Chapter 4
"Samantha?"
Sam tenganga.
"Colin?"
Rasanya aneh mengetahui bahwa Colin yang barusan memanggilnya. Rasanya bahkan lebih aneh lagi karena Colin ternyata ingat namanya. Dan lebih aneh lagi ketika Sam menyadari bahwa cowok itu sedang berdiri di puncak tangga, menatap Sam dengan amat heran. Mereka berdua hanya bisa bertatapan seperti dua orang idiot yang sudah lama tidak bertemu. Colin di puncak tangga, Sam di dasar tangga.
"Ngapain kau di sini?" Sam dan Colin bertanya berbarengan.
Colin menuruni tangga dan saat itu Sam baru sadar kalau cowok itu membawa-bawa nampan makan siangnya.
"Kau makan di sini?! Maksudku, di atasku, di tangga darurat lantai tiga?" Sam seolah tak mempercayai penglihatannya.
"Aku juga ingin tanya hal yang sama." katanya ketika sampai di hadapan Sam, "Kau makan di sini?"
Sam mengerjap-ngerjap, "Aku nggak mengerti, kenapa kau nggak makan di kantin? Aku melihatmu kemarin baik-baik saja, dikerumuni orang-orang."
"Bagaimana kalau aku bilang aku nggak suka dikerumuni?" Colin menaikkan sebelah alisnya seraya mendesah pelan. Ekspresi menyebalkan yang tidak semua orang bisa tiru efeknya.
"Biar kujelaskan," Sam berusaha sabar, "...kau ini murid baru. Aku nggak mau tahu masa lalumu, atau bagaimana kebiasaan dan kelakuanmu di sekolahmu yang dulu, tapi ini kesempatanmu untuk memulai 'statusmu' dari awal. Aku nggak habis pikir ada orang yang repot-repot membuat dirinya sendiri dikucilkan dengan makan di tangga darurat."
Kali ini Colin mengangkat alisnya tinggi sekali hingga nyaris menghilang di balik juntaian rambut yang menjatuhi dahinya, "Dan kau? Apa kau nggak membuat dirimu sendiri 'dikucilkan' dengan makan di sini?"
"Y-yah..." Sam kena telak, "Aku suka di sini. Dari dulu aku memang selalu makan di tempat ini. Di sini sepi dan tenang."
"Berarti aku nggak perlu lagi menjawabmu." Colin berjalan melewati Sam dan mencoba membuka pintu. Namun gagal.
"Dikunci." ujar Sam pahit, "Oleh ratu kejahatan nomor satu di Dartville, Hillary Swan."
Colin menatapnya tajam, "Dari mana kau tahu itu dia?"
"Aku melihat rambut pirangnya berkelebat lewat saat aku mendengar pintu ini dikunci, nggak salah lagi." jelas Sam sambil menuruni anak tangga menuju lantai satu. Cowok itu mengekornya. Sam mencoba membuka kedua pintu daruratnya, namun sia-sia.
"Untuk apa membuat pintu 'darurat' jika pintunya selalu dibiarkan terkunci?! Kau nggak selalu sempat mencari kunci dalam situasi 'darurat' kan?!" Sam marah-marah. Dia melongok ke balik kaca pintu, koridor sepi, karena jam istirahat sudah habis bermenit-menit yang lalu. Dia menggedor-gedor.
"Ada orang di sini!" dia berteriak putus asa.
"Akan kucoba lantai tiga." Colin berlari lagi ke atas. Sam sudah hendak menyusulnya ketika Colin kembali dari atas dengan wajah kesal, "Terkunci."
Sam terduduk pasrah.
"Kurasa sekarang kita hanya bisa mengandalkan petugas yang masuk ke sini, atau menunggu orang lewat." katanya.
Menit demi menit berlalu, Sam mulai bosan dan Colin mulai pegal berdiri. Colin berdiri di depan pintu, mengamati koridor lewat kaca kecil. Tiba-tiba dia mengumpat dalam bahasa Perancis.
"Aku meninggalkan ponselku di loker." sesalnya, "Kau bawa ponselmu?"
"Nggak punya." sahut Sam.
Colin memandanginya seolah Sam barusan berdeklarasi bahwa dirinya adalah sejenis mammoth purba, "Kau hidup di zaman apa sih? Prasejarah?"
"Nggak punya uang, apa itu belum cukup jelas?" Sam emosi, "Kalau aku punya uang, aku nggak bakal mengayuh lima kilometer dengan sepeda tua setiap hari, untuk sekadar informasi."
Mendengar itu Colin langsung terdiam. Cowok itu menyisiri rambutnya dengan jemari, frustasi.
"Masalahnya, apakah ada yang akan lewat?" gerutunya.
Sam tidak bisa membayangkan harus terjebak di tangga darurat bersama cowok ini hingga malam, atau bahkan lebih parahnya, besok. Maka dia mengambil inisiatif.
"Aku jaga di lantai satu. Kau di sini. Terus gedor-gedor sekeras mungkin. Pasti bakal ada yang dengar."
"Jangan." kata Colin cepat-cepat.
"Kenapa?" Sam menatap Colin terheran-heran.
Colin ganti menatap Sam dengan pandangan super sinis, "Terjebak di tangga darurat bersamamu? Kujamin beritanya akan menyebar ke seantero sekolah dalam hitungan menit."
"Jadi sekarang aku, si pecundang kotor, akan menodai reputasi sucimu." ujar Sam sinis.
Cowok itu melongo, "Aku nggak pernah bilang kau ini 'pecundang kotor'..."
"Nah! Kau baru mengatakannya!"
Colin tampak berusaha keras untuk tidak naik darah, "Dengar. Yang kubicarakan adalah tentang bagaimana jadinya bila kejadian ini diketahui seluruh Dartville. Kita nggak akan pernah bisa lagi makan siang dengan tenang di sini. Ngerti maksudku? Tempat ini bakal terekspos. Mereka bisa saja berusaha mengerjai kita lagi dan lagi...dan lagi!"
Colin benar-benar sangat tidak membutuhkan 'pemandu'. Dia tahu persis betapa kejamnya kehidupan SMA di sini dan bagaimana 'sistem'nya bekerja. Sam akui dia sependapat dengan Colin, tapi dia tidak sependapat pada satu hal.
"Siapa bilang kau juga akan makan di sini di masa depan? Aku yang lebih dulu menemukan tempat ini. Aku yang nggak akan tenang makan di sini bila kau juga akan terus menggunakan tempat ini."
"Aku menyerah." Colin mengangkat kedua tangannya dan meremas rambutnya frustasi.
"Apa maksudmu?"
"Kita nggak butuh berdebat. Kita butuh berpikir jernih."
"Hah! Jadi sekarang kau berusaha menasehatiku!"
"Sampai kapan kau akan bersikap begitu kekanakkan?" semprot Colin. Sam terenyak. Dia terduduk kembali di anak tangga.
Itu adalah kalimatnya untuk Hillary di bus kemarin sore. Dia ngeri membayangkan bahwa dirinyalah yang sekarang dinilai 'kekanakkan' oleh orang lain.
"Sori, cuma... panik. Habis ini aku harus presentasi demi nilai kuisku di kelas Sastra. Tanpa itu, aku nggak bisa ikut ujian." Sam menyandarkan lututnya yang lemas di pegangan tangga. Colin memejamkan matanya dan menghembuskan napas kesal.
"Kenapa baru bilang?"
"Apakah bakal ada bedanya? Toh kita tetap terjebak di sini." kata Sam realistis.
Seperti mendadak mendapat ide, Colin berjalan ke pinggir balkon dan melongok ke bawah. Mengherankan, karena kemudian sudut bibirnya terangkat sedikit membentuk senyuman.
"Kau punya masalah dengan ketinggian?" tanyanya.
"Apa yang kau bicarakan?" Sam berdiri menghampiri Colin dan ikut melongok ke bawah. Persis di bawah mereka ada sebuah bak penampungan sampah besar, tempat di mana makanan yang tersisa dari dapur Dartville High dibuang.
"Tempat sampahnya tertutup." Colin memandang Sam penuh arti.
"Lalu... kau akan melompat ke situ dan hore! Mengendap-endap masuk lewat pintu depan? Membukakan kunci pintu sial ini untukku?" tebak Sam dengan nada luar biasa sinis.
Baru kali ini Colin kelihatan puas dengan apa yang dikatakan Sam, "Sedikit ralat. Kita yang akan melompat."
"Sori. Nggak bakalan."kata Sam cepat sambil mundur ngeri.
"Oke. Jangan salahkan aku." lalu Colin memanjat keluar balkon.
"Kau gila!" Sam memelototinya takjub.
"Nggak ada waktu. Aku nggak menjamin bisa menemukan kuncinya dengan segera jika kau tetap di sini." Cowok itu sudah bergelantungan dengan berpegangan pada tiang-tiang pembatas balkon. Sam menekap mulutnya.
"Kalau kau mati..."
Terdengar suara benturan keras dari bawah. Colin sudah melakukan pendaratan di atas tutup bak sampah dengan cukup mulus.
"Ayolah, kau kan bukan putri konglomerat atau sejenisnya?!" cowok itu berseru ke atas.
Sam melirik arlojinya. Hanya dalam hitungan menit, Mr. Walton akan memasuki kelas. Sam menarik napas dan mulai memanjat.
"Jangan berpikir."
Sam sudah bergelantungan, tangannya mulai sakit.
"Aku akan menangkapmu!" bisa didengarnya Colin berseru.
"Kalau aku mati..."
Sam memejamkan matanya dan melepas pegangannya. Dia merasakan sentakan keras dan menyakitkan pada lutut dan kakinya ketika mendarat di atas tutup bak sampah. Dia terhuyung sedikit namun dia tahu dirinya aman karena Colin sudah memegangi pinggangnya dengan mantap dari belakang.
"Kalau kau mati, maka aku bakal jadi tersangka pembunuhan terkonyol abad ini." sambung Colin sambil nyengir.
Sam hanya mampu tertawa lemah. Lututnya masih gemetaran saat Colin membantunya turun dari bak ke tanah yang, syukurlah, solid dan keras.
"Ayo." kata Colin.
"Tunggu, jangan lewat pintu depan. Seseorang bisa saja melihat kita."
Colin mengangkat alisnya, "Ada alternatif?"
Ide ini seolah sudah tersusun rapi di otak Sam, karena tanpa ragu dia menuntun Colin memutari pagar kawat sepanjang halaman belakang Dartville, meloloskan diri dari celah pada pagar kawat, dan menyeberangi lapangan basket, menuju sebuah pintu yang terbuka di sisi belakang gedung sekolah. Dia tahu soal pintu ini karena dia sering keluar masuk lewat sini.
"Dapur!" Colin berseru puas. Keduanya memasuki dapur, membuat Mrs. Johnson yang tengah membereskan panci berteriak kaget.
"Astaga, kalian berusaha membuatku kena serangan jantung?!" dia mengelus-elus dadanya.
"Sori, Mrs. J, tapi bisakah Anda nggak bilang-bilang ke siapapun soal ini? Kami sedang agak buru-buru."
"Oh, b-baiklah... tapi apa yang terjadi?"
Sam dan Colin tak sempat lagi menyahut. Mereka sudah tiba di koridor. Mereka bersama-sama menaiki tangga menuju lantai dua. Di puncak tangga, Colin memanggil Sam.
"Hei. Kelasku di sana, sampai ketemu nanti." katanya agak terengah-engah.
Sam berusaha mengatur napasnya, campuran kelegaan dan sedikit rasa heran. "Oke."
❧
Sam mungkin patut merasa puas dan bangga atas dirinya. Pasalnya, hanya dua jam yang lalu dia berhasil meloloskan diri dan masuk ke kelas Sastra tepat waktu, hanya beberapa detik sebelum gurunya, Mr. Walton, memasuki kelas. Dan dia dapat mempresentasikan tugas Sastranya di hadapan teman sekelasnya, termasuk Hillary, dengan sukses. Mr. Walton bahkan memujinya karena dia adalah satu-satunya murid yang kelihatan antusias di depan kelas.
Sebagai tambahan, puncak dari segala kepuasannya, Sam dapat melihat ekspresi Hillary yang bercampur baur; campuran kesal, heran, dan ketidakpercayaannnya melihat Sam berdiri di depannya, bukannya terkunci dan menangis di pojokan tangga darurat. Kemudian cewek pirang itu berpandangan dengan teman pirangnya yang lain dengan tampang 'apa-apaan ini?', yang semakin memperkuat kecurigaan Sam terhadap cewek itu.
Yang paling keren adalah, sebelum Sam memulai presentasinya, dia sempat melayangkan senyuman tersinis yang mampu dia lakukan kepada Hillary, dan dia yakin cewek itu menangkap maksudnya.
Maka, jelaslah alasan mengapa Sam tak hentinya bersenandung di dalam mobil sepanjang perjalanan pulang, tak menghiraukan Colin yang meliriknya dengan pandangan aneh di sampingnya.
Colin membuka mulutnya.
"Tolong diam sebentar." potong Sam cepat sambil mengangkat sebelah tangannya, "Biarkan aku menikmati saat-saat kemenanganku selama beberapa menit ke depan tanpa gangguan."
Sam bersenandung lagi. Colin mengalihkan kembali pandangannya ke jalan raya, namun cowok itu tidak bisa menahan diri untuk nyengir.
❧
Mood baik Sam agak memudar malam harinya. Bill tidak mengangkat telepon darinya, berapa kalipun Sam coba hubungi. Sam sudah muak mendengar suara mailbox untuk yang kesekian kalinya hingga akhirnya dia memutuskan untuk menyerah. Sam memilih untuk tidak meninggalkan pesan apapun di mailbox Bill karena dia memang tidak pernah perlu melakukan itu sebelumnya.
Bill hanya sedang sibuk atau semacamnya, Sam mencoba menghibur diri. Mungkin Bill hanya sedang melakukan sesuatu yang lebih penting dibanding menerima telepon rutin dari sahabat lamanya nun jauh di Arizona.
Atau Bill sedang sibuk bermesraan dengan pacar cowoknya dan itu membuatnya lupa dengan keberadaanku di sini, pikirnya. Namun detik berikutnya Sam langsung pesimis dengan ide itu karena Bill selalu meneleponnya berjam-jam setiap akhir pekan, dan seseorang yang sudah punya pacar tidak mungkin sanggup melakukan hal itu.
Tapi kemungkinan itu tetap saja ada. Bill mungkin saja merasa tidak perlu repot-repot memberitahu tentang kekasih gay-nya yang dia temui di Minneapolis kepada Sam. Bisa saja itu bukan topik yang ingin Bill bicarakan dengan Sam.
Kalau dipikir-pikir, Sam bahkan tidak tahu persis apa alasan Bill hijrah ke Minneapolis, dua setengah tahun yang lalu. Dia pergi hanya beberapa hari setelah mengungkapkan jati dirinya pada keluarganya. Keluarga Starlin tentu saja sangat syok-terutama Mr. Starlin, ayah Bill. Ibu dan kakak perempuan Bill selama ini sudah memendam kecurigaan, tetapi mereka tidak menyangka kecurigaan itu terbukti benar dan Bill berani mengungkapkannya. Untunglah mereka sanggup menerima kondisi Bill apa adanya. Mr. Starlin memang butuh waktu lama untuk menerima fakta itu, namun menurut Bill pada akhirnya ayahnya memutuskan untuk bersikap pasrah.
Sam merebahkan dirinya ke atas bantal berpola bunga-bunga kecilnya sambil masih termenung. Perasaan yang telah cukup lama menghantui hati dan pikirannya itu kini mencuat kembali ke permukaan. Dia masih ingat sore itu, ketika Bill mengajaknya makan di Fish 'n Chips, membicarakan berbagai hal. Bill banyak bicara tentang persahabatan mereka selama lima tahun terakhir, sampai akhirnya Sam mulai curiga dengan sikap Bill yang mendadak aneh dan bertanya ada apa. Saat itulah Bill memberitahu Sam bahwa dirinya gay. Cowok itu berkata bahwa dia tidak bisa lagi membohongi diri sendiri karena sudah lama dia merasakan hal itu. Dia juga bilang bahwa dia sudah memutuskan untuk pergi ke Minneapolis, katanya dia butuh 'sedikit jarak' dari orang-orang yang mengenalnya selama ini untuk memastikan diri. Dan hanya sehari setelah perbincangan di Fish 'n Chips itu, Bill berangkat ke Minneapolis.
Meninggalkan Sam, si gadis yang patah hati, sendirian.
Sam menutupi wajahnya dengan bantal, dadanya sesak dan matanya terasa panas. Dia baru sadar. Dia bahkan tidak tahu apakah Bill benar-benar menganggapnya sahabat.
❧
---
Mau nonton Kill Bill, Sam? :p
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top