Chapter 6
Sam yakin dia akan terlambat pulang sore itu. Mrs. Midden rupanya teringat bahwa tempo hari Sam pernah menanyainya soal beasiswa. Jadi hari ini kepala sekolahnya itu sudah mempersiapkan brosur, formulir, dan segala macam di atas meja kerjanya dan menyodorkan itu semua ke bawah hidung Sam.
"Aku merekomendasikanmu menjadi salah satu calon penerima beasiswa untuk tahun depan." katanya sambil mengacung-acungkan salah satu kertas formulir berwarna kuning cerah, "Pastikan untuk mendapatkan A untuk setiap mata pelajaranmu tahun ini!"
Dan Sam hanya bisa menelan ludah.
Mrs. Midden sebetulnya sangat baik, Sam berpikir sambil berjalan menuju sepedanya di lapangan parkir yang sudah sepi, hanya saja dia bisa jadi sangat menuntut di saat-saat seperti ini.
Sam sedang menaruh tumpukan formulir yang dihadiahkan Mrs. Midden untuk dibacanya di rumah ketika dia mendengar suara seperti orang sedang beradu mulut. Tak lama, pintu gedung gimnasium terbuka. Hillary keluar dari sana dan menyeberangi lapangan dengan banjir air mata. Rambut pirang halusnya melambai-lambai di belakangnya ketika dia berlari menuju pelataran parkir mobil. Tepat saat cewek itu melesat pergi, Vincent Brody keluar dari pintu, mengangkat kedua tangannya frustasi dan berteriak "AYOLAH!" dengan putus asa. Di belakangnya, salah seorang sobat karib Hillary—yang selama ini selalu dikenali Sam sebagai cewek mungil berambut cokelat ikal—tampak agak terguncang. Dia dan Vincent bertatapan selama beberapa detik, mengucapkan sesuatu, dan saling berpelukan.
"Pahitnya cinta segitiga." gumam Sam dengan nada penuh sesal sambil menaiki sepedanya.
Dalam perjalanan pulang Sam jadi memikirkan Hillary.
Bagaimana rasanya dikhianati oleh temanmu sendiri? Pasti berat bagi cewek itu, mengingat selama ini dia selalu mendapatkan apa yang dia mau dan hidup dikelilingi kesempurnaan.
Sam membayangkan dirinya, sedang menangis di hadapan Bill dan seseorang yang berdiri di sampingnya (wajahnya digelapkan), dan Bill mengocehkan sesuatu tentang bagaimana selama ini dia hanya menganggap Sam sebagai adik pempuannya. Sammy manis yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.
Nyaris saja Sam melindas seekor kucing yang tiba-tiba melintas di depannya gara-gara pikiran konyol itu. Dia menggeleng-geleng dan kembali mengayuh. Dia berusaha menyibukkan pikirannya dengan memikirkan apa menu makan malam hari ini.
Pukul sebelas, Sam sedang asyik mengisi formulirnya ketika Mary mengetuk pintu kamarnya dan melongokkan kepalanya.
"Telepon untukmu."
Sam langsung melesat dari tempat tidurnya untuk mengambil pesawat telepon, wajahnya cerah. "Dari Bill?"
Mary menaikkan alisnya tinggi sekali, "Dari Colin."
Sam langsung melorot lemas di kursinya.
"Kupikir Bill sudah nggak zaman." ledek Mary, dia menutup pintu tepat sebelum bantal yang dilempar Sam mengenainya.
"Apa?" sepertinya Sam berbicara pada pesawat teleponnya agak terlalu ketus, karena dia bisa mendengar Colin menarik napas kaget.
"Kenapa sih kau?" tanyanya tak kalah ketus.
"Sori..." Sam memijat-mijat dahinya, "Cuma... lupakan saja. Masalah cewek."
"Oh." Colin terdengar berusaha mengerti, tapi Sam yakin sekali dia salah mengerti.
Diam lama.
"Jadi?" kata Sam tak sabar, "Jika kau ingin menyampaikan sesuatu, ngomonglah. Aku nggak bisa telepati."
Colin tertawa.
Sam tidak memercayai pendengarannya. Tapi cowok itu tertawa. Pada akhirnya Sam bisa membuat Colin TERTAWA.
Ada apa dengan sih dengannya? Dia selalu tampil dengan sikap nyebelin dan luar biasa sinis, tapi akhir-akhir ini dia sering melakukan hal di luar dugaan.
"Kau tertawa." kata Sam. Mendengar itu, tawa Colin malah semakin keras.
"Kenapa memangnya?"
"Kenapa kau nggak melakukannya sering-sering? Rasanya nggak adil aku selalu melihatmu dengan tampang ditekuk di sekolah. Apalagi aku rasa belakangan ini kau mendiamkanku. Dan sekarang kau tertawa di teleponku."
"Hanya perasaanmu." Colin menampik pernyataan Sam seolah-olah itu hal sepele. Sam memutar bola mata. Di samping keberadaan cewek yang dikenal sebagai makhluk yang sangat rumit, cowok ternyata makhluk yang sangat aneh.
"Aku nggak ngerti jalan pikiranmu, dan jangan coba jelaskan. Aku juga nggak mau repot-repot memahaminya." Sam lalu mematikan lampu mejanya.
"Kau sudah mau tidur?" Colin terperanjat.
"Apa? Belum, aku hanya mematikan... hei." Sam terhenti, "Bagaimana—? Kenapa..."
"Aku hanya bertanya." kata Colin cepat.
"Bukan... nadamu tadi nggak seperti bertanya. Kau seperti melihat..."
Sam memutar badannya dan melangkah ke jendela. Dari situ, jika menengok ke arah jam dua, walau sedikit tertutupi dedaunan pohon citrus, rumah keluarga Faugere terlihat cukup jelas. Tentu saja, jaraknya hanya lima puluh meter. Seluruh lampunya sudah mati, terkecuali salah satu jendela di sisi rumah yang menghadap ke jendela Sam. Sam menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas. Di jendela yang masih menyala itu, tampak Colin melambai singkat. Satu tangannya sedang memegangi telepon.
"Aku nggak percaya ini! Kau memata-mataiku!" dia memekik pada telepon.
"Apa? Yang benar saja!" sahut Colin ngeri.
Sam benar-benar syok. Selama ini jendela kamarnya ternyata terlihat sangat jelas dari jendela kamar Colin. Walaupun citrus di halaman rumahnya tumbuh lumayan subur, posisinya tidak cukup menghalangi jendela Sam dari pandangan. Dalam hati Sam amat bersyukur dia memiliki kebiasaaan berganti baju di kamar mandi.
"Apa kau pernah melihatku melakukan hal memalukan? Seperti...seperti berjoget-joget di atas kasur atau sejenisnya?"
"Tidak... untungnya belum." Sam benci ini karena dia bisa melihat samar-samar tampang Colin di kejauhan saat mengucapkannya.
"Mulai sekarang aku akan mengingatkan diriku untuk selalu menutup gorden sepanjang hari."
"Memangnya kerjaanku hanya memelototi jendelamu?" Colin sengit, "Lagipula rumah kita bukannya terletak bersebelahan atau apa. Kebetulan norak semacam itu hanya terjadi di film-film."
"Sudah berapa lama kau sadar soal ini?"
"Jendela, maksudmu? Sejak aku tahu itu rumahmu. Tapi aku nggak tahu itu ternyata memang jendelamu."
Sam menangkupkan satu tangannya di wajahnya. Ini sangat memalukan. Dia bersyukur Colin tidak berada cukup dekat untuk dapat melihat pipinya memerah.
"Kau menyebalkan." ucap Sam.
"Kau sudah pernah bilang padaku sebelumnya, trims."
"Yeah, tapi ini kayak... yang paling menyebalkan yang bisa kauperbuat!"
"Wow, tunggu. Kan bukan aku yang membangun rumah dan membuat jendela ini."
Semakin hari Colin nampaknya semakin pintar beradu mulut. Sam melongok ke luar jendelanya lagi dan mendapati kepala Colin masih menyembul di jendelanya yang terbuka, rambut hitamnya mencuat berantakan karena tertiup angin.
"Kau benar. Tapi setidaknya kau memperingatkanku dari jauh-jauh hari. Kau tahu, sungguh nggak menyenangkan mengetahuinya dengan cara seperti ini." kata Sam.
"Jadi, aku harus bagaimana? Mencolek bahumu dan berkata, 'Hei. Jendela kamarmu kelihatan dari kamarku, jadi sebaiknya kau berhati-hati mulai sekarang dan tutup gordenmu sepanjang waktu.' Begitu?" timpal Colin.
"Yah... itu memang membuatmu jadi kedengaran lebih nyeremin." Sam setuju.
Benar-benar aneh rasanya bagi Sam mendapati dirinya menghabiskan satu jam kemudian mengobrol dengan Colin. Percaya atau tidak, cowok itu ternyata senang sekali berbicara. Dia membahas apa saja, mulai dari pelajaran hingga bagaimana sepeda tua milik Sam bisa berderit separah itu. Merupakan kejutan pula bagi Sam karena Colin merupakan partner bicara yang sangat asyik. Kebanyakan mereka memang berdebat, namun topik-topik yang tak sengaja 'tersenggol' oleh mereka di sela-sela obrolan langsung dapat berubah menjadi bahan pembicaraan baru yang menyenangkan dan tidak membosankan. Dan kalau Mary tidak menyerbu masuk kamar Sam dan berteriak 'Lihat jam berapa ini!', mungkin keduanya bisa melanjutkan obrolan hingga besok pagi.
Ketika bertemu dengan Colin keesokan harinya di sekolah, dia ternyata—tidak seperti yang Sam harapkan—tidak banyak berubah. Dia masih tidak banyak berbicara dan masih bersikap cuek. Memang ada perbedaan pada caranya menghadapi Sam, cowok itu kini sudah jauh dari istilah antipati dan lebih sering balas memandang Sam ketika diajak bicara.
Dan Colin masih makan di tangga darurat, tentu saja. Namun dia tidak lagi berada di lantai tiga, dia sekarang sudah duduk di anak tangga teratas lantai dua, dengan Sam makan hanya beberapa anak tangga di bawahnya, kebanyakan sambil membahas buku-buku atau film, terkadang Colin membicarakan seperti apa Perancis dari sudut pandangnya.
Selama ini Sam selalu ke mana-mana sendirian, dan dengan kehadiran Colin di dekatnya beberapa hari ini hampir pasti akan menyebabkan cowok itu turut dijebloskan ke Kaum Hantu. Well, memang tidak sedrastis itu, pasalnya terkadang Sam masih memergoki beberapa siswi memandangi Colin dengan tatapan mengagumi dan kebanyakan siswa juga masih sering mengobrol dengannya.
Yang jelas, dengan begini Colin sudah positif tidak akan mendapatkan predikat apa-apa di buku tahunan ketika mereka lulus nanti.
❧
Pelajaran ketiga di hari itu sungguh membuat Sam ngantuk luar biasa. Hawa di kelas pengap dan panas sehingga dia sampai harus ijin ke toilet untuk mencuci muka. Sam sedang berdiri di depan wastafel, mengoleskan pelembap pada bibir ketika dia mendengar suara isakan dari dalam salah satu bilik toilet di belakangnya.
Tangisan itu benar-benar kecil dan pelan, seolah siapapun itu tidak ingin suaranya sampai terdengar ke luar. Tapi sekeras apapun cewek itu berusaha, emosinya pastilah sedang benar-benar terguncang hingga dia tidak bisa mengontrol isakannya.
Sayangnya, Sam tahu persis siapa yang berada di dalam bilik itu.
"Hillary?" Sam mengetuk pelan pintu bilik, "Kau baik-baik saja?"
"Siapa itu?" Hillary menyahut dari dalam dengan suara sengau.
"Sam."
"Tinggalkan aku sendiri!" dia berseru marah. Sam sudah menduganya.
"Nggak masalah. Tapi sebaiknya kau cepat kembali ke kelas karena habis ini bakal ada kuis."
Sam meninggalkan toilet dan kembali ke kelas. Hillary kembali beberapa menit kemudian, tepat ketika lembaran kuis sedang dibagi-bagikan. Matanya agak bengkak dan sembab, namun make-up nya yang luar biasa nyaris mampu menyamarkan itu.
Sam mungkin cukup paham mengapa Hillary sering menghabiskan waktunya di dalam bilik toilet belakangan ini. Cewek itu sudah menghadapi skenario terburuk di masa SMA-nya. Pacarnya berkhianat dengan sahabat baiknya. Belum lagi, Sam sering mendapati cewek pirang itu duduk sendirian di kantin, di sudut ruangan terjauh, sementara 'mantan' teman-temannya masih menempati pusat ruangan, sama ceria dan sama berkuasanya seperti dulu. Ini menguatkan dugaan Sam bahwa Hillary sudah didepak begitu saja dari Kaum Paling. Hillary telah kehilangan pacar dan sahabat baiknya sekaligus perannya sebagai ketua geng populer di Dartville. Walaupun Tuhan masih cukup baik padanya karena dia belum kehilangan kecantikan, kekayaan, dan keangkuhannya.
Sam seharusnya merasa puas karena keadilan akhirnya ditegakkan. Hillary sekarang merasakan apa yang sering Sam rasakan. Makan sendirian, tidak punya teman untuk mengobrol, tidak punya kedudukan, tidak punya pacar. Tapi nyatanya yang sekarang menyeruak ke permukaan hanyalah rasa simpati terhadap cewek malang itu. Ibaratnya, Sam memang sudah berada di dasar jurang sejak awal, sementara Hillary 'didorong' hingga jatuh ke dasar jurang oleh teman-temannya sendiri.
Sementara itu, Sam merasa agak berdosa soal beasiswanya. Tiga minggu lagi akan diadakan ujian tengah semester. Sam sudah berjanji pada Mary dan Mrs. Midden untuk menaikkan angka-angkanya demi beasiswa, dan sejujurnya Sam juga sangat tidak ingin mengecewakan mereka. Namun dengan kebiasaan barunya akhir-akhir ini—ngobrol di telepon hingga larut malam dengan Colin alih-alih belajar—dia tidak bisa menjamin nilai ujiannya akan meningkat. Dia sudah berulang kali mengingatkan dirinya untuk mengakhiri pembicaraan lebih awal, namun bicara dengan Colin itu seperti dihipnotis. Sam malu mengakui ini, tapi dia sudah sangat terbiasa dengan suara Colin. Dia sampai hapal gaya bicaranya, logat Perancisnya yang kadang masih terselip, hingga bagaimana cara cowok itu mengatur napasnya ketika sedang tertawa.
Seperti malam ini. Setelah kehabisan napas karena terbahak-bahak membicarakan soal akting buruk para artis di salah satu serial televisi payah yang anehnya mereka berdua ikuti, Sam dan Colin hanya diam. Mereka tidak berbicara sepatah-katapun, tetapi mereka masih terus memegangi gagang telepon, merasa nyaman dan tidak canggung dengan 'jeda diam' itu.
Sam sendiri sedang mengerjakan esai Sejarah, sementara begitu ditanya Sam, Colin menjawab bahwa dia sedang mengisi teka-teki silang karena esainya telah selesai, sambil berkata begitu dia menunjukkan buku tipis dan pensil ke luar jendela kamarnya agar Sam bisa melihat.
Berbicara tentang teka-teki, Sam ingat dirinya pernah memberi julukan Teka-teki Dunia Colin padanya, karena kehidupan cowok itu selalu dipenuhi misteri.
"Ngomong-ngomong, aku ingat kau pernah bilang bahwa kau kesal padaku." celetuk Sam, mengakhiri 'jeda diam' di antara mereka.
"Ayolah, kau masih mengungkit-ngungkit itu?" sahut Colin jengkel.
"Aku nggak bicara soal kesal padaku. Tapi, waktu itu kau juga bilang kau kesal pada kepindahanmu dan orangtuamu."
Kali ini Colin tidak menyahut. Sam melongok ke jendela dan melihat samar-samar bahwa cowok itu masih mendengarkannya.
"Kau mau bicara soal itu?" tanya Sam hati-hati. Bisa saja ini topik sensitif bagi Colin.
"Entahlah." kata Colin, lambat dan ragu-ragu, "Karena ini kau, mungkin. Tapi nggak sekarang."
'Karena ini kau'? Sam mengulang dalam hati. Apa maksud dari nada ganjil saat Colin mengucapkan kata 'kau'?
"Aku nggak memaksa." Sam mengingatkan. Kemudian dia mendengar derap langkah kaki ibunya mendekat, Sam buru-buru berbisik, "Ups, Mom bakal marah. Sudah dulu ya. Sampai besok!"
Sam melongok dan melambai ke luar jendela. Dia memergoki Colin tengah memegangi gagang telepon sambil menatap ke arahnya. Walaupun jauh, Sam dapat melihat senyuman yang mengembang di wajah cowok itu.
"Sampai besok, Samantha."
Sam buru-buru mematikan teleponnya dan melompat masuk ke balik selimut. Sedetik kemudian Mary masuk, mengira Sam sudah tidur, dia mengambil telepon dan keluar lagi. Meninggalkan Sam yang senyum-senyum sendiri di dalam selimutnya.
❧
---
Cie cie :}
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top