Chapter 7
Beberapa minggu berikutnya, Sam mengalami rentetan kejadian mengejutkan dalam hidupnya.
Pertama. Ujian tengah semester akhirnya dilaksanakan. Ajaibnya, walaupun merasa dia mengerjakan soal-soal jahanam itu dengan konsentrasi minimal, dia berhasil mendapat nilai yang jumlahnya menduduki peringkat pertama seangkatan. Mendengar ini, tentu saja Mary sangat bersemangat dan Mrs. Midden tak membuang-buang waktunya lagi untuk menagih setumpuk formulir yang diberikannya pada Sam tempo hari. Dia langsung mendaftarkan Sam ke salah satu penyedia dana beasiswa yang lumayan bergengsi. Dan tak lama kemudian dia mendapat kabar dari kepala sekolahnya bahwa dia diterima.
Tapi itu baru pangkalnya. Tim futbol Dartville bertanding melawan tim profesional wilayah tetangga pada Sabtu malam seminggu setelah ujian berakhir. Sam sebetulnya telah merencanakan malam Minggunya berleha-leha di depan televisi serta memenuhi janjinya untuk membuatkan Tom dan Lou pancake saus buah, namun Mrs. Midden mewajibkan seluruh murid—dengan alasan yang melibatkan sesuatu seperti 'kebersamaan' dan 'rasa saling dukung' atau semacamnya—untuk datang ke pertandingan. Akibatnya Sam mau tak mau harus membatalkan angan-angan malam minggu santainya dan berpikir bagaimana caranya dia bisa pergi ke stadion yang jaraknya lumayan jauh itu tanpa membuang-buang tenaga dan uang.
Dan Tuhan mendengar keluh kesah Sam. Malam hari setelah Mrs. Midden mengumumkan masalah harus-pergi-ke-pertandingan ini, Colin meneleponnya.
"Halo, Samantha." sapanya.
Sam langsung nyerocos menumpahkan kejengkelannya tentang pertandingan ini pada cowok itu, mengatakan bahwa dirinya sangat malas untuk mengangkat pantatnya pada Sabtu malam demi menonton atlet-atlet Dartville sejenis Vincent Brody dan Paul Carlton saling membenturkan bahu di lapangan. Colin kedengarannya tidak begitu sependapat dengan Sam. Dia bilang dia ingin pergi, tetapi kata-kata yang diucapkannya seperti ini;
"Rasanya bakal garing banget jika aku harus pergi sendirian ke sana."
Tuhan Maha Besar.
Ini, demi Tuhan, adalah kejadian mengejutkan yang kedua. Colin terang-terangan mengajaknya ke pertandingan.
Oke, memang nggak terang-terangan. Dia memang nggak menyebutkan namaku secara langsung. Tapi ya ampun, aku kan nggak idiot-idiot amat untuk menangkap maksudnya, batin Sam.
Sam mengalah dengan membuat dirinya seolah-olah terdengar sebagai pihak yang terlebih dahulu menawarkan diri untuk diajak. Percaya atau tidak, setinggi itulah gengsi Colin.
"Rasanya aku kenal seseorang yang cukup malang karena nggak punya transportasi memadai untuk pergi. Kau bisa mengajaknya." saran Sam.
"Siapa?" Colin terdengar menahan tawa.
"Yah... kau sedang ngomong dengannya sekarang."
Kesimpulannya, Colin bilang dia akan menunggu Sam di teras rumahnya Sabtu pukul enam. Sam langsung mengubur dalam-dalam sumpahnya untuk tidak nebeng mobil Colin kecuali pada saat ada badai atau jika sepedanya gepeng terlindas truk.
Sam belum pernah ke pertandingan Dartville manapun sebelumnya, jadi dia tidak tahu apakah ada semacam dress code tak tertulis yang harus selalu dipakai murid-murid pada pertandingan atau tidak. Tahulah, seperti warna merah dan abu-abu untuk SMA tetangga... semacam itu. Dia berusaha tampil senetral dan senormal mungkin. Setidaknya 'normal' menurut Mary. Dia menyarankan Sam mengenakan kardigan krem, blus putih, syal (dia yakin malam ini bakal dingin), jins, dan 'sandal cewek' hadiah Mary untuk ulang tahunnya yang lalu. Sam pun cuma dandan seadanya. Sebenarnya itu sudah cukup 'normal' sampai pada detik-detik terakhir Mary memaksanya untuk duduk diam di depan meja rias dan dia mengeluarkan pengeriting rambut yang dibelikan ayah Sam untuk kado pernikahan mereka sebelum beliau meninggal. Mary menggunakannya untuk pertama kalinya malam ini untuk mengeriting ujung-ujung rambut Sam.
"Aku menyimpannya untuk saat-saat penting seperti ini!" Mary menatap Sam terharu. Sam memutar bola matanya.
"Apakah ini nggak berlebihan?"
"Berhenti mengeluh, kau selalu dan selalu ke sekolah hanya dengan t-shirt dan jins!"
"Mom, aku cuma pergi dengan Colin."
Tapi, Mary hanya melambaikan tangannya di depan wajahnya, "Oh, pergilah sana, dasar kau gadis nggak peka."
Jujur saja, saat Sam tiba di trotoar depan rumah keluarga Faugere dan melihat Colin sedang duduk di tangga teras, Sam harus mengakui cowok itu kelihatan ganteng. Michelle tidak berusaha untuk mengeriting rambut Colin atau sejenisnya, tentu saja, tapi ada sesuatu padanya yang berbeda malam ini. Dia memakai kemeja warna cappuccino yang lengannya digulung sesiku, dipadu dalaman kaus hitam print bergambar radio, kemudian jins dan kets santai.
Ketika melihat Sam datang, Colin bangkit menghampirinya. Pertandingannya dimulai pukul setengah delapan, jadi mereka masih punya cukup banyak waktu untuk...well, mengagumi satu sama lain.
"Apa kau memakai lensa kontak?" tanya Sam, penasaran dengan apa yang membuat cowok itu terlihat begitu oke.
"Nggak. Kenapa?" Colin membantah.
Sam berpikir mungkin hanya pengaruh dari cahaya lampu di kebun keluarga Faugere, atau karena dia kelewat sering melihat Colin melalui jendela kamarnya di kejauhan. "Nggak apa-apa."
Colin lalu berkata, "Rambutmu-"
"Oh, ini kerjaan ibuku." kata Sam buru-buru, "Konyol memang..."
"Nggak kok."
Sam mengangkat alisnya tinggi sekali. Colin menatapnya.
"Kupikir... kau cool." dia bergumam.
Cool.
Oke.
Dan, tuh kan. Pasti ada sesuatu pada mata Colin, karena Sam belum pernah melihatnya begitu... biru. Selama ini dia meyakini warna mata cowok itu adalah abu-abu. Tapi saat ini dia akhirnya berhasil mengenali warna sebenarnya, yaitu biru yang sangat pucat, sangat-sangat pucat hingga mendekati abu-abu. Merupakan suatu keanehan Sam dapat mengetahui ini, mengingat lampu kebun keluarga Faugere tidaklah begitu terang.
Sam pasti terlalu asyik meneliti mata Colin, sampai-sampai dia tidak mendengar Michelle membuka pintu depan dan berjalan ke teras.
"Kenapa belum berangkat?" Michelle berseru, "Kalian bakal terlambat! Hai, Sam! Kau kelihatan cantik!"
Sam menoleh pada Michelle dan tersenyum, "Trims, Michelle! Kata Colin rambut saya cool!"
"Oh!" Michelle menatap anaknya dengan pandangan senang, sementara Colin langsung berbalik dan berjalan menuju mobilnya dengan langkah lebar-lebar.
"Ayo, kita bakal telat." gumam cowok itu jengkel.
Mereka tiba di stadion persis pukul setengah delapan. Tempat parkir sudah nyaris penuh sehingga Colin agak kesulitan mencari tempat kosong. Begitu mereka tiba di kursi penonton di barisan belakang sambil membawa-bawa limun dan popcorn, serta melewati lautan orang yang berteriak-teriak seru ke arah lapangan, pertandingan sudah berjalan sepuluh menit.
Di pinggir lapangan, para cheerleader dengan seragam serba mini mereka-di malam yang lumayan dingin ini-berbaris sambil melakukan gerakan-gerakan loncat-salto untuk menyemangati tim. Pacar Vincent sekarang, si mungil berambut cokelat, rupanya juga telah mengambil posisi Hillary sebagai kapten tim cheerleader. Sam tidak begitu terkejut soal ini, ditambah, dia bisa mendengar seorang cewek yang duduk di depannya—yang rupanya cukup kaget akan hal ini—berbicara pada teman di sebelahnya, "Hei! Bukannya itu Rebecca Hawton? Mana Hillary? Sejak kapan dia jadi kapten?"
"Lebih cepat selesai lebih baik. Aku bahkan nggak melihat Mrs. Midden dengan daftar hadir untuk mencatat nama kita." kata Sam sambil duduk.
"Yeah," Colin menggumam, "Sial, tempat duduk kita nggak enak."
Benar juga, Sam nyaris tidak bisa melihat ke arah lapangan karena orang-orang di depannya sebentar-sebentar berdiri dan berteriak, membuatnya jantungan.
"Sori deh." Sam meminta maaf.
"Kenapa kita nggak duduk agak ke depan?"
"'Agak ke depan' itu, Colin, adalah kursi Kaum Paling."
"Sori?" tanyanya takut salah dengar.
Daripada mengerahkan upaya sia-sia untuk melihat jalannya pertandingan, Sam mencoba menjawab pertanyaan Colin.
"Kurasa hal ini nggak ada di buku panduan yang diberikan Mrs. Midden untukmu, jadi akan coba kujelaskan. Barisan depan terisi guru-guru," Sam memulai. Mereka bisa melihat Mrs. Midden mengenakan topi dan syal biru berlambang Dartville sedang berdiskusi seru dengan guru olahraga, Mr. Grunt. "...sementara barisan di belakangnya didominasi para orangtua murid, yang kebanyakan merupakan sosialita dan 'petinggi-petinggi' Dartville, di antaranya pasti telah memberi kontribusi atau sumbangan yang jumlahnya lumayan besar untuk sekolah."
Colin melihat dua barisan itu dan mengangguk. Maka Sam meneruskan.
"Di belakangnya, adalah markas Kaum Paling. Lumayan mudah mengenali mereka, cukup tambahkan kata 'paling' di depan beberapa kata sifat berkonotasi positif. Berlaku untuk cewek atau cowok. Kau bisa coba paling populer, paling cantik, paling langsing, paling hot, paling kocak, paling pirang, dan paling-paling lainnya. Kau akan menemukan semuanya di sana."
Cowok itu memperhatikan barisan Kaum Paling dan menaikkan sebelah alisnya, mengomentari dengan nada menyindir. "Kedengarannya sempurna."
Sam mendengus, "Di depan kita adalah barisan Kaum Cukup. Kumpulan murid yang biasa-biasa saja. Tidak disukai namun tidak dibenci. Tidak mencolok namun tidak tenggelam. Tidak berprestasi tapi juga tidak bloon. Jumlah mereka tidak banyak, tapi tidak sedikit."
Sam lalu menunjuk kursi-kursi di pinggiran Kaum Cukup. Hampir semuanya berpakaian serba gelap dan datang sendiri. "Itu, adalah Kaum Mars. Kumpulan orang aneh. Maniak game terparah, kutu buku tingkat mengkhawatirkan, sampai calon pengedar obat-obatan terlarang ada di situ."
Di antara Kaum Mars, Sam dapat melihat Bryan Well, yang jelas-jelas tidak well karena sudah dua kali diskors hanya dalam setengah semester. Cowok ceking itu duduk dengan ekspresi campuran antara teler dan bosan setengah mati.
"Dan... di sini adalah?"
Sam menghela napas berat.
"Kaum Hantu. Tidak dianggap ada, tidak diinginkan, tidak terlihat. Aku malah yakin nggak akan ada yang sadar jika separuh dari kaum ini, misalnya, menghilang diculik alien besok pagi."
Colin menatapnya, "Lebih parah dari Kaum Mars?"
"Lebih parah dari itu."
Selama beberapa menit mereka tidak berbicara. Sam yakin Colin sedang mencerna semua informasi yang panjang-lebar dijelaskannya barusan.
"Di mana keadilan?"
"Selamat datang di Dartville High." sambut Sam ironis.
Bagian tempat duduk Dartville tiba-tiba ber-'huuu' ria. Rupanya telah terjadi kecurangan. Sam bisa melihat Vincent Brody tengah beradu mulut dengan salah satu pemain lawan. Wasit buru-buru menengahi, yang berakhir dengan Vincent membanting helmnya dan berjalan penuh emosi ke ruang ganti, diikuti Rebecca Hawton. Pelatih tim futbol Dartville, Mr. Brings meminta time out. Permainan akhirnya dihentikan sejenak, membuat lapangan sepi dan penonton sibuk berdiskusi.
Tapi Colin nampaknya sudah tidak tertarik pada entah-apa yang barusan terjadi. Pandangannya masih menerawang ke depan, dan detik berikutnya dia berkata dengan dinginnya, "Kukira hal-hal semacam ini hanya terjadi di film-film. Dan kalaupun hal ini betulan terjadi, bukankah seharusnya ada yang berusaha menghapuskan sistem pengelompokan konyol ini? Memberikan julukan 'kaum ini-kaum itu'... aku nggak percaya Dartville sedangkal itu."
Sam agak kagum mendengar tanggapan Colin yang jelas-jelas mencibir itu, "Sistem ini mau nggak mau menempel di bajumu selama kau masih berstatus sebagai murid Dartville High. Memang dangkal dan menyedihkan. Tapi apa sih yang bisa dihasilkan satu orang jagoan yang melawan tirani?"
"Satu orang jagoan?" ulang Colin. Sam mengangkat bahu.
"Yah, seorang idealis sepertimu. Yang percaya bahwa Dartville bisa lebih baik dan suatu saat akan lebih baik."
"Sudah saatnya ada yang berusaha." Colin tampak yakin.
"Nah, kau bisa mencalonkan diri jadi Ketua Murid tahun ini dan ngasih pidato penyambutan murid baru yang melegenda dan membuat napas-napas tertahan atau apalah..."
"Aku hanya jago ngoceh di telepon."
Keduanya tertawa. Waktu time out telah berakhir. Satu persatu pemain kembali ke tengah lapangan. Wasit meniup peluit dan permainan kembali dimulai. Tapi seperti halnya Colin, Sam sudah tidak terlalu peduli lagi dengan jalannya pertandingan.
Colin kembali meneruskan, "Kau tahu, sebetulnya aku memang sudah merasakan pengelompokan konyol ini, bahkan pada hari pertamaku di Dartville. Di kantin. Semuanya seolah-olah sudah terkotak-kotak. Aku mungkin malah bisa menandai batas-batasnya."
"Aku melihatmu oke-oke saja di mejamu di hari pertama. Kau dikelilingi beberapa dari Kaum Paling."
"Well, rupanya aku nggak cukup Paling bagi mereka." Colin memutuskan cuek.
"Oh ya? Apakah mereka sendiri yang bilang padamu bahwa kau nggak cukup Paling?"
Colin mengatupkan bibirnya.
"Dan apakah mereka yang memaksamu untuk makan di tangga darurat?"Sam menambahkan.
"Bukan."
"Kau yang menyia-nyiakan kesempatanmu untuk menjadi Kaum Paling sejak hari pertamamu menginjakkan kaki di Dartville. Kasus ditutup." simpul Sam. Colin meletakkan gelas limunnya dengan gusar.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" tanyanya.
Sam menghela napas lagi. Rasanya semua alasan dan bukti sudah terkumpul di kepalanya, hanya saja memaparkannya dalam bentuk kata-kata agar Colin mengerti rasanya sungguh sulit.
"Jujur saja nih," ungkap Sam akhirnya, "...tampangmu oke. Kau pindahan dari Perancis, tapi bahasa Inggrismu perfecto. Kau tipe yang nggak banyak tingkah, dan kau bawa mobil. Intinya kau adalah perwujudan cowok ideal untuk ukuran Dartville."
Oke. Sam sudah mengatakannya, maka dia tidak punya pilihan lain selain meneruskan dan menumpahkan semuanya.
"Masalahmu adalah, kau begitu sinis dan tertutup. Tambahan, kau menolak bergabung dengan Kaum Paling. Ingat insiden di bus saat Hillary bilang padamu kau seharusnya duduk jauh-jauh dariku? Nah, anggaplah itu salah satu sinyal bahwa mereka sudah coba merekrutmu sejak awal. Kurasa pantauanku nggak akan meleset."
Alih-alih memprotes Sam dengan mengatakan, 'aku sinis dan tertutup?!' atau sejenisnya, Colin malah bertanya, "Jauh-jauh darimu?"
Sam mendesah, "Colin... aku ini Kaum Hantu, ingat? Mereka hanya ingin merekrutmu, aku ini hanya sampah pengganggu."
"Nggak bisakah kau berhenti menyebut dirimu seperti itu?" Colin tampak geram, dia menyisiri rambutnya frustasi. "'Sampah pengganggu'. 'Pecundang kotor'. Apa lagi akan kausebut dirimu?"
Stadion bersorak riuh rendah, namun hanya suara Colin yang terdengar jelas bagi Sam saat ini, yang lainnya terdengar amat pelan dan jauh.
"Dan apa-apaan itu istilah 'merekrut'? Mereka pikir siapa mereka? Semacam tim penyelamat kepribadian paling hebat di dunia? Karena itukah mereka jadi Kaum Paling?"
Colin menatap Sam. Mata biru yang luar biasa pucat itu menatap Sam dengan cara yang belum pernah dilakukan siapapun terhadapnya.
"Samantha," nada suara Colin melembut, tidak seemosi sebelumnya. "...kau boleh berpendapat bahwa Kaum Paling nggak mencoba... 'merekrutmu' karena kau ini sampah pengganggu. Tapi pendapatku, kau sendiri yang memilih untuk menjadi sampah pengganggu."
Suara riuh stadion seolah berdenging memenuhi kepala dan telinganya lagi seusai perkataan itu diucapkan. Sam berdiri, dengan tangan gemetar dan rahang dirapatkan. Popcorn-nya jatuh dan berhamburan. Dia berjalan menerobos kerumunan yang tengah bersorak-sorai. Papan angka memberitahunya bahwa Dartville menang, hanya dengan selisih tipis. Dia bisa mendengar suara Colin memanggil-manggilnya dari belakang, namun Sam mempercepat langkahnya hingga dia nyaris berlari. Dia menabrak lutut-lutut penonton yang sedang duduk di kursi dan beberapa yang berpapasan dengannya selama menuju pintu keluar.
Sam berlari sepenuhnya menuju jalan raya sekarang. Dia mengutuk dirinya sendiri karena memakai sandal alih-alih kets. Angin malam yang dingin menerpa wajah dan rambutnya yang sudah susah payah dikeriting ibunya.
"Samantha!" Colin rupanya masih berusaha menyusulnya, nada suaranya terdengar kesal.
Kini Sam sudah melewati lahan parkir, namun bukannya berhenti pada Corolla Altis hitam milik keluarga Faugere, dia terus berlari.
"SAMANTHA!" Colin berteriak.
Sam berhenti. Dia diam saja, dia bisa mendengar dirinya sendiri mengatur napas, begitu pula Colin yang berhenti agak jauh di belakangnya.
"Memilih kabur dan menangis di pojokan kamarmu?" kata Colin agak terengah. Sam bergeming. Matanya masih kering, dia mati-matian menahan diri agar bendungannya tidak jebol hingga tenggorokannya serasa dicekik. Tak juga menerima respon, Colin berkata lagi, "Kau tahu aku benar-"
"Oh, diamlah!" Sam berteriak. Dia berbalik, pada akhirnya menatap Colin, "Siapa sih kau? Kau nggak tahu apa-apa tentangku."
Colin hanya menggeleng-geleng sinis, "Yeah. Kau juga nggak tahu apa-apa tentangku. Tapi aku nggak pernah menyuruhmu menutup mulut setiap kau memberikan pendapatmu tentangku."
"Jangan ganggu aku, oke?" Sam tidak tahan lagi, dia berbalik dan berlari lagi.
Kali ini Colin tidak berusaha menyusulnya, dia hanya berseru dari tempatnya berdiri dengan nada luar biasa dingin, "Kau pemanduku, tapi bisa nggak sih kau memandu dirimu sendiri di Dartville?!"
❧
---
C'mon, Sam. You're better than this :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top