Chapter 9
Sam mimpi lagi. Dia berada di ruangan yang sama megah dan sama luasnya seperti sebelumnya. Pemuda di tengah ruangan itu kembali menghampirinya dan berbisik, "Tolong aku. Aku tahu kau bisa menolongku." Dan Sam masih belum bisa melihat wajahnya.
Tapi ada yang berbeda. Jendela-jendela besarnya kini memancarkan sinar bulan di lantai kayunya yang mengilap. Sinar bulan menembus masuk melewati celah-celah pohon citrus. Dan mimpinya tidak terhenti pada adegan ketika Sam mencoba meraih jari-jari tangan si pemuda. Kali ini mimpi itu berlanjut.
Dia berhasil menggenggam tangan itu, pada akhirnya. Anehnya, alih-alih merasa senang seperti yang diharapkannya selama ini, Sam justru menangis. Kemudian, suara itu seolah-olah muncul dari tengah cahaya bulan yang pucat dan keabu-abuan.
"Kau tahu aku benar." kata si bulan.
Dan Sam tersentak bangun.
❧
Sam menolak makan siang bersama Hillary di tangga darurat siang harinya di sekolah.
"Ayolah, aku ingin ke sana saja, di kantin rasanya sudah berbeda." bisik Hillary sambil memandang sekeliling. Bukan, tepatnya sambil memandang Vincent dan Rebecca.
Sam sendiri bersikeras menolak makan di tangga karena dia tahu di sana ada Colin. Beruntung hari ini Sam belum melihat Colin karena jadwal mereka berbeda, kecuali pada pelajaran terakhir.
Setelah berdiri di luar antrean makanan selama beberapa menit, Sam akhirnya membuat keputusan cukup besar dalam hidupnya.
Sam berjalan menerobos keramaian dan duduk di salah satu meja yang kosong.
"Di sinilah kita akan makan." Sam bersikukuh sambil meletakkan nampannya. Mrs. Johnson melihatnya dengan tatapan berkaca-kaca. Sam berani bertaruh wanita itu senang akan 'kemajuan' yang dicapai Sam dengan tidak makan di tangga darurat lagi. Bahkan kini mendapatkan seorang teman! Karena itu dia menghampiri meja Sam dan Hillary beberapa detik kemudian. Dia meletakkan puding pada nampan mereka.
"Hadiah selamat-datang-di-kantin dariku. Nikmatilah, girls!" katanya ceria. Sam hanya tersenyum ironis. Hillary masih terlihat tak nyaman.
"Rebecca melihatmu." Sam melapor, "Dia berbisik pada Vincent. Cowokmu menoleh. Dia kelihatannya syok berat..."
"Dia bukan cowokku!" Hillary langsung membantah, "Mereka ngapain?"
"Mereka tertawa."
Hillary menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Sam menariknya.
"Lihatlah sekelilingmu. Bukan cuma mereka. Semua orang memperhatikanmu. Hillary Swan duduk dengan Samantha Feather. Kuberitahu cara ampuh untuk mengatasinya. Tetaplah angkuh dan keren seperti kau yang biasanya."
Hillary tampak cukup terhibur dengan kata-kata Sam yang menyemangati, "Trims, Sam."
Setelah hanya memandangi nampan makanannya dengan wajah tegang, sekarang Hillary mulai bisa menyuap saladnya dengan santai. Begitu pun Sam.
Sam sudah memutuskan untuk membiasakan diri menghadapi segala keganjilan yang terjadi dalam hidupnya mulai dari sekarang. Seperti keganjilan saat menyadari dia makan di tengah-tengah hiruk-pikuk kantin. Keganjilan ketika melihat nampannya tidak berada di atas pangkuannya, melainkan di atas meja. Aneh mendapati seseorang, dan itu Hillary si mantan musuh bebuyutannya, sedang duduk dan menemaninya makan. Dan juga keanehan saat Sam menemukan dirinya sedang mencoba berhenti berpura-pura bahwa dia tidak ada.
❧
Keberuntungan tidak berpihak pada Sam ketika pelajaran terakhir di hari itu. Mr. Bennett, guru Matematika mereka, memberi tugas makalah yang harus dikerjakan secara berpartner dan temanya ditentukan berdasarkan nomor urut kelompok. Celakanya, Colin sudah terlanjur menjadi partner tetap Sam di kelas Matematika. Dan alasan lain mengapa Sam tidak melihat cowok itu seharian ini adalah karena dia tidak masuk. Ketika dia memprotes akan hal ini pada Mr. Bennett, Sam harus puas hanya dengan jawaban, "Well, kau tahu ini sudah ditetapkan sejak awal, Feather. Mungkin kau bisa tanya apakah ada yang mau tukar partner denganmu."
Dan tidak perlu jadi orang jenius untuk tahu bahwa tidak akan ada yang mau bertukar partner dengan Sam. Colin dapat diterima oleh siapa saja—terutama kalangan cewek—tapi Sam tidak bisa menjamin itu juga berlaku baginya. Jadi, daripada menghadapi resiko tidak dapat pasangan sekaligus tidak lulus mata pelajaran ini, dia mengiyakan saja Mr. Bennett dan kepalanya yang keras itu.
Sepulang sekolah, dia tidak ingin membuang-buang waktu berharganya dan langsung memarkir sepeda tuanya di halaman rumah keluarga Faugere. Setelah dua kali menekan bel, Phillippe keluar.
"Semenit Jaques, hanya semenit... oh. Halo, Sam." katanya agak kaget, dia sedang memegangi telepon wireless di dadanya, pakaiannya sudah rapi. Sepertinya dia hendak pergi. "Ada apa?"
"Saya eh..." Sam tergagap karena ini pertama kalinya dia bicara berdua saja dengan Phillippe, selain pada saat makan malam tempo hari. "Saya hanya ingin mengantarkan tugas Matematika pada Colin. Anda tahu, Mr. Bennett, guru sekolah kami, menugaskan kami untuk menyusun makalah berpartner. Tapi Colin nggak masuk hari ini sementara tugas ini harus dikumpulkan minggu depan..."
"Sam, aku sedang agak sibuk." Phillippe menunjuk telepon yang dipegangnya dengan tatapan meminta maaf, yang langsung menghentikan ocehan Sam. "Aku harus pergi ke kantor sebentar lagi. Aku ini pelupa. Kau bisa langsung meletakkannya di kamar Colin. Di atas, pintu kedua di kiri setelah tangga. Ya, bisa kau ulangi Jaques...?"
Phillippe kembali berbicara di telepon dalam bahasa Perancis yang super cepat. dia kelihatannya agak kesal karena hari liburnya harus terpakai. Sam masih dapat mendengarnya sibuk mencari-cari kunci mobil ketika Sam sudah menaiki tangga.
Ini pertama kalinya Sam memasuki rumah keluarga Faugere. Modelnya tidak terlalu jauh berbeda dari rumahnya sendiri, dapur dan meja makan di dekat halaman belakang yang terbuka, ruang televisi dan ruang keluarganya terpisah. Hanya saja perabotannya jelas terlihat jauh lebih mahal, lebih modern, dan lebih bagus. Sam tiba di puncak tangga dan melihat pintu kamar Colin terbuka.
Apakah dia sedang pergi dengan Michelle?
Sam melongok ragu-ragu, pasalnya dia belum pernah memasuki kamar cowok sebelumnya—kamar Bill dan kamar kedua adik laki-lakinya tentu saja tidak masuk hitungan—dan mengamati sekeliling.
Kamar Colin sangat normal, terkecuali rak buku dan meja belajarnya yang sangat berantakan. Dindingnya dicat abu-abu muda dan dipenuhi poster band-band Perancis favorit cowok itu, yang nyaris semua belum pernah Sam dengar namanya. Perabotannya sederhana, tapi Colin kelihatannya berusaha menjejalkan seluruh koleksi pribadinya ke dalam rak buku setinggi dada di sudut kiri ruangan itu, sehingga efeknya seperti melihat semacam menara kembar yang tersusun atas bertumpuk-tumpuk CD, DVD, dan buku. Meja belajarnya bertaplak dan terlihat rusuh. Laptop, kamera canggih, kabel-kabel, scanner, dan aneka barang elektronik lainnya bergabung jadi satu di atas situ. Ada pemutar CD sekaligus radio di sebelahnya. Lemari bajunya ditempeli aneka stiker dengan gambar dan tulisan yang aneh-aneh, kebanyakan dalam bahasa Perancis, dan beberapa boxer-nya dibiarkan tergeletak menyedihkan di lantai. Ranjangnya single, dengar seprai warna biru tua polos, terletak di posisi yang sama persis dengan posisi ranjang Sam di kamarnya, yaitu menghadap ke pintu, di pojok kanan ruangan persis di sebelah jendela.
Jendela.
Sam menghampiri jendela yang tidak bergorden itu dan melihat rumahnya di kejauhan. Jendela kamarnya memang terlihat cukup jelas dari sini.
Dengan was-was Sam meneliti sekelilingnya, dan lega karena tidak mendapati benda-benda mencurigakan seperti teleskop atau teropong mini yang dapat dimanfaatkan Colin untuk—siapa tahu saja—memata-matainya.
Sambil bergidik ngeri memikirkan hal itu, lalu dia meletakkan catatan Matematikanya di atas meja belajar Colin, yang setelah diperhatikan dari dekat—karena nyaris tidak kelihatan akibat tertutupi barang-barang di atasnya—ternyata bukan dilapisi taplak. Colin rupanya telah menggunting, merangkai, dan menempel aneka jenis foto sedemikian rupa di bawah kaca meja, sehingga sekilas terlihat seperti pola mosaik warna-warni yang mengagumkan.
Sam terperangah memandangi foto-foto itu. Dia ingat seseorang yang juga suka melakukan ini, hanya saja medianya bukan foto, melainkan guntingan lirik lagu.
"Hobi sejenis dengan yang dimiliki Bill..."
"Siapa Bill?"
Sam terlonjak sekian sentimeter dari lantai saking kagetnya. Colin berdiri di ambang pintu, dengan rambut hitamnya yang basah sehabis mandi. Lagi-lagi Sam mencium aroma mint itu.
"K-kupikir kau sedang pergi dengan Michelle atau apa?!" kata Sam syok. Sebagai respon, Colin hanya menggeleng. Lalu dia melempar handuknya ke atas kasur dan mengambil kaus terdekat yang bisa diraihnya.
Oh, Sam hampir lupa menyampaikan hal terpenting. Colin sedang dalam keadaan tak berkaus. Itulah mengapa dia tahu Colin baru selesai mandi.
Sam tidak mau menceritakan detil mengenai betapa okenya Colin saat bertelanjang dada—benar-benar bikin malu—yang jelas dia lega saat mendapati sehelai kaus putih sudah membungkus badan cowok itu di atas celana warna hijau kusamnya.
"Maman sedang melakukan perjalanan-menjelajah-Amerika bersama teman-temannya yang dia kenal lewat situs chat. Dia kembali minggu depan." jelasnya.
"Kupikir kau sakit." kata Sam dengan nada menuduh, melihat bahwa kondisi fisik Colin sepertinya baik-baik saja, sangat prima malah.
"Sori? Bukannya kau yang menyuruhku melakukannya?" tanya cowok itu sambil memandang Sam dengan matanya yang kali ini terlihat lebih ke abu-abu daripada biru.
"Hah?" Sam melongo seperti orang idiot.
"Kau bilang, 'jangan ganggu aku, oke?'" Colin mengutip kata-kata Sam padanya tempo hari di lapangan parkir, seusai pertandingan. "Kupikir itu termasuk nggak mengganggumu di sekolah."
Rahang Sam nyaris jatuh saking tidak percayanya dia pada apa yang barusan keluar dari mulut Colin, "Kau nggak masuk karena itu?"
Colin tidak perlu menjawab. Dia hanya perlu menatap.
"Oke, kau tololnya keterlaluan." simpul Sam.
Colin tidak berkomentar. Dan lagi-lagi karena dia hanya perlu menatap.
Sam menyerah, "Sori. Aku nggak benar-benar memaksudkan itu padamu. Maksudku, aku tahu aku kacau, jadi aku juga mengatakan yang nggak-nggak padamu malam itu."
Sepertinya Colin sudah mendapat apa yang dia mau; permintaan maaf. Karena setelah itu dia langsung bertingkah biasa.
"Jadi, apa yang membawamu ke kamarku dan menertawai mejaku?"
"Mr. Bennett memberi kita tugas makalah. Harus dikumpulkan minggu depan. Dan partnerku masih kau."
"Menyebalkan." katanya untuk memancing emosi Sam. Tapi Sam bertahan.
"Pikiran kita sama."
Mereka saling berpandangan. Akhirnya, pertahanan Colin runtuh. Cowok itu terbahak-bahak.
"Harusnya kau lihat tampangmu saat mengatakannya! Kau kelihatan seperti udang rebus." katanya geli.
Sam memutar bola matanya, tapi mau tak mau ikut tertawa juga.
Akhirnya mereka memutuskan untuk sekalian saja mengerjakan tugas makalah—mereka kebagian materi Eksponen dan Limit Fungsi—sementara kedua orangtua Colin sedang tidak ada di rumah.
Berusaha mengenyahkan pikiran itu, Sam buru-buru membuka suara.
"Sebetulnya, aku menertawai mejamu karena foto-foto itu." kata Sam.
Colin mendongak dari bukunya, "Meja itu sudah begitu sejak kami pindah dari Perancis. Hobi." katanya tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
"Foto-foto ini kauambil sendiri?" tanya Sam sambil memperhatikan meja itu lagi.
"Kebanyakan. Beberapa pemberian. Beberapa kucuri."
"Hei, ini Michelle dan Phillipe saat menikah!" Sam mengagumi senyuman Michelle yang mengembang dengan begitu bahagianya, ditemani Phillippe yang masih muda dan luar biasa ganteng. Michelle mengenakan gaun pengantin putih yang sangat mengagumkan dan Phillipe yang bersetelan jas. Keduanya berdiri di salah satu gereja termegah yang pernah Sam lihat...
"Hei! Bukankah ini Sacré Coeur Basilica?!"
Colin akhirnya jengah juga. Dia berdiri dari tempatnya duduk di lantai kamar dan ikut memperhatikan meja.
"Yeah, benar. La Basilique du Sacré Coeur de Montmatre. Mereka menikah di sana."
Pandangan Sam kemudian beralih pada satu lagi foto Michelle dan Phillippe, ada catatan kecil yang ditambahkan di pinggirannya: menikmati bulan madu di Avenue Champ Elysee. Tak jauh dari foto itu, ada foto ketiga Faugere tengah berpose di depan rumah—lebih pantas disebut mansion—yang luar biasa besar dan indah, juga dilengkapi catatan: pindah ke rumah baru!
"Wow." Sam menghela napas, kedua orangtua Colin menikah di Basilica, berbelanja di strip real estate termahal kedua di dunia, dan menempati mansion mewah... hal ini merupakan sebuah bukti dari kecurigaan Sam yang sudah lama dia pendam.
Colin Faugere adalah anak orang kaya.
Terlepas dari kepindahan mereka yang begitu tiba-tiba ke daerah kecil di Arizona, hanya punya dua mobil—yang salah satunya Corolla Altis—dan menempati rumah yang sangat biasa ini—walaupun perabotannya mahal—keluarga Faugere merupakan keluarga berada. Mereka dulu punya mansion dan memori pernikahan pasangan Faugere jelas menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Tapi Sam memutuskan mengesampingkan hal itu untuk nanti.
"Ini teman-temanmu?" Sam menunjuk salah satu foto. Colin berada di tengah-tengah teman-temannya yang keren. Cewek-ceweknya cantik dan seksi, cowok-cowoknya hot dan mereka kelihatannya sedang bersenang-senang di salah satu klub bawah tanah... well, Sam tahu Perancis terkenal akan hal itu.
"Yeah, mereka dulu temanku."
Tunggu.
"Dulu?" tanya Sam dengan nada sehati-hati mungkin. Dia tidak tahu apakah mengungkit masa lalu Colin yang misterius ini dapat memancing emosi cowok itu.
Nyatanya tidak. Colin kembali duduk di lantai, bersandar di sisi ranjangnya dan berkata, "Kau ingat? Kau pernah menanyaiku mengapa aku kesal pada orangtuaku dan kepindahanku."
"Yeah..." sahut Sam lambat-lambat.
Colin menatapnya dari balik bulu matanya yang panjang, seolah menimbang-nimbang apakah menceritakan masa lalunya pada Sam merupakan keputusan yang bijak. Akhirnya dia berkedip.
"Ini bakal jadi semacam sesi curhat yang panjang dan melelahkan."
"Akan kuanggap diriku ini guru konseling." Sam mengangkat bahu.
"Jadi, dari mana sebaiknya aku mulai?"
"Hmm... kenapa kau menyebut mereka 'dulu temanku'?"
Colin menggosok-gosok satu titik di atas alisnya dengan dua jari tangannya, kebiasaannya yang belum pernah Sam lihat, "Apa yang kau tahu soal kepindahan kami ke sini?"
Sam kebingungan karena Colin malah balik bertanya, "Well... uh, Michelle bilang ayahmu kehilangan pekerjaannya dan memutuskan pindah ke sini untuk memulai pekerjaan baru."
"Itu bohong. Kami pindah ke Arizona bukan karena pekerjaan ayahku. Pekerjaan Papa baik-baik saja di Perancis. Kami pindah karena diriku."
"Kau meminta mereka pindah ke sini...?"
"Sebelumnya kami oke-oke saja di sana. Sampai aku sadar aku punya teman-teman yang brengsek."
Jujur, Sam belum pernah mendengar Colin berbicara tentang orang yang dikenalnya dengan kebencian yang begitu kuat pada suaranya. Itu cukup mengejutkan, tapi Sam berusaha untuk tidak menampilkan ekspresi apapun.
"Dulu ayahku adalah pemilik saham terbesar di salah satu perusahaan label fashion ternama di sana. Maman mantan model."
Itu menjelaskan mengapa Michelle begitu terlihat seperti bidadari.
"Pendeknya, kami kaya. Aku kaya. Lalu aku berteman dengan orang-orang kuliahan yang kuanggap keren-keren ini. Sayangnya, mereka ternyata penipu ulung yang berhasil menguras kartu kreditku."
Saat ini yang terdengar hanya bunyi jarum jam yang berdetak-detak di kamar Colin.
"Mereka profesional. Mereka begitu sabar dan cerdas. Nggak mustahil mereka bisa menang penghargaan untuk kategori 'akting yang sangat alami dan meyakinkan'."
"Apa alasan mereka?"
"Macam-macam. Kecelakaan mobil, bayar pengacara untuk membela adik yang nggak bersalah..."
"Kau nggak melapor ke polisi?" Sam keheranan. Colin tersenyum pahit.
"Kami mencoba. Tapi mereka sudah berada jauh di belahan bumi lain sementara aku baru mengetahui mereka menipuku."
Colin menghela napas keras dan melanjutkan, "Papa begitu marah. Maman trauma. Mereka meyakini segala yang menimpaku adalah akibat dari gaya hidup kami yang kelewat glamor dan serba jetset. Yah, itu benar. Aku menyetujui pendapat mereka sampai mereka bilang mereka akan menghentikan segalanya dan memulai dari awal dengan pindah ke Arizona. Ayahku bilang dia akan berhenti dari pekerjaannya. Maman yang pada saat itu memang sudah berhenti jadi model ikut mendukung."
"Bagaimana dengan kau?" tanya Sam, "Apa kau juga mendukung?"
Colin menggeleng, "Aku masih terlalu tolol dan egois untuk mendukung mereka. Ditambah, aku punya pacar yang nggak bisa kutinggalkan."
Saat ini tampang Sam mirip beruang kutub yang baru mendengar kabar bahwa pemanasan global entah bagaimana telah berefek terlalu cepat sehingga tidak menyisakan lempengan es sedikitpun di belahan bumi bagian utara maupun selatan untuk tempatnya berpijak.
Separah itulah efek perkataan Colin barusan terhadap Sam. Gagasan bahwa Colin penah punya pacar di Perancis merupakan hal yang terlalu asing, terlalu aneh dan tolol untuk bisa diterima akal Sam. Rasanya Colin lebih pantas dan hanya pantas untuk menjadi Colin Si Tetangga Pindahan Dari Perancis Yang Selalu Single.
"Lalu..." Sam cepat-cepat berdeham karena dia sadar suaranya serak, "...bagaimana hubunganmu dengannya? Setelah kau pindah?"
"Hubungan jarak jauh. Dia kurang bisa menerima ide itu, tapi aku keras kepala. Sehari setelah kepindahanku, aku berhasil tahu bahwa dia sudah pacaran bersama salah satu dari penipu itu."
Cowok itu memandangi buku Matematikanya yang terbuka dengan tatapan tak terbaca. Sam tidak bisa berkata-kata. Dia pun hanya bisa memandangi pola cahaya matahari di atas kertas yang menembus masuk lewat jendela Colin. Semuanya jadi begitu jelas sekarang.
Apakah Colin dan keluarganya memilih untuk tinggal di daerah ini dalam rumah yang biasa ini demi berusaha membangun kembali kehidupan yang lebih sederhana, jauh dari kesan glamor?
Apakah Colin memilih untuk 'mengucilkan' dirinya dari kehidupan Dartville High karena dia trauma akan pertemanan yang dapat menjerumuskannya ke lubang yang sama?
Apakah Colin bersikap begitu menyebalkan dan dingin pada Sam di awal pertemuan mereka karena dia belum bisa mempercayai siapapun? Mungkinkah tidak mau menjadi korban penipuan untuk kedua kalinya?
Dia tidak butuh lagi penipu yang menyusup ke dalam kehidupan mereka seperti parasit....
Parasit. Sam teringat akan Hillary. Kondisi Colin bisa dibilang tidak jauh berbeda dari cewek itu. Mereka sama-sama memiliki masalah dengan uang dan kepercayaan.
"Wah. Terus terang, aku nggak menyangka kondisinya separah itu." ujar Sam akhirnya, "Aku belum pernah mengalami hal seperti itu dan aku juga nggak bisa membayangkan bagaimana beratnya itu bagimu. Tapi menurutku... bersikaplah normal."
Sam diam sesaat untuk mengamati bagaimana reaksi Colin. Cowok itu mengangkat alisnya tinggi sekali.
"Normal?" ulangnya, "Apakah selama ini aku... abnormal?"
Sam mengangkat bahu, "Mungkin kau berusaha memulai kehidupan baru di mana orang-orang nggak perlu mengenalmu sambil membawa-bawa pikiran 'hei, orang ini kaya!' di otak mereka. Tapi bolehkah aku jujur? Aku merasa usahamu itu penuh kepura-puraan. Membeli rumah sederhana, berpakaian sederhana, dan lain-lainnya memang positif-positif saja. Tapi aku nggak melihat segi positif itu dari caramu berteman, sori saja nih."
Colin teramat sangat syok mendengar ocehan Sam. Sam bisa tahu itu dari tampangnya dan gerakan-menggosok-dahi yang langsung terhenti seketika.
"Jadi menurutmu, aku... negatif dalam berteman?"
"Nggak segamblang itu sih. Kurang lebih. Begini. Aku nggak tahu aku ini kau anggap teman atau bukan, tapi coba anggap aku temanmu. Menurutku, kau cerdas, keren, dan baik. Tapi pendapat itu baru bisa kuperoleh dari pengalamanku menjadi tetanggamu, menjadi pemandumu selama seminggu, dan menjadi teman telpon-telponanmu di malam hari. Baru bisa kuperoleh setelah aku sempat menilaimu sebagai makhluk sinis, dingin, dan nyebelin. Tapi setelah aku mengetahui... well, sisi-sisi baikmu selama ini, kau nggak berubah di sekolah. Sikapmu berbeda ketika kau bicara denganku di kelas dengan saat kau ngobrol di telepon! Dan aku yakin mereka yang nggak mengenalmu seperti aku akan tetap berpendapat bahwa kau sinis dan nyebelin."
Sam menarik napas dan melanjutkan, "Intinya, kenapa sih kau nggak mencoba memulai pertemanan tanpa didasari beban masa lalumu? Kurasa itulah cara terbaik untuk melupakan pengalaman buruk yang pernah terjadi. Jangan malah berpura-pura jadi salah satu Kaum Hantu."
Tidak ada reaksi. Colin sedatar dan sediam sebelumnya. Sam malah setengah berharap akan ada suitan atau tepuk tangan yang mengakhiri khotbah panjangnya. Tapi nihil. Cowok itu hanya terus menatapnya.
Menatap. Menatap. Menatap. Seperti yang selalu dia lakukan, seolah sedang merapalkan mantra dalam hati; 'Tolong-tolong-tolong lemparkan cewek sok tahu ini ke luar jendelaku agar aku nggak harus menanggapi hipotesa konyolnya soal diriku yang nggak bisa berteman'.
Tapi dugaan Sam itu sepertinya terbukti salah, karena detik berikutnya Colin membuka suara.
"Selamat. Kau telah memecahkan masalah hidupku hanya dalam lima menit." Colin mencibir.
Kali ini giliran Sam yang tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Berteman seperti orang normal..." kata Colin pelan, namun dalam. "Mungkin memang itu yang kubutuhkan. Jadi Samantha, kau mau jadi teman-Arizona pertamaku?"
"Kedengarannya tawaran oke. Mengingat aku juga sedang berjuang mengenyahkan pikiran bahwa aku hanya akan menjadi 'sampah pengganggu' bagi siapapun."
Keduanya nyengir.
❧
---
Yes, Sam. Kamu bukan 'sampah pengganggu' :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top