Chapter 2
"Bisakah kau diam sekali saja?" Sam menghembuskan napas putus asa di pinggir jalan keesokan paginya. Dia sudah rajin memberi minyak pelumas pada sepedanya, namun hasilnya tetap mengecewakan. Dan kali ini deritannya terdengar semakin parah. Sam berhenti untuk mengecek rantai sepedanya ketika sebuah Corolla-Altis hitam berhenti di belakangnya.
"Samantah!" suara wanita dengan logat Perancis kental memanggil namanya.
"Hai Mrs...uh, Michelle!" Sam berdiri, melihat Michelle sedang melambai padanya dari balik setir. Colin duduk di kursi penumpang, dengan wajah ditekuk yang sama menyebalkannya seperti kemarin.
"Ada masalah dengan sepedamu?" tanya Michelle melongok ke luar jendela mobilnya.
"Nggak juga, um... Anda tahu, sepeda tua." Sam meringis.
"Kuberi kau tumpangan. Apa sepedamu bisa dilipat? Kau bisa meletakkannya di bagasi."
Sam tercengang, "Saya baik-baik saja. Kalian duluan saja. Lagipula sepeda ini bukannya mogok atau apa, cuma...berderit, itu saja."
Baru sekarang Sam melihat Colin nyengir, dan itu pun bukan cengiran yang menyenangkan. Kemudian cowok itu menggumamkan sesuatu dalam bahasa Perancis, yang membuatnya menerima pandangan memperingatkan dari Michelle.
"Lihat saja betapa banyak karatnya." Colin mendengus, tak berusaha memelankan suaranya.
"Ferme la bouche!" Michelle berkata tajam.
"Saya nggak apa-apa, sungguh." Sam menaiki sepedanya dan mulai mengayuh, ogah mendengarkan cekcok orangtua-anak lebih lanjut. Baru satu meter mengayuh, sepedanya mulai megeluarkan deritan panjang yang cukup mengerikan. Sam merutuk, "Sialan."
"Sudahlah." Michelle turun dari mobilnya dan membuka bagasinya, "Naik saja."
Maka Sam mendapati dirinya berada di kursi belakang mobil keluarga Faugere dua menit kemudian, melaju menuju Dartville sembari melihat tengkuk-tengkuk Perancis di depannya. Sepanjang perjalanan, Michelle terus-menerus mengajak Sam mengobrol, tentang keluarganya dan rumah mereka dulu di Perancis. Michelle bahkan antusias mengenai keluarga Sam, adik-adiknya, dan lain-lain—bahkan pohon citrus Sam tak luput disinggung-singgung. Sebaliknya, Colin bungkam total. Hanya sesekali dia mengingatkan ibunya apabila lampu sudah berubah hijau, atau memberitahunya untuk berbelok. Itu pun dalam bahasa Perancis.
Tak sampai dua puluh menit mereka sudah tiba di Dartville. Sam mau tak mau harus mengakui agak melegakan bisa keluar dari mobil itu. Hanya saja dia teringat satu masalah, sepedanya masih berada di atap mobil—bagasinya terlalu kecil untuk memuat sepeda Sam.
Beberapa orang yang lewat memperhatikan Sam yang sedang berusaha menurunkan sepedanya. Michelle buru-buru menyelamatkan keadaan.
"Aku akan membawanya ke rumah. Kau bisa mengambilnya nanti dalam perjalanan pulang."
"Tapi saya nggak bisa pulang tanpa sepeda." Sam berkata jujur. Michelle tersenyum ramah padanya, lalu menjejalkan beberapa dolar ke tangan Sam yang terkaget-kaget, "Ap—?"
"Kau bisa pulang dengan Colin naik bus." perintah wanita itu.
"Comment?!" Colin menatap ibunya dengan kesal.
"Kita di Amerika. Mulailah gunakan bahasa Inggris." Michelle naik ke mobilnya, dan tersenyum lagi pada Sam, "Sam, bolehkah kami main ke rumahmu kapan-kapan, aku sangat ingin bertemu dengan ibumu dan adik-adikmu."
Sam mengerjap, "Tentu. Pasti akan jadi kunjungan yang, mm... menyenangkan."
"Excellent." Michelle berkata, "Dah, Samantah!"
"Sam saja... please. Dan terima kasih ongkosnya, Michelle."
"Tak perlu sungkan, Sam! Nah, pergilah kalian berdua, jangan mengacau di hari pertamamu, Colin."
Colin menyampirkan ranselnya dengan tampang jengkel dan berjalan melewati lapangan parkir memasuki Dartville. Sam mengikutinya. Dartville di pagi hari ramai seperti biasa. Koridor-koridor penuh, suara-suara obrolan dan bunyi loker-loker membuka-tutup terdengar di mana-mana. Suara Mr. Gordon—pembina klub siaran sekolah—bergema melalui speaker yang dipasang di langit-langit, menyampaikan sapaan pagi hari 'anti-ngantuk' khas Dartville seperti biasa.
Colin tampaknya agak gugup menghadapi situasi di sekolah barunya, Sam bisa melihat cowok itu memperbaiki letak sampiran ranselnya dengan gerakan kikuk sambil berusaha mencari lokernya. Sam berusaha bersikap baik.
"Perlu kubantu mencari?" dia menawarkan, "Berapa nomornya?"
Cowok itu mendiamkannya. Dia kemudian berhenti di depan salah satu loker dan mulai memasukkan nomor kombinasi. Pintu lokernya terbuka.
"Well, bisa kulihat kau sudah berhasil menemukannya." kata Sam.
"Bisakah kau tinggalkan aku sendiri? Sudah kubilang aku nggak butuh pemandu." Colin berujar kesal. Rahangnya rapat saat mengucapkannya.
Sam tercengang. Dia sudah berusaha 'menjaga hubungan baik' dengan cowok satu ini, tapi beginikah caranya membalas?
Sebelum Sam sempat membuka mulutnya, seseorang menepuk bahunya dari belakang.
"Well, well, well, bagaimana sekolah barumu, Colin? Kuharap kau baik-baik saja dengan Sam?" Mrs. Midden tersenyum lebar. Rambut abu-abunya disanggul ketat ke atas dan pakaiannya terseterika rapi seperti biasa.
"Cukup baik Mrs. Midden, terima kasih." Colin tersenyum singkat. Diam-diam Sam ingin sekali mencekik cowok itu.
"Sam, sudahkah kau memberi Colin jadwal kelasnya?"
"Semua oke, Mrs. Midden." kata Sam cepat. Bisa dia lihat Colin meliriknya gusar, "Kurasa dia bisa menemukan kelasnya sendiri pagi ini."
"Magnifique!" Mrs. Midden berkata cerah dengan logat Perancis berlebihan.
Sam membuka lokernya sendiri sementara Mrs. Midden memberikan wejangan-wejangan kepada Colin. Dia bisa mendengar kepala sekolahnya berucap, "Nah, semoga harimu menyenangkan, Colin!" sebelum wanita itu kembali ke kantornya dengan langkah ringan ceria.
Baru saja Sam hendak beranjak menuju kelas pertamanya ketika Colin memanggilnya, "Oi."
Sam menoleh ogah-ogahan.
Colin berdiri gelisah. Kemudian dia berbicara tanpa memandang Sam, masih dengan nada ketus. "Aku nggak tahu kelasku."
Sam agak menikmati ini, "Terus?"
Colin mulai terlihat jengkel, "Kau belum memberiku jadwal apapun."
"Memang belum." ujar Sam, "Ada apa dengan kata-kata 'aku nggak butuh pemandu'?"
Alis cowok itu berkedut, tampaknya dia siap meledak marah. Sam menyerah. Dalam hati dia bersyukur karena sudah mengecek jadwal Colin yang diberikan Mrs. Midden tadi malam.
"Kelas pertama kita Biologi di lantai dua. Ikut aku."
Setelah berbalik dan memimpin jalan, Sam tersenyum penuh kemenangan. Baru kali ini dia merasa seseorang di Dartville harus bergantung padanya. Mungkin dia akan menikmati seminggu ini untuk menjadikan Colin bulan-bulanannya. Sam akui ide itu benar-benar menyenangkan.
"Ah, ini dia Miss Samantha Persentase-Kehadiran-Penuh Feather!" seorang pria botak berkumis separuh baya menghampiri Sam sambil membawa-bawa setumpuk kertas, "Tolong bagikan kuisioner ini di kelas. Aku harus kembali ke kantor untuk mengambil beberapa peralatan... oh, inikah si murid baru dari Perancis?"
"Ya." kata Sam.
"Colin Faugere, Sir." Colin memperkenalkan diri sopan.
"Halo Colin, kau bisa memanggilku Mr. Taylor. Guru Biologimu mulai sekarang. Nah, sebaiknya kalian bergegas ke kelas. Lebih baik selesaikan kuisionernya sebelum aku memulai pelajaran."
Sam dan Colin menaiki tangga dan berbelok kiri, melewati mading dan ruang kebersihan sebelum akhirnya tiba di kelas Biologi.
"Kuisioner." Sam berkata sambil membagi-bagikan kertas. Kelas begitu ribut hingga tak ada yang sepenuhnya menyadari seorang murid pindahan dari Perancis sudah masuk dan duduk di kursi yang tersisa di belakang. Sam baru separuh membagikan ketika seseorang berdiri begitu tiba-tiba hingga lengannya menyenggol tangan Sam begitu keras. Kuisionernya berhamburan.
"Uuups... sori banget, Sam. Nggak melihatmu." Hillary berlalu dengan enteng. Sam menatap kuisioner yang berhamburan dengan geram.
"Bisakah kau menemukan kesenangan lain dan berhenti menggangguku?!" Sam tidak tahu apa yang merasukinya hingga dia bisa berkata seperti itu. Bukan berkata malah, dia bisa dibilang berteriak.
Seisi kelas langsung hening. Semuanya memperhatikan Sam dan Hillary. Hillary tampak agak terpukul. Dia menghampiri Sam dengan gerakan dramatis dibuat-buat.
"Apa kau nggak dengar? Aku nggak melihatmu." katanya dengan nada manis memuakkan. Dia menaikkan kedua alisnya yang dicukur sempurna dan menyunggingkan senyum berlapis lipgloss anti airnya yang mahal, "Lagipula kau selalu berada di tempat dan waktu yang salah."
Hillary mengibaskan rambut pirangnya dan berlalu keluar kelas, tepat ketika Mr. Taylor masuk sambil membawa-bawa dua kotak penuh mikroskop, "Mau ke mana dia? Astaga, kenapa berantakan begini?"
Tanpa berkata-kata, Sam berjongkok dan memunguti kertas-kertas yang berserakan. Mr. Taylor ikut berjongkok dan membantu memunguti. Sam berjuang keras untuk menahan air matanya hingga tenggorokannya sakit. Dia tahu Colin tengah mengawasi, namun ternyata Sam harus kecewa dengan ekspektasinya.
Colin sama seperti yang lain. Dia tidak membantu.
❧
Sam tidak berkata apa-apa kepada Colin sepanjang sisa hari itu. Bukannya berharap Colin mau mengajaknya ngobrol atau apa, tapi atmosfer di antara mereka benar-benar jadi jauh lebih tidak enak dibanding sebelumnya.
Respon para murid terhadap Colin Si Murid Pindahan lumayan baik. Sebagian kaum hawa terbukti memiliki ketertarikan lebih terhadap cowok pindahan dari Perancis ini, namun itu masih sebatas kerlingan menggoda dan senyuman ramah, tidak heboh-heboh amat.
Ketika istirahat, Sam tidak repot-repot mengajak Colin duduk bersamanya di kantin. Karena memang dirinya tidak pernah makan di sana. Sam seperti biasa membawa makanannya ke tangga darurat di lantai tiga. Di sana tidak ada orang, tangganya terbuka seperti balkon sehingga hawanya sejuk dan Sam bisa menikmati pemandangan lapangan belakang Dartville High yang luas. Dan benar saja, ketika kembali ke kantin untuk mengembalikan nampan makan siangnya, Colin sudah duduk dikerumuni beberapa orang dari Kaum Paling yang penasaran terhadap si murid baru dari Perancis. Dan ajaibnya, baru kali ini Sam lihat mereka kelihatan cukup ramah terhadap seseorang.
Mrs. Midden kembali menggerecoki Sam di koridor ketika pergantian kelas. Kebetulan dia berpisah kelas dengan Colin saat itu sehingga dengan perasaaan lega dia dapat mengadukan keluhannya.
"Saya rasa dia sudah bisa dilepas mulai besok. Hari ini pun dia juga sudah punya teman makan bareng, kayaknya mereka baik-baik." Sam mengemukakan dengan nada letih.
"Mm-mm." Mrs. Midden mengangguk-angguk, "Tapi kontrakmu seminggu."
Sam membelalak tak percaya, "Kontrak apa? Saya kan nggak menandatangani apa-apa!"
"Kau menjabat tanganku."
Sam mengerang frustasi, "Jujur deh, Mrs. Midden, ini menjengkelkan. Kami nggak berkomunikasi dengan baik. Bukan itu maksud saya... bahasa Inggrisnya sih oke." tambahnya buru-buru ketika melihat ekspresi Mrs. Midden, "Masalahnya dia... nyebelin."
Mendengar itu, ekspresi wali kelasnya melunak dan dia tersenyum menyemangati, "Bertahanlah, Sam. Aku akan memberimu nilai ekstra untuk hal ini."
Semangat Sam mau tak mau sedikit terangkat, "Saya pegang janji Anda, Mrs. Midden."
Namun semangat nilai yang diberikan Mrs. Midden rupanya tak berlangsung lama. Ketika akhirnya bel pulang berdering begitu memekakkan telinga, suasana hati Sam surut lagi hingga rasanya ingin sekali Sam melemparkan sepatunya ke arah speaker.
Sam duduk di tembok pembatas tangga lobi, menunggu Colin keluar dan buru-buru bangkit ketika melihat rambut hitam pendeknya di tengah kerumunan. Dia tidak akan kabur begitu saja dari tanggung jawabnya. Dia bukan pengecut. Lagipula, entah apa yang akan terjadi pada Colin kalau Sam melepas saja cowok itu naik bus sendiri. Bisa-bisa dia tersasar.
Mereka berdua berjalan dalam diam menuju halte bus—Colin sibuk meneliti jadwal dalam buku panduan yang baru saja diberikan oleh Sam—dan duduk menunggu di sana juga dalam keheningan canggung. Bus akhirnya datang, dan suasana hati Sam makin anjlok parah begitu melihat rombongan Hillary Swan ikut naik. Di dalam bus, Sam dan Colin duduk berjauhan di belakang, sementara rombongan Hillary duduk di depan, mengobrol dan bertingkah seolah bus itu milik mereka. Kemudian secara tak sengaja tatapan Sam bertemu dengan Vincent Brody.
"Oh, bukankah itu temanmu, Hil?" tanya Vincent sambil masih melingkarkan lengannya di pinggang Hillary yang kecil. Hillary menoleh menatap Sam dan berpura-pura kaget.
"Astaga! Apakah kehadiranku di dalam bus ini mengganggumu? Aku nggak mau kau merasa terganggu lagi, Sam. Maksudku... setelah kau teriak-teriak di kelas Biologi tadi, ingat?"
Vincent menyeringai, sementara yang lain terkekeh-kekeh. Sam diam saja. Hillary nampaknya belum puas.
"Hei, dengar nggak sih? Aku mengganggumu nggak?"
"Well, turun saja kalau kau merasa begitu menggangguku." kata Sam sederhana.
Namun efeknya sama sekali tidak sederhana. Ekspresi Hillary seperti habis ditampar. Vincent meringis, Paul Carlton ber-'oooh' panjang dan tiga sahabat cewek Hillary memandang Sam seakan dirinya semacam onggokan sampah yang mengeluarkan bau busuk.
Hillary berdiri dari kursinya, menghampiri kursi Sam, dan berhenti persis di hadapannya. Mau tak mau Sam mengakui Hillary bahkan lebih langsing dan tinggi bila dilihat dari dekat. Cantik sekaligus menyeramkan. Namun Sam tetap menatap cewek itu dengan berani.
"Sampai kapan kau akan bersikap mengesalkan, Sam?" tantang Hillary.
"Sampai kapan kau akan bersikap begitu kekanakkan, Hil?" balas Sam. Mendengar itu Hillary hanya tersenyum. Lalu dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sam dan berbisik dramatis.
"Kau kenal ayahku, tentu? Aku bisa saja mengeluarkanmu dari Dartville, meratakan rumahmu, atau mengusirmu dari kota ini. Kapan pun. Kau tinggal bilang. Well, jika kau sadar dengan siapa kau berbicara, Sayang."
Hillary kelihatan puas menikmati perubahan ekspresi Sam. Dia menegakkan diri kembali dan menambahkan, "Tapi apa kau nggak kasihan dengan ibumu? Kalau kau keluar dari Dartville, nasibmu akan sama dengannya kan?"
Sam berdiri begitu tiba-tiba bersamaan dengan berhentinya bus, sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terduduk kembali. Sopir bus memutar badannya menghadap dia dan Hillary.
"Aku nggak tahu apa masalah kalian, nona-nona. Tapi kalau mau melanjutkan ini, jangan di busku. Atau aku akan melaporkan ini ke kepala sekolah kalian."
Geng Hillary—masih memperhatikan Sam—satu-persatu bangkit untuk turun. Vincent sudah berdiri di dekat pintu bus, "Ayo, Hil. Kita sudah sampai."
Hillary masih memandangi Sam, yang duduk dengan tangan terkepal. Dia mengibaskan rambut pirangnya penuh kemenangan lalu ganti menatap Colin, yang ternyata sedari tadi masih sibuk membaca buku panduan Dartville.
"Aku akan memilih tempat duduk sangat jauh darinya, kalau aku jadi kau." Hillary berkata pada Colin.
Colin hanya mendongak sekilas, lalu menyunggingkan senyumnya sedikit, "Aku bisa memilih tempat duduk untuk diriku sendiri, trims."
Hillary terdiam.
"Tutup mulutmu, Perancis." bentak Vincent, "Ayolah, Hil. Yang lain menunggu."
Ketika rambut pirang Hillary akhirnya berlalu melewati pintu bus, Sam terenyak di sandaran kursinya. Si sopir kemudian menutup pintu dan kembali melajukan bus.
"Percayalah, sekali lihat saja aku bisa langsung tahu siapa yang bermasalah." si sopir memutar bola matanya sambil mengemudi.
Sam diam-diam memperhatikan Colin. Cowok itu kembali bungkam. Sam tahu dia hanya buang-buang waktu bila mengharapkan hal ini, tapi apa barusan cowok itu membelanya?
❧
"Well, teknisnya sih nggak, karena dia berkata begitu untuk dirinya sendiri." kata Bill di telepon ketika malam harinya Sam bercerita padanya soal Colin dan 'insiden' di bus.
Sam meniup-niup ujung poninya yang menjatuhi mata, "Aku juga nggak mau kelewat percaya diri. Tapi aku nggak habis pikir. Kalau dia pintar sedikit, dia nggak bakal merusak situasi dengan ngomong sesuatu kayak 'aku bisa memilih tempat duduk sendiri, trims'. Dia bisa memanfaatkan kesempatannya untuk naik ke rantai makanan teratas. Maksudku, dia kan sedang ngomong dengan cewek terkeren dan terkaya di Dartville. Ayahnya penyumbang dana terbesar untuk Dartville High, ngomong-ngomong."
Bisa didengarnya Bill menghela napas, "Kau ini membencinya atau memujanya?"
"Dia itu Kaum Paling dan dia juga menghina ibuku, Bill. Tidak mungkin aku memujanya. Tapi kau harus lihat sendiri. Dia cantik banget. Tipe yang bakal langsung lolos audisi...well, Serena Vanderwoodsen-nya Gossip Girl. Tuh, contoh ketidakadilan dunia."
Bill terkekeh, "Jadi berapa banyak yang harus kulihat di sana? Pertama Michelle, kedua Hillary."
"Yeah," Sam perlahan tersenyum, "Kau memang harus melihat banyak hal di sini. Kapan sih kau libur kerja? Aku kangen sekali padamu."
"Aku memang berencana untuk datang mengunjungimu nggak lama lagi, Sammy. Bukan hanya kau yang kangen."
Sam merasa hatinya mendadak ringan saking senangnya, "Benarkah? Kapan?"
"Entahlah..." Bill menjawab, "Mungkin bulan depan? Jatah liburan tahun ini sama sekali belum kupakai."
"Kau mau membolos hanya untuk menemuiku? Aku tersanjung." komentar Sam pura-pura terkesan.
"Aku nggak membolos! Aku mengambil cuti sepanjang sisa masa kerjaku tahun ini. Ada... satu-dua hal yang harus kuurus di situ."
"Kau berencana mengunjungi rumahmu?" tanya Sam, tahu bahwa hubungan Bill dengan ayahnya sedang tidak begitu hangat belakangan ini.
"Tentu saja, tapi aku nggak berencana menginap di sana. Mungkin aku bakal menyewa apartemen murah untuk sementara atau numpang tidur di rumah temanku..."
Tiba-tiba pintu kamar Sam dibuka, Tom muncul dari baliknya.
"Sampai kapan kau bakal pakai telepon itu?" tanyanya dengan mulut penuh remah biskuit, "Mom mau pakai buat telepon langganannya."
"Satu menit. Dan ketuk dulu lain kali kalau kau mau masuk." Sam berseru jengkel padanya.
"Adikmu?" kata Bill.
"Itu Tom. Sori, ibuku mau pakai teleponnya."
"Sudah kubilang berjuta kali, beli ponsel dong."
"Tutup mulutmu. Kau yang meneleponku besok."
"Oke, sampai besok, Sweety Sammy."
Sam menutup teleponnya dan mendesah. Andai saja Bill Starlin bukan gay, dia pasti sudah menyatakan perasaannya pada cowok itu dari dulu.
❧
---
Ferme la bouche! = Diam!
Comment?! = Apa?!
Excellent. = Bagus.
Magnifique! = Hebat!
Sweety Sammy, si Perancis Sinis, dan si long-distance best friend/crush...
Leave vote/comment!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top