Chapter 3
"Aku sudah mengundang keluarga Faugere untuk makan malam di sini besok." kata Mary saat sarapan pagi itu. Sam hanya menggumam pelan. Semalam dia kembali memimpikan cowok tampan yang memeluknya dan memohon pertolongannya. Karenanya dia tidak begitu tertarik dengan berita keluarga Faugere bakal datang berkunjung.
"Kok reaksimu begitu? Bukannya kau bilang kau jadi pemandu Colin di sekolah?"
"Baru dua hari dan rasanya sudah kayak setahun, Mom. Dia luar biasa nyebelin." Sam mendesah berat.
"Keluarga Faugere itu siapa sih? Yang baru pindah di ujung jalan itu ya?" tanya Tom sambil berusaha menyuapi Lou bubur bayi. Lou menolak. Buburnya belepotan di taplak makannya.
"Bersikaplah yang manis besok, mereka baru datang dari Perancis." Mary berkata sambil mengelap bibir Lou, "Kita kan tidak tahu apakah sikap balita-balita Perancis lebih sopan dari balita Amerika."
Sam terbahak, "Setahuku Colin nggak punya adik Mom."
"Aku tahu. Kau cuma salah tangkap siapa 'balita' yang kumaksud." ujar Mary penuh nada persekongkolan. Sam terbahak-bahak lagi, sementara Tom tampak takjub.
"Wow, Perancis?! Apa itu jauh dari sini? Kau bisa mengantarku dengan sepedamu, Sam?" tanyanya.
"Jauh sekali, Tommy. Perancis itu terletak di benua yang berbeda dari Amerika. Kau harus naik pesawat terbang atau menyeberang dengan kapal laut. Sepeda tuaku mana bi—"
Lalu Sam ternganga.
"Sepedaku masih di—di atap mobil... astaga."
"Kau ngomong apa sih?" Mary mengangkat alis.
"Aku berangkat Mom, aku lupa mengambil sepedaku." Sam menyambar ransel dan mengecup ibunya, mengecup puncak-puncak kepala kedua adiknya—diiringi 'Ew!' dari Tom, lalu bergegas keluar.
Cuaca hari ini tidak jelas. Langit mendung, namun hawanya pengap sekali. Sam mempercepat langkahnya dan sudah hampir mencapai halaman rumah keluarga Faugere ketika didengarnya seseorang berteriak dari dalam rumah dan mengumpat, "Sial!" keras sekali.
"Apa yang—?" Sam melongo ketika melihat Colin, yang berlari keluar rumah menuju Corolla-nya sembari menenteng-nenteng kaus kaki dan ransel yang masih setengah terbuka. Cowok itu kelihatan panik dan berantakan.
"Wah, halo Sam!" Michelle melambai dari balik jendela ruang keluarga.
"Saya lupa mengambil sepeda." kata Sam, masih bingung memperhatikan Colin yang kelihatan terburu-buru sampai tidak sadar menyeletuk, "Dia ngapain sih?"
Michelle berlari-lari kecil mendatangi Sam, kelihatan bingung. "Bukankah kalian sebentar lagi masuk? Kenapa kau terlihat santai, Sam?"
Sam lagi-lagi melongo, "Kami kan masuk setengah sembilan. Ini masih jam setengah delapan kurang."
"Oh!" Michelle tampak kaget sekaligus geli, "Dieu! Kami masih terbiasa dengan jadwal kami di Perancis!"
Colin sudah menyalakan mobilnya ketika Michelle meneriakinya sesuatu dalam bahasa Perancis sambil menunjuk-nunjuk jam tangannya. Lagi-lagi terdengar Colin mengumpat keras dari dalam mobil.
"Dia salah jadwal?" Sam mulai paham.
"Sekolahnya di Perancis mulai pukul delapan." Michelle tertawa. Tipe tawa yang bakal membuat wanita-wanita lain kagum sekaligus iri setengah mati.
"Jadi," Sam ragu-ragu, "...saya ingin mengambil sepeda."
"Oh ya, hampir lupa dengan yang satu itu." Michelle mengajaknya ke dalam garasi. Dari dalam situ, dia mengeluarkan sebuah sepeda yang...
Tunggu, itu bukan sepeda Sam.
"Ini bukan sepeda saya." kata Sam yakin, memperhatikan sepeda mulus mengilat berwarna merah itu.
"Bicara apa kau?! Ini sepedamu. Colin hanya sedikit mengutak-atiknya."
Sam menyentuh sepeda itu tak percaya.
Kondisinya kembali sempurna! Bahkan sekarang ada keranjangnya dan belnya diperbaiki. Karat-karatnya kini hilang dan cat merah mengelupasnya sekarang sudah dilapisi warna merah marun yang bahkan lebih bagus dari warna lipstik Michelle pagi ini.
Dan semua itu kerjaan Colin.
"Anda serius?! Wow!" Sam tak mampu menyembunyikan kekagumannya, "Kenapa Anda nggak menyuruh Colin untuk berhenti sekolah dan membuka bengkel reparasi sepeda? B-bukan bermaksud jelek..." Sam sadar dirinya kebanyakan bicara, "...tapi ini terlihat seperti sepeda baru! Ini bagus sekali!"
"Sejak dulu Colin dan ayahnya memang gemar memperbaiki barang-barang lama. Ini cuma hal kecil kok." Michelle tersenyum ceria.
Sam menaiki sepeda itu dan mencoba berkeliling garasi. Tiga kayuhan, dan tidak terdengar derit sama sekali.
"Colin benar-benar jenius! Deritan mengerikan yang selama bertahun-tahun ini terdengar sekarang sudah hilang..." dia membelai sayang sepeda tuanya yang berkilauan, "Saya nggak tahu bagaimana harus berterima kasih ..."
"Tidak! Tidak!" Michelle menggeleng kuat-kuat lalu meremas pundak Sam, "Ibumu sudah berbaik hati mengundang kami sekeluarga untuk makan malam besok. Lagipula kau sudah mau menjadi pemandu Colin selama seminggu. Tidak perlu sungkan. Tapi..."
Michelle menunjuk Colin yang sedang memakai kaus kaki di teras rumah, "Kurasa kau bisa membantunya mengingat jadwal. Dia parah sekali dalam menghapal."
❧
Michelle bersikeras mengantar sepeda Sam ke rumahnya sehingga dia dan Colin bisa berangkat bersama ke sekolah. Tentu saja ini mengakibatkan Sam lagi-lagi berada di kursi penumpang Corolla hitam itu, sementara Colin di sebelahnya menyetir.
Lagi-lagi, Sam dilanda keputusasaan demi memecahkan keheningan canggung di antara mereka.
"Rambutmu menetes-netes..." Sam menyeletuk.
"Hah?"
"Maksudku, rambutmu masih basah banget. Airnya menetes-netes."
Colin benar-benar kelihatan berantakan. Hari ini dia mengenakan t-shirt biru tua dengan dalaman kaus lengan panjang hitam, jins, kets yang talinya diikat asal-asalan, dan rambut hitam pendeknya mencuat ke mana mana-mana dan basah karena keramas. Bau mint dari samponya menguar ke seisi mobil.
Tiba-tiba, Sam tersadar cowok itu mengemudi di lajur kiri.
"Kau salah lajur!" Sam buru-buru membelokkan setir. Beberapa mobil yang melintas berdekatan dengan mereka ribut mengklakson.
Colin meremas-remas setir dengan gugup sambil mengumpat dalam bahasa Perancis. Sam meliriknya cemas.
"Kau belum terbiasa dengan setir kiri?! Kalau saja aku tahu tentang ini, aku nggak bakal membiarkan ibumu mengantar sepedaku pulang."
"Aku hanya belum biasa, oke?" bentak Colin, "Sekarang tolong diam, kau mengganggu konsentrasiku."
Sam langsung menutup mulut dan bersandar kembali di kursinya. Colin memang selalu terlihat kesal, tapi entah mengapa hari ini sepertinya dia luar biasa kesal. Dan mengantuk.
Sam kembali membuka suara, "Aku nggak tahu apa masalahmu, tapi..."
"Diamlah, s'il vous plaît."
Sam merengut.
Bagaimanapun, mereka tiba di Dartville tepat waktu. Colin berhasil memarkir mobilnya tanpa tergores—walaupun Sam harus keluar dari pintu pengemudi karena pintu penumpangnya mepet mobil sebelah—dan mereka selamat. Mereka berpisah di pelajaran pertama, karena itu Sam kembali mengingatkan Colin.
"Lantai tiga, kelas paling ujung." ujarnya.
"Aku nggak pikun-pikun amat." Colin berlalu begitu saja melewati Sam, se-menyebalkan biasanya.
"Nggak kusangka seumur hidupku aku akan bertemu dengan orang yang luar biasa ngeselin, selain Hillary Swan. Nggak tahu mengapa aku repot-repot meladeninya walaupun nggak ada Mrs. Midden." Sam sibuk menggerutu sepanjang koridor menuju kelas Sejarah, yang untungnya, bebas Hillary dan Colin.
Istirahat siangnya, Sam tidak menemukan Colin di meja manapun. Hillary dan Kaum Paling, seperti biasa, mendominasi meja di tengah kantin. Cheerleader dan futbol sebagai pusat, mungkin begitulah prinsip utama Dartville.
Sam menyelinap ke balik konter makan siang dan menepuk bahu seorang wanita berkulit hitam gemuk yang memakai celemek. Tangannya sedang sibuk menyendok sup kental ke dalam mangkuk-mangkuk kecil.
"Hai, Mrs. J." Sam tersenyum pada si ibu kantin.
"Oh, halo, Nak." Paula Johnson balas menyapa Sam dan langsung meletakkan satu paket makanan di atas nampannya. Mrs. Johnson, rupanya, sudah berhasil mengingat menu makan siang favorit Sam. "Kau kelihatan segar hari ini!"
Sam tertawa, "Mungkin karena saya nggak harus mengayuh ke sekolah. Saya masih jadi 'pemandu' Colin dan kebetulan kami tetanggaan. Ibunya bersikeras agar saya nebeng mobil Colin."
"Si anak baru itu? Tumben sekali Kepala Sekolah mengutus seseorang untuk menemani anak baru. Ingat Karl Hahn? Bahasa Inggrisnya bahkan jauh lebih kacau dari—siapa kau bilang tadi... Colin? Nah, iya. Si Karl itu bahkan nggak repot-repot ditawari 'pemandu' selama sehari."
"Memang sih." dalam hati Sam juga sudah lama berpikir seperti itu, "Tapi kurasa itu karena permintaan ibu Colin saja. Dia kebetulan mengenal saya persis sebelum anaknya masuk sini, jadi dia meminta Mrs. Midden untuk mengutus saya menemani Colin. Bukan... jujur saja lebih tepat disebut menggerecoki daripada menemani."
Mrs. Johnson tertawa, "Seburuk itukah orang Perancis?"
"Tahu deh," Sam mengangkat bahu, "...tapi ngomong-ngomong, Anda sudah melihat Colin di sini?"
"Entahlah..." Mrs. Johnson berhenti menyendok sup, tampak berusaha mengingat, "...sepertinya aku ingat beberapa menit yang lalu ada seseorang berkata 'jangan pakai kentang, s'il vous plaît' kepadaku di konter, apa itu berarti dia?"
Alis Sam terangkat, lalu dia memandang berkeliling. "Itu aneh. Saya nggak melihatnya di meja manapun."
Sadar bahwa dia telah terlalu lama mengganggu kerja Mrs. Johnson di balik konter, dia mengucapkan terima kasih pada wanita itu dan membawa nampannya ke tangga darurat lantai dua.
Tangga ini sudah menjadi tempat favorit Sam di Dartville. Di sinilah dia dapat menghabiskan waktu istirahatnya dengan tenang dan tanpa gangguan—memang terkadang staf kebersihan menggunakan tangga ini dan mendapati Sam sedang duduk-duduk di sana, tapi sebagian besar sudah mengenal Sam dan dengan baiknya membiarkan saja dia berada di situ.
Satu-satunya masalah adalah ketika hujan turun. Airnya terciprat ke mana-mana dan tangga menjadi becek. Jika seperti itu, Sam tak punya pilihan lain selain makan di tangga darurat lantai satu. Tidak seperti di lantai dua dan tiga, tempat itu bukan berupa balkon yang dibatasi dengan pagar setinggi perut, namun dengan dinding. Di sana hawanya pengap dan tidak enak, ditambah, dua pintu keluarnya selalu terkunci. Tapi di sana kering. Jadi Sam tidak seharusnya memprotes.
Paling tidak, hari ini tidak hujan, walaupun langit berawan. Maka Sam tetap mengandalkan tangga darurat lantai dua. Gadis itu duduk di anak tangga ketiga, menaruh nampannya di pangkuan, dan mengeluarkan buku bacaan dari dalam kantung jaketnya. Lalu mulai makan dalam diam.
Namun tidak untuk waktu lama. Sam mendengar suara langkah kaki mendekat dari arah pintu, suara gemericing, dan bunyi 'cklek' aneh.
Sam mengangkat bahu dan meneruskan menggigit apelnya. Sepersekian detik kemudian, Sam baru menyadari apa arti bunyi 'cklek' itu.
Sam buru-buru bangkit dan mencoba membuka pintu. Terkunci.
Sam menggedor-gedor pintunya dan melongok lewat kaca kecil di pintu, "Haloo! Tidak-tidak-tidak... jangan pergi, tunggu! Ada orang di si—"
Kata-katanya langsung terhenti ketika melihat siapa yang baru saja berlalu dari pintu.
"DASAR CEWEK NORAK!" Sam mengumpat keras sekali. Dia terduduk kembali di anak tangga, berusaha berpikir jernih.
Oke. Mungkin hanya pintu lantai ini yang dikunci, jika aku mencoba keluar dari lantai satu atau lantai tiga, nggak akan ada masalah.
Kemudian dia mendengar bel masuk berbunyi.
Sam baru menyadari kegawatan situasinya. Berusaha untuk tidak panik, dia mengambil nampan juga sisa apelnya dan baru akan menuruni tangga ketika dia mendengar suara yang sudah tak asing.
"Samantha?"
Sam menoleh dan ternganga.
"Colin?"
❧
---
Dieu! = Tuhan!
S'il vous plaît = Tolong
Tiap vote & komentar sangat berarti :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top