Chapter 8

Tim futbol Darville High School memenangi pertandingan melawan tim wilayah tetangga. Kabarnya masuk ke surat kabar dan berita lokal pagi harinya. Mrs. Midden bukan main bangganya hingga dia harus berulang kali mengulang-ulang dialognya tentang 'solidaritas' dan 'kedisiplinan' saat wawancara dan tayangannya disiarkan di stasiun televisi lokal secara live. Semua murid Dartville High—baca: Kaum Paling—merayakannya di rumah Vincent Brody semalam, begitu hebohnya hingga polisi setempat harus mendatangi pesta dan membubarkannya dengan paksa.

Di luar hiruk pikuk itu, Samantha Feather berbaring di balik selimutnya, memejamkan mata walaupun dia sudah sepenuhnya terjaga. Sam ingat semalam dia langsung menghempaskan dirinya ke atas kasur sepulangnya dari stadion dengan naik bus, dan menangis sejadi-jadinya. Mary tidak berkomentar atau bertanya apa-apa.

Tiba-tiba Tom menggedor-gedor pintu kamarnya, "Sam! Keluar dan sarapan!"

"Kelual dan calapaan!" tiru Lou, yang juga ikut menggedor-gedor.

"Tom, Lou, tinggalkan kakakmu sendirian!" Sam mendengar Mary berteriak dari lantai bawah.

Itulah hebatnya Mary Feather, Sam membatin, Dia tak pernah memaksa anak perempuannya untuk bercerita di saat emosinya sedang labil, ingusnya berleleran, dan sesenggukkan parah. Dia tahu amat sangat tidak enak bercerita dalam kondisi seperti itu. Ibunya akan sabar menunggu.

Sam diam-diam bersyukur karena semalam tidak turun hujan. Kalau iya, maka adegan ketika dirinya berlari menghindari Colin sepanjang lapangan parkir bakal jadi semacam tiruan cuplikan film drama kacangan.

Sembari memikirkan itu, Sam tertidur lagi.

Tok-tok.

Sam mengerang dan menutupi kepalanya dengan selimut.

Tok-tok-tok!

"Mom, aku masih ingin tidur satu jam lagi..."

"Ibumu menyuruhku langsung masuk saja, kupikir kau sudah bangun..."

Sam mengucek matanya dan berbalik. Dia menajamkan pandangannya. Di ambang pintu kamarnya telah berdiri orang yang berada di urutan teratas daftar Sam yang dia pikir tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumahnya.

Hillary Swan.

Akcjsadnuicnsjknxmskjaslcnkaorwofiicjnxxx!!!!

"Hillary?!" Sam langsung terduduk dan terjaga sepenuhnya, mulutnya menganga selebar sepuluh sentimeter.

Hillary tampak berkilauan dan cantik seperti biasanya. Rambutnya yang pirang sempurna dikuncir kuda. Dia mengenakan kaus santai biru muda dan jins stretch warna tulang yang menunjukkan lekuk kaki langsingnya yang mengagumkan. Betapa hebatnya efek dari kaus dan jins sesederhana apapun bila dikenakan orang cantik.

Dan cewek cantik—tapi jahat—itu berdiri di pintu kamar Sam.

"Mau apa kau di sini?!" tanya Sam curiga, dengan gugup melirik ke cermin dan melihat dirinya sendiri yang kontras sekali bila dibandingkan dengan Hillary; masih mengenakan baju tidur, berantakan, dan belum mandi.

"Sori aku datang tiba-tiba, ini pasti agak mengagetkan buatmu..." katanya dengan nada suara yang sama sekali berbeda dengan yang selalu digunakannya pada Sam di sekolah. Suaranya kali ini benar-benar lembut dan bernada meminta maaf.

Sam mengecek jam digitalnya dan melihat tanggalnya. Ini jelas-jelas bukan April Mop. Cewek paling jahat dan paling memusuhinya di Dartville High datang ke rumahnya jam sepuluh pagi.

Ini dia salah satu kelanjutan dari rentetan kejadian mengejutkan yang terjadi dalam hidup Sam.

"Jujur saja nih," kata Sam, akhirnya dapat menemukan kembali suaranya. "Ibarat cerita serigala yang mengunjungi anak babi. Hanya saja kau nggak berusaha merobohkan pintu kamarku atau semacamnya."

Hillary tertawa. Hillary menertawai lelucon Sam yang garing. Dan kelihatannya tawanya tidak dipaksakan.

"Boleh aku duduk?" tanyanya.

"Y—yeah." Sam menyahut seperti orang tolol, "Kau mau minum atau—?"

"Nggak usah, trims."

"Oke."

Keduanya diam.

"Mm, aku cuci muka dulu."

"Oke."

Sam melesat ke kamar mandi, mengganti bajunya dengan ekstra cepat, menggosok gigi, dan setelah memastikan tidak ada jejak bantal yang tertinggal di wajahnya, dia kembali ke kamar. Dia setengah berharap Hillary menghilang karena ini cuma mimpi, tapi nyatanya cewek itu masih duduk di atas bantal tomat di kaki tempat tidur Sam, sibuk meneliti foto-foto dalam pigura yang Sam pajang di atas meja belajarnya.

"Siapa ini?" tanya Hillary ketika mendengar Sam datang, seraya menunjuk salah satu foto narsis Sam bersama Bill di restoran favorit mereka, Fish 'n Chips.

"Oh." Sam terenyak, "Itu Bill Starlin, uh...teman baikku. Sekarang dia tinggal di Minneapolis."

"Teman baik?" Hillary memberikannya kerlingan menggoda. Sam tidak pernah menyangka seumur hidupnya dia akan digoda Hillary. "Dia keren. Kalian tampak cute banget berdua."

"Bill sedang menganga super lebar sambil memegangi burger ukuran dobel dan aku sedang terbahak-bahak sampai mayones di mulutku muncrat ke gelas es teh Bill. Dan kau bilang itu cute?"

"Ini manis kok!" Hillary bersikeras, "Aku juga punya foto semacam ini... diambil saat aku dan Vin—"

Hillary terhenti. Sorot matanya berubah sendu.

Sam merasa ini saat yang tepat untuk mengubah topik. Sambil duduk di hadapan Hillary, Sam bertanya. "Jadi, mengapa kau tiba-tiba datang ke sini? Dari mana kau tahu alamatku?"

"Oh, yeah!" Hillary mendadak ceria lagi, "Aku mencari tahu alamatmu dari buku siswa. Dan aku ke sini karena aku merasa perlu membicarakan sesuatu denganmu."

Oke, apapun ini, aku harus siap.

"Ini soal aku dan kau. Dan... eh, hubungan 'kurang menyenangkan' kita di sekolah." jelas Hillary.

"Oh."

Oke, aku nggak siap.

"Yeah, aku nggak pintar berbelit-belit. Selama ini aku sudah bersikap brengsek padamu." katanya, "Aku minta maaf."

Puji Tuhan.

"Aku tahu." Hillary menambahkan buru-buru, "Kau pasti berpikir bahwa ini bualan atau aku hanya sedang berusaha mengerjaimu, tapi aku bersumpah ini datang dari hatiku."

Dalam hati Sam bertanya-tanya apakah Hillary telah puluhan kali mengulang dialog ini di kamarnya agar dia tidak terlihat bodoh.

"Yah, tebakanmu benar. Aku memang berpikir ini bualanmu." sahut Sam. Hillary tidak tersenyum. Dia meneruskan.

"Aku minta maaf karena aku pernah menghina ibumu. Itu tindakan paling memalukan yang pernah kuperbuat sepanjang hidupku. Dan aku nggak percaya aku bisa-bisanya menguncimu di tangga darurat tempo hari. Kau benar, aku sangat kekanakkan."

Sam diam saja. Dia tidak perlu mengatakan apapun agar Hillary tahu dirinya sepenuhnya setuju atas pernyataannya barusan.

"Dan aku mm, nggak sengaja mendengar percakapanmu dengan Colin Faugere semalam, di kursi penonton."

"Yah..." Sam sudah akan berkomentar, namun perlahan matanya membulat shock. "Kau apa?!"

"Eh... aku duduk persis di belakang kalian." katanya, yang mana menjelaskan semuanya. Sam memutar ulang ingatannya tentang isi pembicaraannya dengan Colin, yang dia yakini sebagian besar melibatkan sistem pengelompokan tanpa keadilan di Dartville, teori idealis Colin... serta akar pertengkarannya dengan Colin.

Sam bahkan yakin dia sempat menyebut-nyebut Hillary.

"Nah." Sam menghela napas pasrah, tidak tahu lagi harus berkata apa, "Kau sudah tahu sekarang tentang semua yang aku—dan Colin—pikirkan."

"Itulah yang mendorongku untuk berada di sini, bicara denganmu sekarang. Perkataan kalian semalam... rasanya aku seperti ditempeleng dari dua arah. Betapa butanya... betapa tololnya aku selama ini."

Hillary tak lagi sanggup membendung air matanya. Dia menangkupkan kedua tangannya di wajah, terisak-isak. Sam hanya menyaksikan pemandangan itu sambil diam. Dia tahu dia tak perlu repot-repot berpura-pura baik menghibur Hillary dengan menepuk-nepuk pundaknya atau semacamnya. Itu memang pantas dia sesali. Dan menurut Sam menangis merupakan awal rasa penyesalan yang cukup bagus. Maka Sam hanya menyorongkan sekotak tisu ke bawah hidung Hillary.

"Trims." dia mengambilnya.

"Kenapa..." Sam bertanya, selagi Hillary membersit hidungnya yang mungil, bahkan pada saat menangis pun dirinya terlihat cantik. "...kau selalu begitu menyebalkan dan kurang ajar selama ini padaku? Kenapa kau melakukannya?"

Mendengar itu, tangisannya makin menjadi-jadi, "Aku nggak tahu, Sam! Nggak tahu!" dia mengakui, "Kau tahu, Vincent nggak pernah benar-benar suka padaku. Rebecca adalah cewek terjalang yang pernah kutemui. Prescott dan Gwen menempeli siapa saja seperti lintah. Aku ini mirip inang yang ditempeli parasit. Hanya saja parasit-parasit ini punya kelebihan untuk membantuku jadi populer. Dan aku jadi terbiasa dengan pola pikir mereka yang dangkal dan menyedihkan!"

Hillary berhenti sebentar untuk cegukan, "Tapi aku bosan, dan... dan aku nggak punya sipapun untuk diajak bicara..."

"Tapi kau Ratu Populer, demi Tuhan." potong Sam tak setuju, "Semua orang praktisnya melihatmu!"

"Orang-orang melihatku sebagai objek untuk diperhatikan, bukan subjek untuk diberi perhatian." Hillary berujar pahit. Dia mendongak menatap Sam dengan mata sembabnya dan berkata lagi, "Aku benar-benar minta maaf."

"'Maaf' karena kau pikir, secara nggak langsung, menyiksaku adalah salah satu cara gilamu untuk memenuhi kebutuhan akan perhatian?"

Hillary menggumamkan 'yeah'-nya pelan sebelum berkata, "Jadi, teman?"

Sam hanya menatap uluran tangan Hillary selama beberapa saat sebelum menyambutnya.

"Entahlah, aku masih belum bisa menghilangkan kata 'nyebelin' dari otakku setiap melihatmu, jujur saja. Tapi..." Sam menggedikkan bahu, "...akan kucoba."

Hillary pulang setelah acara 'peluk-pelukan baikan'nya dengan Sam berlangsung selama kurang lebih dua jam. Mary bersikeras mengajak cewek itu makan siang, sambil mengocehkan bagaimana Sam tidak pernah cerita-cerita bahwa dia memiliki teman secantik Hillary.

Ingin rasanya Sam menjawab, 'Well, Mom, teknisnya kami kan baru berteman barusan' tapi dia mengurungkan niatnya demi menjaga perasaan Hillary. Rasanya aneh memikirkan sesuatu seperti 'menjaga perasaan Hillary'. Selama ini Sam tidak pernah repot-repot memikirkan perasaan cewek pirang itu sedetikpun.

Setelah Hillary pulang, Sam baru menjelaskan masalah ini kepada Mary. Dia menceritakan inti-intinya saja dan mengambil kesimpulan bahwa Hillary kesepian dan butuh teman.

"Tidak ada salahnya kau memulai pertemanan dengannya," Mary berujar sungguh-sungguh, "...menurutku Hillary sepertinya sudah berhasil keluar dari 'jerat setan' dan menemui orang yang tepat untuk diajak bicara. Satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa dia serius adalah dengan melihat bagaimana sikapnya terhadapmu setelah ini."

"...di sekolah." tambah Sam seraya menuangkan kentang tumbuk ke mangkuk Lou. Ibunya benar. Sam harus membuktikan bahwa Hillary tidak main-main dan memastikan bahwa dirinya bukan sedang menjadi bahan lelucon Kaum Paling. Bisa saja Vincent atau Rebecca memasang taruhan apakah Hillary bisa menjadi sahabat baik Samantha Feather dalam waktu tiga hari, misalnya? Sam tidak akan membiarkan dirinya lengah.

Pokoknya, Hillary membuktikan niatnya—apapun itu—dengan menelepon Sam malam harinya. Mereka ngobrol lama sekali sampai-sampai Sam nyaris kehilangan kewaspadaan. Namun apa yang dilakukan cewek pirang itu tidak terkesan sekadar tipu dayanya untuk mengelabui Sam. Mereka ngobrol betulan, nyaris seperti dua sobat cewek yang sudah lama tidak saling menelepon.

"Jadi," Hillary berkata lambat-lambat. Sam bisa mendengarnya sedang meniup kuku-kukunya yang baru dipoles kuteks, "...kau ceritanya marahan nih dengan Colin?"

"Cowok itu bilang aku yang menamai diriku sendiri dengan sebutan 'sampah pengganggu' dan 'pecundang kotor'." jawab Sam, dalam hati menyesal mengapa dia menyinggung-nyinggung kata 'Perancis' sebelumnya, "Dia bilang bukan siapapun yang melakukannya, melainkan diriku sendiri. Dia pikir aku, pemandunya selama seminggu, bahkan nggak bisa 'memandu diriku sendiri' di Dartville."

"Colin menuduhmu menjebloskan dirimu sendiri ke Kaum Hantu?" simpul Hillary dengan presentase akurasi sembilan puluh sembilan persen. Sam mengangguk, kemudian menyadari bahwa dirinya sedang berbicara lewat telepon.

"Yeah. Semacam itu."

"Hmm," Hillary meniup-niup kukunya lagi, "...aku nggak bisa komentar soal itu. Tapi aku tahu satu-satunya orang yang bisa memastikan kebenaran kata-kata Colin. Kau."

Sam tidak menyahut karena dia tahu Hillary benar. Betapa menyedihkannya menerima nasehat pertemanan dari seseorang yang baru saja didepak oleh teman-temannya.

Tiba-tiba Hillary mengerang.

"OKE MOM!" dia berteriak, "Sori Sam, aku harus menyudahi pembicaraan kita yang asyik banget ini. Sampai besok ya!"

"Bye." Sam menutup teleponnya. Dia merebahkan kepalanya di ujung tempat tidurnya sambil mengumpat. Dia menggosok matanya dengan kedua telapak tangannya. Hillary mengatakan hal yang tepat. Satu-satunya yang bisa menentukan perkataan Colin benar atau tidak hanyalah Sam sendiri.

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Dartville, Sam bukannya sudah tahu bahwa dia ditakdirkan untuk menjadi Kaum Hantu. Sam yang memutuskan untuk menjadi Kaum Hantu.

Sam tidak dipaksa siapapun untuk makan siang di tangga darurat. Sam yang memilih untuk makan di sana sepanjang tahun.

Tidak seorang pun pernah memanggil Sam dengan sebutan 'pecundang kotor' atau 'sampah pengganggu'. Sam yang memberikan julukan itu kepada dirinya sendiri.

Dan tidak perlu memperoleh nilai ujian tertinggi seangkatan untuk mengetahui bahwa bukan salah siapapun Kaum Paling terus mengerjainya selama ini.

Sam tahu semua berakar pada dirinya. Letak kesalahan itu ada pada dirinya. Dan dia tidak pantas menyalahkan siapapun.

Karena Colin benar. Cowok itu amat-sangat benar.

Sebagai pelampiasan, Sam berdiri dan menutup gorden jendelanya keras dengan sekali sentak. Dia menahan keinginan keras untuk melirik jendela Colin sedikit saja. Sam memang merasa kesal ketika Bill tidak meneleponnya selama satu bulan ini. Tetapi dia merasa agak berdosa karena jauh lebih uring-uringan akibat tidak mendengar sapaan 'Halo Samantha' dari Colin hanya dalam waktu semalam.



---

"Halo Samantha." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top