Chapter 17
Colin masuk sekolah hari Senin. Dengan kaus hitam, rambut awut-awutan, dan tampang yang Sam kategorikan sebagai Colin-waktu-pertama-kali-tiba-di-Dartville, dia memasuki kelas pertamanya pagi itu diiringi cengiran penuh kemenangan dari Sam dan tatapan galak dari Hillary.
"Tahu nggak bahwa kau sudah bikin susah semua orang." Hillary langsung melabrak Colin setibanya cowok itu di kursinya, "Kau bikin susah aku, Sam, dan seisi kelas Matematika kemarin."
"Kau berisik banget." Colin merebahkan kepalanya di atas meja.
"Biar kuberitahu mengapa aku berisik." lanjut Hillary makin berapi-api, "Karena kau nggak masuk, kau nggak di sana ketika Mr. Bennett memanggilmu maju untuk mengerjakan soal di depan kelas. Akibatnya, Sam jadi satu-satunya yang bisa diandalkan. Tapi, secara mengejutkan, Mr. Bennett menolak kalau kali ini Sam lagi yang maju. Maka dia menyuruh hampir separuh kelas, termasuk aku, untuk bergantian mengerjakan soal-soal jahanam itu di depan hidungnya! Dan itu semua gara-gara siapa? Kau!"
Pokoknya, Colin dan Hillary masih belum saling bicara hingga istirahat siang. Hillary menolak duduk semeja dengan Colin, sementara Sam dilanda dilema, mengingat dia sedang berusaha untuk membuat Colin kembali 'betah' bersekolah.
"Hari ini saja. Aku sedang dimintai tolong ibu Colin." Sam menjelaskan pada Hillary, "Cowok itu sedang ada masalah."
"Kenapa sih? Masalah puber ya?" sindir Hillary kejam.
Sam hanya tertawa miris.
Hillary menghembuskan napas kesal, lalu mengibaskan rambut pirang halusnya yang cantik, "Well, kalau katamu begitu. Toh aku bisa menyampaikan rasa terima kasihku dengan duduk sama... eh, si maniak komputer itu..."
"Namanya Frankie. Kau nggak boleh jahat-jahat dengan cowok itu, dia baik sudah membantumu menyelesaikan soal ketika giliranmu maju kemarin. Dia jelas tergila-gila padamu."
"Dan dia Kaum Mars." Hillary menambahkan sambil tertawa letih, "Sampai jumpa di kelas. Semoga sukses dengan Colin."
Sam melambai seraya berbalik dan membawa nampan makan siangnya yang baru saja diserahkan Mrs. Johnson keluar kantin, menuju satu-satunya tempat di mana dia tahu cowok itu bakal berada.
"Wah, aku keduluan." Sam menutup pintu tangga darurat di belakangnya. Colin sudah duduk di anak tangga teratas, tengah menyantap sandwich ikan tunanya.
"Nggak bisa ketuk dulu ya?" kata Colin jengkel.
"Memangnya ini kamarmu?" balas Sam sama jengkelnya.
Sam duduk beberapa anak tangga di bawah Colin, lalu mulai menggigit brokolinya.
"Mana Hillary?" tanya Colin, kentara sekali tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Dia duduk dengan Frankie." sahut Sam.
"Frankie? Frankie Lewits si Mars itu?"
"Nah, nah, kau dulu bilang kau benci... apa namanya, 'sistem pengelompokan dangkal' di Dartville ini. Tapi sekarang kau sudah mulai memanggil-manggil orang seenaknya seperti itu."
"Bukan begitu. Hanya saja, dia memang Mars banget."
"Culun sih." Sam mau tak mau setuju.
"Dan Hillary menelantarkanmu cuma buat Frankie?"
"Nggak menelantarkan kok." Sam tersinggung.
"Lalu?" Colin entah bagaimana sudah berada satu anak tangga di belakang Sam, "Apa kau—?"
"Jangan kelewat percaya diri. Aku hanya sedang bosan situasi kantin. Sudah lama nggak bisa makan dengan tenang."
Sam tidak dalam posisi dapat melihat wajah Colin karena dia duduk membelakanginya, tapi dia dapat merasakan cowok itu sedang tersenyum menyebalkan.
"Kelewat percaya diri? Kau tahu aku ada di sini, tetap saja kau nggak bisa makan dengan tenang."
Sam mencampakkan brokolinya tak sabar, "Colin, makan di tengah-tengah hiruk-pikuk kantin dengan kentang dan kacang polong bermentega yang sewaktu-waktu dapat melayang melewati puncak kepalamu dengan makan di tangga darurat bersama seorang cowok Perancis yang sedang—apa kau bilang kemarin?—'bosan' bersekolah, itu jenis ketenangan yang jelas-jelas berbeda."
Colin cuek saja terhadap sindiran yang ditujukan Sam padanya, dia malah tertarik pada hal lain yang Sam ucapkan.
"Jadi, menurutmu jenis ketenangan apa aku ini?" cowok itu lagi-lagi bertanya. Entah sejak kapan Colin berada sedekat ini hingga Sam nyaris dapat membaui aroma samponya.
"Eh... tepatnya jenis yang menyebalkan." Sam menggigit brokoli rebusnya lagi.
Tidak ada reaksi.
"Nggak ada reaksi?" Sam menyuarakan pikirannya. Colin hanya meletakkan kotak jusnya di nampan.
"Untunglah." kata Colin sambil mencomot sisa brokoli di tangan Sam, lalu melahapnya.
Bel masuk berbunyi.
"Cepat habiskan, Samantha. Kau bakal telat." Colin bangkit dan meninggalkan Sam begitu saja, yang masih bengong di anak tangga.
❧
Hari itu berakhir dengan cukup mengenaskan. Mr. Bliss, guru bahasa Inggris yang sudah lama tidak masuk karena mengambil cuti sakit, rupanya sudah sembuh. Tampang beliau seperti habis kena tampar setelah anak muridnya mengadu bahwa Frank Ross, si guru honorer yang kerjanya molor melulu, tidak menjalankan tugasnya untuk mengisi ketidakhadiran Mr. Bliss dengan baik. Mereka semua dihadapkan dengan kenyataan bahwa ujian akhir semester tinggal di depan mata, sementara mereka masih ketinggalan materi empat kali pertemuan.
"TIDAK BISA DITOLERIR!" semburnya berapi-api. Sam tahu makiannya itu ditujukan bukan kepada murid-murid, tapi lebih kepada Frank.
Alhasil, Mr. Bliss menghadiahi setiap anak tiga puluh halaman penuh subbab 'Karya Sastra Modern Inggris' yang hasil rangkumannya harus diserahkan besok.
Besok.
"Jika tidak, bersiaplah untuk huruf 'E' di kolom Bahasa Inggrismu." ancamnya.
Terima kasih banyak, Santo Frank Ross.
Jadi, kira-kira pukul setengah dua pagi keesokannya, Sam masih berkutat di meja belajar kamarnya dengan mata bengkak menahan kantuk. Sam baru berhasil menyelesaikan kurang lebih separuh dari tugasnya ketika dia mendengar suara-suara aneh.
Ctek. Ctek.
Sam menajamkan pendengarannya. Ketika dia memutuskan bahwa suara-suara itu hanya khayalannya karena dia sudah ngantuk setengah mati, dia mendengarnya lagi.
Ctek. Ctek.
Suara itu datangnya dari arah jendela. Sam membuka gordennya dan menatap ke luar yang gelap. Tidak ada angin, ranting pohon yang bergerak, atau binatang. Baru saja Sam hendak menutup gordennya lagi, sebuah benda kecil menghantam kaca jendelanya.
Kerikil?
Sam menyipitkan matanya dan memandang ke bawah. Ada sebuah motor hitam besar terparkir di depan pagar rumahnya, dan di bawah sana, di dekat pohon citrus, tengah berdiri seseorang yang tak asing sedang balik menatapnya.
"BILL?" bisik Sam, campuran antara kaget setengah mati dan heran luar biasa, dia menggeser daun jendelanya hingga membuka. "Ngapain kau jam segini?"
Bill mengangkat bahunya sambil sedikit meringis, lalu dia balas berbisik. "Bisakah kau turun? Aku perlu bicara denganmu."
Ada sejuta alasan bagi Sam untuk menolak turun. Yang paling penting adalah, pertama, dia tengah berjuang membabat habis separuh sisa tugasnya. Dan yang kedua, ini pukul setengah dua pagi.
Tapi alih-alih mengusir Bill dan menyuruhnya untuk menelepon saja nanti, Sam merapatkan jaketnya dan turun. Dia menempelkan pesan di pintu depan yang bertuliskan; 'keluar sebentar, urusan darurat 'antarcewek' dengan Bill' dengan namanya di bawahnya, kalau-kalau ibu atau adiknya terbangun mendengar kunci pintu depan dibuka dan mengira ada maling.
Istilah 'antarcewek' itu agak kejam sih, Sam membatin seraya menuruni tangga teras, tapi hanya itu alasan yang bisa diterima Mom bila ini menyangkut masalah Bill.
Begitu Sam berada cukup dekat untuk dapat melihat wajah Bill dengan jelas, dia langsung tahu bahwa kecurigaannya benar.
"Kau habis nangis?" tebak Sam khawatir.
Bill hanya mengenakan kaus lengan seperempat, celana training abu-abu, dan sepatu kets lusuh. Sam juga tidak melihat ada helm atau jaket yang menemaninya pergi dengan motor. Pertanda bahwa situasi ini mungkin juga darurat bagi cowok itu.
"Aku perlu bicara, tapi nggak di sini. Aku nggak mau membuat ibumu terbangun." kata Bill. Suaranya parau.
Sam memutar otaknya cepat, "Ke lapangan saja yuk."
Maka Sam dan Bill berjalan beriringan menuju lapangan. Hawanya cukup dingin, namun tidak ada angin, syukurlah. Lima menit kemudian, mereka berdua tiba di lapangan. Lampu-lampu sorot di lapangan menyala cukup terang dan menerangi bleachers.
Bleachers—kursi penonton—di lapangan itu berbentuk seperti tangga yang terbuat dari kayu yang bercelah-celah. Bukan tipe seperti tribun yang permanen, sehingga ada semacam rongga atau ruang kosong di bawahnya. Ada beberapa kursi kayu panjang yang disimpan di kolong situ, tempat duduk pelatih dan pemain futbol, dan biasanya hanya dikeluarkan saat ada pertandingan. Sam dan Bill duduk di bawah sini. Cahaya dari lampu sorot masih dapat masuk lewat celah-celah besar di sekeliling mereka.
Dan Bill menangis. Begitu saja. Tangisnya pecah membelah malam—walaupun sekarang sudah terhitung pagi—yang sunyi senyap. Tangisnya bukan tangisan cengeng yang lemah tak berdaya, tapi ini jenis tangis yang pelan, agak teredam, namun membuat Sam begitu iba padanya.
Sam selalu beranggapan bahwa cowok tak sepantasnya menangis di hadapan cewek. Tapi karena ini kasus Bill—dan dia pun yakin Bill juga menganggap ini hal yang memalukan—maka Sam membuang jauh-jauh teorinya itu.
Bukannya Sam sedang mencemooh tangisan Bill. Sam sedih, khawatir, juga bingung. Dia juga berusaha menerka apa yang sekiranya telah terjadi. Sam ragu-ragu, namun akhirnya dia mengulurkan tangannya dan menyentuh bahu Bill. "Hei, nggak perlu sungkan denganku. Keluarkan saja semuanya."
Selama sepuluh menit berikutnya, Bill seperti tanggul jebol, tapi secara bersamaan dia juga berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan emosinya. Sam tidak mengangkat tangannya dari bahu Bill. Dia berusaha sabar dan memahami, walaupun sesekali pikiran bahwa tugas bahasa Inggrisnya masih tergeletak menyedihkan di meja belajarnya sempat terlintas.
Sam sedang memikirkan kata-kata penghiburan apa yang tepat untuk diutarakan pada situasi seperti ini saat sesenggukan Bill akhirnya terhenti sepenuhnya. Sam baru menyadari keheningan yang tiba-tiba ini beberapa detik kemudian.
Bill menyeka matanya dengan punggung tangannya dan mendongak menatap Sam. Suaranya sudah kembali senormal biasanya walaupun agak serak. "Sammy, maukah kau menolongku?"
Sam terhenyak. Dia jadi teringat kembali kata-kata dalam mimpi yang cukup sering dialaminya itu.
'Tolong aku, aku tahu kau bisa menolongku.'
Kontak batin? Entahlah, mungkin yang dialami sepasang sahabat yang sudah berteman baik sejak lama? Karena mimpi itu terbukti benar. Ramalan Lance terbukti benar. Bill sedang butuh bantuannya.
"Bagaimana," kata Sam, lega karena akhirnya dapat mengungkapkan pertanyaan yang sudah lama bercokol dipikirannya itu. "...aku bisa menolongmu?"
Mata Bill masih berkaca-kaca, namun dia tidak menangis. Dia juga tidak tersenyum. Baru kali ini Sam melihat Bill menunjukkan ekspresi sedatar sekaligus seganjil itu.
"Apa kau menyukai Colin?" tanyanya.
Sam tercengang, "Apa?"
Kata-kata Bill memang sukses mengejutkan Sam. Namun, ini tipe kejutan yang sudah Sam duga akan muncul suatu saat. Dan rupanya inilah saatnya. Sam tergagap, "A-apa... kenapa kau tiba-tiba tanya—"
"Apa kau suka cowok itu?" Bill tak menghiraukan kegugupan Sam.
Oh ya ampun.
Ya ampun.
Masa Bill naksir Colin?
"Aku... nggak pernah... entahlah," ujar Sam akhirnya, dengan tampang campur aduk-bingung, syok, serba salah, dan nada penuh keragu-raguan yang tidak bisa disembunyikan, "...maksudku, yeah, dia memang asik dan segala macamnya, tapi-"
Bill tertunduk, helaian rambutnya menutupi sisi wajahnya.
"Kau nggak ada perasaan apa-apa padanya?" tanyanya lagi, merasa perlu mengonfirmasi.
Sam hanya membuka mulut tanpa ada suara yang keluar.
"Maukah kau..." kata Bill, dengan tatapan memohon yang belum pernah Sam lihat sebelumnya. Sam tahu Bill bukan seperti cowok kebanyakan, tapi dia belum pernah satu kalipun melihat ataupun mendengarnya memohon-mohon seperti sekarang, "...maukah kau menganggapku sebagai seorang laki-laki selama satu menit saja?"
Sam tergagap-gagap, "Kau ngomong apa sih? Apa mak—"
"Kau menyukaiku kan?" tanya Bill lagi.
"A-eh, tentu saja, aku kan..."
Tapi Sam tidak pernah sempat meneruskan kalimatnya karena kemudian Bill mencium Sam.
Dalam dan lembut. Di bibirnya.
Bill jelas tidak dalam keadaan mabuk. Tidak ada bau alkohol. Dan Bill juga sudah bersumpah bahwa dia tidak akan pernah menyentuh obat-obatan terlarang seumur hidupnya. Sam kenal cowok itu. Dia yakin janjinya bisa dipegang.
Maka, setelah berhasil pulih dari rasa syok luar biasa, ragu-ragu Sam menyambut ciuman Bill. Rasanya terlalu lugu, aneh, dan mengejutkan, tetapi Sam cukup menikmatinya. Dia dapat merasakan pipi Bill yang basah bekas air mata, serta rambut panjang dan halus cowok itu yang menyapu wajah Sam. Tidak sedetikpun Sam mencoba membuka pelupuk matanya. Dia terlalu takut. Dia tidak berani melihat wajah Bill dalam jarak sedekat ini.
Bill mencium Sam dengan tempo yang lambat dan tenang, sehingga Sam lumayan kaget saat cowok itu tiba-tiba meraih dan mengangkat kedua lengan Sam lalu meletakkannya di sekitar lehernya, tanpa menghentikan ciumannya.
Sam berusaha sekuat tenaga dan akal sehatnya dapat lakukan. Berusaha untuk tetap menggunakan otaknya dan berpikir jernih.
Ini salah. Bill tidak mungkin melakukan ini. Dia gay. Dia gay!
Tetapi siapapun tahu Sam tidak akan sanggup melakukannya. Tanpa perlu diingatkan pun, Sam sudah tahu, selalu tahu, bahwa Bill adalah seorang cowok di matanya. Bill Starlin akan selalu jadi seorang cowok bagi Sam.
"Day-star." Bill berujar disela-sela ciumannya.
Entah mengapa panggilan itu terdengar asing dan aneh di telinga Sam. Belakangan ini dia lebih sering dipanggil dengan nama penuhnya...
Mendadak, Sam terbayang sebuah brokoli.
Bayangan inilah yang menghempaskan Sam kembali ke bumi. Rasanya amat sangat sulit menarik diri dari dekapan Bill, tapi entah bagaimana, hal itu berhasil Sam lakukan.
"Perlu... bernapas..." Sam terengah, dalam hati bingung sendiri mengapa bisa-bisanya dia mengakhiri momen sesakral ini hanya karena membayangkan sebuah brokoli.
"Maaf." Bill berkata parau. Dia tidak tersenyum.
Sam menggeleng.
"Kau nggak menganggap aku ini menjijikkan?" Bill bertanya skeptis.
Sam menggeleng lagi, "Hanya... entahlah."
Bill diam sebentar, "Aku rasa aku sudah cukup mengganggumu, sebaiknya aku segera pulang."
"Yeah." Sam tidak tahu lagi harus menyahut apa.
"Yeah."
Maka mereka berdua segera beranjak dari situ. Sepanjang jalan, Bill tidak mengatakan sepatah kata pun, sementara Sam masih terjebak di antara dunia nyata dan dunia khayalan.
Mereka sudah tiba di depan halaman rumah Sam. Bill menaiki motornya dan menyalakan mesin. Gerungan motornya terdengar begitu memekakkan telinga di pagi sesunyi ini. Namun Sam berani bersumpah dia mendengar sesuatu yang lain selain deruman motor.
Dia seperti mendengar bunyi pintu ditutup.
Sam kira itu adalah Mary, yang akhirnya memergokinya dan keluar lewat pintu depan. Tapi ternyata bukan. Teras rumahnya kosong. Sam menyipitkan mata memandang sekeliling. Rumah keluarga Faugere pun juga sama sunyi dan sama gelapnya.
"Sammy." Bill membuka suara, mengagetkan Sam, "Aku akan sangat mengerti kalau setelah ini kau jadi membenciku..."
Sam hanya tertawa lemah.
"Kau tahu persis aku nggak bakal bisa membencimu sekalipun kau berusaha mendorongku jatuh ke jurang."
Bill mengulurkan tangannya untuk membelai kepala Sam, "Kau ini seperti malaikatku."
Semenit kemudian, deruman motor Bill akhirnya menghilang di kejauhan. Sam kembali ke kamarnya, tak lupa mengambil lagi kertas catatan yang tadi ditempelnya di pintu depan, dan menggabrukkan diri ke atas ranjang.
Apakah alasan Bill menangis? Apa yang sebenarnya ingin diceritakan Bill? Mengapa dia mencium Sam? Dan bila memang cowok itu membutuhkan pertolongan, bagaimana mungkin sebuah ciuman dapan menolongnya? Bagaimana mungkin mencium Sam dapat menolongnya? Semua pertanyaan-pertanyaan itu hilir mudik di kepala Sam, membuatnya kepingin meledak.
Pertolongan macam apa itu tadi? Sam membatin sambil menekapkan wajahnya dengan bantal.
❧
---
*sigh*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top