadak.'
He Xuan tidak memiliki petunjuk apakah mereka telah melakukannya atau tidak.
"Lalu..." He Xuan memberi jeda. "Apakah kita melakukan sesuatu?"
Qing Xuan menggeleng.
"Aku mendapat pesan setelah malam itu, jadi aku buru-buru kembali ke Sapporo dengan kereta terakhir. Untungnya masih sempat."
He Xuan bernapas lega. Tapi salah paham ini harus segera diselesaikan.
"Maaf, Qing Xuan aku benar-benar tidak ingat malam itu. Aku tidak bermaksud membuatmu salah paham."
Qing Xuan terdiam.
"Tidak apa-apa, He Xuan." kata Qing Xuan, "Waktu itu kau memang sedang mabuk. Jadi aku tidak bisa menyalahkan itu."
He Xuan menghela napas lega kedua kali.
"Jadi, apa bisa kuulang ucapanku?"
Qing Xuan tersenyum geli dan mengangguk.
"Qing Xuan, maukah kau menjadi kekasihku?"
Jawaban Qing Xuan diluar ekspektasi. Pemuda di depannya langsung menghambur ke pelukan dan mencium bibir He Xuan. Berlatar belakang langit sore kemerahan.
Beruntungnya karena sudah sore jadi tidak ada orang di belakang.
Orang di atas kursi roda itu menoleh.
Dalam detik itu juga He Xuan terpaku. Dadanya tiba-tiba sesak dan napasnya terasa berat. Tubuhnya lemas dan bergetar. Perasaannya campur aduk; bahagia, sedih, marah, kecewa.
Orang itu bereaksi sama dengan He Xuan, tapi masih bisa menguasai emosi. Dengan senyum khasnya, ia memanggil, "He Xuan?"
He Xuan merasa seketika harinya runtuh. Suara yang selalu menghantui kemanapun memori itu terpatri. Tapi juga suara yang dirindukan untuk selalu memanggil namanya.
"Apa yang terjadi?" tanya He Xuan. Nadanya bergetar seraya melihat kursi roda dan kedua kaki Qing Xuan tersembunyi di balik selimut. Perasaannya mengatakan aada hal yang tidak baik sedang disembunyikan.
Qing Xuan langsung mengerti maksud pertanyaan He Xuan. Menjawab dengan senyum terpaksa, "Hanya kecerobohan."
He Xuan menghela napas panjang. Mencoba menenangkan diri. "Kapan?"
Qing Xuan membisu. Terlihat ingin mengatakan tapi tertahan di tenggorokan.
"Qing Xuan?" suara lain menginterupsi. Di belakangnya seorang pria membawa dua botol; kopi dan cokelat panas, kesukaan Qing Xuan.
He Xuan hampir curiga, sebelum Qing Xuan memanggil, "Gege."
He Xuan menoleh ke arah Qing Xuan. "Gege?"
"Siapa dia?" tanya si pria yang kalau dilihat wajahnya mirip Qing Xuan. Bedanya ada kesan tegas dan keras di matanya.
He Xuan mengenalnya dari cerita Qing Xuan. Pemuda itu suka sekali menceritakan kakak laki-lakinya. Semuanya sesuai dengan gambaran yang pernah dikatakan Qing Xuan.
He Xuan ingat.
Tentu saja.
Apapun yang diucapkan oleh Qing Xuan.
Termasuk janji terakhir mereka bertemu.
"Aku kangen, He Xuan. Besok bertemu, ya?" Qing Xuan merengek di sambungan telepon.
"Bukannya besok kau ada kerja?" tanya He Xuan sambil merokok di ruang rokok. Malam ini jadwal kerjanya akan segera dimulai.
"Ternyata jadwalku diganti besoknya, jadi besok aku libur. Aku ke tempatmu, ya? Besoknya aku balik Sapporo lagi."
"Ga capek? Ingat bulan lalu kamu sakit karena setelah dari Furano, siangnya langsung rodi kerja?"
"Habisnya kalau kemarin aku bilang ada kerja, kamu pasti ga bakal izinin." Qing Xuan masih merengek.
"Tidak."
"He Xuan~" Qing Xuan tidak menyerah.
"Tidak. Nanti kamu sakit lagi."
"Kali ini enggak! Ya?"
He Xuan menghela napas panjang. Keras kepala Qing Xuan sulit ditaklukkan. Kepala He Xuan mengangguk tanpa diketahui oleh pemuda di seberang sambungan. "Oke, kita bertemu siang, ya?" Aku ada shift sampai pagi. Mau tidur sebentar."
"Aye! Siap He Xuan sayang!"
"Aku tutup dulu, ya. Sudah waktunya masuk." He Xuan mematikan ujung putung rokok.
"Nanti aku kirim foto seksiku lagi."
"Qing Xuan jangan macam-macam aku mau kerja!"
"Hehehehe."
Kemudian sambungan terputus.
He Xuan tidak menyangka kalau itu adalah terakhir kali mendengar suara Qing Xuan.
Pada jam janjian yang ditentukan keesokan harinya, He Xuan ketiduran hingga terlambat dua jam. Buru-buru He Xuan memakai mantel dan sepatu boots.
Tumpukan lembut salju yang terendap paling bawah telah berubah menjadi es. Menjadi licin jika dipijak. Harus hati-hati atau antisipasi dengan sepatu khusus.
"Sial!" He Xuan mengutuk dirinya sendiri. Panggilan Qing Xuan tidak juga mendapat respon. Sembari kakinya berlari menembus jalanan menuju Stasiun Otaru, tempat janjian mereka.
"Kok tidak diangkat?" gumam He Xuan.
Di sepanjang jalan sudah berapa kali He Xuan menabrak pejalan kaki yang lewat. Napasnya memburu di antara seliweran orang. Hari-hari yang sibuk di kota kecil Otaru. Ditambah suara sirine ambulans dan mobil polisi yang kebetulan lewat.
He Xuan semakin tidak sabaran ketika menunggu lampu merah pejalan kaki berubah menjadi hijau.
"Ayolah..." gumamnya.
Akhirnya lampu pejalan kaki berubah hijau. Mobil yang melaju otomatis menginjak rem. Berhenti tepat di belakang garis marka. Bunyi tanda lampu hijau untuk pejalan kaki terdengar. Orang yang berkerumun di kedua sisi jalan mulai menyeberang.
He Xuan hampir berlari, tapi kerumunan manusia di depannya menghentikan kakinya untuk berjalan cepat. Sebelum sampai di depan stasiun, kepala He Xuan celingukan mencari keberadaan Qing Xuan. Tak lupa tangannya memegang ponsel yang ditempelkan di telinga.
"Di mana kau?"
He Xuan berlari kesana kemari. Semua tempat sudah ditelusuri. Bahkan sampai ke dalam stasiun, hingga toilet. Stasiun Otaru tidak sebesar Stasiun Sapporo. Seharusnya kalau Qing Xuan masih menunggu, dia mudah ditemukan di suatu tempat.
Nihil.
Sudah tiga kali He Xuan berputar di tempat yang sama. Bahkan sampai keluar stasiun tetap saja sosok Qing Xuan tidak ditemukan. Hanya satu titik keramaian di luar stasiun dekat halte bus Chuo. Beberapa petugas kepolisian sedang melakukan olah TKP. Entah ada kejadian apa, He Xuan tidak memikirkan hal itu.
Di pikirannya sekarang hanya ada Qing Xuan.
"Apa dia marah?" gumam He Xuan. "Telepon juga tidak diangkat." He Xuan mulai panik. Tidak tahu harus melakukan apa, He Xuan berdiam diri di stasiun hingga hari berganti malam.
He Xuan memutuskan kembali ke apartemen setelah pengumuman stasiun akan ditutup. Setelah kereta Hakodate terakhir melaju menuju Sapporo pukul 22:31 tadi. He Xuan kembali dengan penyesalan atas keteledoran sendiri.
Setelah itu, sampai sekarang lima tahun berlalu, He Xuan baru pertama kali bertemu dengan Qing Xuan kembali.
"Dia He Xuan, Ge."
"..."
He Xuan sedang mengingat nama kakaknya.
'Shi Wudu.' gumam He Xuan.
"Ge, bisakah kau tinggalkan kami berdua?" pinta Qing Xuan. "Ada hal yang ingin aku bicarakan dengannya."
Pria itu mengangguk. Seolah mengerti maksud dari Qing Xuan. Shi Wudu menjauh sambil meneguk seperempat botol kopi.
He Xuan tidak tahu harus bagaimana memulai percakapan setelah lama tidak bertatap muka. Apa yang dilakukan selama ini? Kemana saja selama ini? Kenapa jadi seperti ini? Apa kau merindukanku? Apa kau masih mencintaiku?
Keheningan selama hampir tiga puluh menit, akhirnya pecah oleh Qing Xuan yang sepertinya juga sudah tidak tahan.
"Bagaimana kabarmu, He Xuan?"
He Xuan sendiri masih bingung merespon.
Haruskah dia marah karena Qing Xuan pernah meninggalkan He Xuan tanpa kabar? Atau haruskah He Xuan berpura-pura seolah rasa sakit dan putus asa selama lima tahun tidak pernah terjadi?
Ditambah kondisi Qing Xuan yang menimbulkan seribu pertanyaan bagi He Xuan.
"Aku... baik." jawab He Xuan akhirnya. Memilih jalan yang aman.
"Syukurlah."
"Kau sendiri?" Giliran He Xuan melontarkan pertanyaan. "Bagaimana kabarmu?" tanya He Xuan sembari melirik kursi roda yang menjadi tempat duduk Qing Xuan.
"..."
Qing Xuan tidak menjawab. Mengalihkan pandangan ke arah langit sore Otaru yang kemerahan. He Xuan tahu kalau ini cara Qing Xuan mencoba mengabaikan tatapan He Xuan.
"Seperti yang kaulihat..."
"Apa yang terjadi?" He Xuan mengulang pertanyaan yang belum sempat terjawab.
Qing Xuan menghela napas. "Lima tahun lalu, aku menunggu di depan Stasiun Otaru. Saat itu ada anak kecil lepas dari gandengan orang tua. Aku berlari untuk menolong dan setelah itu aku mendengar klakson berbunyi keras dan..."
Qing Xuan mengambil jeda.
"Aku tidak ingat apa-apa hingga sadar di rumah sakit."
Kaki He Xuan seketika menjadi lemas. Tiba-tiba langit terasa runtuh. Teringat selama berlari ke Stasiun Otaru mendengar sirine ambulan dan mobil polisi. Bahkan di stasiun masih tersisa petugas yang membersihkan tempat kejadian perkara.
Bodoh sekali He Xuan.
"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?" tanya He Xuan menahan getar suara yang keluar dari bibir.
Qing Xuan membisu.
"Maaf..." gumam Qing Xuan lirih.
"Maaf?" tanya He Xuan dengan nada sinis.
"Apa kau tahu aku terus mencarimu selama ini? Aku hubungi tidak pernah membalas, media sosial tidak pernah aktif. Aku datangi apartemen dan tempat kerjamu, tapi pemilik mengatakan kau pergi tanpa pamit. Teman-temanmu tidak ada yang tahu keberadaanmu."
He Xuan tidak tahan, tidak lagi menyembunyikan gemetar, bahkan terang-terangan menitikkan air mata di depan Qing Xuan.
"Aku hampir saja menyerah menunggu. Selama lima tahun aku tidak pernah absen menyisir tempat di Otaru yang pernah kita datangi. Menunggu di Taman Temiya tempat kita jadian."
"Maaf, maafkan aku He Xuan." Qing Xuan menunduk dalam. Menyembunyikan air mata yang juga tidak tahan untuk jatuh.
"Aku berharap ada hari kau datang, hingga di tahun kelima aku hampir menyerah. Kau datang dengan kondisi seperti ini? Di hari jadi kita?"
"Maaf... maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku, He Xuan."
"Bermimpilah." ujar He Xuan. Tubuh Qing Xuan terlihat menegang dan membeku. "Aku tidak akan memaafkanmu, Qing Xuan."
Qing Xuan tidak merespon. Tapi dari mata He Xuan, tangan Qing Xuan mencengkeram erat selimut di pangkuan. Bibir bawahnya digigit kuat, ingin menahan tangis yang semakin jatuh.
He Xuan berjongkok di hadapan Qing Xuan. Digenggam tangan dingin pemuda itu dengan mengatakan, "Aku tidak akan memaafkanmu kalau menghilang lagi dariku."
Air mata Qing Xuan semakin membuncah mendengar ucapan He Xuan. Kepalanya semakin menunduk dalam namun tetap saja tidak bisa menyembunyikan air mata yang mengalir.
He Xuan memegang kedua pipi Qing Xuan. Menghapus air mata yang menodai wajah cantiknya.
Bagaimana mungkin He Xuan bisa membenci pemuda secantik ini. Tidak ada setitik kebencian yang dirasakan He Xuan selama lima tahun kehilangan Qing Xuan. Hanyalah sedih dan kecewa yang selalu dipendam. Menumpuk dari hari ke hari, mengendap ke dalam sanubari.
"Aku mencintaimu, He Xuan..." gumam Qing Xuan disela isak tangis.
"Aku selalu memikirkanmu. Aku ingin kembali kesini dan menemuimu. Tapi aku takut kau kecewa dengan penampilanku sekarang. Aku takut kita tidak bisa lagi seperti dulu."
Qing Xuan akhirnya menumpahkan semua yang selama ini dipendam.
"Qing Xuan..." He Xuan membawa Qing Xuan menatap dalam. "Ini bukan bagaimana penampilanmu sekarang. Tapi dirimu. Aku tidak peduli bagaimana penampilanmu, yang paling penting aku bahagia bersamamu."
He Xuan menyunggingkan senyum. Pertama kali sejak kehilangan Qing Xuan, senyum yang begitu tulus. Pemuda di atas kursi roda itu menghambur ke pelukan He Xuan. Menangis keras di dalam dada He Xuan. Air mata membasahi pakaian, tapi He Xuan abaikan.
Lebih baik seperti ini daripada He Xuan tidak pernah lagi merasakan dekapan hangat tubuh Qing Xuan.
"Aku juga mencintaimu, Qing Xuan."
***
"Sepertinya masalah sudah selesai." suara Shi Wudu menginterupsi dari belakang. Membawakan kaleng minuman cokelat yang sudah menghangat. Dua insan yang masih berpelukan itu melepaskan diri.
He Xuan berdiri. Pertama kali bertemu dengan kakak Shi Qing Xuan. "Maaf baru memperkenalkan diri. Namaku He Xuan."
"Shi Wudu." ujarnya. "Aku sudah tahu tentangmu."
Tidak susah bagi He Xuan untuk menebak kalau Shi Wudu pasti sudah tahu tentangnya. Kalau Qing Xuan bercerita soal kakaknya kepada He Xuan, dia pasti pernah bercerita tentang He Xuan kepada Shi Wudu.
Maniknya yang terkesan tegas beralih ke arah Qing Xuan yang tersenyum dengan mata sembab.
"Kau sudah membuat wajah adikku jadi jelek." kata Shi Wudu. "Kau harus bertanggung jawab..."
He Xuan menegang mendengar kata itu. Takut mendapat respon negatif dari Shi Wudu karena sering mendengar kakaknya overprotektif terhadap Qing Xuan.
"Kalau aku melihat adikku menangis lagi, apalagi karenamu, aku tidak segan mencincangmu untuk pakan piranha."
He Xuan memucat mendengar ancaman yang bukan main-main. Wajah stoik Shi Wudu seolah sedang membawa pisau daging di tangan. Siap menjadikan He Xuan daging giling.
"Gege, jangan jahat-jahat sama He Xuan!" Qing Xuan menarik dan mencengkram erat lengan pemuda di samping.
"Tenang saja." ujar He Xuan. "Aku akan membunuh diriku kalau itu terjadi."
"He Xuan, jangan." Qing Xuan merengek mendengar pernyataan dari He Xuan.
"Aku tidak akan meninggalkanmu."
Tanpa malu, He Xuan mencium pipi Qing Xuan di hadapan Shi Wudu. Manik Qing Xuan membulat dengan lucu. Antara terkejut dan malu dilihat oleh kakaknya.
Shi Wudu tidak tahu harus merespon bagaimana. Ia hanya menutup kedua mata dengan tangan dan berkata, "Dasar anak muda tak tahu malu."
"He Xuan!" Qing Xuan ikut menutup wajah karena malu.
He Xuan teringat, selama mereka berpacaran Qing Xuan yang selalu berinisiatif untuk berciuman. He Xuan bukan tipikal orang yang suka mengumbar kasih sayang, apalagi di depan umum.
Jadi, Qing Xuan pasti terkejut dengan inisiatif dari He Xuan.
"Sudahlah, aku merokok saja di sana." Shi Wudu menyingkir sambil mengambil ponsel dari saku celana. Kaleng cokelat di tangan diserahkan kepada adiknya.
Qing Xuan terkekeh pelan, membuat He Xuan menoleh dengan penasaran. "Gege-mu mau menelepon siapa?"
"Pacar barunya, Pei Ming."
"Pei Ming?" He Xuan merasa familiar dengan nama itu.
"Teman Gege yang buaya itu."
"Oh," He Xuan teringat dengan julukan buaya yang disematkan. "Hah? Mereka jadian?" seru He Xuan tidak percaya.
"Aku juga tidak percaya." ujar Qing Xuan.
"Perputaran dunia aneh sekali, ya?" gumam He Xuan.
"Indah sekali." Qing Xuan bergumam tanpa mengalihkan pandangan. Mengabaikan He Xuan yang masih kebingungan. He Xuan ikut menoleh.
Tanpa terasa matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Namun cahaya oranye masih mengintip pada garis cakrawala.
Di bagian He Xuan tempati sudah mulai temaram. Lampu taman mendadak dinyalakan. Satu per satu, lampu pada gedung dan bangunan kota Otaru menyala seperti kelap-kelip.
Qing Xuan masih terpukau dengan pemandangan saat ini. Namun He Xuan lebih terpukau dengan kecantikan pemuda yang diciptakan oleh Langit di sampingnya.
He Xuan menggendong Qing Xuan. Memindahkan tubuh itu dari kursi roda ke bangku taman samping mereka.
"Kau mau apa, He Xuan?"
Pemuda He itu tidak menjawab. Mendudukkan Qing Xuan di bangku, kemudian meraih selimut yang meluncur jatuh ketika menggendong Qing Xuan. Dilebarkan di pangkuan Qing Xuan.
Memastikan Qing Xuan aman dari angin laut, He Xuan membawa pemuda yang lebih pendek tiga senti darinya ke dalam pelukan. Qing Xuan reflek menyamankan diri di bahu He Xuan.
Ini bukan mimpi, tapi terasa seperti mimpi. Baru kemarin ia kehilangan sosok Qing Xuan, tapi sekarang sudah berada dalam pelukannya.
Keduanya bertahan sebentar di Taman Temiya. Memandang illumination kota Otaru di malam hari. Kota yang menjadi saksi bisu perjalanan asmara mereka. Suka dan duka tersimpan di setiap sudut kota kecil ini.
Otaru yang menyimpan kenangan.
***
Selesai.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top