Chapter 23

Minggu ujian akhir sekolah. Hari-hari seolah berlalu dengan amat lambat. Dartville High diliputi suasana tegang. Tidak seperti biasa, kantin tidak riuh, koridor tidak dipenuhi suara-suara tawa. Guru-guru semakin serius, dan murid-murid mendadak jadi muram dan pendiam.

Sam agak pesimis melihat cara sahabat ceweknya, Hillary, belajar untuk menghadapi ujian. Dia bersikeras bahwa dirinya butuh belajar privat bersama Sam dan mendatangi rumah Sam seminggu tiga kali sebelum minggu ujian tiba. Namun setelah menghadapi buku kumpulan rumus dan contoh-contoh soal untuk dikerjakan sebagai latihan, mendadak dia mengeluh lapar, atau pegal-pegal, atau kepanasan, dan seterusnya.

Colin pun jadi lebih murung dari biasanya. Bukannya Sam jadi lebih memerhatikan cowok itu atau apa, tapi Sam berpendapat kesibukannya mengurus 'ini-itu' Memaze pasti juga berdampak pada konsentrasinya dalam belajar. Sam bukannya menyukur-nyukuri Colin atas hal ini. Buktinya, dia menghampiri Colin pada jam istirahat pertama di hari Senin, hari pertama ujian. Cowok itu sedang berdiri menyandar di lokernya sambil menggumamkan sesuatu yang dia baca dari buku Sejarah.

"Kau tahu, jika ada sesuatu yang bisa kubantu... jangan ragu untuk ngomong." kata Sam.

Mendengar itu, Colin menyunggingkan senyum miringnya.

"Nggak perlu mengkhawatirkanku. Seharusnya kau mengkhawatirkan dirimu. Demi Ivy, nilai-nilaimu nggak boleh jatuh lho."

Lalu Colin kembali komat-kamit dan tenggelam di balik buku Sejarahnya.

Sam cukup terharu mendapati kepedulian Colin. Biar bagaimanapun, menjadi peraih-peringkat-pertama-jumlah-nilai-tertinggi-seangkatan tidak membuat Sam menerima banyak kata-kata penyemangat. Kebanyakan hanya berupa desahan iri atau komentar-komentar kosong seperti 'kalau Sam sih pasti bisa', dan hal-hal seperti itu jelas tidak dapat membantumu membangun semangat.

Pokoknya, kalimat sesederhana 'nilai-nilaimu nggak boleh jatuh' itu pun sangat berarti.

Mrs. Midden rupanya juga menjadi sangat tegang bila menyangkut masalah nilai Sam. Bolak-balik dia menyuruh Sam untuk ke kantornya, mengocehkan macam-macam seperti 'mengesampingkan dulu hal-hal yang tidak penting', dan 'mengutamakan yang penting untuk masa depan'. Dan Sam juga berusaha untuk tidak mengabaikan amanat-amanat ini.

Maka, ketika minggu ujian akhirnya berakhir dan liburan sudah di depan mata, Sam baru bisa sedikit bernapas. Jumat siang, Sam mendatangi kantor Mrs. Midden dan melihatnya sedang berkutat dengan data calon murid baru di balik meja kerja.

"Tahun ajaran baru, murid-murid baru." dia mendongak ketika Sam memasuki ruangannya. Wajah Mrs. Midden lelah namun ceria, dia malah bersenandung pelan sembari menandatangani berkas-berkas tersebut.

Sam agak tak percaya bahwa dia sudah akan jadi senior Dartville High setelah ini, menyaksikan sekali lagi 'pertempuran sengit' di antara murid-murid junior untuk memperebutkan tempat makan di pusat kantin, perlombaan untuk menjadi Raja dan Ratu Populer berikutnya, serta 'sistem pengelompokan dangkal' yang sudah pasti akan terjadi lagi.

"Tahun lalu Anda juga pasti melakukan hal yang sama dengan berkas-berkas saya." Sam mengingatkan. Mrs. Midden tertawa.

"Aku langsung ingat kau. Samantha Joanne Feather. Rata-rata nilai tertinggi di antara pendaftar-pendaftar lainnya. Tak heran Ivy menyukaimu, padahal kau masih kelas sebelas."

Pipi Sam merona.

"Itu juga berkat Anda. Ivy nggak akan melihat saya jika bukan karena kerja keras Anda."

Mrs. Midden tersipu-sipu, "Tak perlu berlebihan, Sam. Aku mengenalmu karena prestasimu begitu menyilaukan. Dan semua kepala sekolah menyukai anak yang menyilaukan."

Entah mengapa Sam jadi membayangkan kaca spion.

"Pokoknya," Mrs. Midden mencondongkan tubuhnya dan meletakkan tangannya di atas tangan Sam, "Aku bangga padamu, Nak. Aku menghargai kerja kerasmu, dan oh... ha ha, dan juga kesediaanmu untuk menjadi pemandu Colin selama seminggu, walaupun kau terus mengeluhkan betapa menyebalkannya dia."

Sam mau tak mau jadi tertawa. Entah bagaimana nasibnya kalau saja selama ini Mrs. Midden tak mau repot-repot menyodor-nyodorkan formulir beasiswa ke bawah hidungnya.

Juga, jika bukan karena Mrs. Midden, Sam tidak akan mengenal Colin Faugere seperti sekarang. Tidak akan ada cowok yang duduk di jam istirahat bersamanya di tangga darurat. Tidak ada yang bisa dijuluki Si Turis Perancis Menyebalkan. Dan tidak akan ada yang dapat membuat tagihan telepon Sam membengkak.

Well, tentu Colin masih akan menjadi tetangganya, tapi siapa yang tahu hubungan Sam dan Colin bakal seperti apa tanpa campur tangan Kepala Sekolahnya?

"Terima kasih banyak, Mrs. Midden." Sam tersenyum lebar, "Terima kasih banyak atas semua yang telah Anda lakukan untuk saya."

Mrs. Midden makin tersipu-sipu.

Seminggu kemudian, ketika cuaca di Arizona semakin lembab dan panas, ketika hasil-hasil ujian telah diumumkan, ketika Sam akhirnya punya waktu libur yang cukup panjang untuk bermalas-malasan saja di depan televisi atau membantu ibunya dengan jahitannya, dan ketika segalanya tampaknya telah berada di posisi yang benar.

CITRUS-NYA BERBUAH!

AKHIRNYA, POHON CITRUS-NYA BERBUAH!

Seisi rumah keluarga Feather gempar. Pasalnya, hanya semenit yang lalu Mary menyadari ada yang berbeda pada pohonnya. Bundaran-bundaran hijau kecil bermunculan pada cabang-cabangnya. Begitu diberitahu hal ini, Tom dan Lou langsung lompat-lompatan di bawah pohon, menciptakan keributan luar biasa dan mencoba memberitahu siapa saja yang lewat di trotoar bahwa pohon citrus mereka akhirnya berbuah. Mary langsung mengambil kamera dan sibuk memotret pohon dari berbagai sudut. Sementara Sam langsung melesat ke meja telepon, dan menekan kombinasi nomor yang pertama kali terlintas di benaknya.

Bukan nomor Bill.

Bukan nomor Hillary.

Bukan nomor Lance.

"Coba tebak apa yang membuat adik-adikku begitu ribut di halaman depan?" sambar Sam segera setelah dia mendengar suara 'halo' yang sudah sangat familiar di telinganya itu.

"Halaman depan?" Colin bertanya. Sesaat tidak ada suara di seberang telepon. Sam mengintip melalui jendela ruang tamu dan melihat di kejauhan bahwa cowok itu sedang melongok dari balik pintu depan rumahnya. "Ah..." suara Colin terdengar lagi, "...kayaknya ada hubungannya dengan pohonmu."

"Yep. Sudah berbuah, akhirnya!" Sam tidak bisa menyembunyikan rasa girangnya, "Rasanya sudah lama banget sejak yang terakhir kali."

Colin tertawa, "Yeah. Ketahuan kok dari nada suaramu."

"Ha ha...benarkah?" Sam berdeham, dia terduduk di sofa dan mendadak merasa bodoh. "Oh."

Sam mengutuk dirinya. Colin pasti sedang berpikir bahwa dia norak.

"Itu saja?" tanya Colin setelah diam cukup lama.

"Eh...ya, memang cuma itu. Sori atas gangguannya..."

"Jangan tutup dulu." kata Colin cepat.

"Ada apa?"

"Keluarlah, aku sedang menuju halamanmu nih."

Jantung Sam seolah ikut melompat seiring dengan dia melompat berdiri dari sofa. Masih memegangi gagang teleponnya di dekat telinga, Sam berlari ke depan untuk membuka pintu dan melihat Colin sudah berdiri di sana, di bawah pohon, dengan ponsel di tangan kanannya.

Tom, Lou, atau Mary tidak kelihatan.

"Ke mana orang-orang?" Sam keheranan setelah membuka pintu depan.

"Ke rumahku. Aku dengar ibumu menggumamkan sesuatu yang kedengaran kayak 'pesta citrus' waktu kami berpapasan. Mungkin sekarang dia sedang membicarakannya dengan ibuku." ujar Colin.

Ini lucu sekali. Bukan pesta citrus-nya, tetapi bagaimana Colin mendatangi rumah Sam sementara ibu dan adik-adiknya mendatangi rumah Colin secara bersamaan.

Dan ngomong-ngomong soal lucu, situasi di antara Sam dan Colin saat ini juga bisa dibilang begitu.

Sam memutuskan untuk bersikap kasual, "Mau masuk?"

"Tentu." Colin mengangkat bahu sembari memasukkan ponselnya ke saku celana.

Colin tampak cukup syok ketika melihat kondisi di dalam rumah Sam yang nyaris mirip kapal pecah, "Apa tempat ini baru di jatuhi bom?" tanyanya terperangah.

"Beginilah yang terjadi jika ibuku sedang berusaha mengeluarkan seluruh koleksi jahitan lamanya dari lemari." jelas Sam, "Bom pakaian."

Colin memungut salah satu gaun yang terdekat dengannya, "Apa yang kalian lakukan dengan ini semua? Menjualnya?"

Sam meletakkan teko teh sambil mendengus, "Itu koleksi lama, Colin. nggak akan ada yang tertarik untuk membelinya."

"Trims." Colin menerima teh dari Sam, "Tapi menurutku ini lumayan kok."

Sam memerhatikan cowok itu menjembreng satu persatu baju-baju jahitan ibunya. Memang tidak terlalu buruk, sih.

Baju-baju itu, maksudnya.

"Mengapa kalian nggak bikin garage sale saja?"saran Colin, menyeruput tehnya.

Sam menoleh cepat sekali. Dia akui, ide Colin lumayan juga.

"Itu nggak pernah terpikir sebelumnya." Sam menatap Colin serius, "Tapi kalau hanya baju rasanya..."

"Bukan masalah." Colin meletakkan cangkir tehnya di meja di sebelah Sam, "Kau bisa jual barang-barang lama yang masih bagus. Aku bisa nyumbang buku-buku yang sudah nggak kubaca."

"Aku juga bisa tanya Hil apa dia punya barang-barang yang sudah nggak terpakai..."

"Pasti. Belanjaannya kan banyak."

Mereka berdua tertawa.

Rasanya sudah lama sekali Sam tidak melihat tawa Colin. Tawanya yang membuat sepasang matanya seolah menghilang akibat cengiran-lebar-hingga-ke-pipinya, dan sedikit kekanakkan karena ujung lidahnya yang menyentuh bagian belakang gigi atasnya.

Kekanakkan, namun tetap memesona.

Lalu Sam tak sengaja melihatnya. Ada benang di rambut Colin.

Jangan tanya mengapa Sam melakukan hal berikutnya. Pasti gengsinya sedang menguap atau semacamnya. Tangannya terulur begitu saja ke rambut Colin untuk mengambil benang itu, dan menjauhkan tangannya beberapa detik agak terlalu lama dari seharusnya.

"Pasti tersangkut waktu kau..."

...waktu kau sedang melihat-lihat baju jahitan ibuku barusan.

Tapi Sam tidak pernah bisa meneruskan kalimatnya. Otaknya seolah dipaksa untuk fokus hanya pada satu hal di hadapannya. Seperti yang selama ini Sam yakini, bila mereka sedang berhadapan langsung, selalu saja ada momen ketika sesuatu pada diri Colin membuatnya kehilangan konsentrasi.

Dan kali ini, adalah matanya.

Mata yang, entahlah, selalu membuat Sam kesulitan menerka-nerka. Sam dapat dengan sangat yakin memutuskan bahwa warna sepasang mata itu adalah abu-abu, hingga detik berikutnya dia heran sendiri mengapa bisa-bisanya keliru menebak, padahal belum pernah dia melihat sepasang mata yang begitu biru.

Pokoknya, mata itu menyesatkan. Menenggelamkan. Mengagumkan.

Sam benar-benar yakin dia akan tenggelam sekarang.

"...DENGAN BARBEKYU DAN SAUS YANG BANYAK!"

Entah siapa duluan yang tersentak, Colin atau Sam. Yang jelas keduanya sama-sama menjauh begitu Tom tiba-tiba menyerbu masuk ke dalam rumah dan berteriak-teriak seperti petasan. Disusul Lou dan Mary.

"Wah, ada Colin! Ayo main scrabble!" Tom langsung menarik lengan Colin dan menyeretnya untuk duduk di depan televisi.

"Colin, kau mau teh?" tawar Mary, "Sam, kenapa bengong saja di situ? Mana sopan santunmu? Oh, kau nggak akan percaya apa yang aku dan Michelle rencanakan. Pesta citrus! Mengingat buahnya baru muncul sekarang, mungkin kita baru bisa memanennya minggu depan... tapi oh, kalaupun kurang kita selalu bisa membeli yang sudah matang di supermarket. Dan... astaga, aku lupa membereskan pakaian-pakaian ini..."

Sam masih terlalu syok hingga tidak tahu harus berkata apa.

Untungnya, Colin segera menyelamatkan keadaan.

"Aku dan Samantha sedang mempertimbangkan untuk mengadakan garage sale dan memajang pakaian-pakaianmu, Mrs. Feather. Kurasa mereka cukup bagus untuk dijual. Iya kan?"

Colin memandang Sam dengan sorot yang sepertinya mengandung makna lain.

"Eh... yeah. Yeah. Kurasa itu ide bagus." Sam membeo.

Belum pernah Sam melihat ibunya seceria dan sesemangat ini, "Aku tak percaya berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk memutar otak dan memikirkan bagaimana caranya agar semua ini terjual...." dia melambaikan tangannya ke tumpukan kain di sekelilingnya, "...dan kalian memecahkannya hanya dalam hitungan menit!"

Percaya deh, Mom, Sam membatin, rasanya aku sudah memandangi mata itu selama berjam-jam.

---

Citrusnya berbuah, akhirnya :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top