Chapter 20

Pohon citrus di halaman rumah Sam seharusnya sudah berbuah sekarang. Tapi tidak ada satu cabang pun yang menunjukkan tanda-tanda akan begitu. Tidak ada semburat kuning di sela-sela dedaunannya dari arah mana pun Sam melihat. Pohon ini belum pernah terlambat sebelumnya. Dia selalu berbuah sesuai jadwal.

Lance menelepon pagi-pagi sekali, ketika Mary masih berusaha membangunkan Tom dan gorden-gorden belum dibuka. Dia meminta maaf pada Sam karena telah mengacaukan pertemuan kemarin dan memutuskan untuk menundanya. Lalu dia memberitahu Sam masalah pertengkarannya dengan Bill.

"Colin tampaknya tahu hal ini, karena itu dia jadi mengundurkan diri." sesal Lance.

"Yah, memang. Dan aku juga tahu kok. Kami menguping kalian berdua kemarin." kata Sam lugas.

Lance sepertinya menjatuhkan entah-apa di sana, suaranya berisik sekali.

"APA?! Kau mendengar semuanya?!" serunya serak, "T-tapi itu...aku..."

"Aku menghargai kepedulianmu padaku, Lance. Sungguh. Kau juga sudah kayak abangku sendiri, dan kemarahanmu kemarin benar-benar bikin aku terharu. Berkat kau, aku jadi tahu... apa kau bilang kemarin? 'Isi otak' Bill. Terima kasih banyak untuk itu semua."

Sam terhenti sejenak karena tiba-tiba Mary lewat sambil menggotong-gotong seprai yang basah dan menyumpah-nyumpah, "...mau sampai umur berapa anak itu akan mengerjaiku terus?"

"Tapi," Sam melanjutkan, ketika dia yakin ibunya telah berada cukup jauh dari jangkauan dengar, "...aku akan lebih menghargai bila kau membiarkan aku dan Bill yang menyelesaikan masalah ini, berdua saja."

Tanggapan ini tampaknya sudah dapat diduga oleh Lance, karena detik berikutnya dia berkata, "Aku sangat mengerti. Tetapi bocah itu sudah berlaku seenaknya padamu."

"Kuharap kau bisa rukun lagi dengan Bill. Kau tahu, dia nggak punya tempat lain untuk menginap jika kalian terus gondok-gondokan..."

"Aku membencinya karena dia memperlakukanmu semena-mena, Sam. Dia—" Lance menghentikan protesnya. Cowok itu tidak bersuara selama beberapa saat. Namun Sam lega ketika mendengar desahan pelan Lance, "Kurasa malam ini kami akan membuka sesi curhat."

Sam mengulum senyum membayangkan Bill dan Lance duduk di lantai, masing-masing mendekap bantal, memakai piyama, dan ngobrol dari hati ke hati.

"Apa kau yakin kau baik-baik saja, Sam?" Lance memastikan.

"Kurasa begitu. Ng... Lance?"

"Yeah?"

"Berjanjilah padaku kau nggak bakal melakukan tindakan bodoh. Aku nggak mau kau dan Bill saling adu jotos."

Terdengar kekehan dari seberang.

Mereka mengakhiri pembicaraan saat Sam melihat adiknya Lou, turun ke ruang makan sambil mengucek-ucek matanya. Sekarang sudah pukul tujuh dan Sam harus bersiap ke sekolah, sebelum menyuapi adiknya bubur dan menyetel Barney Show.

Sam menyorongkan sendok bubur pada Lou sambil terkagum-kagum sendiri, bagaimana bisa dia terdengar begitu tenang dan bijak di telepon tadi?

Rasanya, tajuk berita lokal di televisi hari ini masih terlalu hambar bila dibandingkan dengan kegemparan yang baru saja terjadi di Dartville High School.

HILLARY SWAN DAN FRANKIE LEWITS JADIAN.

Seseorang memergoki Hillary dan Frankie tengah bercumbu di loker dekat ruang musik yang selalu sepi. Kabar menghebohkan ini langsung saja menyebar seantero sekolah dalam hitungan menit.

Ini menghebohkan, karena Hillary: si cantik, si keren, si kaya, si Mantan Ratu Populer, bisa-bisanya jadian dengan Frankie: si kutu buku, si maniak komputer, si Kaum Mars yang kacamatanya setebal pantat botol dan selalu memakai celana bahan.

Sam tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan bukti. Dia nyaris menjatuhkan nampan makan siangnya ketika melihat Hillary dan Frankie ciuman di meja mereka di kantin, di tengah-tengah pelototan dan suitan dan keriuhan itu.

Ketika melirik diam-diam ke arah meja Kaum Paling untuk melihat reaksi Vincent, Sam harus susah payah menahan tawa melihat rahang persegi cowok itu yang kelihatannya nyaris menyentuh piring makan siangnya saking lebarnya dia menganga.

Sam membawa nampannya menyelinap ke dalam dapur dan langsung mendiskusikan masalah ini dengan Mrs. J di belakang konter makanan .

"Aku khawatir Frankie cuma jadi bulan-bulanan Hillary saja..." ujar wanita gemuk itu seraya mengaduk saus salad, "...semua orang tahu dia dicampakkan quarterback tim futbol Dartville itu, siapa namanya?"

"Vincent Brody." sahut Sam sambil melahap sosisnya.

"Ya, dia. Siapa tahu dia hanya kepingin bikin si Brody gerah..."

"Ada kemungkinannya, tapi Hil sepertinya sudah banyak berubah. Dulu sih saya bakal langsung setuju dengan Anda, Mrs. J, tapi sekarang... saya ragu-ragu dia memacari Frankie dengan alasan sedangkal itu." ungkap Sam terus terang. Memang Sam pernah mendengar Hillary mengeluh ingin cepat-cepat punya pacar karena tidak tahan memikirkan mantan cowoknya terus. Kalau memang dia hanya ingin membuat Vincent cemburu, maka seharusnya dia memacari cowok yang lebih canggih dari Vincent, bukannya kutu buku culun macam Frankie.

Tapi Sam pribadi berpendapat bahwa Frankie pun masih jauh lebih baik dibanding quarterback idiot mata keranjang macam Vincent.

"Yah, itu sih bukan urusan kita." Sam memutuskan untuk tidak peduli.

Mrs. J mengangkat bahunya setuju. Kemudian, seolah baru sadar bahwa Sam sedang duduk memangku nampannya di antara panci-panci, dia langsung naik darah, "Ngapain kau di sini? Sana cari bangku!"

Sam mengangkat bahu, "Saya kan nggak mungkin menginterupsi pasangan baru itu..."

"Di tangga darurat saja! Masih lebih baik di sana dengan Colin daripada di sini!"

"Memangnya hari ini Colin masuk?" Sam menelan sosisnya susah payah, mendadak sekujur tubuhnya merinding karena teringat rasa malunya. Dalam hati Sam bersyukur Colin tidak ditempatkan di kelas yang sama dengan Sam pada dua kelas sebelumnya.

"Masuk kok. Aku hampir lupa dia menitipkan pesan untukmu. Dia kepingin kau membawakannya brokoli."

Sam merasa dibodoh-bodohi, "Kenapa dia nggak mengambilnya saja sendiri?!"

"Yang dia maksud..." Mrs. J meletakkan wadah berisi brokoli rebus dengan saus keju di nampan Sam dengan ekspresi penuh kasih, "...adalah brokoli yang seperti ini, yang biasa kau makan. Dia tahu aku nggak menyediakan brokoli saus keju di konterku. Ini brokoli yang selalu kubuat spesial untukmu."

Sam memandangi wadah plastik kecil di atas nampannya itu dengan berat hati. Masalahnya, Sam belum yakin dia sudah sembuh dari traumanya terhadap sayuran yang satu ini dan sanggup menelannya. Apa lagi di hadapan cowok Perancis nyebelin yang sekarang sudah tahu sekitar sembilan puluh persen lika-liku kehidupan percintaannya.

"Itu tandanya Colin memperhatikan nampanmu." Mrs. J menambahkan dengan kerlingan menggoda.

Melihat ekspresi Mrs. J yang bahagia dan berbunga-bunga—seolah sedang mendapati anaknya sendiri berhasil menggunakan toilet siram dan bukannya popok untuk pertama kalinya—Sam jadi tak tega untuk menolak.

Maka, setengah gugup setengah jengkel, Sam menguatkan hatinya dan membuka pintu tangga darurat lima menit kemudian. Colin tidak ada di anak tangga. Hanya nampan kosongnya yang tergeletak di sana. Cowok itu sendiri sedang berdiri membelakangi Sam dan pintu darurat, melihat ke bawah melalui balkon.

Profil itu. Rambut hitam pendek yang acak-acakan tertiup angin, kaus lengan panjang biru donker, jins lusuh, kets. Bagaimana bisa profil sesederhana itu dapat menimbulkan sensasi aneh di perut Sam?

Sam berdeham, khawatir cowok itu belum menyadari kehadirannya. "Nih brokoli pesananmu, Tuan Besar."

"Ke sini dan lihatlah."

Colin menunjuk sesuatu di bawah sana. Penasaran, Sam meletakkan nampannya di sebelah nampan kosong Colin—rupanya dia telah selesai makan—dan ikut melongok ke luar balkon. Tidak ada apa-apa.

"Apa?" tanya Sam.

"Bak sampah."

Sam melihat bak sampah itu. Masih sebesar dan sekokoh dulu. Hanya saja bagian tutupnya agak penyok karena sesuatu. Dan Sam tahu persis apa 'sesuatu' itu.

"Aku nggak bakal kebayang jika sekarang kita kembali terkunci dan harus melompat ke situ lagi." Sam mengulum senyum.

"Tapi kau sudah melompat. Kau pasti bakal berani melompat lagi." Colin memandangnya.

"Begitu menurutmu?" dalam hati Sam mengira Colin akan membahas lagi masalah Bill-itu-sahabatmu-bukan-sih dan sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang akan dilontarkannya. Nyatanya, cowok itu tidak mengungkit-ngungkit hal itu sama sekali. Sekarang dia malah nostalgia tentang tempat sampah.

"Samantha." Colin tiba-tiba menyeletuk.

"Hm?"

"Sori soal kemarin..." katanya. Akhirnya keluar juga kata-kata itu.

"Sudahlah." kata Sam, kembali menatap bak sampah, "Agak malas membahasnya."

Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara. Situasi ini mirip dengan jeda-diam mereka, ketika mereka masih telepon-teleponan dan keduanya tidak punya sesuatu untuk dikatakan. Tapi jeda-diam itu tak berlangsung lama.

"Bagaimana suasana hatimu hari ini?" tanya Colin, menoleh menatap Sam dengan matanya yang kali ini berwarna biru terang. Kontras sekali dengan rambutnya yang gelap. Itu bisa saja terjadi, langit sedang cerah dan warnanya memantul di mata Colin. Begitu pula yang terjadi pada laut, kan?

"Well," Sam berusaha mengabaikan sensasi aneh di perutnya, "Baik-baik saja. Cuma agak syok masalah Hillary-Frankie." dia lalu menatap Colin aneh dan menambahkan dengan nada menyindir. "Makasih lho sudah mengkhawatirkanku..."

"Apa kau sedang ingin marah-marah atau semacamnya?" tanya Colin lagi, beringsut mendekat.

Dia kenapa sih? Sam kali ini memandang Colin seolah dia mendadak tidak waras. Namun Sam menjawab juga, "Kurasa nggak."

Mendengar jawaban Sam, senyum Colin mengembang.

"Très bien."

Nyaris pada detik yang sama saat dia mengucapkan kata-kata itu, Colin melingkarkan lengannya di pinggang Sam, lalu menciumnya.

Sam berdiri di sana, kaget, kikuk, dan terjepit di antara tembok balkon dan lengan-lengan Colin. Tapi Colin tidak peduli. Saat ini cowok itu tampaknya tidak peduli pada apapun.

Dan sepertinya begitu pula yang terjadi pada Sam. Dia tidak bisa berpikir. Seluruh tubuh Sam merinding dan sensasi di perut itu kini sudah menjalar ke mana-mana. Yang lebih mengherankan lagi, kedua tangan Sam yang tadinya kaku menggantung di sisi-sisi badannya, entah bagaimana kini memasrahkan diri dan jatuh begitu saja di dada cowok itu.

Ini pertama kalinya Sam menyadari betapa hangatnya Colin, betapa kuat tangannya yang menyentuh punggung Sam, betapa enak wangi sampo aroma mint-nya itu, betapa menyenangkan rasanya saat bulu mata dan ujung hidung cowok itu menyapu pipi Sam, betapa lembut bibirnya terasa di bibir Sam...

Dan bel berbunyi.

Colin melepaskan lengannya dari pinggang Sam dan menjauhkan dirinya. Lalu semua itu berakhir. Seperti bathtub yang sumbatnya di buka. Rasanya bahkan belum sepuluh detik!

"Nah," kata Colin sedikit kepayahan, wajahnya agak merona. "Pergunakan itu sebagai bahan referensimu."

Dia berjalan untuk mengambil nampannya, lalu mengambil wadah plastik dari nampan Sam.

"Trims, brokolinya."

Kemudian cowok itu pergi, meninggalkan Sam yang masih mematung menghadap tempat Colin berdiri beberapa detik yang lalu, dan masih merasa menjadi cewek paling tolol sedunia.

"Aku nggak percaya aku hampir mengelus rambutnya!" keluh Sam sambil menggiring sepedanya sepanjang parkiran. Hillary tidak berhenti terbahak-bahak di sebelahnya. Rupanya dia merasa gembira karena pendapatnya selama ini terbukti benar.

"Aku hanya nggak habis pikir, Sam, ngapain dia repot-repot beralasan minta dibawakan brokoli? Tinggal bilang," Hillary merendahkan suaranya, "'Hei Sam. Nanti temui aku di tangga darurat ya, aku kepingin menciummu' kan beres..." lalu dia tergelak-gelak lagi.

"Oh, diamlah..." Sam menghela napas panjang, "Kau membuat ini jadi sepuluh kali lipat lebih parah. Lagipula dia nggak pernah memanggilku 'Sam'. Dia selalu memanggilku 'Samantha'."

"Oh!" Hillary menghentikan langkahnya mendadak dan menatap Sam tidak percaya, "Itu cute banget! Apa kau benar-benar beranggapan bila cowok Perancis yang selama ini selalu memanggilmu dengan nama penuh tiba-tiba menciummu itu parah?"

"Well... bukan begitu. Maksudku soal brokoli itu..."

"Lupakan soal brokoli," potong Hillary tak sabar, "...yang penting adalah apa kau menyukainya?"

"Apanya?" tanya Sam bodoh.

"Ciumannya." Hillary memutar bola mata, seolah segala-galanya sudah jelas. Mereka tiba di tempat Hillary memarkir mobilnya. Sam memaju-mundurkan sepedanya salah tingkah.

"Ciumannya nggak bertele-tele, tapi..." Sam mendesah dengan tampang sengsara. "Ya Tuhan... aku nggak bisa bilang aku nggak menyukainya."

Hillary mengulum senyum, "Kau mau mampir ke rumahku dulu? Kita bisa ngegosip dan membicarakan lebih lanjut masalah 'ciuman nggak bertele-tele' itu..."

Sam langsung ngeloyor pergi dengan tampang jengkel.

"Hei, jangan kabur! Kau mau nggak?" Hillary berseru padanya.

"Nanti saja setelah kau selesai mengurusi Frankie!" Sam balas berseru sinis. Dalam hati dia mensyukuri juga perhatian Hillary jadi teralih pada masalah Colin alih-alih pada pengakuan Sam padanya soal Bill yang pura-pura pacaran dengannya.

Lalu Sam menaiki sepedanya dan mulai mengayuh, melewati gerbang Dartville. Dia tak bisa meredam, menghilangkan, atau melupakan sensasi-perut-jungkir-balik ini sejak kejadian brokoli-keju tadi. Seberapa pun kerasnya Sam berusaha. Parahnya lagi, Sam harus menghadapi momen canggungnya selama sisa mata pelajaran hari itu. Mereka di kelas yang sama, dan Sam berupaya untuk masuk paling akhir persis sebelum guru melangkah masuk kelas, agar dia tidak perlu memandangi tengkuk cowok itu dari kursinya terlalu lama.

Dia juga tak bisa mengenyahkan kalimat Colin dari kepalanya, kalimat yang dikatakan pada Sam sesaat setelah ciuman itu.

"'Pergunakan ini sebagai bahan referensimu'...?! Yang benar saja!" Sam meledak, kakinya mengayuh pedal semakin cepat.

Colin melihatku ciuman dengan Bill yang gay dan melabrakku kemarin, di toilet. Dia sepertinya sudah menilaiku sebagai cewek yang menyedihkan karena itu, tapi hari ini dia meminta maaf dan menciumku setelah kami ngomongin bak sampah dan masalah suasana hatiku!

"Apa dia hanya sedang berusaha membodoh-bodohiku?!" Sam ngebut dengan emosi. Angin kencang menerpanya, tapi tetap saja wajahnya terasa panas. Persetan dengan Teka-Teki Dunia Colin.

Pukul sembilan, seusai makan malam di rumah Sam. Acara televisi hari ini benar-benar payah. Sam hanya bolak-balik mengganti channel, tatapannya kosong.

Tentu saja, bagaimana mungkin dia bisa berkonsentrasi pada siaran televisi jika dia baru saja dicium cowok?

Well, kali ini ciuman betulan oleh cowok non-gay yang kebetulan juga tetangganya.

Sam merebahkan kepalanya di sandaran sofa, menatap langit-langit sambil terngiang-ngiang obrolannya dengan Hillary tadi di telepon. Hillary menuntutnya menceritakan soal kejadian-keju-brokoli versi 'lebih lengkap dan mendetail' sampai-sampai nyaris membuat Sam merinding sendiri. Dia rupanya juga masih ingat dan menagih penjelasan Sam mengenai hubungan 'abstrak'nya dengan Bill—meminjam istilah Hillary—mengingat mereka tidak sempat membicarakan masalah ini di sekolah dengan segala kehebohan menyangkut Hillary-Frankie yang jadian.

Rasanya melegakan dapat menumpahkan semuanya pada seseorang yang bisa dipercaya. Dan Hillary sejauh ini sudah membuktikan bahwa dirinya pantas Sam percaya. Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa Hillary yang barusan mendengarkan curhatan Sam di telepon adalah orang yang sama dengan Hillary yang dulu sempat menjadi Ratu Kejam se-Dartville.

"Kau tahu..." kata Hillary beberapa menit yang lalu dengan nada penuh makna, "...juri boleh saja mencalonkan dua pemenang. Tapi setelah dipikirkan baik-baik, hanya ada satu yang bakal meraih trofi. Sisanya hanya runner up."

Entah bagaimana Hillary dapat menghubungkan situasi yang sedang terjadi pada Sam dengan 'pemenang', 'trofi', dan segala macamnya itu. Sam menghembuskan napasnya. Haruskah dia mencari narasumber lain?

"Mom..."

"Hm?" sahut Mary tanpa mendongak dari mesin jahitnya yang dia pindahkan ke ruang tengah.

"Apakah normal jika seorang cewek dicium dua cowok, dan cewek itu menyukai kedua ciuman itu?" celetuk Sam.

Suara mesin langsung terhenti, Mary menatap Sam dari atas kacamatanya.

"Apa kau sedang bicara tentang dirimu sendiri?" tanyanya tajam.

"Nggak." Sam berbohong, "Itu ada di naskah drama klub teater sekolah buat minggu depan."

Mary tampaknya tak begitu yakin dengan alasan Sam, namun dia kembali ke jahitannya. Suara mesin pun kembali terdengar.

"Itu nggak mungkin terjadi." Mary berkesimpulan.

"Tapi..." Sam menegakkan badannya sehingga dia dapat melihat ibunya dengan lebih jelas, "...bagaimana kalau itu terjadi?"

Mary mengangkat bahu, "Seorang cewek nggak bisa jatuh cinta pada dua cowok sekaligus. Maksudku, dengan sungguh-sungguh. Akan ada salah satu ciuman yang lebih dia sukai."

Sam terenyak.

Hanya ada satu yang meraih trofi. Sisanya hanya runner up.

Begitukah? Itukah maksud kalimat membingungkan Hillary tadi? Apakah itu juga ada hubungannya dengan Frankie yang sudah berhasil meraih 'trofi' di hatinya sendiri?

Sam seharusnya tidak perlu ragu memutuskan siapa yang dia sukai. Bukankah dia sudah naksir setengah mati kepada Bill sejak pertama kali dia menonton Memaze, kurang lebih lima tahun yang lalu?

Atau... benarkah begitu?

"Bagaimana rasanya waktu kau pertama kali mencium Dad, Mom?"

Mary menghentikan pedal mesinnya tiba-tiba, dia memegangi dadanya. "Astaga Sam, itu cerita zaman kapan..."

Sam memerhatikan kedua pipi ibunya merona, "Aku hanya ingin tahu..."

Mary tampak salah tingkah, dia tersenyum kecil, "Samuel dan aku masih muda sekali waktu itu. Kami baru kembali dari pesta pernikahan bibiku, dan dia memakai tuksedo yang membuatnya hot banget..."

Sam terkekeh.

"Yah... pokoknya selanjutnya kami ngobrol sesuatu tentang sekolah dan masa depan. Aku tahu, klise banget. Setelah itu dia menciumku di trotoar depan rumahku, untung belum banyak lampu jalan yang dipasang waktu itu."

Pandangan Mary menerawang, sudut bibirnya naik sedikit membentuk senyuman samar. "Rasanya seperti disetrum, menjalar ke seluruh tubuh. Aku nggak bisa berpikir. Samuel bukan tipe cowok yang jago ciuman, jujur saja... tapi kami berdua sama-sama menyukainya. Dan itu cukup."

Sam kembali merebahkan kepalanya di sofa, memejamkan matanya dan berusaha mengingat-ingat kembali. Dia cukup menikmati ciuman Bill yang nyaris tanpa cela. Lembut dan dalam. Dia sudah lama memimpi-mimpikan ini dapat terjadi...

Tapi.

Sam menarik dirinya dari Bill karena membayangkan sebuah brokoli.

Namun brokoli tidak muncul saat Colin menciumnya, padahal jelas-jelas ada brokoli-saus-keju betulan di tangga di belakang mereka. Boro-boro memikirkan brokoli, dia malah seratus persen tidak bisa berpikir saat itu. Tapi Sam juga tidak bilang dia tidak menyukai itu. Dan, mirip dengan yang dialami ibunya, dia merasakan sensasi-aneh-yang-menjalar-ke-seluruh-tubuh itu.

Sam juga tidak menarik dirinya dari Colin.

Dan Sam juga tidak pernah berharap bel masuk berbunyi pada saat itu.

Mary mengakhiri nostalgianya dengan memandang Sam dalam-dalam, "Sudah cukup? Kurasa kau bisa menggunakan ini sebagai referensimu di masa mendatang."

Sam langsung terduduk tegak, "Referensi." dia mengulang.

Akhirnya dia menemukan jawaban dari perkataan Colin itu.



---

Très bien. = Very good.

Très bien, Sam! Wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top