Chapter 12
Sudah hampir lima menit Sam hanya berdiri di depan boks telepon di sudut koridor Dartville High yang ramai. Di tangannya tergenggam secarik kertas.
"Aku sedang bertindak sebagai tamu, dan kau tuan rumah. Kau yang seharusnya meneleponku selama aku di Arizona." kata Bill sambil menyerahkan kertas berisi nomor teleponnya waktu itu. Dia memberitahu Sam bahwa ponselnya sedang diperbaiki di Minneapolis dan Bill lupa mengambilnya menjelang keberangkatannya ke sini. Ceroboh sekali.
Sam menggigit bibirnya. Dia menatap nomor-nomor itu ragu-ragu. Dia tidak mau kelihatan seperti cewek menyedihkan yang terobsesi pada Bill dan tidak punya kehidupan selain untuk menelepon cowok itu.
Di ujung koridor, Sam dapat melihat Hillary dan Colin berjalan ke arahnya. Buru-buru dia menjejalkan kertas itu ke kantung celananya dan menaruh lagi gagang telepon pada tempatnya.
"Pagi! Kau ngapain?" tanya Hillary sambil menggaet lengan Sam supaya ikut berjalan, "Sudah jam segini, kita harus ke kelas."
"Eh, uh... menelepon Mom. Aku lupa menanyakan titipannya." Sam berbohong.
"Kenapa kau nggak pinjam saja ponselku?"
"Aku baru ingat tadi..."
Hillary memutar bola mata.
Sepanjang sisa hari itu, Sam tidak bisa berkonsentrasi. Dia sibuk memikirkan hari Sabtu, Bill, dan...
Baju.
Itulah sebabnya Hillary tampak begitu keheranan saat makan siang, ketika Sam mengemukakan masalahnya yang sebetulnya tidak terlalu rumit.
"Kau memintaku untuk menemanimu belanja baju? Sejak kapan?" ujarnya dengan tampang luar biasa takjub.
"Aku sadar aku jarang sekali berbelanja pakaian. Dan aku sudah mulai bosan dengan pakaian yang itu-itu saja..." Sam beralasan. Tentu saja itu kebohongan belaka. Sam bukan tipikal yang cepat bosan dengan baju. Lagipula dia juga bukan mesin uang.
Hillary meneguk Diet Coke-nya hingga habis. Cewek itu berusaha mengatasi rasa syoknya sebelum akhirnya berkata, "Oke. Untuk acara apa ini? Makan malam romantis bersama Colin?"
"Apa? Tidak!" Sam mendesis panik, Colin bisa kapan saja kembali dari antrean makanannya dan mendengar Hillary. "Aku... eh, temanku bakal datang Sabtu ini dan... kami mau jalan-jalan."
Alis Hillary naik tinggi sekali, sudut bibirnya terangkat menggoda.
"Dan 'teman'mu itu adalah...?"
"Dia hanya seorang temanku, Hil."
"Nggak mungkin seorang 'hanya seorang teman' ini membuatmu sampai harus belanja baju."
"Well..." Sam kehabisan kata-kata, "...apa salahnya dandan sekali-kali?"
"Apa dia cowok?"
Sam merasa jengah, dia mengangguk.
"Apa aku mengenalnya?" Hillary terdengar semakin bersemangat.
"Entahlah... mungkin?"
Mendengar itu Hillary jadi semakin meyakini tebakannya. Matanya membulat besar dan dia menekap mulutnya dengan kedua tangan. Lalu dia berbisik dramatis.
"Colin mungkin akan menggunakan kesempatan ini untuk menembakmu..."
"Demi Tuhan!" mata Sam nyaris mencelat dari rongganya, "Singkirkan jauh-jauh teori nggak masuk akalmu itu! Aku dan Colin hanya berteman, berapa kali aku harus bilang padamu?!"
Hillary mendecak kesal, kentara sekali dari raut wajahnya dia masih belum puas dengan jawaban Sam, "Terserahlah, besok malam aku senggang. Kita bisa pergi ke toko baju keren di dekat-dekat sini. Well, akan lebih baik sih kalau kau ngomong dengan siapa kau akan pergi, jadi aku lebih bisa membayangkan pakaian apa yang bakal cocok untukmu. Kalau kau pergi dengan Colin, misalnya, kau akan butuh..."
Untung saja Sam masih punya cukup waktu untuk menjejalkan segenggam kentang goreng ke mulut Hillary sebelum Colin betulan datang dan duduk di meja mereka.
"Wah, aku nggak tahu selera makanmu besar juga, Hil." komentar Colin. Hillary sibuk melepeh kentang goreng ke atas nampannya, sementara Sam hanya mengawasinya dengan tatapan memperingatkan.
❧
Sepulang sekolah keesokan harinya, Sam mendapati Mary sedang mengomeli Tom. Dia dan Lou bermain-main dengan ikan mas peliharaan mereka begitu rupa sehingga separuh badan Lou tercebur ke dalam akuarium dalam ruang tamu mereka. Lou masih menangis dengan rambut basah kuyup sementara Tom cemberut di pojok ruangan. Sam hanya bisa diam menyaksikan itu.
"Bagaimana kalau adikmu tenggelam?! Dia sudah menelan air lebih banyak dari yang bisa dia telan sepanjang tiga tahun hidupnya..."
"Mom..."
"...aku tidak percaya kau membiarkan saja Lou mengobok-obok isi akuarium tapi kau nggak memeganginya! Pikirkan apa yang bisa terjadi..."
"Mom, sudahlah."
"Dan kau juga!" Mary malah balik menyerang Sam, "Kau seharusnya mengawasi kedua adikmu bermain!"
Sam ternganga syok, "Aku baru pulang! Aku kan nggak tahu mereka main dekat-dekat akuarium!"
Mary memijat-mijat dahinya frustasi, kemudian setelah melihat Sam yang mengambil jaket dan menenteng tas perginya, dia bertanya, "Mau ke mana kau?"
"Jalan dengan Hil."
"Oh!" mood ibunya langsung membaik lagi, "Sampaikan salamku untuknya ya, suruh dia mampir kapan-kapan."
"Oke." Sam berjalan ke luar rumah. Ibunya mulai berteriak-teriak lagi. Suara omelan Mary bahkan masih terdengar setelah Sam menutup pintu depan.
Sam berjalan di trotoar pelan-pelan. Ini bahkan belum pukul enam sore. Langit masih terang dan cuaca masih hangat. Sam bersenandung pelan ketika didengarnya seseorang memanggil namanya.
"Samantha!"
Sam menoleh dan melihat Colin sedang berdiri di dekat mobilnya yang terparkir di halaman. Cowok itu masih memakai kaus biru tua yang tadi dikenakannya di sekolah, dia hanya mengganti jinsnya dengan celana pendek santai.
"Hai! Kenapa mobilmu?" Sam menghampirinya. Kap mesin Corolla-Altisnya dalam posisi terbuka. Ada beberapa noda oli di tangan Colin.
"Merengek seperti biasa." dia mengangkat bahu, "Kau mau ke mana?"
"Oh... mau belanja dengan Hil."
Colin mendengus, "Dasar cewek."
Sam memerhatikan Colin yang kembali sibuk mengutak-atik mesin mobilnya, "Dasar cowok."
Keduanya saling menatap selama beberapa detik dan meringis satu sama lain.
"Mau kubantu? Aku masih punya banyak waktu sebetulnya." tawar Sam sambil menggulung lengan bajunya. Melihat itu Colin menaikkan alisnya.
"Serius nih? Nggak takut kotor?"
Sam mendecak, "Please."
Colin nyengir, "Kalau begitu kemarikan lapnya, s'il vous plaît."
Maka jadilah Sam membantu Colin memeriksa mesin mobilnya lima belas menit kemudian. Satu kali Michelle melongok keluar dan mengajak Sam untuk mampir, namun Sam bilang bahwa dia mau pergi. Kemudian Sam menanyai Michelle tentang perjalanannya berkeliling Amerika dan dia langsung semangat menceritakannya. Hal ini membuat keduanya berakhir duduk di anak tangga teras dan mengobrol.
Sementara Michelle sedang ke dalam untuk mengambil teh, Sam jadi memerhatikan Colin. Dia terlihat benar-benar terampil dan cekatan dengan mesin, nggak heran cowok ini berhasil merubah sepeda butut Sam menjadi bagus dan berkilau lagi.
"Ah iya, sepedaku berderit lagi." Sam teringat. Colin, lagi-lagi, mengangkat alisnya.
"Bagaimana bisa?" tanyanya bingung.
"Entahlah, tiba-tiba dia berderit lagi setelah kupakai ngebut pulang beberapa hari yang lalu..."
"Oh." Colin mengelap kedua tangannya dengan lap, "Waktu kau pulang dan melupakan traktiran sundae dariku begitu saja?"
"Mm..." Sam nyengir meminta maaf, "Yeah, waktu itu. Hillary juga sudah mengingatkanku. Tapi aku harus pulang, ada... mm, temanku yang datang. Tapi aku masih boleh kan menagih traktirannya kapan-kapan?"
"Entahlah..." kata Colin menyindir, "...tapi kayaknya kau nggak berhak memintaku memperbaiki sepedamu."
Sam terbahak, "Dasar pelit."
Colin tidak ikut tertawa, dia malah menyeletuk.
"Apa ada sesuatu?"
"Apa?"
"Kau kelihatan—" Colin masih memandangi Sam, dia terlihat ragu-ragu. "Lupakan."
Baru saja Sam akan menanyakan apa maksud Colin, Mary muncul di trotoar depan rumah mereka dan berteriak pada Sam sambil melambai-lambaikan gagang telepon.
"Hillary barusan menelepon, dia sudah di perjalanan. Cepatlah berangkat!" dia menunjuk-nunjuk gagang telepon yang masih digenggamnya, "Oh, hai Michelle! Hai Colin!"
Kedua Faugere melambai pada Mary.
"Kalian mau mampir?" Mary berteriak lagi.
"Oh tentu, merci. Aku ingin melihat-lihat jahitanmu." Michelle langsung ngeloyor pergi, "Nah, kita ngobrol lagi kapan-kapan Sam!"
Sebetulnya Sam turut senang ibunya akhirnya punya teman yang menyenangkan seperti Michelle. Selama ini yang Sam tahu Mary tidak terlalu akrab dengan tetangga di sekelilingnya. Namun akan lebih menyenangkan bila dia membiasakan diri tidak berteriak-teriak antar rumah saat mengundang tetangganya mampir...
"Bukankah kau harus buru-buru?" kata Colin mengingatkan.
"Oh..." Sam tersadar, "Oh yeah. Well, kalau begitu sampai nanti."
Dia baru berjalan beberapa langkah ketika Colin menyeletuk.
"Apa malam ini nggak apa-apa?"
"Apa?"
"Hanya saja... aku coba meneleponmu beberapa hari ini, tapi kau selalu sibuk."
Sam berani bertaruh dia merasa ada sedikit nada ganjil terselip dalam kata-kata Colin barusan. Namun ekspresi cowok itu tetap setenang dan sekalem biasanya.
"Sial, maafkan aku. Aku memang agak kelimpungan belakangan ini. Tahulah, tugas sekolah... membantu kerjaan ibuku..."
Bill... Sam menambahkan dalam hati.
"Nggak perlu panik. Bukan hal yang serius, kan." kata Colin setengah tersenyum.
Sam balas tersenyum, "Malam ini oke kok."
Colin mengangguk, "Pergilah. Hillary bakal marah-marah."
❧
"Apa ada sesuatu?" tanya Hillary pada Sam, begitu mereka sudah berada di dalam mobilnya. Mereka bertemu di depan restoran seafood terkenal tak jauh dari rumah Sam. Hillary sempat meminta maaf, dia tidak bisa menjemput Sam di rumahnya karena harus mengantar ibunya ke bandara.
Keluarga Swan memang tipe yang harus sering bolak-balik ke bandara.
"Apanya?"
Hillary mengibaskan rambut pirangnya yang halus, kebiasaannya yang tidak berubah sejak dia masih menyebalkan. "Kau kelihatan senang."
Sam terkesiap, "Oh ya?"
"Kau nggak pernah tertawa mendengar leluconku sebelumnya." Hillary mengangkat bahu. Mereka berbelok menuju deretan pertokoan besar.
"Yah..." Sam membuka sabuk pengamannya, "...aku kan sudah lama nggak belanja."
"Oh, ini bakal menyenangkan!" Hillary mematikan mesin, lalu mereka keluar mobil dan berjalan melintasi tempat parkir, "Kau mencari yang model apa? Berkelas? Keren? Atau mungkin sedikit retro..." dia mengerucutkan bibirnya sambil berpikir, "Dan sepatu! Kau harus cari sepatu keren. Well, kita harus sesuaikan dengan tempat kau dan Colin bakal makan malam..."
Sam mengerem langkahnya, "Bisa nggak kau menghentikan angan-anganmu tentang aku yang kencan dengan Colin?"
"Uuups." Hillary memutar bola matanya.
"Lagipula aku hanya akan membeli sepasang baju."
Hillary tampak seperti habis diberitahu bahwa dia dapat salam dari Vincent, "Sori? Kau mengajakku hanya untuk membeli sepasang baju?"
"Sori deh, aku nggak punya mesin uang di rumah." Sam menyahut jengkel sambil meneruskan berjalan, di saat-saat seperti ini Hillary kembali menyebalkan seperti saat dia masih menjadi Si Ratu Populer.
"Wah." Hillary menyusulnya, "Gawat. Soalnya aku sudah berencana mau membelikanmu selusin."
❧
"Apa yang aneh?"
"Nggak. Hanya saja ini pertama kalinya sejak dua tahun terakhir kau meneleponku dari Arizona." sahut Sam. Dia sedang mematut diri di depan cermin seraya memegangi gagang telepon, membuatnya terpaksa menyingkirkan berpasang-pasang baju barunya yang bergelimpangan di atas kasur dengan sebelah kakinya untuk duduk. Pada akhirnya, Hillary yang membelikan semua baju untuk Sam. Sam kehilangan kata-kata dan ujung-ujungnya pasrah saja ketika Hillary bolak-balik mengambil baju, menempelkannya di depan dada Sam, dan menyipitkan mata. Lalu mulai mengocehkan komentar-komentar seperti, 'terlalu terang' atau 'kacangan' atau 'nggak cocok dengan matamu' atau 'rambutmu bakal kelihatan payah dengan ini' dan sebagainya.
Ada beberapa pilihan warna yang akhirnya direkomendasikan Hillary. Cewek itu memutuskan pink pucat, merah marun, dan broken white merupakan warna-warna terbaik untuk Sam. Sam tidak mengerti berdasarkan kriteria apa Hillary memilihkan warna-warna itu, tapi ketika ditanya, dia hanya menjawab bahwa baju-baju itu akan kelihatan 'hebat' banget.
Ketika Sam mengucapkan terima kasih kepada Hillary, cewek itu hanya mengibaskan rambut pirangnya sambil berkata dengan nada angkuh, "Aku hanya ingin mengganti lusinan bajumu yang dulu sering kutumpahi soda."
Memikirkan ini lagi, Sam tertawa sendiri. Hillary adalah cewek yang sama sekali diluar dugaan. Dia sedang mempertimbangkan untuk mengenakan blus merah marunnya ketika dia sadar Bill belum juga menyahut dari seberang telepon.
"Bill? Kau masih di sana?"
"Apa? Oh, yeah... yeah. Aku hanya—"
"Jangan bilang..." Sam mendesah, "...kau sedang memelototi serial televisi payah itu lagi."
Bill kedengaran terkesiap, "Oh...! Yeah, Marcus hebat banget. Kau nggak akan pernah bisa mengerti pujian orang-orang tentang betapa menakjubkan matanya..."
Sam memutar bola matanya, "Apalagi kalau pujian itu berasal dari temanku yang seorang cowok."
Alih-alih marah, Bill malah terbahak. "Tutup mulut, Sammy."
Belum lama mereka berdebat soal Marcus dan matanya, seseorang terdengar berteriak-teriak di luar kamar Sam.
"Colin dataaang!" suara Lou terdengar dari balik pintu. Dalam hati Sam agak menyesal karena adiknya itu sudah mulai bisa berbicara.
"Suruh dia tunggu sebentar!" Sam balas berteriak pada adiknya, sambil mengutuk dirinya sendiri karena lupa Colin mau datang.
"Dia sudah di cini!" pintu kamar Sam menjeblak terbuka, Lou berdiri di sana sambil mengemut biskuit bayinya, sebelah tangannya sedang menggenggam sebuah tangan besar, yang ternyata milik Colin. Cowok itu tampak agak syok. Begitu pula Sam.
Bagaimanapun Sam sedang mematut dirinya di cermin, dikelilingi baju belanjaan yang berserakan di seluruh sudut kamarnya. Pemandangan yang agak memalukan untuk dipergoki seorang cowok.
"Er... Sam? Kau masih di sana?" suara Bill terdengar dari seberang telepon. Colin meringis sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Sori... Mary menyuruhku masuk dan Lou langsung menggeretku ke atas. Kupikir..."
"Aku telpon kau lagi nanti, Bill. Bye." Sam menutup teleponnya.
Keduanya hanya saling berpandangan. Dengan Lou yang masih asyik menggigiti biskuit di antara mereka.
"Kelihatannya kalian belanja habis-habisan." komentar cowok itu saat pandangannya menyapu seisi kamar, termasuk baju-baju yang berserakan. Sam gondok.
"Aku temui kau di bawah lima menit lagi. Dan Lou..." Sam beralih menatap adiknya dengan berang, "...kau sudah harus belajar mengetuk pintu mulai sekarang."
Sam turun beberapa menit kemudian—menghiraukan seruan ibunya agar dirinya mengundang Colin untuk makan pencuci mulut—dan langsung ke teras, tempat Colin biasa duduk.
Namun dia tidak ada di sana. Sam malah menemukannya sedang berdiri di bawah pohon citrus, sedang mendongak ke atas.
"Belum kelihatan akan berbuah." kata cowok itu ketika Sam menghampirinya.
"Apanya?" tanya Sam bodoh.
"Pohonmu."
"Oh."
Keduanya terdiam lumayan lama sampai akhirnya Colin memecah keheningan.
"Belanjaanmu banyak juga."
"Yah, ada Hillary sih."
Colin tersenyum, "Kupikir karena akhirnya kau menyadari takdirmu sebagai cewek."
Sam meninju pundak Colin, setengah tertawa.
"Jangan ikuti kebiasaan adikku untuk nggak mengetuk pintu lain kali."
"Sori."
Malam ini cuaca hangat, Sam dan Colin memutuskan untuk duduk-duduk sebentar di pagar, membiarkan angin malam yang sejuk berhembus menjalari tengkuk dan lengan mereka. Rasanya menyenangkan.
"Sebenarnya aku sudah lama ingin menanyakan ini." celetuk Sam.
"Apa?" sahut Colin. Mereka duduk menghadap ke jalanan, tidak saling memandang satu sama lain. Mendengar suara cowok itu dari sebelahnya dengan cara seperti ini membuat Sam merasa seolah sedang berbicara dengan cowok itu melalui telepon.
Hanya saja suara Colin tidak pernah terdengar senyata dan sedekat ini di telinga Sam. Tidak lewat telepon.
"Kenapa namamu Colin? Kau kan orang Perancis. Bukankah seharusnya namamu terdengar 'keperancis-perancisan'? Seperti ayahmu. Phillippe. Mungkin Alain. Atau Jaques. Atau Claude..." Sam menyebutkan, "...dan kenapa bahasa Inggrismu bagus sekali?"
Colin diam sejenak sebelum akhirnya berkata, setengah tertawa. "Serius nih? Itu pertanyaanmu?"
Sam hanya mengangkat bahu.
"Nenekku orang Amerika." jawab Colin masih bertampang geli, Sam senang cowok itu tetap menjawab pertanyaannya yang konyol dengan cukup serius, "Yang menjadikan ayahku setengah Amerika. Kami cukup sering mengobrol dalam bahasa Inggris sejak kecil."
Sam diam sejenak untuk meresapi ini. Ya, dia juga agak geli membayangkan Colin memiliki nama Perancis dan harus terus dipanggil dengan logat memuakkan. Well, setidaknya memuakkan bagi Sam. Dia toh lebih memilih untuk mengambil kelas bahasa Jerman alih-alih Perancis bukan?
"Dan kenapa orang-orang terus menerus memanggilmu Sam? Bukankah kau ini seharusnya terdengar 'kecewek-cewekan'?" balas Colin.
Sam nyengir, "Sekarang aku sadar betapa noraknya pertanyaanku tadi."
Mereka berdua saling bertukar pandang sesaat dan mendengus.
"Nama 'Sam' kan sudah menjadi semacam nama universal..." lanjut Sam, masih terkekeh, "Lagipula kepanjangannya 'Samantha', bukan 'Samuel'..."
"Ibuku bilang kau menolak ketika dia memanggilmu dengan nama penuh." timpal Colin dengan nada agak menuduh.
"Sebagian kecil orang sepertinya cukup kesulitan menyebut nama penuhku dengan benar. Sori saja nih, tapi ibumu termasuk salah satu dari sebagian kecil itu. Dia nggak bisa berhenti memanggilku 'Samantah'."
Colin meledak tertawa. Begitu hebatnya dia terbahak-bahak sampai-sampai butuh semenit penuh bagi Sam untuk sekadar bertanya, "Itukah sebabnya kau terus-menerus memanggilku 'Samantha'?"
Colin masih terkekeh. Mungkin sekarang dia sedang menghapus air matanya, Sam tidak tahu karena mereka masih dalam posisi duduk bersebelahan dan tidak saling menatap.
"Apa?" tanya cowok itu.
"Itukah sebabnya kau terus memanggilku 'Samantha'?" ulang Sam tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan, dalam hati bingung mengapa pembicaraan mereka jadi terfokus pada hal ini, "Apa 'Sam' menurutmu terdengar... entahlah, nggak feminin?"
Kekehan Colin akhirnya mereda dan terhenti. Dengan nada ringan, dia menjawab, "Aku cuma berpikir kau lebih cocok dipanggil 'Samantha' daripada 'Sam'."
Sam melongo.
"Apa artinya itu?" Sam mengernyit, akhirnya menoleh memandang Colin bingung. "Bukannya kita lagi ngomongin dua hal yang sama?"
"Yeah, kita memang sedang ngomongin kau." Colin balas memandangnya.
Untuk beberapa saat mereka hanya saling menatap.
Sam tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berkomentar, "Apakah kau nggak merasa obrolan kita agak kacangan?"
"Yeah..." cowok itu nyengir, "...kedengaran seperti opera sabun tengah malam."
Keduanya tertawa. Baru sekarang Sam bisa benar-benar memerhatikan cara Colin tertawa. Bibirnya melebar membentuk cengiran hingga ke pipi, memamerkan deretan giginya yang rapi, ujung lidahnya sedikit menyentuh bagian belakang dua gigi atasnya yang agak besar-besar, bersamaan saat dia mendengus tertawa. Tipe tawa yang sedikit kekanakkan, namun Sam menyukainya.
Sam berpikir ini juga salah satu kebiasaan unik Colin, selain menggosok-gosok dua jari di pelipisnya ketika sedang berpikir.
Dan mata itu. Sepasang matanya terlihat seolah dilapisi semacam zat yang mirip dengan kaca yang membuatnya terlihat begitu bening dan cemerlang bahkan di malam hari seperti ini. Dan melihat itu dibantu sinar lampu jalan hanya akan menambah efeknya.
Dan, lagi-lagi, Sam kesulitan menerka apa warna mata Colin malam ini.
"Jadi..." celetuk Colin, agak mengagetkan. "Sepertinya kau sedang asyik berbicara di telepon tadi."
"Siapa?" tanya Sam masih agak linglung.
Colin menoleh padanya, "Yeah. Siapa sih Bill ini?"
"Oh." kata Sam, dalam hati bertanya-tanya mengapa Colin tiba-tiba bertanya mengenai Bill. "Bagaimana kau tahu soal Bill?"
"Kau menyebut-nyebut dia beberapa kali, termasuk saat aku ng... di kamarmu tadi."
"Oh..." kata Sam, dalam hati mengutuk dirinya sendiri karena hanya dapat ber'ah-oh-ah-oh'ria sejak tadi. "Bill sahabatku. Dia tinggal di Minneapolis, dan sekarang sedang berkunjung ke Arizona."
"Oh." kata Colin.
Rupanya bukan hanya Sam yang gemar ber-'ah-oh'.
Colin berpamitan tak lama kemudian, setelah pembicaraan di bawah pohon citrus yang membingungkan namun cukup menyenangkan. Ketika punggung cowok itu sudah menghilang di balik pintu depan rumahnya di kejauhan, Sam kembali ke kamarnya dan menutup pintu. Dan itu pertama kali dalam hidupnya saat Sam tidak mengerti mengapa dirinya merasa bingung setengah mati.
❧
---
Merci = Terima kasih
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote & comment!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top