Chapter 11

"Kau pacaran dengan Colin."

"Nggak. Apa kau lihat kamusku?"

"Kau pacaran dengannya."

"Nggaaaaak."

Hillary menghela napas. Mereka sedang berada di koridor yang ramai, Sam nyaris putus asa mencari-cari kamus bahasa Jermannya di dalam loker ketika beberapa saat yang lalu Hillary menepuk pundaknya dan bersikeras mengemukakan pendapatnya bahwa Colin dan Sam berpacaran.

"Aku ini berpengalaman, Sam. Aku tahu kalian saling suka." ungkap Hillary gemas.

Sam menutup pintu lokernya agak terlalu keras, "Hil, please. Oke, dia lumayan cakep, enak diajak ngobrol, dan sebagainya... tapi kami nggak pacaran. Selesai."

"Tapi kalian kelihatan sangat dekat!"

"Yeah, mau bagaimana lagi? Kami kan tetanggaan." sahut Sam asal saja. Pada akhirnya dia menemukan kamusnya di bawah kaus olahraganya. Hillary mengangkat bahu.

"Wah, kalau begitu aku punya kesempatan mendekatinya..."

Sam nyaris menjatuhkan kamusnya, "Apa?!"

"Aku bercanda! Colin bukan tipeku." Hillary mengikuti Sam berjalan menuju kelas berikutnya, lalu dia menghela napas panjang. "Oke, kau bisa mengaku-ngaku Colin juga bukan tipemu dan kau lagi nggak pingin pacaran atau apalah. Tapi aku benar-benar butuh cowok. Aku nggak bisa menghabiskan sisa masa SMA-ku hanya berkubang dalam kenanganku bersama si otak udang."

Sam sudah paham sekarang bahwa yang Hillary sebut sebagai 'otak udang' ini adalah mantan pacarnya, Vincent.

"Kau mau mencarikanku satu?" Hillary memasang tampang memelas. Sam menatapnya keheranan.

"Apa kau pernah ngaca sebelumnya? Kau cantik dan kaya dan segala-galanya, Hil. Kau bisa menggaet cowok manapun dalam sekejap. Tinggal comot satu yang kau suka dan jadikan dia pacar. Beres."

Hillary menyelipkan rambut pirang halusnya ke belakang telinga, tampak tersipu-sipu. "Nggak sesederhana itu. Aku juga punya kriteria tahu."

Sam memutar bola mata, "Terserah."

Sepanjang sisa hari itu Sam harus merelakan telinganya untuk mendengarkan keinginan Hillary mendapat pacar sesegera mungkin. Berapa kalipun Sam mencoba mengingatkan bahwa Hillary hanya perlu sedikit lirikan untuk menggaet cowok dan panjang lebar menjelaskan bahwa mungkin saja 'hasrat dadakan' ini hanya untuk kepentingan pamer di depan Vincent, kepala cewek itu tampaknya terbuat dari batu sehingga sia-sia saja menceramahinya.

Dan tidak ketinggalan, Sam harus rela terus-menerus didesak mengenai hubungannya dengan Colin.

"Serius deh, dengar gosip dari mana sih kau?" kata Sam habis kesabaran. Punya teman cewek memang menyenangkan, tapi pada saat-saat seperti ini, Sam lebih memilih tidak punya sama sekali.

"Aku tahu dari caranya memandangmu." jelas Hillary sok tahu, "Apa kau pernah melihat sesuatu yang berbeda di matanya saat kalian berpandangan, atau sejenis itu?"

"Berbeda...?" Sam berpikir, "...well, warna matanya memang selalu berubah-ubah tergantung situasi dan penerangan..."

"Begitukah cara seseorang dengan nilai rata-rata ujian tertinggi seangkatan menjawab pertanyaanku?" Hillary memandangnya seolah ada tanduk yang mencuat di kepala Sam, "Jangan berlagak bego, dong."

"Aku nggak berlagak!" bantah Sam, "Kalaupun ada 'sesuatu' di matanya saat dia melihatku, itu pasti karena sedang ada angin dan dia kelilipan atau apa."

"Kalau begitu bukan hanya dia yang kelilipan." Hillary kemudian menambahkan dengan nada final yang didramatisasi, "Tapi kau juga."

Sam tidak bisa membalas kata-kata Hillary karena Colin sedang berdiri tak jauh di depan mereka, mengobrol seru dengan satu-satunya teman dekat cowoknya yang Sam tahu bernama Dirk Harrison.

"Tuh, kan. Kau sedang kelilipan saat ini." ejek Hillary, yang langsung disambut dengan pelototan mengancam dari Sam.

Suasana tempat parkir Dartville High keesokan siangnya begitu riuh, sedang diadakan semacam bazaar untuk mengumpulkan dana bagi anak-anak berkebutuhan khusus di daerah sekitar sekolah. Seluruh guru, murid dan orangtua murid berkumpul di situ untuk melihat-lihat kios, menghadiri seminar-seminar, mengakibatkan lapangan parkir nyaris berubah menjadi lautan manusia sehingga Sam kesulitan mendengar Mary. Dia sedikit khawatir ketika ibunya mendadak menelepon ponsel Hillary—nomornya ditulis di pintu kulkas oleh Sam—dan menyuruh Sam cepat pulang.

"Sedang ada bazaar dan kampanye sosial di sini, aku mungkin baru bisa pulang sebentar lagi..." kata Sam berusaha meningkahi keramaian di sekitarnya, sambil berjalan menembus kerumunan bersama Hillary. "Ada apa Mom? Apa kau sakit? Tom atau Lou sakit?"

"Tidak." Mary berkata. Nada suaranya terdengar aneh, seolah-olah dia sedang berusaha menutup-nutupi sesuatu. "Pokoknya pulang saja."

"Tapi aku masih—"

Ibunya menghela napas begitu kerasnya karena tak sabar.

"Dia datang."

Setengah menit penuh Sam hanya diam dan berusaha mencerna maksud ibunya. Saat dia akhirnya paham, matanya membulat syok dan ponsel Hillary nyaris tergelincir dari tangannya.

"DIA—?!" ulang Sam nyaris berteriak ke corong telepon.

"Baru saja. Kau hanya bisa ketemu dia kalau kau pulang sekarang."

Hanya butuh lima detik bagi Sam untuk mengembalikan ponsel ke tangan Hillary dan melesat menaiki sepedanya yang terparkir.

"W—whoa... hei! Mau ke mana kau?" tanya Hillary panik.

"Pulang!"

"Sori?! Bazaar-nya baru mulai! Lagipula Colin menjanjikan kita berdua sundae enak di kios nomor tujuh..."

"Sori-sori-sori. Simpankan saja untukku, Hil." sahut Sam asal, pikirannya saat ini hanya tertuju pada rumah. Rumah. Rumah. Rumah.

Setelah menggabrukkan ranselnya ke keranjang, dia langsung mengayuh sepedanya ke luar gerbang Darville. Dalam kekalutan pikirannya, Sam masih bisa mendengar teriakan memprotes Hillary di belakangnya, "Kau pikir bagaimana caranya aku menyimpankan es krim untukmu? Di siang hari bolong? HAH?!"

Sam selalu menjadi pengguna jalan yang taat dan tertib selama hidupnya, tapi saat ini dia melanggar nyaris seluruh rambu lalu lintas yang berlaku di sepanjang jalan. Kakinya begitu cepat mengayuh, tapi sayangnya sepeda tuanya itu seperti tidak mendukung niatnya, karena bunyi derit yang sudah menghilang sejak Colin memperbaikinya kini terdengar lagi.

"Oooh... ayolah!" Sam mengeluh ketika sepedanya mengeluarkan bunyi derit yang begitu keras dan mengganggu.

Tak sampai lima belas menit kemudian Sam tiba. Dia mencampakkan sepedanya begitu saja di halaman di depan teras rumahnya dan menyerbu masuk. Matanya menyapu seisi rumah dengan liar hingga akhirnya dia menemukan Mary di dapur bersama Lou.

"Astaga!" ibunya melonjak kaget saat melihat Sam tiba-tiba masuk, "Kau membuatku jantungan! Kukira kau masih di—"

"Di mana dia?" tanya Sam tanpa ba-bi-bu.

"Eh... tadi dia ke lapangan, bersama Tom— h-hei! Sam!"

Sam sudah berlari lagi ke luar, menaiki sepedanya dan ngebut menuju lapangan, tak jauh dari rumahnya. Sebetulnya lapangan itu hanya tanah kosong berumput yang sering digunakan warga sekitar untuk berolahraga karena memiliki bleachers—semacam tribun untuk kursi penonton, Sam sendiri hanya sesekali ke sini untuk latihan lari atau bermain dengan adiknya.

Sam mengayuh sepedanya mengelilingi pagar pembatas lapangan, menyipitkan matanya, mencari-cari.

"Saaam!" Tom memanggilnya. Sam dapat melihat adiknya sedang berdiri di tengah lapangan, memegangi bola futbol dengan satu tangannya sementara tangan yang lain sibuk melambai padanya, "Siniii!"

Sam tahu dirinya tidak perlu disuruh dua kali. Dia memarkir sepedanya buru-buru, pandangannya tidak bisa terlepas dari sosok tinggi menjulang yang berdiri di sebelah adiknya. Postur tubuh yang sudah sangat dikenalnya itu.

Kakinya seolah menuruti emosinya. Sam berlari, napasnya memburu, jantungnya seakan mau copot dari rongganya, dia tidak peduli lagi bagaimana rambutnya yang lepek karena keringat awut-awutan tertiup angin di sekitar wajahnya.

Baginya saat ini yang penting hanyalah orang itu. Melihat cowok itu balas memandangnya sambil tersenyum di tengah lapangan.

"Lihat siapa yang datang!" kata Tom ketika Sam datang mendekat. Sam memperlambat larinya dan berhenti. Kemudian adik laki-lakinya itu mulai nyerocos, "Kami sedang main lempar bola. Dia jago melempar, tapi dia payah dalam menangkap! Bolanya terus-menerus melesat melewati kakinya... wuss... wuss..."

"Jangan bilang-bilang Mom..." Sam memotong ocehan Tom dengan berlutut di hadapan adiknya dan menyerahkan selembar uang padanya, "...kalau aku mentraktirmu es krim hari ini."

"Keren! Trims, Sammy!" Tom langsung melesat pergi untuk membeli es krim.

"Kakak Sammy yang keren." cowok itu terkekeh.

Suara itu sudah tidak Sam dengar selama dua setengah tahun belakangan, tidak secara langsung. Tidak sejelas ini. Sam tidak lupa bagaimana dalamnya suara cowok itu, namun anehnya pada saat bersamaan bernuansa ringan dan santai. Sam tidak lupa bagaimana suara cowok itu seperti mengalir ketika dia terkekeh.

Sam bangkit dan menepuk-nepuk lutut jinsnya yang terkena rumput. Dia tahu dirinya tidak akan mampu membendung emosinya jika dia balas menatap mata cowok itu sekarang.

Tapi cowok itu sepertinya tidak paham.

"Apa kabar, Sammy?" tanyanya.

"Hmm, yeah. Baik." Sam masih memandangi ujung sepatu ketsnya, "Kau?"

"Nggak pernah sebaik ini, kau tahu itu kan..." dia berhenti sejenak, "...day-star?"

Runtuh sudah pertahanan Sam. Dengan hati yang meluap oleh emosi, dia mendongak dan memeluk cowok di hadapannya itu. Air matanya mengalir deras, lebih pantas dibilang mirip tanggul jebol. Tangisnya semakin menjadi-jadi ketika mendapati cowok itu, Bill Starlin, balas memeluknya dengan sama eratnya.

"Aku kangen padamu." ucap Bill di bahu Sam. Sam masih belum mampu berkata-kata. Dia masih belum puas sesenggukan, dia masih belum puas merasakan hangatnya tubuh Bill ketika mendekapnya, dia masih belum puas menghirup aroma rambut Bill yang kuat dan agak maskulin, dia masih belum puas mendengar Bill memanggilnya 'day-star', sebutan norak yang dulu Bill ciptakan untuknya...

Dia masih belum puas pada segalanya.

Setelah entah berapa abad lamanya, Sam akhirnya melepas pelukannya dan mulai memukuli Bill.

"Jangan... bertingkah... seolah... kau... nggak... berbuat... salah!" Sam berusaha membuat suaranya terdengar galak, namun yang keluar hanya berupa makian cengeng dan sengau.

"Aku tahu, maafkan aku." Bill berkata tulus, "Tapi tolong keringkan dulu matamu karena Tom sedang menuju ke sini."

Sam cepat-cepat menyeka matanya yang basah dengan lengan kausnya, dia pasti terlihat begitu menyedihkan sampai-sampai Bill hanya mampu menatapnya tanpa berkata-kata.

"Es krimnya sudah habis, ayo kita lanjutkan lempar bolanya!" seru Tom sambil menarik-narik lengan Bill.

Sepanjang sore itu Sam menghabiskan waktunya dengan menonton Bill yang jadi sasaran lempar bola Tom dari tribun di dekat situ. Dia sama sekali tidak mengeluh walaupun semakin sore udara semakin dingin dan perutnya keroncongan. Baginya itu tidak ada apa-apanya. Bill, cowok yang sudah menjadi sahabatnya selama kurang lebih lima tahun, cowok gay kesayangannya, sudah datang jauh-jauh dari Minneapolis untuk mengunjungi Sam. Dia tahu dirinya tidak pantas mengeluh karena Bill telah menepati janjinya. Cowok itu memang tidak meneleponnya selama beberapa bulan belakangan, tapi rasa marah dan kecewanya seolah menguap begitu saja ke udara. Kehadiran Bill di sini, di dekatnya, mampu membayar rasa sedih dan kehilangan yang sempat menghantuinya itu.

Sam jadi setengah menyesal mengapa dia tidak bisa mengendalikan dirinya tadi. Memandangi Bill dengan mata kering dan fokus jelas-jelas lebih memuaskan daripada berusaha melihatnya dengan pandangan buram akibat banjir air mata dan hidung yang berleleran ingus.

Ketika bulan menampakkan diri, langit sudah menjadi gelap sepenuhnya, dan lampu-lampu jalan sudah dinyalakan, mereka bertiga memutuskan untuk pulang. Tom memimpin jalan, sementara Sam dan Bill di belakangnya, berjalan pelan-pelan.

"Jadi, bagaimana sekolahmu? Kita nggak punya banyak waktu untuk bicara tadi di lapangan dengan aku yang sibuk jadi sasaran lempar bola Tom..." kata Bill. Dia sedang menuntun sepeda Sam, yang kembali berderit setiap tiga kayuhan.

"Membosankan, seperti biasa." jawab Sam, "Tapi bukan aku yang harusnya cerita. Bagaimana denganmu? Kapan kau tiba di Arizona?"

"Kemarin." Bill berkata, "Perjalanannya melelahkan, tapi aku senang. Rasanya seperti nostalgia. Aku bahkan tidak akan kaget jika tiba-tiba di telingaku terdengar Chris Daughtry menyanyikan Home..."

Sam hanya tersenyum, "Apa yang kau lakukan di Minneapolis?"

"Bekerja." sahut Bill, "Bersosialisasi. Memperluas ruang gerakku yang selama ini rasanya terlalu sempit."

"Kau masih suka nge-band dengan teman-temanmu?"

"Jarang. Makanya aku ke sini, untuk melepas kangen dengan mereka." Bill menerawang, "Banyak temanku yang menghubungiku dan kami janjian untuk bertemu dan menyewa studio. Tapi waktunya selalu nggak cocok. Waktuku sekarang lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan yang lebih bersifat sosial, walaupun itu nggak bakal menghilangkan talenta luar biasaku dalam dunia heavy metal..."

Sam meninju pundak Bill pelan, Bill tertawa. Cowok itu menyingkirkan sehelai rambut yang jatuh menutupi matanya dengan gerakan khas yang sudah Sam hapal; dia menggunakan dua jarinya untuk menyelipkannya ke balik telinga.

"Rambutmu tambah panjang." komentar Sam. Baru sekarang Sam memerhatikan penampilan Bill dengan lebih seksama. Tubuhnya masih tetap tinggi dan kurus, serta tetap enak dilihat. Cowok itu mengenakan kaus print abu-abu di balik blazer kasual lengan seperempat warna hitam dengan pola garis-garis tipis vertikal putih. Jins stretch gelap selalu menjadi trademark Bill, walaupun Sam akui dia agak sebal melihat cowok itu memakainya. Sam yakin jins biasa akan membuat Bill numero uno. Boots kulitnya juga tak ketinggalan dikenakan. Sebagai pelengkap, telinganya sudah ditambahi beberapa tindikan lagi.

Tapi yang paling oke pada penampilan Bill Starlin, setelah dua setengah tahun absen dari pandangan Sam, memang rambutnya. Rambut itu masih sehitam dan sehalus yang Sam ingat. Tapi Bill merubah sedikit potongannya. Dulu dia setia menggerai asal rambut lurus sebahunya begitu saja, dengan potongan yang biasa saja. Kini rambutnya sudah sepundak, dikuncir kuda, dan potongan layer-nya—Sam tahu itu dari helaian yang jatuh di pelipisnya karena tidak ikut terikat—membingkai wajahnya yang tirus dengan sempurna. Bill Starlin terlihat semakin keren dan dewasa.

"Rambutmu juga semakin panjang." Bill memandang Sam dengan mata cokelat teh-nya, lalu membelai kepala gadis itu dengan lembut. Sam nyaris menangis lagi saking senangnya.

"Jadi, apa maksudmu dengan kegiatan sosial? Apa kau sekarang membuka les gitar untuk manula di panti jompo tanpa memungut bayaran?" canda Sam. Bill menggedikkan bahu.

"Nggak sekeren itu sih... tapi cukup mendekati. Sekarang aku bekerja paruh waktu di yayasan non-pemerintah yang menangani dan merawat para penderita kanker."

Rahang Sam serasa mau jatuh.

"Kau jadi perawat?!" Sam kehilangan kata-kata, "Astaga... itu bahkan lebih keren lagi. Ini kayak... rocker yang alih profesi jadi cowok mulia yang mengabdikan hidupnya untuk sesama..."

"Aku bassist, Sammy." protes Bill sambil nyengir, "Suaraku payah. Lagipula nggak sepenuhnya perawat sih, aku hanya volunteer."

Tom menendang kerikil. Beberapa terpental mengenai pohon citrus di depan rumah Sam. Mereka telah sampai. Tom masuk duluan ke dalam rumah, sementara dia dan Bill masih berdiri di bawah pohon.

"Apakah karena pekerjaan itu kau nggak meneleponku?" celetuk Sam. Bill tampak agak salah tingkah. Alisnya bertaut karena perasaan bersalah.

"Aku minta maaf. Harusnya aku mengirimimu e-mail atau apa saja... tapi aku begitu sibuk."

"Sudahlah."

Bill kelihatan keheranan, "Serius nih? Hanya itu reaksimu?"

Sam mengangkat bahu, "Aku harus ngomong apa? Kau kan punya kehidupanmu sendiri di sana, aku paham kalau kau nggak bisa selalu menyediakan waktumu hanya untuk meneleponku. Kau sudah cukup baik karena nggak melupakan janjimu ke sini. Aku nggak bisa protes."

Bill tersenyum. Senyuman itu. Senyuman yang selalu mengagumkan. Sejak dulu Sam menyukai cara Bill tersenyum. Ujung matanya sedikit tertarik ke bawah, menunjukkan bahwa dia benar-benar tersenyum.

"Apa yang kalian berdua lakukan di sana?" Mary muncul dari dalam rumah sambil menenteng-nenteng sendok sayur, "Aku masak enak, cepatlah masuk dan duduk di meja makan!"

"Mary nggak berubah ya?" bisik Bill ketika mereka berjalan beriringan menuju teras rumah, "Dia tetap keren."

Bill bercerita tentang tempat tinggalnya dan pekerjaannya di Minneapolis kepada Mary saat makan malam. Mary langsung tersedak apelnya ketika Bill bilang sekarang dia menjadi semacam perawat di yayasan kanker.

"Apa?! Kau?!" begitu reaksinya. Tapi setelah berhasil menguasai diri, Sam berani bertaruh Mary bersikap jauh lebih lembut kepada Bill.

Bill juga bilang bahwa dia tinggal di sebuah apartemen murah di pinggiran Minneapolis, yang direkomendasikan oleh salah seorang temannya yang juga tinggal di sana. Dia harus benar-benar hidup mandiri karena tidak bisa mengandalkan siapapun. Mr. dan Mrs. Starlin terkadang memang datang mengunjungi, tapi mengingat Bill dan ayahnya masih memiliki hubungan yang agak canggung setelah masalah pengungkapan jati dirinya itu, mereka tidak pernah tinggal lama-lama. Dan Bill selalu menolak apabila ibunya bersikeras memberinya dana tambahan.

"Aku harus belajar masak." ungkap Bill sambil menyuap spaghetti-nya, "Bersih-bersih dan mencuci segala sesuatunya sendiri. Dan menghasilkan uang. Aku harus bekerja di restoran sepulangnya dari yayasan."

"Tapi kau benar-benar sendirian." Mary berkata, "Apa kau nggak kesepian?"

"Lumayan. Teman-temanku di sana lumayan oke, tapi nggak ada yang ngalahin kau, tentu saja." cowok itu menambahkan seraya mengedip pada Sam, "Beruntungnya, mereka cukup bisa diandalkan di saat-saat penting."

Lalu Mary mulai bersemangat menggerecoki Bill soal pekerjaannya di yayasan kanker, topik yang sudah tidak terlalu menarik perhatian Sam lagi.

Pukul sepuluh tepat, Bill pamit. Tom tampaknya menolak tidur selama Bill masih di sana, jadi cowok itu memutuskan untuk pulang lebih awal. Sejujurnya, Sam seratus persen sepakat dengan Tom.

Seperti kebiasaannya dari dulu, Sam selalu mengantar Bill hingga ke pohon citrus dan mengobrol sebentar sebelum Bill menaiki motornya...

"Hei! Aku nggak melihat ada motor sebelumnya!" seru Sam. Motor itu berwarna hitam, besar, dan keren. Cocok untuk Bill.

"Mungkin karena kau terlalu sibuk mencariku tadi." kata Bill sembari memakai helmnya. Buntut kudanya masih terlihat dari balik helm.

"Di mana kau menginap selama di Arizona?"

"Kau ingat temanku, Lance Harrison? Aku tinggal di tempatnya sementara ini. Dulu ayahnya sangat mendukung kami membentuk band, jadi dia semacam orangtua pro diriku..."

Sam tertawa, "Mary juga bakalan pro dirimu setelah kau bilang kau merawat orang-orang berpenyakit kanker."

"Oh ya? Kita lihat saja. Aku masih berpendapat Mary kurang menyukai putrinya berteman dengan Bill Si Pahlawan Band Homoseksual..."

"Nggak, dia menyukaimu. Dia harus menyukai Si Pahlawan Band Homoseksual Yang Norak seperti aku menyukai Si Pahlawan Band Hom—"

"Oke cukup!" kekehan Bill agak teredam kaca helm, "Jadi, Sabtu ini kau ada acara?"

"Kenapa?" Sam susah payah menyembunyikan kegembiraannya dan menggantinya dengan nada skeptis, "Ini semacam kencan?"

"Lucu banget, Sammy. Aku mau mengajakmu ke suatu tempat, semacam napak tilas. Yah, kalau kau sudah punya acara dengan cowokmu misalnya, aku nggak memak—"

"Bill." potong Sam tegas, "Kau tahu aku memberitahumu apapun, termasuk kalau aku punya pacar."

"Aku tahu." kata Bill. Lalu dia meremas pundak Sam, "Jadi, Sabtu kujemput kau pukul sepuluh?"

"Malam?"

"Pagi."

"Oh." Sam tidak bisa menutupi nada kecewanya, "Oke. Sepuluh pagi."

"Kau pikir aku akan mengajakmu ke mana? Klub malam? Mary bakal mencincangku untuk diberi makan ke ikan-ikan."

"Tutup mulut. Kau terlalu keren untuk dicincang."

Bill tertawa lagi, kemudian dia menyalakan mesin motornya yang menggerung-gerung, "Nah, selamat malam Sammy."

"Bill?"

"Yeah?"

"Berapa lama kau akan tinggal di Arizona?"

Bill tampak menimbang-nimbang, dia menggerung-gerungkan mesin motornya lagi. "Entah... selama yang diperlukan, mungkin?"

Sam kembali bermimpi, hanya saja kali ini mimpinya sedikit berbeda dari sebelumnya. Mimpinya seperti kilasan-kilasan, numpang lewat dan agak acak, tapi masih dapat diingat.

Ruangan megah itu lagi, dengan jendela-jendela yang mencapai langit-langit, pemuda yang berdiri di tengah-tengah dan memohon pertolongan.

Gelap.

Telepon, suara-suara, perasaan senang.

Gelap.

Deritan panjang yang mengganggu, kaki-kaki Sam yang sibuk mengayuh pedal sepeda.

Gelap.

Sinar bulan yang menembus jendela besar di ruangan megah itu, berwarna pucat. Suara misterius yang mengatakan, "Kau tahu aku benar"

Gelap.

Sam menengadah ke arah pohon citrusnya. Pohon citrus itu berbuah.

Gelap.

Seseorang tersenyum.

Kemudian Sam tersentak bangun. dia melihat jam wekernya. Ini baru pukul dua pagi. Sam menggeliat gelisah di tempat tidurnya dan kembali tertidur tak lama kemudian.



---

Bill is back!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top