Chapter 5
Kamis malam. Angin kencang berhembus menggoyangkan dahan-dahan pohon citrus keluarga Feather dan hujan turun lumayan deras. Padahal biasanya cuaca selalu hangat dan cerah. Di garasi rumah itu terparkir sebuah Corolla hitam, milik siapa lagi kalau bukan Colin sekeluarga.
"Tadinya kami ingin jalan kaki saja, tapi dengan hujan seperti ini, berjalan kaki ke rumah kalian sambil menenteng-nenteng pai daging tentu bukan ide bagus." kata Michelle sambil melipat payungnya yang basah di teras. Tom menyambut pai daging itu dengan riang gembira.
"Asyik! Ada pai!" Tom berlari ke dalam dan meletakkan pai itu di atas meja yang sudah tertata rapi, hasil jerih payah Sam.
"Oh, harusnya kalian tidak perlu repot-repot. Aku yang mengundang kalian makan malam." kata Mary.
"Ah, lupakan. Ngomong-ngomong ini Colin, dia satu sekolah dengan Sam." Michelle menyentuh bahu Colin dan cowok itu menyalami Mary, "Dan ini Phillippe, suamiku."
Phillippe menjabat tangan Mary dan Sam sembari menyapa ramah, "Halo."
Tidak seperti Michelle, Phillippe nyaris tidak terdengar, atau terlihat, seperti orang Perancis. Posturnya tinggi dan lumayan tegap, rambutnya sewarna kayu mahoni dan sekarang Sam tahu dari mana Colin mewarisi mata kelabunya yang teduh. Namun jelas Colin jelas bukan mewarisi warna rambutnya dari ayahnya. Dia mewarisinya dari Michelle.
Setengah jam kemudian, piring-piring dan meja makan sudah terisi dengan berbagai jenis makanan lezat dan pencuci mulut menggiurkan. Meja makan keluarga Feather berbentuk bundar dan tidak terlalu besar, tapi entah bagaimana mereka bertujuh dapat makan bersama di situ dengan nyaman. Phillippe rupanya tipe pria yang berselera humor tinggi, Sam berulang kali tersedak akibat menahan tawa karena lelucon yang dilontarkannya, mengakibatkan Mary harus berulang kali menyikutnya di bawah taplak meja. Michelle mengobrol dengan Mary, bercerita bahwa suaminya memang memiliki darah Amerika dari ibunya. Tidak mengherankan logatnya begitu sempurna dan bakatnya itu rupanya menurun pada Colin.
Di suatu selang saat Sam sedang memperhatikan Colin yang kebetulan duduk di sebelah Lou, dia mendapati Colin mengambil potongan terakhir puding karamel yang diinginkan Lou. Lou menarik-narik ujung kaus Colin. Rupanya cowok itu menyadari tatapan penuh harap Lou, dan bertanya, "Kau mau ini?"
Lou mengangguk, dan segera saja piring plastiknya terisi lagi dengan puding milik Colin.
"Keleeen. Telima kasih!" Lou tersenyum dan melahap puding itu dengan gembira. Pemandangan yang membuat Sam takjub sekaligus sakit hati.
"Dia bahkan nggak pernah bersikap semanis itu padaku!" protes Sam agak tidak terima, "Kau biasanya langsung berteriak-teriak dan merebut sesuatu dariku."
Lou hanya menjulurkan lidah penuh saus karamelnya pada Sam, diiringi cengiran Colin.
Pada pukul setengah sembilan malam, ketika akhirnya piring-piring sudah kosong, perut-perut terisi penuh, dan hujan sudah reda, Mary mengajak Michelle dan Phillippe ke ruang keluarga. Sepertinya Michelle tertarik dengan baju-baju jahitannya yang dipajang di rak gantung. Sementara itu Tom dan Lou bermain ular tangga di ruang televisi, ditonton oleh Colin dan Sam. Lou bermain sembarangan—mengingat dia masih dua setengah tahun—dan Tom akhirnya putus asa. Setelah selesai menidurkan kedua adiknya, Sam turun lagi ke ruang televisi, mendapati Colin sudah tidak ada di sana.
Sam mencarinya ke dapur dan ruang keluarga, tempat ibunya dan pasangan Faugere tengah membicarakan bisnis. Colin tidak ada di mana-mana, sampai akhirnya Sam melongok ke luar jendela dan menemukannya sedang duduk di atas pagar halaman.
"Ngapain kau gelap-gelapan di sini?" Sam keluar dan menghampiri cowok itu sambil merapatkan jaket. Di luar udaranya dingin dan rumput yang diinjaknya masih basah. Colin duduk menghadap jalanan. Sam berhenti di belakangnya.
"Rumahku kelihatan dari sini." ucap Colin seraya memandangi rumahnya di kejauhan.
Sam bergidik, "Apa kau nggak kedinginan? Ayo masuk."
Dia sudah berbalik hendak melangkah kembali menuju teras ketika Colin tiba-tiba memanggilnya.
"Oi."
Sam menoleh lagi, "Apa?"
"Kenapa kau bersenandung di mobil kemarin, ketika aku mengantarmu pulang?" Colin memandanginya.
Andai Sam tidak mengenal Colin, mungkin dia akan kebingungan sebentar. Lalu memutuskan untuk menjawab seadanya dan langsung kembali ke dalam rumah. Tapi tiga hari menjadi pemandu Colin rupanya cukup membuat Sam jadi mengetahui gelagat cowok itu. Ada sesuatu pada nada dan tatapan Colin yang menyiratkan bahwa dia ingin Sam tetap di situ dan mendengarkannya.
Pendek kata, Colin sedang ingin ngobrol.
Merasa bertanggung jawab sebagai pemandu yang baik, Sam duduk di sebelah Colin, berhati-hati agar celananya tidak basah terkena bekas air hujan, "Aku membuat Hillary shock dengan muncul tepat waktu di kelas Sastra. Kau harus lihat tampangnya. Dia mengira aku sedang meringkuk di dasar tangga darurat dan nangis kayak bayi."
"Andai aku nggak ada di sana, kau pasti sudah nangis kayak bayi."
Sam sudah akan membantah cibiran Colin barusan, tapi kemudian dia sadar itu benar, "Yeah, mungkin. Kalau kau dan ide gilamu itu nggak ada, aku mungkin masih terjebak di sana sampai sekarang. Ibuku bakal menelepon 911 dan Dartville bakal heboh ditempeli garis polisi."
"Yah," Colin mendengus, "...kenyataannya kau toh cukup berani untuk melompat. Dan cukup sigap menunjukkan jalan masuk belakang. Keren juga."
Sam mau tak mau merasa agak tersanjung atas perkataan Colin. Bagaimanapun cowok itu tidak kelihatan seperti tipe yang senang memuji.
"Tapi bagaimana kalau aku nggak berhasil mendarat di atas bak sampah waktu itu?" Sam mengungkit dengan sewot.
"Aku sudah menangkapmu, kan?"
"Maksudku 'bagaimana kalau'..."
Cowok itu hanya mengangkat bahunya dan menjawab enteng, "...paling hanya patah tulang."
Colin yang cukup-menyenangkan berubah kembali menjadi Colin yang menyebalkan.
"Trims, kalau begitu." kata Sam.
"Sama-sama." sahut Colin sinis.
"Nggak, aku serius. Trims. Kau berhasil mencegahku gagal ikut ujian Sastra. Oh, dan juga untuk sepedaku."
Colin keheranan campur terkejut.
"Bagaima—?"
"Michelle bilang padaku kau yang memperbaikinya. Setelah kupikir-pikir, mungkin itu sebabnya kemarin kau salah jadwal, menyetir di lajur yang salah, dan terlihat berantakan. Kau pasti bergadang untuk menyelesaikan perbaikannya dan ngantuk berat pagi harinya." ujar Sam sok tahu.
Terdengar suara tawa Mary dan Michelle dari dalam rumah. Mendadak Colin jadi terlihat sangat tertarik pada ritsleting jaket abu-abu tuanya, "Aku hanya berusaha secepat mungkin memperbaikinya supaya kau nggak perlu menggangguku lagi di mobil."
"Aduh! Tepat ke jantung." Sam memegangi dada kirinya, berpura-pura kesakitan. Melihat tampang Colin, cewek itu tertawa, "Dengar ya, aku sudah dua tahun ini mengenal Hillary, jadi aku tahu persis bedanya orang jahat betulan dan orang baik yang pura-pura jahat."
Sam diam-diam menikmati perubahan ekspresi pada wajah Colin, "Jadi berhentilah berusaha meyakinkanku bahwa kau jahat."
Alis Colin bertaut, "Aku nggak berpura-pura. Aku memang... kesal."
Lagi-lagi teka-teki, Sam membatin, Teka-teki Dunia Colin.
"Kesal?" ulang Sam.
"Banyak hal. Kepindahanku. Orangtuaku. Kau."
"Aku?" ulang Sam tak terima.
"Yeah, salah satunya." aku Colin dengan cuek.
"Karena?"
"Karena kau begitu bawel dan gigih bertahan menjadi pemanduku padahal aku sudah mencoba bersikap sangat menyebalkan padamu."
"Nah." Sam menepukkan kedua tangannya, "Itu dia yang namanya 'berpura-pura jahat'."
Colin menegakkan duduknya, "Aku serius. Kenapa kau mau saja disuruh-suruh jadi pemanduku?"
Sam berpikir sebentar, "Karena aku baik hati, aku kasihan padamu dan Michelle. Lalu Mrs. Midden juga menjanjikanku nilai ekstra untuk hal ini. Lagipula..."
Sam melompat berdiri dan berjalan memasuki rumah, "...rasanya asyik punya teman yang menyebalkan."
❧
Pukul sebelas tiga puluh. Meja makan sudah beres. Dapur sudah bersih. Dan keluarga Faugere sudah pulang sejam yang lalu. Sam berada di kamarnya, menekan-nekan nomor Bill. Lagi-lagi mailbox.
Sam menutup teleponnya, masuk ke balik selimut dan menyumpah-nyumpah.
"Sialan kau, Bill."
❧
"Ya, Michelle. Terima kasih kau sudah begitu baik pada Sam beberapa hari ini. Tolong sampaikan pada Colin ya? Tentu! Terima kasih." Mary menutup telepon. Dia kembali sibuk dengan penggorengannya di dapur, pagi hari keesokannya.
"Apa katanya?" tanya Sam pada ibunya dengan mulut penuh roti.
"Dia bilang 'Tidak masalah! Aku senang karena Sam sudah menemani Colin di perjalanan belakangan ini. Beritahu aku kalau Sam perlu menumpang lagi ke sekolah.' Begitu."
"Kemungkinannya hanya terjadi jika ada badai atau jika sepedaku gepeng dilindas truk."
"Kau seharusnya bisa lebih menghargai kebaikan mereka terhadapmu, terutama Colin..."
"Colin dan Sam berdiri di bawah pohon...ber-ci-u-man...."
"Hentikan, Tom! Nggak ada yang berciuman, lagipula kami teknisnya duduk di atas pagar, bukan berdiri. Astaga, Mom?!" Sam marah-marah. Rupanya Tom belum sepenuhnya tidur semalam ketika Sam dan Colin ngobrol di luar. Adiknya itu mengawasi dari jendela kamarnya di lantai dua. Itu menjelaskan mengapa Tom terus menerus menyanyikan lagu konyol itu sejak tadi.
"Dia mendengar itu dari televisi." walaupun Mary sedang membelakanginya, Sam yakin ibunya pasti sedang berusaha menahan senyum, "Tapi kalian memang kelihatan akrab sekali..."
"Kami hanya mengobrol." potong Sam sambil menyuap rotinya besar-besar, kehilangan kesabaran.
"Dengar, Sam." kata Mary lembut sambil meletakkan roti panggang ke atas piringnya sendiri, "Aku sama sekali nggak keberatan lho, kalau kau dan Colin pacaran. Lagipula dia tinggal sangat dekat, membuat segalanya jadi lebih mudah..."
"Mom!" Sam membelalak, ngeri membayangkan punya pacar yang tinggal hanya lima puluh meter dari rumahnya.
"Oke-oke..." Mary duduk di kursinya dan mulai mengoleskan selai, "Ngomong-ngomong aku membicarakan masalah bisnis menjahitku dengan Michelle, dia menawarkan proyek kecil padaku dengan harga lumayan...."
"Colin dan Sam duduk di atas pagar...ber-ci-u-man..."
"TOM!"
❧
Sam mengayuh sepedanya setengah jam kemudian, merasa ganjil. Masalahnya, ini kali pertama dia berangkat ke sekolah tanpa ditemani bunyi-bunyi derit aneh. Ini juga kali pertama dia bisa melihat pantulan dirinya di badan sepeda yang mengilat. Biasanya kan catnya sudah bocel-bocel dan berkarat.
Lalu Sam teringat bahwa itu semua kerjaan Colin.
Sam melewati rumah keluarga Faugere dan mengeluh dalam hati. Dia sejujurnya merasa agak malu jika mengingat-ingat kembali percakapannya dengan Colin semalam.
Aku nggak percaya aku bilang padanya kalau dia 'asyik'... otakku pasti sedang kacau, sesal Sam dalam hati.
Kebiasaan berangkat menggunakan mobil selama beberapa hari belakangan rupanya membuat Sam sadikit kewalahan. Dia nyaris ngos-ngosan ketika memarkir sepedanya di dekat gimnasium Dartville—mobil Colin sudah terparkir rapi tak jauh dari situ, entah sejak kapan Sam hapal nomor platnya—dan bel berbunyi hanya beberapa detik setelah dia selesai merantai bannya. Ketika berlari hendak menuju loker, Sam dapat mendengar Hillary yang sedang berbicara—lebih cocok dikatakan berteriak—kepada teman-temannya tentang sesuatu yang kedengarannya seperti 'baru' dan 'ada keranjangnya'.
Sam tahu persis apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi dia tidak akan membiarkan telinganya panas hanya dengan hal sepele semacam itu. Hillary benar-benar sudah kehilangan 'gaya'.
Kelas pertama hari itu adalah Bahasa Inggris, kelas di mana guru dan kedisiplinan sepenuhnya di nomor sekian-kan. Frank Ross, guru muda honorer yang ditugaskan untuk menggantikan Mr. Bliss selama cuti sakit, sepenuhnya membiarkan murid-muridnya berlaku sesuka hati di kelasnya. Entah dia terlalu baik atau justru terlalu bodoh, yang jelas dia hanya menuntut tiga hal dari muridnya; tugas dikumpul sesuai jadwal, nilai kuis memuaskan, dan presentase kehadiran cukup.
Itu menjadikan kondisi kelas saat ini begitu ribut, kursi-kursi sudah bergeser jauh dari tempatnya semula, cat-cat kuku dikeluarkan, earphone dipasang, dan majalah-majalah dibuka.
Sam sendiri sedang sibuk mengerjakan PR Aljabarnya yang dia biarkan teronggok terlupakan di ranselnya selama seminggu, ketika seseorang meletakkan kursi di hadapannya.
Colin berdeham pelan sebelum duduk.
"Hai, Colin." sahut Sam tanpa mendongak.
Colin mengamati Sam yang masih sibuk menghitung dengan kalkulatornya, "Aku mengganggu?"
Sam berkomat-kamit sambil melipat jari-jarinya sebelum menjawab Colin, "Nggak juga. Ada apa? Kau lupa jadwalmu setelah ini?"
"Nggak." Colin mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di atas meja. Sam tahu pandangan cowok itu terarah padanya, walaupun Sam sedang menunduk menatap catatannya.
Selama beberapa menit Colin hanya duduk diam di situ sambil terus mengetuk-ngetukkan jari. Sam membiarkan saja dia seperti itu, mungkin Colin hanya sedang tidak ada kerjaan dan merasa bosan harus terus memperhatikan Frank berceloteh sepanjang jam pelajaran. Walaupun dalam hati Sam curiga juga, apa yang sedang coba dilakukan cowok se-antipati Colin di mejanya?
"Agak lebih bermanfaat kalau kau mencatat omongan Frank daripada mengawasiku menghitung, Colin." Sam akhirnya mendongak menatapnya.
"Mencatat apa? Mencatat berapa kali dia ngorok?"
Pantas saja, setelah memandang ke balik bahu Colin, Frank sendiri sedang tidur pulas di meja guru. Sam memutar bola matanya dan kembali fokus pada catatan Aljabarnya.
"Kau angry -marah?" tanya Colin tiba-tiba.
"Ya, aku lumayan hungry-lapar." sahut Sam asal.
"Aku bilang 'marah'."
Sam langsung duduk tegak, "Marah?"
Dia memperhatikan Colin. Cowok itu tak balas memandangnya dan masih terus mengetuk-ngetukan jarinya dengan berirama.
"Padamu? Marah? Kenapa? Karena kau menambahkan keranjang pada sepedaku?"
Ekspresi terperanjat Colin sungguh tidak ada duanya. Sam tertawa, lalu kembali meneruskan PR Aljabarnya.
"Sudah kuduga itu bukan ide bagus." gumam Colin jengkel.
"Hei, aku bercanda!" ujar Sam cepat, "Aku nggak marah. Aku cuma nggak tahu apa yang kau sedang coba katakan."
Colin diam sejenak, "Obrolan semalam. Mungkin agak kelewatan saat kubilang aku kesal padamu."
Sam melongo.
Melihat tampang Sam, Colin menambahkan ragu-ragu, "Dan pagi ini juga kau berangkat sendirian."
Butuh beberapa detik bagi Sam untuk memahami Teka-teki Dunia Colin. Setelah berhasil paham, dia meledak tertawa. Syukurlah kelas sedang ribut, jadi tawa Sam tidak terdengar heboh-heboh amat.
Tapi rupanya heboh bagi Colin. Ketukan jari-jarinya sampai terhenti.
"Serius deh. Aku nggak nyangka kau ini cowok yang begitu perasa." Sam menghapus air matanya, "Kau pikir aku marah padamu cuma gara-gara itu? Aku kan sudah berusaha menjelaskan padamu kalau aku nggak se-sensitif itu, tahu."
Sam kembali terbahak-bahak. Melihat itu, ekspresi Colin berubah ganjil. Dia kembali mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.
"Kaupikir karena kau bilang aku ini semacam gangguan di mobilmu, makanya pagi ini aku berangkat sendiri? Begini deh, kau sudah bersikap menyebalkan sejak pertama kita bertemu, jadi anggap saja otakku juga sudah membentuk semacam sistim imun yang membuatku kebal terhadap itu. Dan soal aku berangkat sendirian..." Sam menyindir, "...aku hanya kembali ke kebiasaan lama dengan sepedaku yang sudah kau make-over. Sekadar mengingatkan, kau ini bukan sopir pribadiku dan...bukankah kau sendiri pernah bilang padaku? Aku kan bukan putri konglomerat atau sejenisnya."
Bel berbunyi. Colin bangkit agak terlalu cepat, "Well, sampai nanti kalau begitu." lalu dia mengambil ranselnya dan buru-buru keluar mengikuti kerumunan.
"Aku memang agak marah kok, soal keranjang di sepedaku." Sam berseru pada punggung Colin sambil tertawa. Dia tahu Colin mendengarnya karena dia bisa melihat telinga cowok itu memerah.
❧
Situasi Sam dengan Colin jadi agak canggung beberapa hari setelah obrolan mereka di kelas Bahasa Inggris itu. Mereka masih saling bertegur sapa di pagi hari atau saat berpapasan di koridor saat pergantian kelas. Namun di kelas maupun di tangga darurat—tempat itu juga sudah menjadi tempat makan paten bagi Colin—mereka tidak mengobrol, bahkan bertatapan. Sejujurnya itu agak aneh dilakukan mengingat Sam teknisnya masih menjadi pemandu Colin dan murid yang makan di tangga darurat hanya mereka berdua—walaupun Sam di lantai dua dan Colin di lantai tiga. Namun seminggu itu rupanya terlewati begitu saja dan jabatan 'pemandu' Sam akhirnya resmi berakhir pada hari Senin.
Satu-satunya orang yang cukup peduli dengan 'masalah kecanggungan' ini—selain Sam, dan mungkin Colin—adalah Mrs. Johnson. Wanita itu mencegat Sam ketika dia sedang mengantri makan siang.
"Ke mana partner Perancis-mu itu? Rasanya aneh setelah belakangan ini aku terus melihatmu di dekatnya."
Sam hanya mengangkat bahu, "Masa kerjaku jadi pemandu sudah habis, Mrs. J."
Mrs. Johnson menatapnya dengan pandangan separuh iba-separuh cemas, "Dan itu bukan berarti aku bakal melihatmu sendirian lagi seterusnya kan?"
Mau tak mau Sam jadi kepikiran sepanjang sisa hari itu. Sam sudah terbiasa dengan kehidupan Dartville-nya yang sepi dan menyedihkan. Sejak menginjakkan kaki di sekolah ini, dia sudah langsung tahu bagaimana masa SMA-nya akan ditakdirkan. Dia tak pernah punya sobat karib—walaupun dia juga tidak dimusuhi. Well, Hillary dan gengnya itu pengecualian— dan tidak pernah diundang ke pesta manapun. Juga tidak pernah kencan. Alasan dia tidak pernah melakukan hal terakhir itu adalah karena dan hanya karena Bill. Cowok itu, sialnya, telah menghantui Sam sepanjang masa SMA-nya.
Tapi Sam tidak pernah benar-benar peduli. Terhadap semua hal itu, maksudnya. Kepopuleran, predikat di buku tahunan, dan segala macamnya. Sam pun tidak bisa mengatakan dirinya bangga karena dia memiliki prestasi yang lumayan di atas rata-rata. Di Dartville, hal-hal semacam itu hanya akan mempertegas betapa kutu bukunya dirimu.
Kembali ke topik, pertanyaan menyindir dari Mrs. Johnson secara tak langsung menyadarkan Sam. Cukup mengagetkan sekaligus mengerikan mendapati kealfaan Colin di sekitarnya cukup membuat dirinya tak nyaman. Sam membatin jengkel tentang bagaimana cowok itu sudah menyita sebagian waktu berpikirnya yang berharga, padahal dia tidak memainkan perannya sebagai 'anak baru' dengan baik, seperti Sam yang menjalankan peran 'pemandu'nya dengan baik.
Di samping segala masalah menyebalkan itu, masih ada yang mengganggu pikirannya.
Bill!
Bill belum mengangkat telepon dari Sam atau membalas teleponnya! Atau sekadar mengirim e-mail singkat apabila dia sibuk dan tidak ingin diganggu. Rasanya ingin sekali dia menceritakan hal ini, tapi Sam tidak tahu pada siapa dia harus bercerita. Mary tidak terlalu menyukai Bill. Ketika Sam pertama kali mengajak Bill untuk datang berkunjung ke rumah mereka bertahun-tahun yang lalu, Mary langsung beranggapan negatif. Dia bilang bahwa Bill kelihatan seperti anak band ceking yang hobi berpakaian gothic dan doyan mabuk.
Padahal Bill tidak seburuk itu kok. Dia memang pemain bas cabutan yang seringnya manggung dengan band-band aliran heavy metal—jenis musik yang bakal merontokkan telinga dan tulang lehermu, meminjam istilah Mary—tapi dia bukan orang brengsek. Rambutnya memang lurus dan di cat hitam seluruhnya, sering pakai kuteks hitam, serta punya beberapa tindikan kecil dan tato berupa kutipan lirik lagu dalam bahasa entah-apa di bahunya, tapi itu tidak terlihat aneh padanya. Dan dia memang kurus... tapi bukan tipe kurus yang tidak enak dilihat mata. Nyatanya, cowok itu sering berkeliling dengan kaus lengan buntung dan jins ngepas, namun tetap enak dilihat.
Terakhir, Bill jelas bukan pemabuk. Bagaimana mungkin dia menyukai minuman keras kalau minum soda lebih dari satu kaleng saja sudah membuatnya kepingin muntah?
Pokoknya, Sam jelas tidak bisa mengadukan keresahannya ini pada Mary. Satu-satunya alasan Mary membiarkan anak gadisnya bergaul dengan 'anak band ceking' macam Bill adalah karena dia tahu Bill seorang gay. Mungkin itu sedikit menenangkan dirinya, kalau-kalau kedua remaja itu sedang mengalami gejolak masa muda yang menggelora atau apapun sebutannya untuk itu, setidaknya dia tahu Sam aman.
Juga, Sam tidak bisa menceritakan hal ini pada Mrs. Johnson. Mrs.Johnson itu keibuan sekali. Saking keibuannya, dia beranggapan bahwa seharusnya gadis-gadis seusia Sam tidak sepatutnya merisaukan masalah hati. Itu, katanya, adalah urusan jika kau sudah tidak berniat untuk melanjutkan pendidikan di SMA.
Sam kenal dengan beberapa karyawan Dartville yang mengenalnya dengan cukup baik dan cocok untuk masalah semacam ini, salah satunya Miss Owen. Miss Owen berumur nyaris empat puluh tahun, tapi belum menikah. Ajaibnya, wanita itu benar-benar ramah dan pengertian. Mirip ibu peri. Miss Owen adalah teman pertama Sam di Dartville. Tapi masalahnya dia selalu sibuk saat jam istirahat, saat-saat senggangnya adalah ketika jam pelajaran dimulai dan semua orang masuk ke kelas. Selepas sekolah, Sam betul-betul tidak tega untuk menggerecoki Miss Owen karena dia selalu kelihatan sangat lelah.
Michelle... Sam tidak tahu apakah bijak menceritakan masalah ini pada tetangga barunya, bagaimanapun Sam baru mengenalnya.
Dan Colin...
Sam menggeleng-geleng. Baru memikirkan huruf 'C'nya saja Sam sudah tahu cowok itu sama sekali bukan orang yang tepat untuk kehidupan asmaranya.
Intinya, Sam terjebak dengan situasi sulitnya sendiri dan tidak tahu ke mana harus menumpahkan kejengkelannya.
❧
---
Colin dan Sam duduk di atas pagar...ber-ci-u-man...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top